"Ini adalah dokumen yang Pak suami harus tanda tangani," ucap Zahra sembari menyerahkan sebuah dokumen pada Zein. "Hum." Zein berdehem singkat, meraih dokumen tersebut lalu segera menandatanganinya. "Kau sedang hamil, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Zein tiba-tiba. Zahra mengerjap beberapa kali, pria ini menunjukkan perhatian padanya. Entah kenapa itu membuat jantung Zahra berdebar kencang. "Tidak, Pak." Zahra menggelengkan kepala. Sebenarnya dia menginginkan sesuatu, bukan karena kehamilannya. Karena keinginan Zahra tak ada sangkut pautnya dengan kondisinya yang hamil. Namun, mereka sedang di kantor, Zahra tak enak meminta. Zein menarik Zahra, menyentak tangan perempuan itu sehingga Zahra berakhir jatuh di pangkuannya. Zahra buru-buru beranjak, akan tetapi Zein lebih dulu melilitkan tangan di pinggang Zahra–membuat Zahra tak bisa kemana-mana, berakhir pasrah duduk dipangkuan Zein. "Aku tahu kau menginginkan sesuatu. Katakan saja," bisik Zein tepat di daun telinga Zahra, me
"Kau tidak apa-apa?" tanya Zein, mengusap pucuk kepala Zahra secara lembut dan penuh kasih sayang. Zein juga mengecup hangat pucuk kepala istrinya, berupaya menenangkan Zahra yang terlihat ketakutan. "Tidak apa-apa." Zahra melepas pelukannya pada Zein, memalingkan wajah juga–merasa malu dengan tindakannya yang tiba-tiba memeluk Zein. Zahra menghela napas lalu melirik Zein sejenak. "Pak Suami kenapa ada di sini?" tanya Zahra kemudian, sebelah dia merasa dirinya lebih tenang. Zein menaikkan sebelah alis, memperhatikan Zahra secara lekat. Perempuan ini tadi memeluknya dengan erat, sekarang terlihat cuek dan terkesan menghindar."Terserah ku, ini perusahaanku," jawab Zein santai, meraih pergelangan Zahra lalu menarik perempuan tersebut. "Entah kenapa kau terlihat sangat seksi hari ini, Wife," ucap Zein serak, mengalungkan tangan di pinggang Zahra. Dia mendekatkan wajah lalu berniat mengecup bibir sang istri, akan tetapi Zahra dengan cepat memalingkan wajah. "Pak, ini di kantor. Tolon
"Syutttt … jangan menangis, Sweetheart." "Aku menginginkanmu, aku sangat menginginkanmu," ucap Zein hangat. Dia mengganti posisi, duduk di kursi Zahra sedangkan istrinya ia dudukkan di atas pangkuannya. "Menginginkan Zahra Aurelia." Zahra meralat. "Berdamai." Zein berkata serak, menatap dalam pada istrinya. Dengan penuh kasih sayang, Zein mengusap air mata sang istri. Zahra mengerutkan kening, tak padam dengan ucapan suaminya. "Hah?""Zahra Aurelia adalah kau sendiri. Berdamai dengan dirimu, terima semua yang telah terjadi," ucap Zein, beralih mengusap pucuk kepala Zahra. Sebisa mungkin Zein melakukan sentuhan-sentuhan hangat untuk menenangkan istrinya yang sedang berperang dengan diri sendiri. Zein tak menyangka hal ini akan terjadi, amnesia yang istrinya alami membuat Zahra bertengkar dengan diri sendiri. "Tapi …-" Mata Zahra kembali memanas, bulir kristal telah berkumpul di pelupuk, "tapi … kalian tidak menerima ku yang seperti ini. Kalian terus menekanku supaya seperti Zahra
"Jika kamu tidak percaya yah sudah." Deana berkata santai, berjalan ke arah sofa lalu duduk dengan santai di sana. "Kamu sangat tidak sopan." Zahra mengkritik, menatap tak suka pada Deana. Perempuan ini seorang tamu, dia belum dipersilahkan duduk tetapi sudah duduk. Masalahnya, dia bahkan bersikap angkuh pada tuan rumah. "Kenapa?" Deana menatap sini pada Zahra, dia duduk melipat kaki lalu bersedekap di dada–menunjukkan keangkuhan secara terang-terangan pada Zahra. "Kamu merasa telah menjadi pemilik rumah ini? Ahahaha …." Deana tertawa dengan anggun di akhir kalimat. "Setelah aku menikah dengan Kak Zein, aku lah yang akan menjadi nyonya di rumah ini. Kalau kamu tetap bersikeras menjadi istri Kak Zein, kamu bisa tinggal di lantai khusus maid. Bawa putramu yang bisu itu juga untuk tinggal bersamamu dan pelayan. Satu lagi, mulai sekarang bersikap baik padaku, karena setelah aku menjadi istri dari Zein Melviano, bisa saja aku mengusirmu dari sini." Syurrr'Tiba-tiba saja Zein muncul, l
Hari ini Zahra ke kantor, dia berangkat dengan Alana karena suatu hal. Saat sudah di kantor, Zahra bertemu dengan Raka. Pria itu mendakinya lalu memberikan sebuah permen coklat untuk Zahra. Hari ini Zahra akan memperlihatkan desain pada semua orang, menjelekan desain secara detail. Zahra sangat gugup tetapi karena Zein menyukai desain yang dia buat, Zahra juga sangat percaya diri."Semangat!" ucap Raka, masih mengukir senyuman indah di bibirnya, "aku yakin presentase mu akan berhasil, desainmu akan menyita semua perhatian orang. Kamu terbaik, Zahra," lanjutnya memberikan dukungan untuk Zahra. "Terimakasih, Paman Raka," ucap Zahra, tersenyum manis pada Raka. 'Dia pria yang hangat dan sangat baik. Sama-sama seorang Melviano tetapi dia dan Suami sangat berbeda.' batin Zahra, kagum pada pribadi Raka yang sangat hangat. Alana menatap coklat di tangan Zahra, lalu senyuman tipis–terlihat getir muncul di bibir. Sepertinya Raka masih menyimpan rasa pada Nona-nya, padahal sudah sekian lama.
"Terimakasih, Pak Suami." Zahra menyeru dengan semangat, memeluk Zein sembari tersenyum lebar pada sang suami. Zein begitu kaget, tak percaya jika istrinya memeluknya. Saking kagetnya Zein, dia beberapa kali mengerjap. Setelah sekian lama, istrinya memeluknya–inisiatif sendiri. Melihat wajah kaku Zein, Zahra menyadari apa yang dia lakukan. Dia langsung melepas pelukan itu, buru-buru meminta maaf pada Zein dengan raut muka tak enak. "Ma-maafkan aku. A--aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Zahra kemudian. Ekspresi suaminya terlihat datar, sepertinya Zein tak suka karena Zahra tiba-tiba memeluknya. 'Jangan-jangan Suami berpikir jika aku sangat agresif. Suami rusak suka perempuan agresif, sepertinya.' batin Zahra, melihat Zein hanya diam saja Zahra memilih beranjak dari sana. "Aku pe-pergi dulu." Zahra pamit pergi. Zein seketika tersadar dari kebengongan, berniat ingin menghentikan Zahra akan tetapi perempuan itu lebih dulu pergi. "Sweet …- ah, shit!" umpat Zein di akhir kalimat, kesa
Zein mendengar ke arah Zahra, menyerahkan sebuah kotak hadiah ke arah sang istri. "Buka setelah kita di rumah," ucapnya sembari mengacak pucuk kepala sang istri secara senang. Zahra nyengir lebar, salah tingkah sekaligus gugup secara bersamaan. 'Ya Tuhan, aku juga diberi hadiah oleh Suami. Padahal bantuan darinya juga sudah lebih dari cukup. Aku tidak sabar pulang, aku ingin melihat hadiah apa yang Suami berikan padaku.' batin Zahra senang. Tok tok tok Pintu diketuk dan Zein pergi untuk membuka. Melihat siapa yang datang, raut muka Zein mendadak kusut. Sial! Dia Raka! "Zahra." Raka menyeru senang ke arah Zahra, masuk dalam ruangan Zein tanpa peduli dengan sosok keponakannya yang terlihat memasang air muka tak suka. "Wow! Hadiah dari siapa? Dari kotaknya sudah sangat mewah, pasti isinya adalah sesuatu yang berharga. Menakjubkan," celetuk Raka saat melihat kotak hadiah di pangkuan Zahra. "Hehehe …." Zahra menyengir lebar dan cengengesan, dia sedang tersipu malu, "ini dari Pak Sua
"A--aku tidak nyaman menggunakan pakaian ini, Suami. Ini terlalu terbuka," protes Zahra, yang saat ini sudah mengenakan dress pendek nan seksi berwarna merah menggoda tersebut. Dipadu dengan heels runcing berwarna senada dengan derasnya, penampilan Zahra semakin menantang dan seksi. Zein menetap lekat ke arah sang istri, bahkan matanya tak berkedip karena takjub oleh keindahan sang istri. Zahra begitu cantik, mempesona dan seksi. Zein hanya diam, duduk di pinggir ranjang sembari mengamati Zahra. "Suami," panggil Zahra, semakin tak nyaman karena Zein terus menatapnya. Zahra tahu apa arti tatapan itu, dan tatapan Zein semakin membuat Zahra tidak nyaman. Namun, mengingat terakhir kali sentuhan Zein berhasil membuatnya merasa lebih baik, Zahra berusaha menepis kegugupan tersebut. "Kemarilah," ucap Zein yang telah tersadar dari lamunannya. Zahra menurut, berjalan mendekat pada sang suami. Langkahnya begitu anggun, semakin menambah kesan keindahan dalam dirinya. Zahra tak pernah mengena
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s