kira-kira... siapakah donatur mereka? apakah teori Jake dan Laura benar? apakah keinginan mereka untuk memiliki anak kembar akan berhasil?? mari simak terus, update setiap hari pukul 12.30 WIB hanya di Goodnovel 🦩 sampai jumpa besok kawan-kawan
Rasanya habis kata Tania dibuat oleh ibunya. Yang tersisa hari itu hanyalah tangis hingga Farida pergi meninggalkannya. Di dalam tahanan, setelah Tania dibawa kembali ke sana, matanya berkabut air mata saat ia memandangi besi berjajar yang mengekangnya. Percakapannya dengan Farida membekas dan menyakiti hatinya. ‘Dia tidak pernah datang dan memberikan bantuan sejak kamu masuk tahanan.’ Terus saja terulang, puluhan, hingga ratusan kali, terngiang di indera pendengarnya, memukul dadanya, membuatnya sesak. Bibirnya terbungkam tanpa kata, tetapi sepasang netranya yang basah itu mengatakan lebih banyak sekecewa apa sekarang ia. “Kamu bohong ….” katanya lirih, meremas jemarinya yang gemetar dan kesemutan. “Ternyata kamu bukan malaikat seperti yang terlihat.” Tania menunduk, tangisnya tak terbendung. Air mata kian deras menghujani wajah dan bermuara di pipinya. Ia merasa sangat bersalah pada Amara, adiknya yang nyawanya telah terenggut. Dan bahkan ... jauh sebelum itu ia pernah membua
“Mama memang memiliki dosa yang besar pada ayahnya Jake, pada Jake juga, padamu, pada keluarga Heizt yang menjadikan Mama sebagai seorang Nyonya terhormat,” kata Alina, suaranya bertambah parau sebab ia berbicara dengan menahan air mata. “Mama sangat takut dosa itu diketahui oleh kalian, jadi Mama memilih untuk merahasiakannya. Tapi—“ Alina menjedanya, menggosok matanya yang perih dan menggigit bibirnya, menahan rasa malu. “Tapi justru hal itu diketahui oleh Fidel yang memanfaatkannya sebagai celah agar dia mendapatkan apa yang dia mau.” “Mama ….” panggil Laura lembut, menggapai tangan Alina lewat celah sempit yang berada di hadapan mereka. “Mama sangat menyesal, Laura. Maafkan Mama ….” Laura mendapati Alina yang lain, sosok ibu mertuanya yang sangat berbeda dengan pribadinya yang dulu kerap menyerang Laura secara verbal dengan hinaan fisik atau ketidakmampuannya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri karena dianggap mandul. Ia termangu sejenak, menemukan sebuah garis terang
Beberapa waktu berjalan, Laura sudah mendapati butik yang selesai dari masa perbaikan. Kali ini bangunannya lebih bagus.Akhirnya, setelah bekerja sementara di gedung milik Jake, ia dan para staf yang lainnya kembali ke tempat asal.Malam hari ini, butik miliknya cukup ramai. Ada acara kecil yang ia buat untuk meresmikan tempat baru di sebelah timur bangunan utama.Tidak banyak yang hadir di sana. Hanya beberapa teman dekat Laura, dan staf yang ia perbolehkan untuk mengajak serta keluarganya.Salah satunya yang hadir di sana adalah Elsa. Laura melihat kedatangannya bersama Zafran.Meski sempat tercenung dengan kedatangan mereka yang bersamaan, Laura tetap menyambut dengan senyum yang ceria. Mempersilahkan keduanya untuk masuk.Selagi Zafran bergabung dengan para pria yang lain, Elsa berdiri berhadapan dengan Laura. Temannya itu membawa buket bunga yang cukup besar yang ia berikan pada Laura sembari mengatakan, “Terima kasih sudah mengundangku, Lau,” ucapnya.“Mana mungkin aku tidak me
Karena terlanjur menanyakan hal aneh yang tak selaras dengan apa yang ada di dalam angan-angannya, dan tidak mungkin memutar waktu untuk memperbaikinya, maka Jake memperjelasnya—dengan sedikit alasan.“M-maksudku, a-pakah kamu sudah makan di dalam barusan? Kenapa buru-buru keluar?” tanyanya.Zafran menunduk, memijit ruang sempit di antara kedua alis lebatnya, Jake tahu ia sedang menahan tawa atas situasi aneh yang mereka buat ini.“Sudah,” jawab Zafran akhirnya, kemudian mengangkat wajahnya, memandang Jake yang mengangguk beberapa kali sebagai sebuah tanggapan. “Selamat untuk butik Laura yang berkembang, Jake,” lanjutnya setelah beberapa detik berlalu.“Kenapa kamu memberi selamat padaku?” tanggap Jake. “Ini acara Laura, kamu bisa mengucapkan selamat padanya secara langsung.”Salah satu alis Zafran terangkat, sedikit terkejut menjumpai responnya yang berbeda dengan saat mereka terakhir kali bertemu di hotel malam hari itu.“Ah, baiklah,” kata Zafran, tak ingin ambil pusing.“Bagaimana
Mendapatkan jalan untuk melancarkan aksinya … Fidel menyusun strategi. Seperti yang ia pikirkan sebelumnya, bahwa ia akan membuat Jake dikhianati oleh istri dan tangan kanannya, ia tak ingin mengulur waktu. Johan—ayahnya Fidel—telah kembali mendesaknya untuk mengenyahkan diri dari Jakarta dalam waktu dekat. Alasan yang ia utarakan adalah, ‘Aku tidak ingin melihatmu melakukan hal tidak berguna dan membuang uangku, Fidella Magali!’ hardiknya tadi pagi. Hal itu bukan tanpa sebab, hardikan itu terjadi karena semalam ayahnya memergokinya pulang dalam keadaan mabuk dan sempoyongan berjalan memasuki rumah hingga tumbang di dekat tangga. Johan pasti berpikir tak ada gunanya memarahi orang mabuk sehingga menunggu hingga pagi hari, saat Fidel mendapatkan kembali kesadarannya, lalu kalimat pengusirannya kembali ia perdengarkan. ‘Belajarlah bertanggung jawab dengan apa yang kamu minta, Fidella!’ ucapan ayahnya saat mereka tadi duduk di ruang makan. ‘Kamu meminta pada Papa toko pakaian di
“Ah ….”Suara dua orang yang tengah memadu cinta terdengar menggema lirih di dalam kamar milik Jake dan Laura. Fajar menyingsing, matahari pun mulai meninggi tetapi tampaknya itu tak membuat mereka segera beranjak dari atas tempat tidur.Dikarenakan semalam tidak saling menyentuh sebab keduanya tertidur pulas setelah pulang menemui partner Jake yang datang dari luar negeri, maka pagi ini pun jadi!Kala pergumulan panjang berlalu, kini menyisakan dua manusia yang masih mengatur napas.Laura menatap langit-langit kamar, nyawanya belum sepenuhnya kembali. Sentuhan lembut bibir Jake pada bagian-bagiannya yang sensitif masih terasa hingga beberapa menit berselang.“Kamu pergi ke butik hari ini?” tanya Jake, yang berbaring di sisi kirinya. Ujung jari telunjuknya menyentuh pipi Laura yang kemudian menoleh dan memberinya jawaban dengan sebuah anggukan, “Iya, Jake.”“Aku sangat malas untuk pergi ke kantor. Tidak bisakah aku libur sehari saja?”“Baru juga weekend,” tanggap Laura, membalas tata
“Yang hampir menabrakku di depan butik?” ulang Laura memperjelas. “Iya, Bu Laura,” jawab gadis itu yakin. “Sedan hitam yang hari itu melindas tangan Pak Jake lalu kabur begitu saja, hari di mana Anda pingsan dan berakhir koma,” lanjutnya dengan keterangan yang cukup jelas seolah hari itu juga meninggalkan trauma baginya. “Saya masih ada di depan kafe dan melihat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya,” katanya. “Hanya tampak dari samping, tapi saya ingat-ingat wajahnya. Lalu di malam peresmian bangunan baru kita itu, saat saya melihatnya mengawasi butik ... saya berpikir mereka adalah orang yang sama.” Dada Laura berdebar, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan hinggap tatkala kesaksian Hani membuatnya merasakan gelombang kejut hingga ia lupa caranya menjawab. “Tapi ini hanya pendapat saya, Bu Laura,” ucap Hani, menghela dalam napasnya. Sepasang netranya mengisyaratkan agar Laura tidak mempercayainya begitu saja. Karena .... “Karena ini hanya dugaan,” katanya, seolah tah
Jake melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang pria yang ia kenal betul sebagai orang yang ia percayai, Farren. Pemuda itu berada di atas ranjang, bersama dengan— “Jake?!” panggil sebuah suara, seorang wanita yang terdengar manis di telinganya. Itu adalah suara Laura. Tetapi datangnya suara itu tidak dari dalam, melainkan dari lantai bawah. Jake urung masuk ke dalam kamar Farren dan lebih dulu mengintip dari atas, Laura sedang berada di bawah, tampak kebingungan menengok ke kanan serta ke kiri, mencari keberadaannya. Tak ada satu orang pun di rumah ini selain seorang security di depan dan pelayan rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga siang saja—setidaknya begitu yang pernah didengar Jake dari Farren. “Di atas, Sayang,” jawab Jake yang membuat Laura—yang tampak mungil dari atas sini—menengadahkan kepalanya. Mata mereka bertemu, Jake melambaikan tangannya sehingga Laura menaiki tangga untuk menyusulnya. “Kenapa kamu tidak menungguku di bawah?” tegur Laura, sedi