done 2 bab yaaa ❤️ terima kasih sudah membaca 🥳
Laura berdebar. Ia menarik napas dalam saat melingkarkan tangan kecilnya pada lengan kekar Jake yang berbalut dengan jas warna hitam saat mereka memasuki ruangan, ballroom di mana ulang tahun Laura serta anniversary mereka yang memang berdekatan digelar secara bersamaan.Di salah satu hotel milik HZ Empire, pesta itu dilaksanakan. Mereka tidak mengundang banyak orang, hanya yang dekat saja dan sebagian besarnya Laura pikir datang pada malam hari ini. Mereka berdiri dari duduk mereka saat Laura serta Jake berjalan dengan lampu sorot yang menerpa keduanya. Mereka sudah menyapa tamu sebelumnya, jadi ini bukan grand entrance. Saat tiba di panggung, pembawa acara mengatakan agar Laura mengatakan sesuatu untuk ulang tahunnya yang indah malam hari ini. “Waktu dan tempat kami persilahkan untuk Bu Laura.”Laura menyapukan pandang sejenak pada seluruh tamu undangan yang kembali duduk sebelum mengatakan, “Terima kasih untuk semua yang sudah datang pada malam yang baik ini. Tidak ada hadiah ya
Sudah mati-matian menghindari … tapi apa mau dikata jika takdir tak menginzinkannya?Sepasang mata Elsa melebar, ia memandang Zafran yang tak lama kemudian melepas tangan dari pinggangnya seraya bertanya, “Kamu baik-baik saja?”Elsa mengangguk, “I-iya, Zaf,” jawab Elsa. “Terima kasih.”Zafran hanya menunjukkan seulas senyumnya sebelum mereka membawa langkah kaki untuk keluar dari pintu hotel. Berada pada teras yang sedikit lengang, Zafran kembali membuka suaranya.“Aku pikir kamu tidak datang malam ini,” katanya.“Datang, Zaf. Laura mengundangku.” “Tapi ... bagaimana caramu pulang, Elsa?” tanya Zafran.“Aku bawa mobil,” jawabnya. “Tadi datang ke sini dengan temanku. Dia sedang ambil di parkiran sebentar dan memintaku menunggu di sini,” lanjutnya panjang lengkap dengan penjelasannya sekaligus.“Sungguh?” sangsinya. “Tidak naik taksi?”“Tidak, Zaf,” jawab Elsa. “Kalau begitu aku pergi dulu.” Zafran tak menyiapkan jawaban atas kalimat Elsa yang tiba-tiba saja berpamitan. Elsa sekilas
Setelah tiga puluh satu Oktober menggenapi usia Laura pada umur dua puluh tujuh, mereka mengawali minggu pertama bulan November untuk menepati janji yang pernah mereka katakan. Kembali ke Pantai Kenangan. Sore hari ini, janji mereka telah terwujud. Melalui perjalanan yang tidak sebentar dari kota, melewati perbatasan, melalui jalan di tengah hutan, tempat tujuan mereka telah berada di depan mata. Angin dari lautan membelai rambut Laura yang lebih dari sebahu, ia tengah berjalan di atas pasir putih dengan tangan yang saling bergandengan bersama Jake, mengaitkan jari mereka lebih erat, meyakinkan diri bahwa hari ini berhasil mereka gapai. “Bukankah sekarang keadaannya sudah berbeda?” tanya Laura saat mereka baru saja melewati tumpukan batu yang sepertinya dibuat oleh pengunjung lain sebelum mereka sampai. “Apanya yang beda, Sayangku?” tanya Jake balik. Ia yang berjalan di sisi kanan Laura menoleh padanya, sedikit menunduk mengantisipasi sekiranya suara Laura tak sampai pada indera
Nyawanya belum sepenuhnya kembali. Laura sepertinya masih terjebak pada waktu di mana ia mendengar Jake mengatakan, ‘Jangan minta aku berhenti malam ini.’Ia menghela napas dengan sedikit dalam, mengingat semalam seperti tak akan ada habisnya. Harus bagaimana Laura menjelaskan bahwa memang Jake sedikit ‘nakal’ dan tidak bisa … dikendalikan?Ia menggosok matanya dan bangun dari berbaringnya setelah melihat ranjang di sebelahnya telah kosong, tidak ada Jake yang semalam terlelap di sana pagi hari ini.Laura keluar dari kamar setelah mengambil sembarang pakaian.Berjalan ke lantai satu, ia mendengar adanya aktivitas di dapur dan membawa langkah kakinya ke sana dan menjumpai prianya yang tengah berdiri di depan lemari pendingin. Tengah meneguk minuman dengan mata terpejam, jakunnya yang seksi naik turun, seolah dahaga yang sedang ia tuntaskan itu sudah ia simpan sangat lama.‘Apa dia baru olahraga?’ tanya Laura dalam hati, memandangi rambut Jake yang memang sedikit basah.‘Tapi apakah b
‘Apa’ dari Jake yang meninggi mengindikasikan sebuah rasa kecewa yang berbaur dengan kemarahan yang sangat besar. Laura yang berdiri di sekat nakas untuk mengambilkan Barack minuman pun turut terkejut mendengar pengakuan ayah mertuanya itu. Ia kembali mendekat, menyodorkan segelas air hangat untuk Barack yang dibantu bangun oleh Jake terlebih dahulu. Melihat Barack … Laura tahu ia sedang tidak baik-baik saja. Bibir dan wajahnya yang pucat menunjukkan betapa ia kecewa pada wanita yang telah dinikahinya selama ini. “Terima kasih,” ucap Barack setelah meneguk minuman dan mengembalikan cangkirnya pada Laura. “Jangan menjadikannya sebagai beban, Pa,” kata Laura, menunjukkan senyumnya pada Barack. Melakukan apapun sebisanya agar umur pria tua itu tak dipersempit takdir akibat memikul kekecewaan yang besar. “Jika Papa berkenan, Papa bisa menceritakannya pada kami apa saja yang dikatakan oleh Mama,” lanjutnya yang membuat Jake sejenak termangu mendengar kehangatan dari cara Laura beruca
“Pantaskah sekarang kamu mengatakan soal ‘cinta’ dengan bibirmu itu?” tanya Erick, pria itu baru saja melemparkan seulas tawanya yang kental akan ejekan pada Fidel. Matanya yang beriris hazel tampak mengeras padahal sebelumnya ia terlihat lemah lembut pada Fidel yang berdiri di depannya dengan kedua tangan terkepal.“Lalu, bagaimana dengan dirimu yang sudah meninggalkanku dan anak kita, Fidel?” tanyanya kembali. “Apakah itu juga masih pantas kamu sebut sebagai ‘cinta’?”Fidel terdiam, bibirnya gemetar, air mata membuat sepasang netranya berkabut saat ia berusaha tegar menghadapi Erick.“T-tapi—“ Fidel menjedanya, meremas jemarinya yang terasa kebas saat mengumpulkan keberanian agar suaranya menjadi satu kalimat yang utuh. “T-tapi b-bukankah aku s-sudah meminta maaf?” tanyanya balik dengan terbata-bata. “Aku mohon jangan mengekangku seperti ini, Erick,” pintanya.“Mengekang?”“Jika kamu memang dendam padaku, apakah semua ini masih belum cukup?” Fidel memandang raut wajah pria di hadap
Bau obat-obatan terasa mencemari indera pembau Fidel saat ia membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan menyadari dirinya tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit yang cukup bagus. ‘Aku dirumah sakit?’ batinnya, melihat pada sebelah kiri pergelangan tangannya, selang infus tengah menggantung. Di sebelahnya, Erick duduk dengan kepala tertunduk. Tangan pria itu menggenggamnya dengan lembut dan beberapa kali mengusapnya. Meski kepala Fidel tak begitu terasa sakit, tetapi nyeri di tubuhnya masih belum sepenuhnya menghilang. Ia menelan ludah untuk tenggorokannya yang kering saat mencoba mengingat hal apa yang terjadi padanya sebelum berakhir di sini. ‘Turn around, Babe ….’ Suara Erick terngiang di kepalanya, rengkuhan tangannya yang kasar pada pinggangnya membuatnya berbalik dengan cepat menunjukkan punggungnya. Dari sana itu berawal, cahaya putih menyayat matanya lalu dunia gelap. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Apakah Erick melanjutkan keinginannya, atauk
“Kamu membohongiku?” tanya Laura, mengarahkan salah satu tangannya ke depan, mencubit dada bidang Jake sehingga pria itu dengan cepat menegakkan tubuhnya yang semula condong menghimpit Laura.“S-sakit, Sayang ….” desis Jake, mengusap dadanya yang panas. Cubitan Laura selalu saja menyengat dan memberinya gelombang kejut.“Bukannya kamu bilang kalau kita ke dalam sini untuk memeriksa punggungmu yang sakit?” desak Laura—mengingatkan Jake seandainya dia berpura-pura lupa.“Kamu yang mengajakku ke dalam sini, Sayang,” tepis Jake, tak ingin disalahkan begitu saja. “Jangan lupa tadi kamu yang bilang agar kita pergi ke kamar mandi.”“Itu karena aku sudah berpikir sesuatu yang serius terjadi pada punggungmu,” jawab Laura. “Aku sudah berpikir mungkin saja ada luka dalam yang tidak kita ketahui saat kamu ditabrak mobil sore hari itu.”Jake tak bisa menahan senyumnya, entah kenapa justru dadanya berdebar mendengar betapa khawatirnya Laura menanggapi candaannya ini.“Maaf, aku pikir akan menyenang