Zein menaikkan sebelah alis, tersenyum geli lalu berakhir menyentil kening Zahra. "Kabur?" Zein terkekeh, saking tak percaya secara gemas dengan ucapan istrinya. Hell! Tidak mungkin dia kabur, yang ada sebaliknya. Zein yang takut Zahra kabur! Oh, Tuhan. Istrinya memang sangat menggemaskan! Dia lucu! "Kenapa aku harus kabur?" Zein mendekatkan wajah ke arah Zahra, nadanya lebih rendah sehingga terkesan menggoda bagi Zahra. "Aku terus mengejar dan mengemis cintamu, aku sudah melewati karma terberat untuk bisa memilikimu kembali. Bahkan saking ingin mendapatkanmu, aku ingin mengejarmu--menyusulmu ke akhirat," ucap Zein, di mana suaranya semakin pelan di akhir kalimat. Zahra terdiam, mengerjap-erjap. Dia tertegun mendengar ucapan sang suami. "Karma terberatku adalah kehilangan dirimu, dan karma termanisku adalah hanya bisa mencintaimu," lanjut Zein. Cup'Dia mengecup bibir istrinya lembut, perlahan menyesap dan melumatnya. Zahra yang hanyut oleh sentuhan serta kata-kata manis suaminy
"Siapa Nolan dan apa hubungannya denganku?" Zein menaikkan sebelah alis, menatap istrinya cukup kaget. Jujur saja, Zein tak ingin memberitahu Zahra. Dia belum siap! Namun, Zein takut seseorang mencemari pikiran Zahra, sehingga perempuan ini kembali pergi darinya. "Nolan, dia saudara satu ibu denganku." Zein menjawab datar. Mengingat kejahatan Nolan, yang bukan hanya memisahkan dirinya dengan Zahra, tetapi juga melenyapkan ibu mereka sendiri, Zein rasanya marah. Meskipun Nolan telah tiada, kejahatan Nolan selalu berhasil membuat Zein mendidih. "Hubungannya denganku?" tanya Zahra penasaran. Benarkah Nolan selingkuhnya dan Zahra memilih kabur dengan pria itu? "Dia menyukaimu dan berusaha merebutmu dariku. Dia bekerja sama dengan Belle untuk memisahkan kita lalu terakhir kali dia menculikmu." Zahra mendongak, melototkan mata ke arah Zein. Dia menatap seperti tak mempercayai ucapan Zein tersebut. 'Hah! Nolan menculikku? Jangan-jangan kecelakaan yang menimpaku adalah ulah dia.' Zahra
"Ini adalah dokumen yang Pak suami harus tanda tangani," ucap Zahra sembari menyerahkan sebuah dokumen pada Zein. "Hum." Zein berdehem singkat, meraih dokumen tersebut lalu segera menandatanganinya. "Kau sedang hamil, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Zein tiba-tiba. Zahra mengerjap beberapa kali, pria ini menunjukkan perhatian padanya. Entah kenapa itu membuat jantung Zahra berdebar kencang. "Tidak, Pak." Zahra menggelengkan kepala. Sebenarnya dia menginginkan sesuatu, bukan karena kehamilannya. Karena keinginan Zahra tak ada sangkut pautnya dengan kondisinya yang hamil. Namun, mereka sedang di kantor, Zahra tak enak meminta. Zein menarik Zahra, menyentak tangan perempuan itu sehingga Zahra berakhir jatuh di pangkuannya. Zahra buru-buru beranjak, akan tetapi Zein lebih dulu melilitkan tangan di pinggang Zahra–membuat Zahra tak bisa kemana-mana, berakhir pasrah duduk dipangkuan Zein. "Aku tahu kau menginginkan sesuatu. Katakan saja," bisik Zein tepat di daun telinga Zahra, me
Zahra Aurelia menghela napas sebab tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia sedang sibuk menyusun agenda dari sang CEO di perusahaannya bekerja, tak lain adalah suaminya sendiri–Zein Melviano Adam. Dia sekretaris Zein, sudah tujuh tahun bekerja dengan perusahaan ini. Akhir akhir ini Zahra kurang fokus pada pekerjaannya sebab mantan suaminya yang sangat dicintai telah kembali. Sekarang mantan suaminya tersebut berada di ruangan Zein, harusnya mereka membicarakan proyek kerja sama tetapi sejak tadi mereka terlihat bercanda dan terus tertawa bersama. Zahra bisa melihatnya cukup jelas sebab ruangannya dan Zein dipisah oleh dinding kaca transparan. Melihat Zein yang hangat pada Belle (mantan Zein) itu membuat Zahra sakit hati. Zahra cemburu! Akan tetapi Zahra bisa apa? Sejak dulu, bahkan sebelum mereka menikah, Zein memang telah mencintai Belle. Pernikahannya dan Zein, tiga tahun yang lalu, juga terjadi karena kesalahan satu malam. Dia dan Zein tidak sengaja melakukan one nigh
"Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"Zein melayangkan tatapan tajam ke arah Zahra, mendekat dengan mengatupkan rahang secara kuat. "Kau berharap apa, Humm? Mencintaimu? Kau adalah perempuan licik dan busuk. Karena jebakan mu tiga tahun yang lalu, Kakekku memaksa untuk menikahiku dan sekarang aku terjebak dengan perempuan busuk sepertimu," ucap Zein, berdesis marah dengan tatapan menjatuhkan pada Zahra. Zahra membatu di tempat, kali ini membiarkan air matanya jatuh. Dia tidak bisa membendung, perkataan Zein sangat menyakitkan. Sedangkan Zein, setelan mengatakan itu, dia langsung pergi–menggenggam tangan Belle secara mesra. Zahra tertunduk sedih, semakin sakit hati ketika melihat Zein pergi dengan menggenggam mesra tangan Belle. "Aku tidak menyangka jika kamu masih menganggapku menjebak mu. Setelah apa yang kulakukan tiga tahun ini sebagai istri, ternyata sama sekali tak membuatmu luluh, Pak," gumam Zahra, menangis sedih seba
Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan. "Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat. Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka. Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai. "Maaf terlambat datang, Zahra. Da
"Ayo bercerai, Pak," dingin Zahra, mendongak dengan melayangkan tatapan kosong pada Zein. Zein kaget, terkesima serta tak percaya. Dia menatap Zahra lekat, memperhatikan perempuan tersebut secara teliti. Zahra terlihat serius dan tidak main-main dengan perkataannya. Itu membuat Zein sangat bingung. Tidak mungkin! Zahra tergila-gila padanya, Zahra menginginkannya dan sangat terobsesi menjadi nyonya Melviano. Tidak mungkin perempuan ini meminta cerai. "Kau sedang berdua, jadi berhenti berbicara omong kosong," tegur Zein, tiba-tiba menggenggam tangan Zahra. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Zahra menepis tangan Zein lalu menggelengkan kepala. "Yah, karena aku sedang berduka, Pak. Oleh sebab aku ingin menghentikan duka dan penderitaan ini. Anda tidak mencintaiku, dan wanita yang anda tunggu telah kembali. Jadi, mari bercerai, Pak," ucap Zahra tegas. "Diam!" marah Zein, melayangkan tatapan membunuh serta penuh peringatan pada Zahra. Dia tidak suka perempuan ini mengatakan omong koso
Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra. Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir. "Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah. Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya. Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap