“Papa?!” panggil Hani dengan suaranya yang gemetar. Ada serak yang cukup kentara darinya, meminta sang ayah agar ia tidak memperlakukan tamu mereka seperti tahanan yang perlu diinterogasi seperti ini. Tetapi sepertinya ayahnya itu tidak mempedulikannya dan justru sekali lagi bicara pada Farren. “Aku ingin mendengar jawabanmu, Farren,” ucapnya. Farren yang disebut namanya pun kemudian mengangkat wajahnya. “Maaf,” katanya. “Maaf karena saya sudah melakukan kesalahan seperti itu. Saya ingin memperbaikinya mulai sekarang dan bertanggung jawab atas situasi ini,” lanjutnya. “Jadi … bisakah Anda memberi saya kesempatan?” “Bagaimana jika aku tidak mempercayaimu?” “Setiap orang memiliki kesalahan, Pak,” jawab Jake terlebih dahulu. “Dan setiap dari mereka yang memiliki kesalahan berhak mendapatkan kesempatan kedua. Saya menjaminnya, dia bisa Anda percaya.” “Benarkah?” tanya ayahnya Hani dengan nada bicaranya yang masih sangsi. “Benar,” Jake menganggukkan kepalanya. “Jauh sebelum hari i
Hari minggu ini, Laura sedikit berlari kecil saat menuruni tangga. Tiba di lantai bawah, beberapa pelayan yang kebetulan sedang berberes di ruang tamu menyambutnya.“Mau ke mana, Nona?” tanya Rani yang tadinya sibuk dengan figura foto berukuran besar, hasil foto postwedding yang belum lama ini datang. “Nona tampak sangat cerah dan cantik hari ini,” sambung suara pelayan yang lainnya.“Menyadari setiap pagi Nona bisa kami lihat membuat kami bersyukur,” ujar Rani kembali. “Rumah ini kembali memiliki nyawa.”“Terima kasih,” jawab Laura. Merasa malu karena mendapatkan banyak pujian. “Aku akan bawakan sesuatu untuk semua orang nanti saat pulang.”“Mau pergi ke suatu tempat?” tanya Rani yang membuat Laura mengangguk.“Mau melihat pameran, Bu Rani,” sahut Jake yang datang dari belakang Laura dengan jarinya yang masih sibuk merapikan jam di pergelangan tangan kirinya.Kehadirannya sejenak mengambil atensi semua yang ada di ruang tamu dan membuat mereka menyapanya terlebih dahulu.“Pameran?”
Lukisan itu tampak vulgar karena sosoknya dalam keadaan tak mengenakan pakaian—telanjang. Potret seorang wanita berambut panjang yang berbaring di atas ranjang dalam lukisan beraliran realisme itu adalah Fidel. Laura tak bisa menipu pandangannya sendiri. “Sayang,” panggil Jake saat Laura justru mendekat untuk membaca keterangan yang diletakkan di depan lukisan. Bahwa lukisan itu berjudul ‘Istri dan Anakku yang Sempurna’ jika diartikan dari bahasa Prancis. Dilukis oleh seorang dosen dan seniman yang berasal dari Paris bernama Erick Laurent. Laura dan Jake menoleh pada pengunjung yang berdiri tak jauh dari mereka yang mengatakan, “Bukankah lukisan itu sangat mirip dengan Nona yang ada di belakang kita?” tanyanya. Mereka seketika menoleh ke belakang. Menjumpai Fidel yang berdiri tak jauh dari mereka, bersama dengan pria berwajah asing yang tak dikenal oleh Laura tersebut. “Sepertinya yang sedang bersamanya itu adalah si pelukis yang bernama Erick itu?” sambung suara bisikan lainnya
Keputusannya untuk melarikan diri dari Erick sudah bulat.Rencananya … ia akan bergabung bersama dengan para wanita yang baru memasuki kamar mandi ini nanti sewaktu mereka keluar.‘Menjadi bagian dari kerumunan akan membuat Erick kesulitan dan tidak bisa memfokuskan perhatian, bukan?’ tanyanya dalam hati penuh harap.Fidel berdiri di sana, menyembunyikan wajahnya agar tak dikenali bahwa dirinyalah wanita yang ada di lukisan ‘Istri dan Anakku yang Sempurna’ yang dipajang membentang di ruang pameran.Ia menunggu waktu dengan sabar.Kemudian jalan terbuka lebar saat para wanita tersebut keluar dari kamar mandi.Dadanya berdetak semakin kencang tatkala ia berada di luar. Anehnya … ia tak menjumpai Erick berada di sana seperti yang dikatakan oleh pria itu sebelumnya.Pria itu telah raib.‘Bagus …’ ucap Fidel dalam hati. Mungkin saja seseorang yang ia kenal mengajaknya berbincang dan kembali ke ruang pameran. Setidaknya begitu yang mungkin terjadi.Fidel berusaha tenang, ia melangkah mening
Laura menepati janjinya untuk membelikan semua orang yang tinggal di rumah oleh-oleh sepulang dari pameran. Bukan hadiah yang besar. Hanya pakaian yang ia pilihkan tadi di mall setelah ia makan siang bersama dengan Jake. Dibantu oleh Han—sopirnya Jake—pakaian-pakaian itu didistribusikan kepada masing-masing penerima, sesuai nama yang ditulis Laura di setiap kemasannya. “Tapi aku belum tanya, Sayang,” ucap Jake saat mereka baru saja keluar dari mobil dan berjalan untuk memasuki rumah. “Apa, Jake?” “Dalam rangka apa kamu membelikan semua orang di rumah ini hadiah?” tanya Jake balik, mengguncang lirih tangan Laura yang sedang ia genggam. “Aku tidak memiliki niat apapun, Jake,” jawab Laura, sekilas memandang Jake dan melemparkan senyumnya yang manis. “Anggap saja itu sebagai sebuah perayaan kecil karena aku kembali ke rumah ini, atau mungkin … atas membaiknya hubungan kita?” Laura tak bisa menahan senyumnya, ada kebahagiaan yang sangat kentara saat ia menyebut kata ‘kita’ karena dul
Haru yang ditimbulkan oleh suara Laura turut merasuki Jake. Ia memeluk Laura dan berbisik di telinganya, “Semua ini berhasil karena kamu memiliki keinginan untuk sembuh, Sayang,” katanya. “Semua berawal darimu. Jika hari itu kamu menyerah … mungkin yang tersisa di sini hanyalah seorang Jake Ganzano Heizt yang kesepian dan lambat laun mati karena kerinduan.”Bibir Laura gemetar saat ia menarik kepalanya dari dada Jake yang bidang, tempat ia menenggelamkan wajahnya untuk beberapa detik lamanya.Ia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang, “Hidupku yang sengsara berubah menjadi ladang bunga,” ujarnya lirih. “Kamulah bunga itu, Eve Laura.”Tidak pernah … tidak pernah sama sekali Laura berpikir ia akan bertemu dengan hari ini.Seolah waktu yang dimiliknya telah berhenti pada hari di mana dokter memvonis umurnnya yang tak akan bertahan selain lebih dari tiga bulan.Ketakutan acapkali melandanya sebelum ia menjumpai Jake, wajahnya yang tersenyum manis, atau tatapan matanya yang hangat.Baru
Elsa masih berdiri di dekat mobilnya, menyembunyikan diri di sana. Mengurungkan niat untuk menampakkan diri atau bisa dilihat oleh Zafran dan ibunya. Ia mendengar Zafran yang bicara pada sang ibu, tapi dari tempatnya berada … percakapan itu tak terdengar begitu jelas. Tapi karena hal itu, Elsa justru bersyukur. Barangkali akan lebih baik tak mendengarnya. Ia tak ingin membuat hatinya ini terbebani dengan berbagai macam prasangka. Dan lebih memilih agar pertemanan mereka tetap berjalan seperti sebelumnya. ‘Apakah mereka sudah pergi?’ batinnya seraya mengintip, sedikit memajukan kepalanya sebelum menariknya kembali dan tetap bersembunyi untuk beberapa lama hingga ibunya Zafran pergi dari sana. Memastikan Zafran untuk lebih dulu masuk ke dalam restoran kemudian barulah ia menyusul. Di dalam sana, ia melihat Zafran yang duduk di sudut ruangan, pada space yang lebih luas dan terasing dari meja-meja pengunjung yang lain. Pria itu melambaikan tangannya begitu melihat kedatangan Elsa—yang
Laura berdebar. Ia menarik napas dalam saat melingkarkan tangan kecilnya pada lengan kekar Jake yang berbalut dengan jas warna hitam saat mereka memasuki ruangan, ballroom di mana ulang tahun Laura serta anniversary mereka yang memang berdekatan digelar secara bersamaan.Di salah satu hotel milik HZ Empire, pesta itu dilaksanakan. Mereka tidak mengundang banyak orang, hanya yang dekat saja dan sebagian besarnya Laura pikir datang pada malam hari ini. Mereka berdiri dari duduk mereka saat Laura serta Jake berjalan dengan lampu sorot yang menerpa keduanya. Mereka sudah menyapa tamu sebelumnya, jadi ini bukan grand entrance. Saat tiba di panggung, pembawa acara mengatakan agar Laura mengatakan sesuatu untuk ulang tahunnya yang indah malam hari ini. “Waktu dan tempat kami persilahkan untuk Bu Laura.”Laura menyapukan pandang sejenak pada seluruh tamu undangan yang kembali duduk sebelum mengatakan, “Terima kasih untuk semua yang sudah datang pada malam yang baik ini. Tidak ada hadiah ya