“Aku tidak peduli dengan larangan Zafran!” kata Jake, membulatkan tekad.Dengan langkah yang berat, dan meski Zafran tak mengizinkannya mengikuti ke mana Laura dibawa pergi, Jake tetap mengayunkan kakinya untuk menyusul.Rupanya, ruang pemulihan pasca kuret yang dimaksudkan oleh dokter tadi adalah sebuah ruang rawat yang cukup besar. Jake tidak perlu mempertanyakan lagi siapa yang meminta Laura untuk ditempatkan di dalam ruang terbaik di sini. Itu sudah pasti adalah Zafran.“Tapi di mana dia?” tanyanya pada diri sendiri.Pria itu tak tampak batang hidungnya, entah ke mana perginya, atau mungkin memang ada urusan yang sedang ingin ia selesaikan di luar.Atau ....Entahlah!Tetapi bagi Jake, ini adalah sebuah kesempatan.Ia berjalan mendekat, merapat ke arah jendela. Menyaksikan seorang wanita dengan selimut biru menutupi tubuhnya. Yang belum lama ini ia sangka sebagai mayat, tengah terbaring di dalam sana.Kini, Laura tampak begitu rapuh. Atau ... memang seperti itulah dia sejak dulu?
“Itu bukan salahmu,” ucap sebuah suara bariton seorang pria yang datang dari sebelah kanannya. Seolah lepas dari pengawasannya, Laura tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di sana dan mengamatinya hingga memutuskan untuk membuka suara. Zafran. Laura menunduk, menyeka air matanya, menyembunyikan kesedihannya meski ia tahu itu adalah sebuah kesia-siaan. Daripada orang lain, Zafran adalah orang yang paling mengerti luka Laura sebab ia adalah saksi peristiwa yang merenggut kebahagiaannya yang akan menjadi seorang ibu. Langkah pria itu terdengar bergema saat ia berjalan untuk mengikis jarak, guna mendekatkan dirinya pada Laura yang masih duduk di atas ranjang rawatnya. “Yang terjadi sekarang ini bukan salahmu, Lau,” kata Zafran sekali lagi. Suaranya serak dan juga parau. “P-Pak Zafran menginap di sini?” tanya Laura, tak ingin menunjukkan wajahnya pada Zafran. “Di luar,” jawabnya. “Kamu tidak boleh diganggu setelah operasi semalam.” Mendengar jawaban itu barulah Laura mengangkat
“Laura—” panggil Jake lirih, dan sepertinya ia tidak ingin mengindahkan permintaan Laura agar ia pergi. Sebab Jake tetap membawa langkahnya masuk ke dalam ruang rawat itu. “Pergi dari sini!” usir Laura sekali lagi. “Apa yang kamu inginkan?!” “Apakah aku tidak bisa meminta waktumu sebentar saja?” tanya Jake, ada nada memohon yang kentara dari caranya berucap kini. “Aku ingin bicara denganmu.” “Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Jake,” kata Laura. Ia menunduk, mencoba menata hatinya yang tengah bergejolak menyadari ia dan Jake berbagi satu ruangan yang sama. Suaranya parau dan gemetar, dikekang sesak dan kebencian. “Semuanya sudah selesai,” lanjutnya lirih. “Belum,” sahut Jake. “Kita masih belum selesai.” Laura masih tak ingin melihat Jake, atau mengamati lebih jauh seperti apa raut wajah pria itu sekarang ini. Ia masih menunduk dan meremas selimut warna biru yang menutupi kakinya. Ia mendengar suara langkah kaki Jake, mengikis jarak yang semula berdiri angkuh m
“Jake?!” panggil sebuah suara saat pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Zafran. Sepasang mata beriris cokelat gelap milik pria itu memandang Laura dan Jake bergantian sebelum ia mengayunkan kakinya menuju pada Jake dan merenggut kerah kemeja yang ia kenakan dan menyeretnya pergi dari hadapan Laura. “Lepas, Brengsek!” umpat Jake marah, menepis tangan Zafran saat mereka tiba di luar.Bibir Zafran yang semula terpasung bisu akhirnya bersuara.“Kamu tuli, Jake?!” hardiknya. “Kamu tidak mendengarku?! Aku bilang jangan mengganggu Laura lagi!”Jake menggertakkan rahangnya. Mengamati Zafran … ia sangat benci dengan tatapan angkuhnya itu. Tangannya terkepal erat, bersiap menghantam rahang temannya itu jika ia mengatakan sesuatu yang membuatnya naik pitam.Namun, hal itu ia urungkan karena Jake mendengar Zafran yang justru membuatnya kembali dirundung rasa bersalah yang besar. “Laura baru saja bertaruh dengan hidup dan matinya,” kata Zafran, berat dan serak. “Jika semalam kamu meli
“Sesuatu yang kurang baik?” ulang Laura yang dibenarkan oleh dokter.“Benar, Bu Laura.”“Apa sesuatu yang kurang baik itu, Dokter?” tanyanya kembali, memandang dokter dengan cemas.Dan jawaban yang diberikan oleh dokter selanjutnya membuat Laura seketika kehilangan harapannya untuk kakinya ini bisa sembuh.Dokter menjelaskan bahwa ditemukan kandungan anestesi yang mereka duga sebagai alasan besar mengapa kaki Laura tak menunjukkan perubahan yang signifikan.Gejala anomali seperti hidungnya yang berdarah serta pelemasan otot yang membuatnya merasa nyeri dan semakin kesulitan berjalan itu karena efek samping dari kandungan berlebih yang mereka temukan di dalam tubuh Laura ini. Dan memiliki andil atas keguguran yang ia alami.Kepala Laura rasanya pening begitu mendengar penjelasan tersebut. Ia sejenak tak bisa berpikir, dan melihatnya yang tampak tertekan dan gundah membuat Elsa mendekat dan merangkul bahunya.Sedangkan Zafran yang sedari tadi ikut menyimak akhirnya membuka suaranya.“Ba
Pagi ini, Jake bangun dari tidurnya dengan tengkuk yang terasa berat saat ia menggosok dan mengeluh, “Kepalaku sakit ….” Jake ingat ia mabuk semalam setelah menyelesaikan percakapan dengan Roy, pengacara perceraiannya. Pria itu perlahan turun dari tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kasar dan berdeham karena merasa tenggorokannya kering. Ia butuh minum, sehingga ia membawa langkah kakinya menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan yang ada di lantai satu. Setiap undakan tangga yang ia lewati, Jake merasa ada sesuatu yang menghilang dari rumah ini. Sudah beberapa waktu begini, tetapi beberapa hari belakangan perasaan itu semakin hebat menerjangnya dan membuat lubang di hatinya. Memasuki ruang makan, ia tak menjumpai botol alkohol yang semalam ada di atas meja. ‘Mungkin sudah dibereskan,’ katanya dalam hati sebelum membuka pintu lemari pendingin, kemudian mengambil saatu botol minuman dan meneguknya hingga tandas untuk menghapus dahaganya. Matanya yang semula terpejam tiba-tib
“Tidak, kamu—” Belum sempat Jake menjawab, mereka mendengar suara yang tiba-tiba hadir dari sebelah kanan Jake berdiri. “Selamat pagi, Tuan,” sapa suara bariton seorang pria yang diikuti oleh kemunculannya, Farren. “Pagi, Farren,” balas Jake sembari mengalihkan matanya dari Fidel pada kedatangannya. “Semalam Tuan Jake bilang ada dokumen yang harus saya ambil ke rumah,” jelas Farren sebelum Jake bertanya ada urusan apa ia ke sini. Jake mengangguk membenarkannya, “Iya, dokumennya ada di kamarku. Naiklah, ikut denganku!” pintanya kemudian memandang Fidel yang tampak mendengus dengan malas. “Kamu bisa tunggu sebentar di sini, Fi?” tanya Jake. “Aku akan kembali sebentar lagi.” “Ya,” jawab Fidel singkat. Jake menemukan ada raut tak suka di wajahnya meski ia menunjukkan senyumnya yang manis. Gadis itu memandang Farren—yang mengikuti kepergian Jake—dengan tatapan kesal, tetapi sepertinya pemuda itu tampak tak peduli dan lebih memilih untuk mengikuti Jake yang pergi ke kamar. M
“Apa sebaiknya aku buang saja bunga ini?” tanya Laura, menoleh pada Elsa yang masih membawa buket bunga di tangannya. Elsa hampir menjawab sebelum mereka melihat sebuah mobil yang memasuki halaman. Mereka saling pandang seolah bertanya, ‘Siapa gerangan yang malam-malam datang ke sini?’ Seorang pria dan wanita cantik keluar dari mobil itu dan berjalan pada Laura dan juga Elsa. “Selamat malam, apakah benar ini adalah butik milik Eve Laura?” tanyanya sopan. Sejenak Laura terdiam, berpikir pernah melihat di mana ia wanita cantik ini? Mengapa rasanya tidak asing? Elsa menyentuh lengannya karena sepertinya Laura akan terus bergeming. “S-selamat malam. Iya, benar,” jawab Laura gugup. “S-silahkan masuk!” “Terima kasih.” Duduk di sofa ruang tamu, Laura melihat Elsa meletakkan buket bunga yang ia bawa itu ke atas meja di sudut ruangan sebelum bergabung untuk duduk di sampingnya. Laura memandang pria tampan dan wanita cantik yang duduk berseberangan meja dengannya itu kemudian bertanya,