Pagi ini, Jake bangun dari tidurnya dengan tengkuk yang terasa berat saat ia menggosok dan mengeluh, “Kepalaku sakit ….” Jake ingat ia mabuk semalam setelah menyelesaikan percakapan dengan Roy, pengacara perceraiannya. Pria itu perlahan turun dari tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kasar dan berdeham karena merasa tenggorokannya kering. Ia butuh minum, sehingga ia membawa langkah kakinya menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan yang ada di lantai satu. Setiap undakan tangga yang ia lewati, Jake merasa ada sesuatu yang menghilang dari rumah ini. Sudah beberapa waktu begini, tetapi beberapa hari belakangan perasaan itu semakin hebat menerjangnya dan membuat lubang di hatinya. Memasuki ruang makan, ia tak menjumpai botol alkohol yang semalam ada di atas meja. ‘Mungkin sudah dibereskan,’ katanya dalam hati sebelum membuka pintu lemari pendingin, kemudian mengambil saatu botol minuman dan meneguknya hingga tandas untuk menghapus dahaganya. Matanya yang semula terpejam tiba-tib
“Tidak, kamu—” Belum sempat Jake menjawab, mereka mendengar suara yang tiba-tiba hadir dari sebelah kanan Jake berdiri. “Selamat pagi, Tuan,” sapa suara bariton seorang pria yang diikuti oleh kemunculannya, Farren. “Pagi, Farren,” balas Jake sembari mengalihkan matanya dari Fidel pada kedatangannya. “Semalam Tuan Jake bilang ada dokumen yang harus saya ambil ke rumah,” jelas Farren sebelum Jake bertanya ada urusan apa ia ke sini. Jake mengangguk membenarkannya, “Iya, dokumennya ada di kamarku. Naiklah, ikut denganku!” pintanya kemudian memandang Fidel yang tampak mendengus dengan malas. “Kamu bisa tunggu sebentar di sini, Fi?” tanya Jake. “Aku akan kembali sebentar lagi.” “Ya,” jawab Fidel singkat. Jake menemukan ada raut tak suka di wajahnya meski ia menunjukkan senyumnya yang manis. Gadis itu memandang Farren—yang mengikuti kepergian Jake—dengan tatapan kesal, tetapi sepertinya pemuda itu tampak tak peduli dan lebih memilih untuk mengikuti Jake yang pergi ke kamar. M
“Apa sebaiknya aku buang saja bunga ini?” tanya Laura, menoleh pada Elsa yang masih membawa buket bunga di tangannya. Elsa hampir menjawab sebelum mereka melihat sebuah mobil yang memasuki halaman. Mereka saling pandang seolah bertanya, ‘Siapa gerangan yang malam-malam datang ke sini?’ Seorang pria dan wanita cantik keluar dari mobil itu dan berjalan pada Laura dan juga Elsa. “Selamat malam, apakah benar ini adalah butik milik Eve Laura?” tanyanya sopan. Sejenak Laura terdiam, berpikir pernah melihat di mana ia wanita cantik ini? Mengapa rasanya tidak asing? Elsa menyentuh lengannya karena sepertinya Laura akan terus bergeming. “S-selamat malam. Iya, benar,” jawab Laura gugup. “S-silahkan masuk!” “Terima kasih.” Duduk di sofa ruang tamu, Laura melihat Elsa meletakkan buket bunga yang ia bawa itu ke atas meja di sudut ruangan sebelum bergabung untuk duduk di sampingnya. Laura memandang pria tampan dan wanita cantik yang duduk berseberangan meja dengannya itu kemudian bertanya,
Ini akan menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Laura.Karena saat ia memiliki tekad untuk bangkit, takdir seolah tengah membuka jalan yang lebar untuknya bersinar. Sekali lagi, ia mendapatkan tamu yang datang untuk memesan gaun padanya. Malam harinya, ia duduk di dalam kamar, tersenyum dan tidak bisa menjelaskan perasaan bahagianya ini.“Capeknya ….” katanya sembari memijat kakinya sebentar.‘Tidak apa-apa …’ lanjutnya dalam hati. Lelah ini adalah lelah yang ia anggap sebagai hadiah atas dirinya yang baru saja mengalami luka-luka.Terutama luka akibat kehilangan anaknya.Setelah memijat kakinya, ia mengangkat kepala dan memandang pantulan wajahnya yang ada di cermin. Laura menyentuh pipinya, “Kenapa rasanya pipiku menghilang?” Karena ia terlihat tirus dan tampak … menyedihkan.“Apa karena rambut panjang ini penyebabnya?” Laura berpindah menyentuh rambutnya yang tiba-tiba terlihat tidak cocok dengannya.Laura memutar kepala ke arah pintu saat mendengar ketukan dari luar. Sewaktu ia
“Jake,” sebut Fidel begitu lirih. “Kenapa kamu ….” Gadis itu melepaskan tangannya dari dasi milik Jake, menggigit bibirnya saat matanya tampak berkaca-kaca. Bibirnya terbuka tetapi tak ada kalimat yang bisa didengar keluar dari sana. “Aku berterima kasih karena kamu mendonorkan darahmu saat aku kecelakaan dan sekarat, Fi. Tapi—” Jake menghela dalam napasnya, tatapannya pada Fidel barangkali disadari oleh gadis itu sebagai sebuah keputusasaan sebab ia dengan cepat meminta maaf. “M-maaf ….” kata Fidel. “Aku sama sekali tidak ingin membuatmu merasa terkekang. Aku pun juga tidak setuju dengan yang diinginkan oleh Tante Alina karena aku pasti akan menyakiti Laura,” lanjutnya dengan suara yang gemetar. “Aku hanya … datang karena Papa dan Mama yang meminta,” ucapnya. “Dan mereka pun datang karena memenuhi undangan orang tuamu, ‘kan?” Jake mengangguk, “Benar,” akunya. “Orang tuaku begitu karena mereka merasa bersalah sebab aku sudah membuat pernikahan kita batal di masa lalu.” “Dengar—”
Jake mengayunkan kakinya untuk menghampiri mereka.Tetapi, pada langkah pertama, ia berhenti. Gerak sendi radiokarpal yang ada di pergelangan kakinya seolah membeku saat ia menyadari satu hal.Laura, ia tak pernah terlihat sebahagia itu.Ia juga tampak ceria ketimbang saat dulu bersama dengan Jake yang wajahnya selalu murung. Dan ... Laura terlihat cantik dengan rambut sebahunya. Jemari tangan Jake merapat saat hatinya yang sudah panas sedari tadi kini seperti sedang terkoyak saat ia berpikir, ‘Apa dia memotong rambutnya untuk benar-benar memulai hidup baru tanpaku?’Meski kabut memenuhi matanya, tetapi ia masih bisa melihat dengan jelas, wanita di seberang sana yang terlihat gembira dengan hal yang ia lakukan sekarang. Menjadi dirinya sendiri, seorang desainer. Yang pernah dikatakan oleh Jake sebagai sebuah hal yang ‘memalukan’ di kala pameran yang ia gagas kapan hari berakhir kacau.“Kamu bisa bahagia tanpaku, Laura ….” gumamnya lirih. Setitik cairan hangat yang menggantung di
Setelah semalam berkutat dengan senyum yang penuh dengan kepalsuan, tapi saat pagi datang, Laura seolah kembali mendapatkan kekuatannya untuk menghadapi dunia. Jam menunjuk pada angka sepuluh saat Laura sibuk dengan kegiatannya di butik. Hari-hari barunya yang ia jalani dengan hati yang gembira. Sepagi ini, ia bahkan baru saja menyelesaikan meeting dengan salah seorang klien yang tempo hari membawa anak kembarnya untuk membuat gaun ulang tahun di tempatnya. Laura duduk di ruang kerjanya, sedang mengirim desain gaun permintaan ibunya Samantha untuk malam resepsi. “Bu Laura,” panggil salah seorang stafnya yang bernama Hani, yang berdiri berseberangan meja dengannya. “Iya, Han?” Wajah gadis itu terlihat ceria saat ia menunjukkan ponselnya, “Followers kita naik dua puluh ribu di sosmed,” katanya. Sontak saja itu membuat sepasang mata Laura membola. “Bagaimana bisa?” “Apakah Bu Laura tahu kalau Nona Samantha Adam memposting foto yang menunjukkan kalau dia sedang fitting baju dan d
Laura tak serta merta menanggapi Fidel, atau kalimatnya yang lebih terdengar seperti sebuah pengusiran.Laura justru menatapnya cukup lama sebelum akhirnya tersenyum dan bertanya, “Kenapa kamu terlihat sangat marah, Fi?”Mendengar itu, alis Fidel yang tadinya seolah akan bersinggungan kembali ke sedia kala. “Tidak,” jawabnya, ia kemudian menunjukkan senyumnya yang tampak sangat aneh di mata Laura karena itu tidak cocok dengan matanya yang penuh dengan kebencian.“Aku hanya … tidak mau kamu malu karena salah mengambil tempat duduk, Lau,” lanjutnya.Sepertinya, keributan kecil yang mereka lakukan telah membuat salah seorang petugas yang berjaga di sana menghampiri mereka.“Ada masalah di sini, Nona-Nona?” tanya pria dengan pakaian serba hitam itu.“Sepertinya ada kesalahan, Pak,” jawab Fidel lebih dulu. “Sepertinya teman saya ini salah mengambil tempat duduk.”Pria itu menoleh pada Laura dan mengarahkan salah satu tangannya ke depan, “Maaf, jika Nona berkenan, apakah Anda bersedia menu