"Syutttt … jangan menangis, Sweetheart." "Aku menginginkanmu, aku sangat menginginkanmu," ucap Zein hangat. Dia mengganti posisi, duduk di kursi Zahra sedangkan istrinya ia dudukkan di atas pangkuannya. "Menginginkan Zahra Aurelia." Zahra meralat. "Berdamai." Zein berkata serak, menatap dalam pada istrinya. Dengan penuh kasih sayang, Zein mengusap air mata sang istri. Zahra mengerutkan kening, tak padam dengan ucapan suaminya. "Hah?""Zahra Aurelia adalah kau sendiri. Berdamai dengan dirimu, terima semua yang telah terjadi," ucap Zein, beralih mengusap pucuk kepala Zahra. Sebisa mungkin Zein melakukan sentuhan-sentuhan hangat untuk menenangkan istrinya yang sedang berperang dengan diri sendiri. Zein tak menyangka hal ini akan terjadi, amnesia yang istrinya alami membuat Zahra bertengkar dengan diri sendiri. "Tapi …-" Mata Zahra kembali memanas, bulir kristal telah berkumpul di pelupuk, "tapi … kalian tidak menerima ku yang seperti ini. Kalian terus menekanku supaya seperti Zahra
"Jika kamu tidak percaya yah sudah." Deana berkata santai, berjalan ke arah sofa lalu duduk dengan santai di sana. "Kamu sangat tidak sopan." Zahra mengkritik, menatap tak suka pada Deana. Perempuan ini seorang tamu, dia belum dipersilahkan duduk tetapi sudah duduk. Masalahnya, dia bahkan bersikap angkuh pada tuan rumah. "Kenapa?" Deana menatap sini pada Zahra, dia duduk melipat kaki lalu bersedekap di dada–menunjukkan keangkuhan secara terang-terangan pada Zahra. "Kamu merasa telah menjadi pemilik rumah ini? Ahahaha …." Deana tertawa dengan anggun di akhir kalimat. "Setelah aku menikah dengan Kak Zein, aku lah yang akan menjadi nyonya di rumah ini. Kalau kamu tetap bersikeras menjadi istri Kak Zein, kamu bisa tinggal di lantai khusus maid. Bawa putramu yang bisu itu juga untuk tinggal bersamamu dan pelayan. Satu lagi, mulai sekarang bersikap baik padaku, karena setelah aku menjadi istri dari Zein Melviano, bisa saja aku mengusirmu dari sini." Syurrr'Tiba-tiba saja Zein muncul, l
Hari ini Zahra ke kantor, dia berangkat dengan Alana karena suatu hal. Saat sudah di kantor, Zahra bertemu dengan Raka. Pria itu mendakinya lalu memberikan sebuah permen coklat untuk Zahra. Hari ini Zahra akan memperlihatkan desain pada semua orang, menjelekan desain secara detail. Zahra sangat gugup tetapi karena Zein menyukai desain yang dia buat, Zahra juga sangat percaya diri."Semangat!" ucap Raka, masih mengukir senyuman indah di bibirnya, "aku yakin presentase mu akan berhasil, desainmu akan menyita semua perhatian orang. Kamu terbaik, Zahra," lanjutnya memberikan dukungan untuk Zahra. "Terimakasih, Paman Raka," ucap Zahra, tersenyum manis pada Raka. 'Dia pria yang hangat dan sangat baik. Sama-sama seorang Melviano tetapi dia dan Suami sangat berbeda.' batin Zahra, kagum pada pribadi Raka yang sangat hangat. Alana menatap coklat di tangan Zahra, lalu senyuman tipis–terlihat getir muncul di bibir. Sepertinya Raka masih menyimpan rasa pada Nona-nya, padahal sudah sekian lama.
"Terimakasih, Pak Suami." Zahra menyeru dengan semangat, memeluk Zein sembari tersenyum lebar pada sang suami. Zein begitu kaget, tak percaya jika istrinya memeluknya. Saking kagetnya Zein, dia beberapa kali mengerjap. Setelah sekian lama, istrinya memeluknya–inisiatif sendiri. Melihat wajah kaku Zein, Zahra menyadari apa yang dia lakukan. Dia langsung melepas pelukan itu, buru-buru meminta maaf pada Zein dengan raut muka tak enak. "Ma-maafkan aku. A--aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Zahra kemudian. Ekspresi suaminya terlihat datar, sepertinya Zein tak suka karena Zahra tiba-tiba memeluknya. 'Jangan-jangan Suami berpikir jika aku sangat agresif. Suami rusak suka perempuan agresif, sepertinya.' batin Zahra, melihat Zein hanya diam saja Zahra memilih beranjak dari sana. "Aku pe-pergi dulu." Zahra pamit pergi. Zein seketika tersadar dari kebengongan, berniat ingin menghentikan Zahra akan tetapi perempuan itu lebih dulu pergi. "Sweet …- ah, shit!" umpat Zein di akhir kalimat, kesa
Zein mendengar ke arah Zahra, menyerahkan sebuah kotak hadiah ke arah sang istri. "Buka setelah kita di rumah," ucapnya sembari mengacak pucuk kepala sang istri secara senang. Zahra nyengir lebar, salah tingkah sekaligus gugup secara bersamaan. 'Ya Tuhan, aku juga diberi hadiah oleh Suami. Padahal bantuan darinya juga sudah lebih dari cukup. Aku tidak sabar pulang, aku ingin melihat hadiah apa yang Suami berikan padaku.' batin Zahra senang. Tok tok tok Pintu diketuk dan Zein pergi untuk membuka. Melihat siapa yang datang, raut muka Zein mendadak kusut. Sial! Dia Raka! "Zahra." Raka menyeru senang ke arah Zahra, masuk dalam ruangan Zein tanpa peduli dengan sosok keponakannya yang terlihat memasang air muka tak suka. "Wow! Hadiah dari siapa? Dari kotaknya sudah sangat mewah, pasti isinya adalah sesuatu yang berharga. Menakjubkan," celetuk Raka saat melihat kotak hadiah di pangkuan Zahra. "Hehehe …." Zahra menyengir lebar dan cengengesan, dia sedang tersipu malu, "ini dari Pak Sua
"A--aku tidak nyaman menggunakan pakaian ini, Suami. Ini terlalu terbuka," protes Zahra, yang saat ini sudah mengenakan dress pendek nan seksi berwarna merah menggoda tersebut. Dipadu dengan heels runcing berwarna senada dengan derasnya, penampilan Zahra semakin menantang dan seksi. Zein menetap lekat ke arah sang istri, bahkan matanya tak berkedip karena takjub oleh keindahan sang istri. Zahra begitu cantik, mempesona dan seksi. Zein hanya diam, duduk di pinggir ranjang sembari mengamati Zahra. "Suami," panggil Zahra, semakin tak nyaman karena Zein terus menatapnya. Zahra tahu apa arti tatapan itu, dan tatapan Zein semakin membuat Zahra tidak nyaman. Namun, mengingat terakhir kali sentuhan Zein berhasil membuatnya merasa lebih baik, Zahra berusaha menepis kegugupan tersebut. "Kemarilah," ucap Zein yang telah tersadar dari lamunannya. Zahra menurut, berjalan mendekat pada sang suami. Langkahnya begitu anggun, semakin menambah kesan keindahan dalam dirinya. Zahra tak pernah mengena
Zein memperhatikan Zahra secara lekat, menatap istrinya dengan cara yang indah. Dia tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala. 'Istriku sedang mengidam sepertinya,' batinnya, masih tersenyum tetapi kali ini sembari mengacak pucuk kepala Zahra. "Aku temani, Wife," ucap Zein lembut. Zahra terdiam sejenak, mendongak dan memperhatikan Zein secara teliti. 'Kalau senyum begini, suami sangat tampan. Sikapnya juga mendadak manis.' batinnya. "Kau ingin memasak apa, Sweetheart?" tanya Zein, menoleh ke arah masakan istinya lalu memangut tiba-tiba walau Zahra belum menjawab apapun. "Aku membuat sup. Setelah ini ingin membuat ayam goreng," jawab Zahra pelan. "Aku akan bantu," ucap Zein, segera beranjak dari sana untuk menyiapkan bahan membuat ayam goreng bumbu spesial. Namun, dia kembali ke hadapan Zahra. "Sweetheart, katakan apa yang harus kusiapkan?" tanyanya kemudian. Hampir saja Zein lupa jika dia tidak pandai memasak l, sok-sokan ingin menyiapkan bahan. Ini saja Zein khawatir tak mengen
"Tenanglah, Wife. Aku bukan ingin mengganggumu," ucap Zein sembari menahan tangan Zahra yang berniat lari saat melihat Zein muncul dihadapannya. Karena insiden tadi, Zahra malu-malu kucing, bahkan menolak makan siang bersama. Zein greget sekaligus gemas, entah dulu Zahra pernah malu-malu kucing atau tidak akan tetapi Zahra sekarang malu-malu kucing dengan cara yang sangat lucu. Istrinya seperti anak kecil yang tengah terpesona pada seseorang, kagum tetapi tidak berani mendekat. "Aku sedang belajar membuat tas, aku tidak fokus jika ada Pak suami," ucap Zahra pelan dan malu-malu, melirik Zein singkat kemudian buru-buru seolah fokus pada pekerjaannya. Ini pekerjaan baru bagi Zahra, akan tetapi entah kenapa dia mudah memahami. Baru tetapi dia seperti orang lama di bidang ini. Mungkin ingatan yang mulai muncul atau alam bawah sadar yang memberi isyarat pada Zahra. Namun, Zahra tak bohong! Zein sangat mengganggu karena sejak tadi pria ini mengikutinya dan terus memperhatikan apa yang Za