apakah Farren akan benar-benar setuju untuk masuk dalam kubu Fidella Magali? atau ini hanya sebuah siasat? mari simak setiap hari update pukul 12.00-12.30 WIB yaa✨🦩 dan done 3 bab ya hari ini 🤗 terima kasih semuanya.
“Ah ….”Suara dua orang yang tengah memadu cinta terdengar menggema lirih di dalam kamar milik Jake dan Laura. Fajar menyingsing, matahari pun mulai meninggi tetapi tampaknya itu tak membuat mereka segera beranjak dari atas tempat tidur.Dikarenakan semalam tidak saling menyentuh sebab keduanya tertidur pulas setelah pulang menemui partner Jake yang datang dari luar negeri, maka pagi ini pun jadi!Kala pergumulan panjang berlalu, kini menyisakan dua manusia yang masih mengatur napas.Laura menatap langit-langit kamar, nyawanya belum sepenuhnya kembali. Sentuhan lembut bibir Jake pada bagian-bagiannya yang sensitif masih terasa hingga beberapa menit berselang.“Kamu pergi ke butik hari ini?” tanya Jake, yang berbaring di sisi kirinya. Ujung jari telunjuknya menyentuh pipi Laura yang kemudian menoleh dan memberinya jawaban dengan sebuah anggukan, “Iya, Jake.”“Aku sangat malas untuk pergi ke kantor. Tidak bisakah aku libur sehari saja?”“Baru juga weekend,” tanggap Laura, membalas tata
“Yang hampir menabrakku di depan butik?” ulang Laura memperjelas. “Iya, Bu Laura,” jawab gadis itu yakin. “Sedan hitam yang hari itu melindas tangan Pak Jake lalu kabur begitu saja, hari di mana Anda pingsan dan berakhir koma,” lanjutnya dengan keterangan yang cukup jelas seolah hari itu juga meninggalkan trauma baginya. “Saya masih ada di depan kafe dan melihat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya,” katanya. “Hanya tampak dari samping, tapi saya ingat-ingat wajahnya. Lalu di malam peresmian bangunan baru kita itu, saat saya melihatnya mengawasi butik ... saya berpikir mereka adalah orang yang sama.” Dada Laura berdebar, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan hinggap tatkala kesaksian Hani membuatnya merasakan gelombang kejut hingga ia lupa caranya menjawab. “Tapi ini hanya pendapat saya, Bu Laura,” ucap Hani, menghela dalam napasnya. Sepasang netranya mengisyaratkan agar Laura tidak mempercayainya begitu saja. Karena .... “Karena ini hanya dugaan,” katanya, seolah tah
Jake melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang pria yang ia kenal betul sebagai orang yang ia percayai, Farren. Pemuda itu berada di atas ranjang, bersama dengan— “Jake?!” panggil sebuah suara, seorang wanita yang terdengar manis di telinganya. Itu adalah suara Laura. Tetapi datangnya suara itu tidak dari dalam, melainkan dari lantai bawah. Jake urung masuk ke dalam kamar Farren dan lebih dulu mengintip dari atas, Laura sedang berada di bawah, tampak kebingungan menengok ke kanan serta ke kiri, mencari keberadaannya. Tak ada satu orang pun di rumah ini selain seorang security di depan dan pelayan rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga siang saja—setidaknya begitu yang pernah didengar Jake dari Farren. “Di atas, Sayang,” jawab Jake yang membuat Laura—yang tampak mungil dari atas sini—menengadahkan kepalanya. Mata mereka bertemu, Jake melambaikan tangannya sehingga Laura menaiki tangga untuk menyusulnya. “Kenapa kamu tidak menungguku di bawah?” tegur Laura, sedi
“Ah—” Laura terkejut saat merasakan pelukan dari belakangnya sewaktu ia berdiri mengamati isi lemari pendingin milik Farren. Dua lengan kekar itu melingkari pinggangnya sehingga membuat Laura dengan gegas menoleh ke belakang, “Jake?!” sebutnya sembari memberi pukulan pada punggung tangan si pemiliknya. “Apa, Sayang?” tanya Jake tanpa rasa berdosa. “Jangan macam-macam, kita sedang ada di dalam rumah orang.” Mengingatkan seandainya Jake akan melakukan sesuatu yang sedikit 'berbahaya' dan tak baik untuk kesehatan jantungnya di sini. “Aku melihatmu bicara sendiri dari tadi, kenapa?” tanya Jake, kali ini sembari melonggarkan tangannya sehingga Laura memiliki kesempatan untuk memutar tubuhnya dan membuat mereka berhadapan. “Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria yang tinggal sendirian,” jawab Laura. “Apa maksudnya itu, Sayang?” Jake sedikit menundukkan wajahnya, ada sekerat kebingungan yang tampak pada kedua sudut matanya. Laura tak begitu saja menjawab
Meski membeku selama beberapa detik berlalu, akhirnya Jake membalas pelukannya. Bahu kecil Laura—meski tak sekurus sebelumnya—masihlah menjadi bahu ringkih yang ia sukai, yang ingin terus ia lindungi dengan kedua tangannya seperti ini.Yang Laura lakukan itu seolah sedang mengatakan bahwa kini ia mempercayai Jake, setelah kesalahpahaman yang panjang dan melelahkan.Jake mengusap rambut Laura yang sudah lebih dari sebahu sebelum istrinya itu menarik kepalanya dan menengadahkan wajahnya.“Lakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jake, mengusap lembut pipi Laura dengan ibu jarinya yang besar. “Kamu boleh melakukannya asalkan itu membuatmu bahagia, Laura.”“T-termasuk peragaan busana?” tanya Laura, memperjelasnya.“Tentu saja,” Jake mengangguk menanggapinya. “Asalkan dengan satu syarat.”“Apa?”“EO yang meng-handle harus EO yang bagus dan bertanggung jawab, bukan EO yang kamu pakai terakhir kali itu,” tegas Jake, ada penekanan dalam setiap katanya seolah ia tidak ingin Laura mengalami kejadia
'Kepastian yang dikatakan oleh Farren itu adalah kepastian bahwa dia menolak bekerja sama denganku?' batinnya tak karuan. Harusnya Fidel melihat senyum Farren yang menunjukkan seringai tipisnya di luar tadi. Tetapi karena ditutupi oleh kesenangan bahwa pemuda itu pasti akan melakukan yang ia mau sesuai kesepakatan … Fidel malah mengabaikannya. Ia sudah berpikir bahwa Farren akan mengirim satu amplop besar berisi foto, atau diska lepas yang berisikan file video, atau apapun itu yang bisa membuat Jake dan Laura berpisah. Sehingga Fidel memiliki kesempatan yang luas dan terbuka lebar untuk membuat Jake menjadi miliknya. Tapi alih-alih sebuah amplop seperti yang ia pikirkan, yang ia lihat dengan sepasang matanya adalah tas tenteng berwarna hitam yang berisikan uang yang satu minggu lalu ia serahkan pada Farren. ‘Sial! Dia mengembalikannya!’ umpat Fidel dalam hati—sekali lagi. Ia menggigit bibirnya yang terasa membeku. Kakinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak, tak
Fidel membisu dihadapkan pada kemarahan ayahnya. Teriakannya barusan seperti memangkas habis rasa percaya dirinya.Hening yang ia berikan justru memantik Johan semakin berang.“Jawab aku, Fidella!” hardiknya sekali lagi.“I-itu—“ Fidel tak berani memandang Johan. Matanya terpejam tak berdaya sebelum ia menghela dalam napasnya dan sedikit mengangkat wajah, bersirobok dengan Johan yang kedua sisi rahangnya dalam keadaan tegang.“A-ku h-hanya ingin … mengambil a-apa yang harusnya menjadi milikku, Pa,” jawab Fidel akhirnya. “Dan Jake adalah milikku.”“Kamu sangat bebal!” tunjuk Johan dengan jarinya yang berada di depan pucuk hidung Fidel. “Kamu membuang waktu untuk seseorang yang bahkan tidak pernah melihatmu sama sekali.”“Tapi aku dan Jake—““Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan hal konyol lagi, Fidel,” potongnya dengan cepat. Tak ingin mendengar celotehan anak perempuannya yang ia tahu akan membela diri itu. “Yang kamu lakukan hanyalah menghabiskan uangku untuk hal yang dia-sia saj
Laura mulai memikirkan ulang tentang apa yang pernah ia sampaikan pada Jake—soal peragaan busana—dan jika memang benar ia akan mengadakannya suatu saat nanti, ia tak akan mengambil tempat yang sama seperti sebelumnya. Trauma akan tempat itu cukup membekas sehingga ia memikirkan untuk menyelenggarakannya di tempat yang lain. Atas saran Hani yang mengatakan agar mereka memakai gedung tempat Laura pernah diberikan undangan oleh Samantha Adam, sore hari ini pun mereka datang ke sana untuk melihatnya. “Saya rasa tempatnya memang sangat bagus, Bu Laura,” ujar Hani yang berdiri di sisi kanannya. “Apakah Anda juga berpikir kalau space-nya jauh lebih luas?” “Iya, kamu benar, Han.” Setelah mereka berdua berkeliling tempat itu sebentar, Laura memutuskan untuk mengajak Hani mampir ke sebuah tempat. Ia ingin membelikan stafnya minuman dingin. Anggap saja sebagai oleh-oleh karena sejak pagi bisa dikatakan ia dan Hani sudah pergi meninggalkan butik. “Kamu juga pesanlah,” ucap Laura pada Hani s
Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau