Share

Bab 4

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-30 15:34:36

Pagi hari.

Aku bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Ini kali pertama aku menginap di sini, dan bisa tidur ketika jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari.

Semalaman, aku menjelajahi berbagai media sosial dengan menggunakan nama Arumi Putri Nadir, hingga akhirnya aku menemukan sebuah akun yang di dalamnya ada komentar dari akun bernama AP x HM. Entah kenapa, aku berpikir bahwa itu adalah Arumi Putri x Harum Maulana. Ada yang bergetar saat membacanya. Meski belum pasti, tapi aku yakin jika akun itu adalah milik Mas Haris.

Saat menelusuri akun AP x HM itu, sudut mataku berdenyut karena membaca untaian demi untaian syair nan indah. Mirip dengan tulisan-tulisan di buku diary Mas Haris. Hatiku pedih, saat setiap membaca caption di berbagai postingan itu. Karena selalu ada tulisan, 'Dariku untukmu, AP.'

Aku keluar kamar, namun masih sepi. Ke mana mereka? Masa iya, gak pada salat subuh? Aku pun berjalan menuju dapur, namun kakiku terhenti di kamar Lina. Sayup-sayup aku mendengar dia memanggil nama Mas Haris. Apa mereka sedang teleponan? Sepagi ini?

Tiba-tiba ingatanku melayang ke kejadian semalam. Apa Lina tengah meminta kakaknya untuk memindahkan 'dia?'

"Iya, Mas. Pokoknya sesegera mungkin."

"...."

"Iya, nanti Mas ngomong aja sama Ibu lah."

Baru hendak berbalik, aku terkejut karena melihat Hana sudah di belakangku.

"Ngapain, Mbak?" tanya Hana sambil nyengir.

"Tadinya mau bangunin Lina, tapi kayaknya sudah bangun. Kamu sudah salat?"

"Ini, baru mau."

"Ya sudah, bareng aja, yuk."

Aku msngurut dada setelah memastikan Hana tak mencurigaiku. Alhamdulillah.

Selesai salat, ternyata Ibu sudah keluar kamar dan membuka kulkas. Mungkin hendak masak untuk sarapan.

"Biar Arumi bantu, Bu," ucapku menawarkan diri.

"Nggak usah. Oh iya, soal alamat rumah nenek-"

"Nggak usah, Bu. Lagian Bunda juga mau pergi sama Ayah katanya. Semalam ngabarin. "

"Oh, gitu, ya?" Ada perasaan lega yang tergambar di wajah Ibu.

"Iya. Ya sudah, kamu sebaiknya mandi aja. Nanti habis mandi tolong belanja ke warung, ya?"

Aku mengangguk, lalu segera mandi. Ternyata, Ibu sudah menyiapkan air hangat untukku. Perhatian beliau padaku memang tak main-main, tapi kenapa di hatiku masih saja ada rasa yang janggal?

Selesai mandi, aku segera ke warung untuk membeli bumbu dapur. Tadinya Ibu hendak memberi uang, tapi aku langsung pergi begitu saja. Bukan tak sopan, tapi memang Ibu selalu memaksa jika aku tak kabur duluan.

"Bu, beli cabe merah seperempat, bawang merah sama bawang putih juga."

Ibu sayur mengangguk, kemudian mengambilkan pesananku. Warung sayur ini cukup ramai. Letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Hanya melewati beberapa rumah saja.

"Sst!"

Aku terlonjak karena terkejut saat sebuah tangan menjawil tanganku.

"Gina?"

"Hehe maaf, Rum."

"Lain kali jangan gitu, ah!"

"Warga baru ya, Gin?" tanya Ibu warung.

"Istrinya Haris kok, Bu."

"Oalah. Istrinya Haris, toh? Siapa tuh namanya? A ... Arem ..."

"Arumi, Bu. Bukan Arem. Emang arem-arem," lanjut Gina yang membuat beberapa orang terkekeh, termasuk aku.

"Jadi ini yang namanya Arumi? Walah, cantik ya? Mertuamu sepertinya sayang banget sama kamu. Dulu tiap hari ceritain kamu. Apalagi pas kamu yang nolongin Hana pas kecelakaan..."

"Hana kecelakaan?" tanyaku.

"Lah iya. Kamu masa lupa, Rum? Pas itu, Ibunya Haris ngebanggain kamu terus. Kalau nggak ada kamu, mungkin Hana akan tak tertolong karena tertabrak motor di jalan sepi."

Aku termenung. Sepertinya, bukan Arumi aku ini, deh.

"Kapan itu, Gin?" tanyaku.

Senyum di wajah Gina memudar, berganti dengan kerutan di dahinya.

"Tujuh tahun yang lalu. Pas Hana masih SD. Kamu benar-benar lupa?"

Aku menggeleng. Bukan lupa, tapi aku memang tak pernah mengalaminya. Astaghfirullah! Kenapa makin banyak hal aneh, sih?

Siang hari.

Aku memutuskan ke rumah Gina setelah pekerjaan rumah selesai. Meski Ibu menolak, tapi aku harus tetap membantunya.

"Assalamu'alaikum, Gina."

"Wa'alaikum salam. Walah, mantunya Bu Cokro. Ayo masuk!"

Aku mengangguk sambil tersenyum pada ibunya Gina, lalu duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Gina keluar dengan handuk yang melilit rambutnya.

"Baru mandi?" tanyaku setengah tak percaya.

Gina nyengir saja, kemudian duduk dan menanyakan maksud kedatanganku.

"Alamat rumahnya Nenek Haris? Yang di Bogor?"

"Iya, kamu tahu?"

"Kamu, memangnya ngapain nanyain neneknya Haris?"

"Ya emang kenapa?" tanyaku, sedikit tersinggung. Apa salahnya menanyakan alamat rumah neneknya Mas Haris? Toh itu juga nenekku.

"Neneknya Haris, sudah pindah ke Bandung dua tahun lalu. Ikut anak bungsunya. Adik almarhum ayahnya Haris."

Aku terkesima untuk sesaat. Kebohongan yang bertubi-tubi kamu berikan padaku, Mas?

-

"Iya kah?"

"Apa si Tante nggak pernah kasih tahu?" tanya Gina.

Aku menggeleng. Ingin menceritakan semuanya, namun aku tak cukup percaya pada Gina. Terlebih kami baru kenal kemarin sore. Bagaimana jika ia malah mengadu pada Ibu?

"Kamu kenapa sih, Rum? Kok kayaknya aneh, gitu? Apalagi pas tadi pagi kamu di warung. Dan lagi, aku kok curiga kalau Arumi ini dua orang yang berbeda, ya?"

Aku menoleh padanya. Kenapa? Kenapa ia bisa berpikiran seperti itu?

"Hehehe, pasti kamu anggap aku gila, kan? Maaf, deh."

"Nggak juga," jawabku cepat.

"Maksudmu?"

"Sebenarnya..."

"Arumi!"

Aku dan Gina sama-sama terkejut mendengar teriakan Ibu yang memanggil namaku di depan rumag Gina. Aku terperangah saat melihat raut wajah Ibu yang merah dan napasnya yang ngos-ngosan.

"Ibu, kenapa?"

"Kamu, Ibu cariin ke mana-mana, tahunya di sini?"

"Emang kenapa, Bu? Kan Arumi cuma main saja. Apalagi Gina ini teman kecilnya Mas Haris."

"Sudah, lebih baik kamu pulang saja."

"Ibu, ngusir Arumi?" tanyaku setengah tak percaya. Namun setelahnya Ibu seolah sadar.

"Bukan, Sayang. Maksudnya, pulang ke rumah Ibu. Kemarin bukannya mau ngajarin Hana make up?"

"Tapi kan Hana belum pulang, Bu."

"Siapin aja, dulu."

Ibu menarik tanganku hingga hampir saja tubuh ini menabrak tubuh gemuknya.

Sampai di rumah, Ibu melepaskan tangannya lalu meminta maaf karena telah melakukan hal tadi. Tak ada yang bisa kulakukam selain mengangguk, kan? Aku masuk kamar, lalu mengemasi pakaian.

"Bu, Arumi pamit pulang," ucapku sambil menemui beliau yang sedang duduk di meja makan, melamun.

"Loh, kok pulang, Nduk? Kan baru semalam menginap. Apa nggak betah?"

"Bukan gitu, Bu, tapi barusan Bunda telepon kalau ada saudara berkunjung."

"Iyakah? Besok kamu menginap lagi, kan? Haris juga masih lama dinasnya," ucap Ibu sambil menggenggam tanganku.

Dinas apanya? Bahkan mereka sekongkol untuk mengelabuiku. Aku pun mengangguk, dan keluar rumah setelah mendengar suara klakson dari ojek online yang aku pesan.

"Arumi pamit, ya, Bu," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Loh, mau ke mana, Rum?" tanya Bapak Mertua, beliau baru pulang dari sawah.

"Pulang dulu, Pak. Ada saudara di rumah."

"Oh, kebetulan Bapak habis panen singkong. Bawa untuk orang tuamu, ya?"

"Nggak usah, Pak."

"Sudah, bawa saja," ucap Ibu lembut seraya mengangguk.

Kadang aku merasa aneh dengan sikap beliau. Kadang tulus seolah benar-benar menyayangiku, namun terkadang seperti orang yang membenciku.

Sampai di rumah, aku langsung ke rumah Bunda karena sekalian minta tolong abang ojeknya untuk mengangkat singkong dari mertuaku itu.

"Apa ini, Rum?" tanya Bunda.

"Singkong, Bapak habis panen, Bun."

"Walah, kemarin beras. Sekarang singkong. Mertuamu kok repot-repot."

Aku hanya nyengir saja, kemudian pulang ke rumah untuk berganti pakaian. Tak boleh diulur-ulur lagi, harus hari ini aku mendatangi rumah itu. Bisa jadi, kalau nanti-nanti Malah Mas Haris telah memindahkan 'dia'.

Setelah siap, aku beralasan pada Bunda akan menginap di rumah Kalisa. Teman sekaligus sepupuku dari Bunda yang kini sudah memiliki rumah sendiri di kota. Semalam aku sudah mengatur rencana dengannya dan akan menginap selama dua hari di sana.

"Pokoknya, kalau dari keluarga Mas Haris ke sini, bilang aja Arum lagi keluar. Jangan bilang menginap di Bogor. Oke, Bun?"

"Tapi itu namanya berbohong, Rum. Lagi pula, ada apa, sih?"

"Nanti Arum jelaskan, Bu."

Setelah mendapat ojek online, segera kami berangkat ke Bogor. Setelah menempuh perjalanan satu jam , akhirnya kami sampai juga di alamat yang dipasang oleh akun itu.

B*d*h!

Kenapa ia memasang alamat di postingannya? Apa ia terlalu yakin tak akan tertangkap olehku?

Kebetulan, di seberang rumah itu ada warung nasi. Aku duduk di sana dan memesan nasi dengan lauk ayam goreng karena memang belum makan siang.

"Lagi cari rumah ya, Neng?" tanya Ibu warung nasi.

Kebetulan siang ini sepi. Mungkin karena sudah habis jam makan siang.

"Iya, Bu. Tapi kayaknya rumah itu bagus. Sepi juga, apa kosong, Bu?" Aku berpura-pura tanya.

"Oh, rumah itu ada yang isi, Neng. Dulu neneknya, tapi sekarang cucunya."

"Oh, ya? Kirain gak ada yang isi, Bu. Apa karena masih lajang cucunya, makanya sepi, ya?"

"Oh, nggak. Rumah itu diisi sama tunangannya si cucu itu. Kalau nggak salah namanya Arumi."

Hampir saja aku tersedak saat mendengar nama itu disebut. Apa? Arumi?

"Maksudnya, Arumi itu nama cucunya, Bu?"

"Bukan, nama tunangannya. Tapi..."

"Tapi kenapa, Bu?"

Si Ibu lalu menceritakannya. Aku kaget setengah mati saat tahu kenyataannya.

Bab terkait

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 5

    "Apa? Koma?" "Iya." "Kok Ibu tahu?" "Saya dulu kerja di rumah itu saat si Nenek masih menempati."Jadi, tentang rumor itu, sudah tak asing lagi di lingkungan ini? Bahkan mungkin semua orang di sini tahu tentang cerita orang di rumah bercat hijau itu. "Kalau boleh tahu, memang komanya sudah lama, Bu?" tanyaku lagi. Sepertinya, si Ibu tipe-tipe orang yang suka bergosip, makanya gampang sekali dikorek informasinya. Tak sia-sia aku datang ke sini. "Lumayan. Mungkin tiga tahun yang lalu? Kabarnya cucunya itu, Pak Haris, sudah menikah di kecamatan sana. Tempat tinggal kedua orang tuanya. Yah, Ibu sih ngebayangin jadi istrinya aja. Pasti sakit banget kalau tahu kenyataan itu. Suaminya malah mengurus mantan tunangannya yang koma di sini setiap sebulan selama seminggu." Tiga tahun? Itu artinya, ketika Mas Haris mengambil sebuah foto bersama perempuan muda itu. Tiba-tiba saja, hatiku merasa sakit. Ah, beginikah rasanya tahu jika bukanlah kita yang di hati suami melainkan orang lain? Jadi

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 6

    "Ya, dia lagi sama mantan tunangannya. Mana koma, ya mana sempet inget sama gue. Sepertinya, Mas Haris memang punya dendam sama gue. Tapi apa?""Masa iya, dia nikahin lu karena dendam? Sejahat itu dia?" Aku terdiam. Iya juga. Lagi pula, berkali-kali aku memikirkannya, aku tak merasa pernah bertemu dengannya sebelum dia bekerja di tempat yang sama denganku dulu. "Udah lu inget-inget?" Aku menggeleng. Sampai kepala pening pun, aku tak menemukan jawabannya. Apa ada alasan lain? "Sudah lah, kamu istirahat saja. Nanti sore, kita ke cafe yang semalam aku kunjungi. Siapa tahu Haris ada di sana." Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar Kalisa. Sementara dia membersihkan meja. Padahal aku telah menawarkan bantuan, tapi dia malah menolaknya. Kupandangi wallpaper ponselku, Mas Haris tersenyum lebar di sana. Tak menunjukkan ada dendam atau kebencian yang ia tunjukkan padaku. Benarkah kalau aku hanya terlalu perasa?Ting! Sebuah pesan masuk, dari Mas Haris. [Rum, maaf semalam Mas lup

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 7

    "Lu yakin dengan jelas kalau itu adalah Arumi bini lu?" "Iya. Dia sama mantan pacarnya dulu. Si Arumi sih kayaknya tidur. Makanya ga tahu." "Masa iya, tidur sampe ga tahu kalau mantannya nabrak orang? Kalau gak salah, yang nyupir juga banting setir sampai nabrak pohon besar, kan?"Aku terkejut bukan main. Mantanku menabrak orang saat bersamaku? Maksudnya, Kinos? Memang benar tiga tahun lalu aku mengalami kecelakaan bersama Kinos, tapi setahuku, kami tak pernah menabrak orang. Atau, apakah Bunda merahasiakan semuanya? "Sayangnya, keluarga Rumi malah menerima kompensasi dari keluarga mantannya yang s*alan itu!""Yah, karena Rumi hanya anak angkat di keluarga itu. Sama aja mereka membuangnya, kan?" Terdengar helaan napas berat Mas Haris. Segitu cintanya kah ia pada Arumi alias Rumi? Jadi, dia mendekati lalu menikahiku hanya karena aku tengah bersama dengan Kinos waktu itu? Memang benar, waktu itu kami sedang berada di sebuah pesta, aku membantu kakaknya Kinos yang merupakan wedding

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 8

    Aku menggeleng. Lalu membisikkan rencana yang sudah ada di kepalaku pada Kalisa. "Lu yakin?" "Sangat yakin." "Ya sudah, besok gue antar. Gue pantau dari kejauhan." Aku mengangguk, lalu ingat jika belum salat isya. Kami pun salat bersama. Dalam do'a aku meminta diketukkan hati Mas Haris agar tak membalas dendamnya lagi padaku. Tapi, jika mengingat Arumi yang lain, untuk apa aku berdo'a seperti ini? Andai aku jadi Rumi, sudah pasti tunanganku akan melakukan hal yang sama, kan?--Pagi hari.Aku tengah menonton televisi sambil menikmati pisang goreng yang dibuat oleh asisten rumah tangga Kalisa. Enak, sejenak aku melupakan kejadian kemarin. "Lu perginya siang, kan?" "Iya. Kayaknya kalau siang Mas Haris nggak ada. Makanya gue mau ke sana." "Yakin, gak ada?" "Iya. Orang sendalnya aja gak keliatan di depan. Kata Ibu warung nasi juga, Mas Haris datangnya pagi sama sore. Siangnya entah ke mana?""Lu nggak curiga?" "Curiga lah, pasti. Tapi, gue mau selesaiin satu-satu dulu." "Lu haru

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 9

    "A-arumi?" Aku tersenyum miring di hadapannya. Tak kusangka, jika wajah yang sok mencintaiku ini, ternyata telah menusukku dari belakang. "Kamu, ngapain di sini?" "Mas sendiri ngapain di sini?" tanyaku. "Oh, a-aku lagi jenguk saudara, Rum." "Oh, yang sakit di dalam itu, saudaramu?" tanyaku. Mas Haris mengangguk. Kupikir, jika ketahuan begini ia akan marah atau apa? Mengingat kemarin dia mengatakan benci dan dendam padaku ke temannya sewaktu di cafe. Tapi lihat lah sekarang. Dia bahkan tak mau menatapku. Keringat sebiji jagung keluar dari dahi dan pipinya. Dan sikapnya, kenapa gugup sekali? Ayo lah, Mas! Keluarkan kebencian yang kamu beritahu kemarin. "Kok aku nggak tahu kalau ada saudaramu di sini?" tanyaku, mencoba melihat kejujuran dalam matanya. Namun, nihil. Karena ia malah mencurigaiku. "Kamu, kenapa bisa sampai di sini? Kamu, membuntutiku?" "Aku dari rumah teman kemarin. Di sekitar sini juga. Terus nggak sengaja lihat kamu ke sini. Istri mana yang tak curiga?" tanyaku

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 10

    "E-enggak, kok. Aku mengatakan jujur semuanya." "Iya, kah?" Mas Haris mengangguk. Lalu menatap Arumi yang tengah terbaring dengan mata tertutup itu. Sejujurnya, aku tak boleh membencinya meski aku kesal karena Mas Haris ternyata menjadikanku media balas dendam saja. Karena bagaimana pun, Arumi juga korban kecelakaan di mana aku ada di dalam mobil itu. Namun, aku bukan tak ingin tanggung jawab. Bukan kah semua itu kesalahan keluarga Kinos? S*aln emang dia, sudah nabrak malah seenaknya pergi tanpa kabar dan memberi sejumlah uang pada yang bukan keluarga kandung Rumi. Dia malah menempatkan aku di posisi ini. Benar-benar lelaki menyebalkan. Andai saja dia tak kabur, pasti aku tak harus berada di sini! "Kenapa dia koma begini, Mas?" tanyaku. "Dulu, dia ditabrak oleh orang. Laki-laki yang nyetir, di sebelahnya ada pacarnya. Pas malam tahun baru, aku rencana mau jemput dia, mau kuajak ke rumah Ibu untuk liburan. Tapi, aku malah mendapati kecelakaan itu di depan mataku sendiri." Aku bis

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 11

    "A-arumi." Untuk sesaat aku tertawa. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Aku malah berharap Mas Haris bisa memarahiku agar aku bisa melampiaskan amarah ini. Tapi apa ini? Ia malah tak berkutik hingga membuatku bingung. "Aku nggak bermaksud-""Sudah, aku mau pulang. Kamu kalau mau di sini, silakan. Seperti katamu, dia butuh kamu, Mas. Sementara aku istrimu, hanya lah orang lain yang ingin kamu balaskan dendamnya. Aku, tak berhak kamu lindungi. Tak berhak kamu cintai, dan tak berhak kamu ngertiin perasaannya. Aku..." Mas Haris memelukku. Seketika air mataku mengalir deras. Allahu Rabbi ... Kenapa aku terjebak di pernikahan yang menyesakkan ini? "Lepas, Mas. Nggak usah akting lagi. Aku sudah tahu semuanya," ucapku sambil melepaskan pelukannya dan pergi keluar.Tak kuhiraukan panggilan Mas Haris. Aku terus berjalan menuju mobil Kalisa dan meminta wanita itu masuk ke mobil. Setelahnya kusuruh ia melajukan mobil menuju rumahnya. "Lu yakin mau pulang ke rumah gue dulu? Nggak mau ke cafe

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26
  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 12

    "Bilang saja, bakal lu jelaskan besok ketika pulang. Ntar gue anter." "Serius?" "Iya, lah. Ga tega gue lihat lu lagi kaya gini malah pulang duluan." "Ya kan pakai ojek online." "Tetep aja, lah!""Ya udah." Aku pun mengetik sesuai saran yang dibilang oleh Kalisa tadi, lalu membuka media sosial. Banyak sekali teman-teman dunia maya yang memposting foto bersama pasangannya. Jika diingat-ingat, aku memang jarang sekali mengambil foto bersama Mas Haris. Mungkin ia malas, karena bagaimana pun, dalam hati dan pikirannya, aku adalah orang yang telah menyebabkan tunangannya koma. --Pagi hari. Aku sudah bersiap untuk pulang. Semalaman telepon dan pesan beruntun datang dari Mas Haris. Kuabaikan, hingga akhirnya tak tahan mendengar deringnya lalu kumatikan ponsel. Saat kubuka, hampir seratus pesan yang masuk. Tujuh puluh pesan darinya. Hanya spam memanggil namaku. "Kenapa? Haris ngehubungi?" "Iya, semalam. Kok bawa koper?" "Gue udah ngehubungin laki. Mau nginep di rumah nyokap." "Wah,

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-26

Bab terbaru

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 99

    “Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 98

    “Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 97

    NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 96

    [Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 95

    “Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 94

    "Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 93

    "Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   BAB 92

    "Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan

  • Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku   Bab 91

    Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm

DMCA.com Protection Status