Arumi menemukan sebuah diary di gudang milik mertuanya. Awalnya, ia mengira jika itu adalah milik Hana, adik bungsunya. Namun siapa sangka, ketika ia membuka dan membacanya, ada sebuah puisi yang sepertinya ditulis oleh Haris, suaminya. Senyum yang ia sunggingkan sejak awal membaca, tiba-tiba hilang saat matanya menangkap sebuah nama di bagian paling bawah. Memang benar Arumi, namun nama panjang dari nama itu, bukanlah miliknya. Ada apa ini? Apakah Haris salah tulis namanya?
View MoreDiary Usang Milik Suamiku
"Bu, ini buku sekolahnya Mas Haris, ya?" tanyaku saat membuka lemari bufet di rumah mertua."Iya, itu buku kuliahnya Haris. Kemarin dipinjam Lina. Tolong taruh lagi di gudang belakang, Rum."Aku mengangguk, lalu berjalan menuju gudang yang letaknya ada di samping dapur, tempat Ibu tengah memasak kini. Di gudang ini, memang banyak buku-buku bekas sekolahnya Mas Haris, Lina, dan juga Syahana, adik-adik Mas Haris.Saat hendak berbalik, aku melihat sebuah buku catatan kecil yang terselip di antara buku-buku tulis milik Hana, adik bungsu suamiku.Apakah ini milik Hana? Ah, rasanya aku tak sopan jika membukanya, kan?"Ngapain, Rum?" Tiba-tiba, suara Mas Haris mengagetkanku. Pasalnya ia tadi tengah mengantar bapak ke pasar untuk membeli paku. Rencananya, kami akan menempati rumah sebelah, yang sempat menjadi tempat penyimpanan padi.Mertuaku juragan tanah dan juga pemilik sawah terluas di sini. Jika sudah musim panen, maka makin banyak beras dan juga hasil kebun lain yang akan disimpan di gudang itu.Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya gudang itu dipindahkan ke dekat rumah Neneknya Mas Haris, karena lokasinya lebih dekat dengan sawah."Rum?""Eh? Iya, Mas. Ini lagi ngembaliin buku kamu yang dipinjam oleh Lina."Mas Haris mengangguk, kemudian mengajakku untuk pulang. Saat ini, kami masih mengontrak di sebelah rumah Bunda, karena belum memiliki modal untuk membangun rumah sendiri."Ayo, makan dulu sebelum pulang."Kami pun makan bersama. Hana memintaku untuk tetap tinggal karena minta diajari untuk make-up esok. Ia baru lulus SMA, sedang masa-masanya senang mengekspresikan diri."Nanti, Mbakmu akan ke sini lagi, Han. Kamu tahu sendiri, besok Mas harus pergi dinas luar kota.""Ah, iya. Lagian Mas dinas terus setiap dua minggu sekali. Bisa-bisanya aku lupa."Aku tersenyum melihat ke-akraban dua beradik ini. Aku jadi teringat Nadia, adikku yang kini tengah menuntut pendidikan di luar kota melalui program beasiswa. Selesai makan, kami pun pamit pulang. Bapak mengeluarkan beberapa karung beras dan juga singkong."Duh, Bu, repot-repot amat.""Nggak papa. Buat Bunda kamu."Aku pun mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam mobil."Lain kali jangan ke gudang," ucapan Mas Haris membuatku menoleh, saat mobil sudah berjalan. Kenapa ia berkata demikian?"Maksudku, kamu kan alergi debu. Kalau nanti bersin berkepanjangan gimana? Kan kamu sendiri yang repot," jelasnya sambil menggenggam tanganku."Oh, iya, Mas. Tadi cuma bantuin Ibu aja, kok."Mas Haris tersenyum, tapi entah kenapa, senyum itu malah seakan memberi isyarat bahwa ada yang tengah ia sembunyikan?Saat sampai rumah, aku lebih dulu ke rumah Bunda, memberikan pemberian Ibu untuk keluargaku."Walah, habis panen, Ris?" tanya Bunda saat Mas Haris masuk membawa tiga karung beras."Iya, Bunda. Alhamdulillah.""Alhamdulillah. Bilang terima kasih sama ibumu, ya! Bunda nggak enak terus-terusan dikasih beginian terus," ucap Bunda malu-malu."Nggak papa, Bun. Kata Ibu, daripada beli beras di warung. Ayo pulang, Dek.""Bentar, Mas, aku kebelet."Aku pun masuk ke kamar mandi, saat hendak duduk, sebuah buku kecil terjatuh dari saku jaketku. Ah iya, tadi karena terkejut mendengar suara Mas Haris, aku pun tanpa sadar malah meletakkan buku itu di dalam saku.Namun, apa isinya? Meski tahu ini tak sopan, tapi aku tetap saja penasaran. Bukunya sudah agak usang, mungkin karena terlalu lama disimpan di dalam gudang.Sebuah tulisan seperti milik Mas Haris langsung terbaca begitu kubuka buku itu. Sebuah puisi, dengan namaku di belakangnya.Kapan Mas Haris menulis ini semua? Apa saat kami kuliah? Mengingat kami memang satu kampus, meski tak mengenal satu sama lain. Lalu, kami dipertemukan kembali saat sama-sama bekerja di sebuah perusahaan.Senyumku mengembang saat membaca untaian demi untaian kata yang ditulis oleh Mas Haris. Aku tak tahu, kalau dia secinta ini padaku.Namun, senyumku memudar saat membaca nama di akhir paragraf.Arumi Putri Nadir, sementara namaku adalah Arumi Putri Nur Handayani.Tunggu, kenapa Mas Haris salah menulis namaku? Atau, jangan-jangan ada salah satu mantannya yang memiliki nama sama persis denganku?--"Rum, kamu sakit?" Suara Bunda mengejutkanku, hingga membuat diary itu terjatuh."Sakit perut, Bun. Tadi makan sambal di rumah Ibu.""Dibilangin, jangan sering makan sambil. Mbokya tahan kamu itu loh, Rum."Aku pun segera bangkit setelah berpura-pura menekan tombol siram, lalu keluar setelah memastikan diary itu aman di saku jaketku.Tapi tunggu! Bagaimana jika Mas Haris menemukannya seandainya kusimpan di rumah nanti? Ah, tidak. Aku harus menyimpannya di tempat yang aman.Aku pun keluar, lalu tersenyum saat Bunda menatap khawatir padaku."Aku nggak papa kok, Bun. Arum ke kamar dulu, ya?""Iya."Setelah memastikannya aman di balik kasur, aku pun keluar. Ternyata Mas Haris tengah mengobrol dengan Ayah yang baru pulang dari toko. Keluarga kami memiliki toko bangunan yang cukup terkenal."Kata Bunda, kamu sakit?" tanya Mas Haris."Sakit, Nduk?""Nggak, kok, Yah, Mas. Cuma sakit perut biasa aja. Ya sudah, pulang yuk, Mas."Kami pun segera pulang ke sebelah, lalu mengganti baju dengan piyama tidur. Mas Haris menatapku seraya tersenyum. Aku jadi ragu, senyummu itu untukku atau untuk Arum yang lain, Mas?Aku pun duduk di sampingnya. Seperti biasa, Mas Haris memelukku dalam tidurnya. Dulu, aku merasa nyaman. Namun sekarang, kenapa rasanya begitu berbeda?"Arumi, kamu benar nggak papa?""Aku, Mas?""Ya kamu, lagian siapa lagi?" tanyanya seraya menjawil hidungku."Hehe, iya juga. Arumi kan nama istrimu ya, Mas. Itu artinya cuma aku. Nggak mungkin kamu punya nama mantan yang sama kaya aku kan, ya?"Wajah Mas Haris terlihat terkejut, lalu menarik tangan yang menjadi bantalan kepalaku. Aku cukup terkejut melihat perubahannya. Ternyata benar, nama Arumi begitu spesial untuknya."Jangan mengada-ada, Dek. Kamu membuatku tersinggung.""Oh, iya, Mas. Maaf."Mas Haris berdehem, kemudian keluar kamar. Ingin meminum kopi, katanya. Aneh, bukankah tadi ia yang mengajakku untuk tidur?Kutatap langit-langit kamar. Kenapa, rasanya aneh? Arumi Putri Nadir. Kenapa, Mas Haris menulis nama itu di akhir paragraf untaian kata yang ia tulis?--Esok hari.Mas Haris nampaknya sudah tak marah lagi. Terbukti pagi ini ia bersikap seperti biasa."Kamu kalau mau tidur di rumah Ibu, telepon Lina atau Hana biar dijemput, ya?""Aku kan bisa pakai mobil atau motor buat ke sana, Mas.""No! No! Arumi istri Mas, harus tak boleh lecet sedikitpun.""Ya kalau sudah takdirnya kecelakaan mah kecelakaan saja, Mas.""Eh, nggak boleh. Nanti kalau ada apa-apa, kan Mas bisa menyalahkan yang lain," ucapnya seperti biasa.Sebenarnya, ucapan seperti ini sering ia ucapkan. Dulu, setiap mendengar ini, hatiku terasa berbunga. Tapi kali ini, semua terasa biasa saja. Ada yang berbeda, ada yang berubah."Dek?""Iya, Mas?""Kamu aneh loh, dari kemarin. Ada apa?""Nggak ada apa-apa, kok. Udah mau berangkat?"Mas Haris mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya untukku cium. Aku pun melakukannya dan mengantarnya sampai ke depan pintu."Ini kartu kredit Mas, kalau mau apa-apa, pakai itu aja, ya? Kali ini dinasnya Mas agak lama. Mungkin sekitar semingguan karena pembukaan cabang baru di luar kota."Aku mengangguk, kemudian melambaikan tangan saat lelaki itu pergi meninggalkan halaman rumah dengan taksi onlinenya.Kuhirup udara pagi dengan rakus. Sepertinya aku terlalu banyak bernegatif thinking. Segera kugelengkan kepala, Mas Haris tak mungkin begitu. Ia mungkin salah menulis saja karena dulu kami tak begitu dekat.Aku segera melakukan pekerjaan rumah, lalu merebahkan diri di sofa depan televisi. Tunggu, jika diingat-ingat, Mas Haris bahkan sampai dua kali salah mengucapkan namaku pas ijab qabul. Ah, iya! Aku baru ingat. Ia pun menyebutkan nama orang lain.Arumi Putri Nadir binti Nadirun.Ah, aku benci pikiranku sekarang. Haruskah kuselidiki semua?“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments