Share

Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku
Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku
Penulis: Jingga Rinjani

Bab 1

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-30 15:28:59

Diary Usang Milik Suamiku

"Bu, ini buku sekolahnya Mas Haris, ya?" tanyaku saat membuka lemari bufet di rumah mertua.

"Iya, itu buku kuliahnya Haris. Kemarin dipinjam Lina. Tolong taruh lagi di gudang belakang, Rum."

Aku mengangguk, lalu berjalan menuju gudang yang letaknya ada di samping dapur, tempat Ibu tengah memasak kini. Di gudang ini, memang banyak buku-buku bekas sekolahnya Mas Haris, Lina, dan juga Syahana, adik-adik Mas Haris.

Saat hendak berbalik, aku melihat sebuah buku catatan kecil yang terselip di antara buku-buku tulis milik Hana, adik bungsu suamiku.

Apakah ini milik Hana? Ah, rasanya aku tak sopan jika membukanya, kan?

"Ngapain, Rum?" Tiba-tiba, suara Mas Haris mengagetkanku. Pasalnya ia tadi tengah mengantar bapak ke pasar untuk membeli paku. Rencananya, kami akan menempati rumah sebelah, yang sempat menjadi tempat penyimpanan padi.

Mertuaku juragan tanah dan juga pemilik sawah terluas di sini. Jika sudah musim panen, maka makin banyak beras dan juga hasil kebun lain yang akan disimpan di gudang itu.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya gudang itu dipindahkan ke dekat rumah Neneknya Mas Haris, karena lokasinya lebih dekat dengan sawah.

"Rum?"

"Eh? Iya, Mas. Ini lagi ngembaliin buku kamu yang dipinjam oleh Lina."

Mas Haris mengangguk, kemudian mengajakku untuk pulang. Saat ini, kami masih mengontrak di sebelah rumah Bunda, karena belum memiliki modal untuk membangun rumah sendiri.

"Ayo, makan dulu sebelum pulang."

Kami pun makan bersama. Hana memintaku untuk tetap tinggal karena minta diajari untuk make-up esok. Ia baru lulus SMA, sedang masa-masanya senang mengekspresikan diri.

"Nanti, Mbakmu akan ke sini lagi, Han. Kamu tahu sendiri, besok Mas harus pergi dinas luar kota."

"Ah, iya. Lagian Mas dinas terus setiap dua minggu sekali. Bisa-bisanya aku lupa."

Aku tersenyum melihat ke-akraban dua beradik ini. Aku jadi teringat Nadia, adikku yang kini tengah menuntut pendidikan di luar kota melalui program beasiswa. Selesai makan, kami pun pamit pulang. Bapak mengeluarkan beberapa karung beras dan juga singkong.

"Duh, Bu, repot-repot amat."

"Nggak papa. Buat Bunda kamu."

Aku pun mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam mobil.

"Lain kali jangan ke gudang," ucapan Mas Haris membuatku menoleh, saat mobil sudah berjalan. Kenapa ia berkata demikian?

"Maksudku, kamu kan alergi debu. Kalau nanti bersin berkepanjangan gimana? Kan kamu sendiri yang repot," jelasnya sambil menggenggam tanganku.

"Oh, iya, Mas. Tadi cuma bantuin Ibu aja, kok."

Mas Haris tersenyum, tapi entah kenapa, senyum itu malah seakan memberi isyarat bahwa ada yang tengah ia sembunyikan?

Saat sampai rumah, aku lebih dulu ke rumah Bunda, memberikan pemberian Ibu untuk keluargaku.

"Walah, habis panen, Ris?" tanya Bunda saat Mas Haris masuk membawa tiga karung beras.

"Iya, Bunda. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah. Bilang terima kasih sama ibumu, ya! Bunda nggak enak terus-terusan dikasih beginian terus," ucap Bunda malu-malu.

"Nggak papa, Bun. Kata Ibu, daripada beli beras di warung. Ayo pulang, Dek."

"Bentar, Mas, aku kebelet."

Aku pun masuk ke kamar mandi, saat hendak duduk, sebuah buku kecil terjatuh dari saku jaketku. Ah iya, tadi karena terkejut mendengar suara Mas Haris, aku pun tanpa sadar malah meletakkan buku itu di dalam saku.

Namun, apa isinya? Meski tahu ini tak sopan, tapi aku tetap saja penasaran. Bukunya sudah agak usang, mungkin karena terlalu lama disimpan di dalam gudang.

Sebuah tulisan seperti milik Mas Haris langsung terbaca begitu kubuka buku itu. Sebuah puisi, dengan namaku di belakangnya.

Kapan Mas Haris menulis ini semua? Apa saat kami kuliah? Mengingat kami memang satu kampus, meski tak mengenal satu sama lain. Lalu, kami dipertemukan kembali saat sama-sama bekerja di sebuah perusahaan.

Senyumku mengembang saat membaca untaian demi untaian kata yang ditulis oleh Mas Haris. Aku tak tahu, kalau dia secinta ini padaku.

Namun, senyumku memudar saat membaca nama di akhir paragraf.

Arumi Putri Nadir, sementara namaku adalah Arumi Putri Nur Handayani.

Tunggu, kenapa Mas Haris salah menulis namaku? Atau, jangan-jangan ada salah satu mantannya yang memiliki nama sama persis denganku?

--

"Rum, kamu sakit?" Suara Bunda mengejutkanku, hingga membuat diary itu terjatuh.

"Sakit perut, Bun. Tadi makan sambal di rumah Ibu."

"Dibilangin, jangan sering makan sambil. Mbokya tahan kamu itu loh, Rum."

Aku pun segera bangkit setelah berpura-pura menekan tombol siram, lalu keluar setelah memastikan diary itu aman di saku jaketku.

Tapi tunggu! Bagaimana jika Mas Haris menemukannya seandainya kusimpan di rumah nanti? Ah, tidak. Aku harus menyimpannya di tempat yang aman.

Aku pun keluar, lalu tersenyum saat Bunda menatap khawatir padaku.

"Aku nggak papa kok, Bun. Arum ke kamar dulu, ya?"

"Iya."

Setelah memastikannya aman di balik kasur, aku pun keluar. Ternyata Mas Haris tengah mengobrol dengan Ayah yang baru pulang dari toko. Keluarga kami memiliki toko bangunan yang cukup terkenal.

"Kata Bunda, kamu sakit?" tanya Mas Haris.

"Sakit, Nduk?"

"Nggak, kok, Yah, Mas. Cuma sakit perut biasa aja. Ya sudah, pulang yuk, Mas."

Kami pun segera pulang ke sebelah, lalu mengganti baju dengan piyama tidur. Mas Haris menatapku seraya tersenyum. Aku jadi ragu, senyummu itu untukku atau untuk Arum yang lain, Mas?

Aku pun duduk di sampingnya. Seperti biasa, Mas Haris memelukku dalam tidurnya. Dulu, aku merasa nyaman. Namun sekarang, kenapa rasanya begitu berbeda?

"Arumi, kamu benar nggak papa?"

"Aku, Mas?"

"Ya kamu, lagian siapa lagi?" tanyanya seraya menjawil hidungku.

"Hehe, iya juga. Arumi kan nama istrimu ya, Mas. Itu artinya cuma aku. Nggak mungkin kamu punya nama mantan yang sama kaya aku kan, ya?"

Wajah Mas Haris terlihat terkejut, lalu menarik tangan yang menjadi bantalan kepalaku. Aku cukup terkejut melihat perubahannya. Ternyata benar, nama Arumi begitu spesial untuknya.

"Jangan mengada-ada, Dek. Kamu membuatku tersinggung."

"Oh, iya, Mas. Maaf."

Mas Haris berdehem, kemudian keluar kamar. Ingin meminum kopi, katanya. Aneh, bukankah tadi ia yang mengajakku untuk tidur?

Kutatap langit-langit kamar. Kenapa, rasanya aneh? Arumi Putri Nadir. Kenapa, Mas Haris menulis nama itu di akhir paragraf untaian kata yang ia tulis?

--

Esok hari.

Mas Haris nampaknya sudah tak marah lagi. Terbukti pagi ini ia bersikap seperti biasa.

"Kamu kalau mau tidur di rumah Ibu, telepon Lina atau Hana biar dijemput, ya?"

"Aku kan bisa pakai mobil atau motor buat ke sana, Mas."

"No! No! Arumi istri Mas, harus tak boleh lecet sedikitpun."

"Ya kalau sudah takdirnya kecelakaan mah kecelakaan saja, Mas."

"Eh, nggak boleh. Nanti kalau ada apa-apa, kan Mas bisa menyalahkan yang lain," ucapnya seperti biasa.

Sebenarnya, ucapan seperti ini sering ia ucapkan. Dulu, setiap mendengar ini, hatiku terasa berbunga. Tapi kali ini, semua terasa biasa saja. Ada yang berbeda, ada yang berubah.

"Dek?"

"Iya, Mas?"

"Kamu aneh loh, dari kemarin. Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Udah mau berangkat?"

Mas Haris mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya untukku cium. Aku pun melakukannya dan mengantarnya sampai ke depan pintu.

"Ini kartu kredit Mas, kalau mau apa-apa, pakai itu aja, ya? Kali ini dinasnya Mas agak lama. Mungkin sekitar semingguan karena pembukaan cabang baru di luar kota."

Aku mengangguk, kemudian melambaikan tangan saat lelaki itu pergi meninggalkan halaman rumah dengan taksi onlinenya.

Kuhirup udara pagi dengan rakus. Sepertinya aku terlalu banyak bernegatif thinking. Segera kugelengkan kepala, Mas Haris tak mungkin begitu. Ia mungkin salah menulis saja karena dulu kami tak begitu dekat.

Aku segera melakukan pekerjaan rumah, lalu merebahkan diri di sofa depan televisi. Tunggu, jika diingat-ingat, Mas Haris bahkan sampai dua kali salah mengucapkan namaku pas ijab qabul. Ah, iya! Aku baru ingat. Ia pun menyebutkan nama orang lain.

Arumi Putri Nadir binti Nadirun.

Ah, aku benci pikiranku sekarang. Haruskah kuselidiki semua?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Srilestari
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 2

    Kulangkahkan kaki menuju rumah Bunda, lalu masuk ke dalam kamarku setelah mengambil ayam goreng yang tengah dimasak oleh Bunda. Kuangkat kasur dan mengambil diary usang itu. Sebelum membukanya lagi, kulafalkan bismillah dan berdo'a semoga tak ada hal lain yang membuatku sakit hati. Kubuka lembar berikutnya. Tertulis tahun 2015 saat Mas Haris masih berstatus mahasiswa di universitas indonesia, bersamaku meski beda jurusan. Di sana, tertulis Mas Haris begitu mengagumi wanita yang rambut hitamnya selalu tergerai. Aku terkesiap. Rambut hitamnya tergerai? Sementara aku sendiri, selalu mengenakan hijab setelah lulus SD dulu. Makin membaca, makin kurasakan keanehan di dalamnya. Nama tempat liburan, cafe, taman, bahkan tempat makan pinggir jalan yang sering kami kunjungi, tertulis di sana. G*la! Mas Haris, apa-apaan kamu? Bahkan di tahun segitu kami belum pernah bertemu, karena kami bertemu di akhir tahun dua ribu dua puluh. "Rum?" "Ya, Bun?" "Kamu sudah sarapan?" "Sudah." Aku pun

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-30
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 3

    "Mas?" "Eh, ya?" "Kamu lagi di mana sebenarnya? Jujur aja." "A-aku lagi di toilet, Rum. Kebelet. Sudah dulu, ya. Mau selesai, nih." Baru hendak buka suara, Mas Haris malah mematikan telepon. Gimana nggak makin dibikin curiga? Kamu kenapa sih, Mas? "Mbak? Kok dikunci?" Terdengar suara Hana dari luar. "Sebentar." Aku berjalan untuk membuka pintu, lalu gadis itu memelukku erat. "Akhirnya, Mbak nginep, kan?" "Iya, Hana. Kok kamu sudah pulang? Padahal belum dzuhur." "Iya, cuma extra pelajaran aja."Aki ber-oh ria. Gadis itu langsung ganti baju, sementara aku masih menatap layar. Mas Haris tak mengirimkan pesan apapun lagi. "Kenapa, Mbak? Kangen sama Mas Haris?" Aku tersenyum, lalu mengangguk. Tunggu! Bisakah aku mengorek informasi dari Hana? Apakah gadis itu mengenalnya? Jika diingat, ini kejadian lima tahun lalu, berarti dia masih kecil, dong, ya? Mengingat saat ini dia baru kelas 1 SMA."Han, kamu pernah kenal dengan yang namanya Arumi juga?" tanyaku. "Arumi?" "Iya." "Kena

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-30
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 4

    Pagi hari. Aku bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Ini kali pertama aku menginap di sini, dan bisa tidur ketika jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Semalaman, aku menjelajahi berbagai media sosial dengan menggunakan nama Arumi Putri Nadir, hingga akhirnya aku menemukan sebuah akun yang di dalamnya ada komentar dari akun bernama AP x HM. Entah kenapa, aku berpikir bahwa itu adalah Arumi Putri x Harum Maulana. Ada yang bergetar saat membacanya. Meski belum pasti, tapi aku yakin jika akun itu adalah milik Mas Haris. Saat menelusuri akun AP x HM itu, sudut mataku berdenyut karena membaca untaian demi untaian syair nan indah. Mirip dengan tulisan-tulisan di buku diary Mas Haris. Hatiku pedih, saat setiap membaca caption di berbagai postingan itu. Karena selalu ada tulisan, 'Dariku untukmu, AP.' Aku keluar kamar, namun masih sepi. Ke mana mereka? Masa iya, gak pada salat subuh? Aku pun berjalan menuju dapur, namun kakiku terhenti di kamar Lina. Sayup-sayup aku mend

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-30
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 5

    "Apa? Koma?" "Iya." "Kok Ibu tahu?" "Saya dulu kerja di rumah itu saat si Nenek masih menempati."Jadi, tentang rumor itu, sudah tak asing lagi di lingkungan ini? Bahkan mungkin semua orang di sini tahu tentang cerita orang di rumah bercat hijau itu. "Kalau boleh tahu, memang komanya sudah lama, Bu?" tanyaku lagi. Sepertinya, si Ibu tipe-tipe orang yang suka bergosip, makanya gampang sekali dikorek informasinya. Tak sia-sia aku datang ke sini. "Lumayan. Mungkin tiga tahun yang lalu? Kabarnya cucunya itu, Pak Haris, sudah menikah di kecamatan sana. Tempat tinggal kedua orang tuanya. Yah, Ibu sih ngebayangin jadi istrinya aja. Pasti sakit banget kalau tahu kenyataan itu. Suaminya malah mengurus mantan tunangannya yang koma di sini setiap sebulan selama seminggu." Tiga tahun? Itu artinya, ketika Mas Haris mengambil sebuah foto bersama perempuan muda itu. Tiba-tiba saja, hatiku merasa sakit. Ah, beginikah rasanya tahu jika bukanlah kita yang di hati suami melainkan orang lain? Jadi

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 6

    "Ya, dia lagi sama mantan tunangannya. Mana koma, ya mana sempet inget sama gue. Sepertinya, Mas Haris memang punya dendam sama gue. Tapi apa?""Masa iya, dia nikahin lu karena dendam? Sejahat itu dia?" Aku terdiam. Iya juga. Lagi pula, berkali-kali aku memikirkannya, aku tak merasa pernah bertemu dengannya sebelum dia bekerja di tempat yang sama denganku dulu. "Udah lu inget-inget?" Aku menggeleng. Sampai kepala pening pun, aku tak menemukan jawabannya. Apa ada alasan lain? "Sudah lah, kamu istirahat saja. Nanti sore, kita ke cafe yang semalam aku kunjungi. Siapa tahu Haris ada di sana." Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar Kalisa. Sementara dia membersihkan meja. Padahal aku telah menawarkan bantuan, tapi dia malah menolaknya. Kupandangi wallpaper ponselku, Mas Haris tersenyum lebar di sana. Tak menunjukkan ada dendam atau kebencian yang ia tunjukkan padaku. Benarkah kalau aku hanya terlalu perasa?Ting! Sebuah pesan masuk, dari Mas Haris. [Rum, maaf semalam Mas lup

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 7

    "Lu yakin dengan jelas kalau itu adalah Arumi bini lu?" "Iya. Dia sama mantan pacarnya dulu. Si Arumi sih kayaknya tidur. Makanya ga tahu." "Masa iya, tidur sampe ga tahu kalau mantannya nabrak orang? Kalau gak salah, yang nyupir juga banting setir sampai nabrak pohon besar, kan?"Aku terkejut bukan main. Mantanku menabrak orang saat bersamaku? Maksudnya, Kinos? Memang benar tiga tahun lalu aku mengalami kecelakaan bersama Kinos, tapi setahuku, kami tak pernah menabrak orang. Atau, apakah Bunda merahasiakan semuanya? "Sayangnya, keluarga Rumi malah menerima kompensasi dari keluarga mantannya yang s*alan itu!""Yah, karena Rumi hanya anak angkat di keluarga itu. Sama aja mereka membuangnya, kan?" Terdengar helaan napas berat Mas Haris. Segitu cintanya kah ia pada Arumi alias Rumi? Jadi, dia mendekati lalu menikahiku hanya karena aku tengah bersama dengan Kinos waktu itu? Memang benar, waktu itu kami sedang berada di sebuah pesta, aku membantu kakaknya Kinos yang merupakan wedding

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 8

    Aku menggeleng. Lalu membisikkan rencana yang sudah ada di kepalaku pada Kalisa. "Lu yakin?" "Sangat yakin." "Ya sudah, besok gue antar. Gue pantau dari kejauhan." Aku mengangguk, lalu ingat jika belum salat isya. Kami pun salat bersama. Dalam do'a aku meminta diketukkan hati Mas Haris agar tak membalas dendamnya lagi padaku. Tapi, jika mengingat Arumi yang lain, untuk apa aku berdo'a seperti ini? Andai aku jadi Rumi, sudah pasti tunanganku akan melakukan hal yang sama, kan?--Pagi hari.Aku tengah menonton televisi sambil menikmati pisang goreng yang dibuat oleh asisten rumah tangga Kalisa. Enak, sejenak aku melupakan kejadian kemarin. "Lu perginya siang, kan?" "Iya. Kayaknya kalau siang Mas Haris nggak ada. Makanya gue mau ke sana." "Yakin, gak ada?" "Iya. Orang sendalnya aja gak keliatan di depan. Kata Ibu warung nasi juga, Mas Haris datangnya pagi sama sore. Siangnya entah ke mana?""Lu nggak curiga?" "Curiga lah, pasti. Tapi, gue mau selesaiin satu-satu dulu." "Lu haru

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 9

    "A-arumi?" Aku tersenyum miring di hadapannya. Tak kusangka, jika wajah yang sok mencintaiku ini, ternyata telah menusukku dari belakang. "Kamu, ngapain di sini?" "Mas sendiri ngapain di sini?" tanyaku. "Oh, a-aku lagi jenguk saudara, Rum." "Oh, yang sakit di dalam itu, saudaramu?" tanyaku. Mas Haris mengangguk. Kupikir, jika ketahuan begini ia akan marah atau apa? Mengingat kemarin dia mengatakan benci dan dendam padaku ke temannya sewaktu di cafe. Tapi lihat lah sekarang. Dia bahkan tak mau menatapku. Keringat sebiji jagung keluar dari dahi dan pipinya. Dan sikapnya, kenapa gugup sekali? Ayo lah, Mas! Keluarkan kebencian yang kamu beritahu kemarin. "Kok aku nggak tahu kalau ada saudaramu di sini?" tanyaku, mencoba melihat kejujuran dalam matanya. Namun, nihil. Karena ia malah mencurigaiku. "Kamu, kenapa bisa sampai di sini? Kamu, membuntutiku?" "Aku dari rumah teman kemarin. Di sekitar sini juga. Terus nggak sengaja lihat kamu ke sini. Istri mana yang tak curiga?" tanyaku

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26

Bab terbaru

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 99

    “Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 98

    “Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 97

    NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 96

    [Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 95

    “Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 94

    "Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 93

    "Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 92

    "Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 91

    Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm

DMCA.com Protection Status