mau satu bab lagi?? tinggalkan jejak ya, terima kasih 😚
Teriakan Fidel menyiratkan sebuah ketersinggungan yang besar. Matanya nyalang menatap Laura yang terkesan tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, atau akan berubah menjadi apa ekspresinya. Ketenangan yang diberikan oleh Laura selalu saja berhasil membuat Fidel gusar. Kali ini pun sama. Sebuah pemandangan yang bisa disaksikan oleh Hani dari samping mobilnya. Ia tak habis pikir dengan bagaimana cara Laura membangun ketenangan itu padahal ia dihadapkan oleh kobaran api yang menyala meletup di hadapannya. “Kenapa kamu menjadi sangat arogan, Laura?” tanya Fidel, mendesis marah. “Kamu tidak lupa 'kan kalau dulu kita bersahabat dan kamu bukan siapa-siapa?!” serunya meluapkan kemelut dalam dadanya. Laura tersenyum sekali lagi, ia menurunkan paper cup holder yang tadi ia todongkan pada Fidel saat menjawab, “Kamu benar-benar masih berpikir kita hidup pada masu lalu, Fi?” tanyanya. “Harus sampai kapan? Apakah kamu tidak ingin melanjutkan hidupmu dan terus mengungkit hal-hal yang ada di belak
“Masuklah! Kenapa kamu hanya berdiri di sana?” tanya Johan, yang membuat Fidel terjaga saat itu juga.Pikirannya memerintahkan agar kakinya lari, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Fidel malah berdiri terpancang di sana hingga suara Johan kembali terdengar, “Duduklah, Fidella!”Fidel memandang ayahnya dan pria yang ia kenal sebagai Erick itu bergantian. Kakinya terasa gamang saat ia mendekat.Selangkah demi selangkah, dan duduk di samping ayahnya.“Kamu kedatangan tamu dari Paris,” kata Johan. “Dia sudah memperkenalkan dirinya dan mengatakan kalau mengenalmu cukup dekat sejak kamu pindah ke sana,” lanjutnya. Johan sedikit menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga sebelah kanan Fidel dan berbisik, “Papa lebih setuju kamu dengannya daripada harus terus mengejar-ngejar Jake,” katanya penuh penekanan. “Ada baiknya kamu memiliki hidupmu sendiri mulai hari ini,” lanjutnya.Johan lalu berdiri dan mengatakan pada pria itu—Erick—agar berbincang dengan Fidel.Langkah kaki Johan yang lamb
“Dia sudah tidak ada di dunia ini, Fidel,” ucap Erick. “Dia meninggal beberapa minggu setelah kamu pergi dari Paris. Hal yang berulang kali aku pertanyakan saat itu hanya satu, di mana hatimu?” “Maafkan aku, Erick …” kata Fidel, memohon. “Memaafkanmu yang meninggalkan anak kita? Dia baru berumur tujuh bulan saat kamu pergi, Fidella!” hardik Erick, suaranya menggema, menggelegar mengoyak membran timpani. “Jawab aku! Kamu malu melahirkannya, ‘kan?” “Aku—“ Fidel berhenti bicara saat jemari kekar Erick tiba-tiba melingkar di pangkal lehernya. “Dia membutuhkan kasih sayang seorang ibu, dia masih sangat kecil untuk tahu penderitaan sebesar itu saat kamu meninggalkannya.” Suaranya gemetar, seolah ia sudah terlalu lama memendam ini dan malam hari ini adalah puncak kesabarannya. “A-aku hanya … t-tidak s-siap memiliki anak,” jawab Fidel, gugup hingga terbata-bata. “Apalagi saat tahu setelah melahirkannya, ternyata dia mengalami down syndrome.” “Dia tidak meminta untuk dilahirkan di dunia
"Bagaimana bisa dia hamil?" tanya Jake, menyusul keterkejutan Laura setelah istrinya itu menyebut nama 'Hani.'Selama beberapa detik, pengunjung yang ada di kafe itu menoleh pada mereka, sebagai sebuah bentuk reaksi yang ikut terkejut dengan ketiganya yang sibuk sendirian di sudut ruangan.Dan mendengar tanya dari Jake membuat Farren jatuh kedua bahunya. "Apa maksud Anda bagaimana bisa Hani hamil? Tentu saja karena kami—""Kalau soal itu aku tahu," potong Jake. "Kamu tidak perlu menjelaskannya. Maksudku, sejak kapan kamu mengenalnya? Aku tidak pernah melihat kalian dekat satu sama lain. Dan beberapa kali bertemu pun kalian seperti bukan pasangan yang sedang jatuh cinta, apalagi kamu bilang kalau kalian dekat sejak sebelum mengantar kami ke Guangzhou," ralat Jake panjang, atas maksud pertanyaannya."Sejak ...." Farren menjedanya. Ingatannya seperti sedang kembali di lemparkan pada malam di mana ia dan Hani terperangkap dalam cinta yang panas selama semalam. Itu terjadi setelah Farren
“Manis,” bisik Jake, membelai telinga Laura dengan suaranya yang sedikit serak dan terdengar seksi. Tapi ini bukan soal rasa wine yang sebelumnya mereka bicarakan. Melainkan tentang bagaimana mereka menghabiskan sisa malam itu dengan cinta yang panas. Laura bisa mendengar ‘manis’ itu saat keduanya sama-sama mengatur napas. Matanya terasa berat menatap Jake yang senyumnya terus saja terkembang sedari tadi. “Kamu yang manis,” katanya sekali lagi. Menggapai rambut panjang Laura dan menyelipkannya ke belakang telinga. Jake meraih dagu Laura dan memberikan sebuah kecupan di bibirnya sebelum berakhir dengan membiarkannya meringkuk di dadanya. Saat sedekat ini, Laura bisa mendengar detak jantung Jake. Berirama seperti sebuah musik pengantar tidur. “Sayang,” panggil Jake yang membuat Laura menengadahkan wajahnya. “Iya?” “Soal yang aku bicarakan tadi, bagaimana jika kita berdua pergi ke rumah sakit?” tanyanya. “Untuk apa, Jake?” “Untuk melakukan pemeriksaan, barangkali memang akulah
Meski laura menolak periksa karena yakin bahwa Jake baik-baik saja, tetapi mereka tetap pergi ke rumah sakit keesokan paginya. Sejenak menunggu dalam harap-harap cemas, mereka mendapati hasil pemeriksaan yang dibacakan oleh dokter.“Pak Jake dan Bu Laura tidak mengalami gangguan kesehatan. Di sini hasil pemeriksaannya sangat bagus semua,” ucap seorang dokter spesialis ginekologi yang mereka datangi hari ini.“Jadi bagaimana agar cepat jadi, Dokter?” tanya Jake, secara gamblang yang membuat Laura tertunduk malu.Jawabannya tentu saja adalah menjaga kesehatan, menjalani pola hidup yang sehat. Lengkap dengan suplemen yang diresepkan untuk keduanya.Mereka pergi dari rumah sakit sebelum akhirnya berpisah karena memang memiliki tujuan yang berbeda. Jake pergi ke HZ Empire, dan Laura pergi ke butik. Tak lupa saling mengingatkan bahwa nanti ada janji untuk pergi ke rumah keluarganya Hani.Memasuki ruang kerjanya, Laura membaca pesan dari Hani yang mengatakan,[Bu Laura, maaf hari ini saya t
“Papa?!” panggil Hani dengan suaranya yang gemetar. Ada serak yang cukup kentara darinya, meminta sang ayah agar ia tidak memperlakukan tamu mereka seperti tahanan yang perlu diinterogasi seperti ini. Tetapi sepertinya ayahnya itu tidak mempedulikannya dan justru sekali lagi bicara pada Farren. “Aku ingin mendengar jawabanmu, Farren,” ucapnya. Farren yang disebut namanya pun kemudian mengangkat wajahnya. “Maaf,” katanya. “Maaf karena saya sudah melakukan kesalahan seperti itu. Saya ingin memperbaikinya mulai sekarang dan bertanggung jawab atas situasi ini,” lanjutnya. “Jadi … bisakah Anda memberi saya kesempatan?” “Bagaimana jika aku tidak mempercayaimu?” “Setiap orang memiliki kesalahan, Pak,” jawab Jake terlebih dahulu. “Dan setiap dari mereka yang memiliki kesalahan berhak mendapatkan kesempatan kedua. Saya menjaminnya, dia bisa Anda percaya.” “Benarkah?” tanya ayahnya Hani dengan nada bicaranya yang masih sangsi. “Benar,” Jake menganggukkan kepalanya. “Jauh sebelum hari i
Hari minggu ini, Laura sedikit berlari kecil saat menuruni tangga. Tiba di lantai bawah, beberapa pelayan yang kebetulan sedang berberes di ruang tamu menyambutnya.“Mau ke mana, Nona?” tanya Rani yang tadinya sibuk dengan figura foto berukuran besar, hasil foto postwedding yang belum lama ini datang. “Nona tampak sangat cerah dan cantik hari ini,” sambung suara pelayan yang lainnya.“Menyadari setiap pagi Nona bisa kami lihat membuat kami bersyukur,” ujar Rani kembali. “Rumah ini kembali memiliki nyawa.”“Terima kasih,” jawab Laura. Merasa malu karena mendapatkan banyak pujian. “Aku akan bawakan sesuatu untuk semua orang nanti saat pulang.”“Mau pergi ke suatu tempat?” tanya Rani yang membuat Laura mengangguk.“Mau melihat pameran, Bu Rani,” sahut Jake yang datang dari belakang Laura dengan jarinya yang masih sibuk merapikan jam di pergelangan tangan kirinya.Kehadirannya sejenak mengambil atensi semua yang ada di ruang tamu dan membuat mereka menyapanya terlebih dahulu.“Pameran?”