apa yang terjadi besok?? mari kita bertemu lagi besok ya pukul 12.30 WIB spoiler ada di 1nst4gram othor @almiftiafay ❤️❤️
“Pantaskah sekarang kamu mengatakan soal ‘cinta’ dengan bibirmu itu?” tanya Erick, pria itu baru saja melemparkan seulas tawanya yang kental akan ejekan pada Fidel. Matanya yang beriris hazel tampak mengeras padahal sebelumnya ia terlihat lemah lembut pada Fidel yang berdiri di depannya dengan kedua tangan terkepal.“Lalu, bagaimana dengan dirimu yang sudah meninggalkanku dan anak kita, Fidel?” tanyanya kembali. “Apakah itu juga masih pantas kamu sebut sebagai ‘cinta’?”Fidel terdiam, bibirnya gemetar, air mata membuat sepasang netranya berkabut saat ia berusaha tegar menghadapi Erick.“T-tapi—“ Fidel menjedanya, meremas jemarinya yang terasa kebas saat mengumpulkan keberanian agar suaranya menjadi satu kalimat yang utuh. “T-tapi b-bukankah aku s-sudah meminta maaf?” tanyanya balik dengan terbata-bata. “Aku mohon jangan mengekangku seperti ini, Erick,” pintanya.“Mengekang?”“Jika kamu memang dendam padaku, apakah semua ini masih belum cukup?” Fidel memandang raut wajah pria di hadap
Bau obat-obatan terasa mencemari indera pembau Fidel saat ia membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan menyadari dirinya tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit yang cukup bagus. ‘Aku dirumah sakit?’ batinnya, melihat pada sebelah kiri pergelangan tangannya, selang infus tengah menggantung. Di sebelahnya, Erick duduk dengan kepala tertunduk. Tangan pria itu menggenggamnya dengan lembut dan beberapa kali mengusapnya. Meski kepala Fidel tak begitu terasa sakit, tetapi nyeri di tubuhnya masih belum sepenuhnya menghilang. Ia menelan ludah untuk tenggorokannya yang kering saat mencoba mengingat hal apa yang terjadi padanya sebelum berakhir di sini. ‘Turn around, Babe ….’ Suara Erick terngiang di kepalanya, rengkuhan tangannya yang kasar pada pinggangnya membuatnya berbalik dengan cepat menunjukkan punggungnya. Dari sana itu berawal, cahaya putih menyayat matanya lalu dunia gelap. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Apakah Erick melanjutkan keinginannya, atauk
“Kamu membohongiku?” tanya Laura, mengarahkan salah satu tangannya ke depan, mencubit dada bidang Jake sehingga pria itu dengan cepat menegakkan tubuhnya yang semula condong menghimpit Laura.“S-sakit, Sayang ….” desis Jake, mengusap dadanya yang panas. Cubitan Laura selalu saja menyengat dan memberinya gelombang kejut.“Bukannya kamu bilang kalau kita ke dalam sini untuk memeriksa punggungmu yang sakit?” desak Laura—mengingatkan Jake seandainya dia berpura-pura lupa.“Kamu yang mengajakku ke dalam sini, Sayang,” tepis Jake, tak ingin disalahkan begitu saja. “Jangan lupa tadi kamu yang bilang agar kita pergi ke kamar mandi.”“Itu karena aku sudah berpikir sesuatu yang serius terjadi pada punggungmu,” jawab Laura. “Aku sudah berpikir mungkin saja ada luka dalam yang tidak kita ketahui saat kamu ditabrak mobil sore hari itu.”Jake tak bisa menahan senyumnya, entah kenapa justru dadanya berdebar mendengar betapa khawatirnya Laura menanggapi candaannya ini.“Maaf, aku pikir akan menyenang
Fidel berjalan keluar dari ruang rawatnya, ia berhenti sejenak untuk menyempatkan diri menengok ke kanan serta ke kiri. Memastikan tidak ada tanda keberadaan Erick di sekitarnya sehingga ia mengayunkan kakinya lebih gegas untuk memasuki lift. Tangannya yang gemetar menekan tombol agar ia bisa turun ‘Aku harus cepat,’ batinnya gelisah. Fidel tidak ingin Erick menemukannya. Ia jelas tidak akan pernah mendapatkan kesempatan sebagus ini di masa depan. Ada kelegaan sendiri saat ia melihat lift yang terbuka dan membawanya pergi dari lantai sebelumnya. Hanya perlu melewati lorong ini lalu satu tikungan dan ia akan menemukan pintu keluar. Ia mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatnya sepanjang ia berjalan. Seorang wanita dengan pakaian pasien yang berjalan tanpa alas kaki, terburu-buru pergi. Langkahnya beradu dengan lantai yang terasa dingin kala senja menggelap, rintik hujan yang akan datang kurang dari satu jam membuat adrenalinnya terpacu semakin hebat. Ia tahan air mata agar
Dari tempatnya berdiri, Laura memandang kepergian Fidel dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia menghela dalam napasnya, meyakini dalam hati bahwa Fidel terjebak di dalam hubungan yang toxic bersama dengan pria bernama Erick itu.“Apa yang akan terjadi padanya?” tanyanya pada diri sendiri kemudian melanjutkan langkahnya.Samar rasa dingin genggaman Fidel tertinggal di punggung tangannya. Ketika ia berbelok melewati tikungan, Fidel dan pria itu sudah tak terlihat.Laura berjalan menuju ke ruang rawat Barack setelah pulang dari butik, ia mempercepat langkahnya, ingin segera mengatakan apa yang terjadi barusan pada Jake.Di depan pintu ruang rawat ayah mertuanya, ia membuka kenopnya perlahan. Tak seperti beberapa sore sebelumnya yang tengah beristirahat setiap Laura datang, kali ini Barack tampak membaca buku.“Selamat sore,” sapanya, menundukkan kepalanya pada Barack yang menoleh pada Laura dan membalas sapaannya, “Selamat sore, Laura.”“Aku pikir kamu tidak datang sore ini,” kata
Zafran tersenyum mendengar itu, “Apa yang harus aku katakan memangnya, Jake?” tanyanya. “Kamu sangat jelas terlihat bohong seandainya bilang padaku jika sekarang tidak memiliki banyak beban,” jawab Jake. “Kita meeting agak siang, jika jadwalmu longgar, bagaimana jika kita minum kopi saja?” ajaknya. “Anda luang sampai pukul sepuluh,” sahut Andy yang berdiri tak jauh dari mereka, pada Zafran yang menoleh dan dipahami oleh sekretarisnya itu apa bisa ia lakukan itu pagi ini? “Baiklah,” jawab Zafran tak keberatan. Melihat adanya interaksi yang tampak hangat di antara keduanya membuat Farren serta Andy yakin bahwa perang dingin itu telah sepenuhnya usai. Mereka berdua membiarkan para bos bertemu sementara dua sekretarisnya pergi ke tempat lain. Di dalam ruang CEO, Jake meletakkan masing-masing satu cangkir kopi yang belum lama ia seduh, kopi kapsul, pilihan paling cepat. “Terima kasih,” ucap Zafran saat Jake duduk berseberangan meja dengannya. “Sama-sama,” tanggap Jake. Tak bisa mena
Elsa terpaku di tempat ia berdiri. Ia tidak tahu Zafran juga ada di sini. Ia pikir mungkin untuk menghadiri sidang putusan perceraian stafnya?Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Daripada mempertanyakan kenapa pria itu ada di sini, sepertinya yang lebih penting adalah menjawab tanya ‘Kenapa kamu menghindariku’ darinya itu.Elsa menggigit bibirnya, tiba-tiba saja ruang geraknya terbatas.Ia melihat Zafran yang berjalan mendekat padanya dan sekali lagi bertanya, “Kenapa kamu menghindariku, Elsa?”Meski Zafran bicara dengan caranya yang sopan seperti yang biasa ia dengar, tapi Elsa bisa menjumpai adanya siratan rasa kecewa dari caranya bertutur.Elsa tersenyum samar kemudian sekilas menunduk saat menjawab, “Maaf,” katanya. “Belakangan ini aku sibuk, Zaf.”“Kenapa kamu rasanya jadi sangat jauh dariku?”“Aku bukannya ingin menjauh,” jawab Elsa. “Tapi memang ada ... beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan.”Zafran menghela napasnya, “Bagaimana nanti kalau kita pergi pada hari Minggu?” aja
“A-apa yang kamu lakukan di sini, Zaf?” tanya Elsa setelah keterkejutan di dalam dadanya itu berangsur reda. “Memangnya apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Zafran balik. “J-jadi relawan, mengajar anak-anak.” Zafran mengangguk beberapa kali, “Sama kalau begitu,” jawabnya. “Y-ya?!” “Aku bilang aku di sini dengan tujuan yang sama denganmu,” tuturnya tanpa beban. Elsa tampak mengedipkan matanya lebih dari satu kali, bingung dengan kalimat Zafran yang sebenarnya tidak ada yang salah. Tapi … bagaimana bisa pria ini— “Kamu mau membawa dus ini ke mana?” tanya Zafran, mengakhiri lamunan singkat Elsa yang dengan gegas terjaga. “Ke … sana,” jawab Elsa, menunjuk ke gang yang tak begitu luas yang di kanan kirinya adalah kebun pohon delima. “Biar aku yang bawa.” “Terima kasih.” Mereka berjalan berdampingan setelah Elsa sekalian membawa satu dus pakaian yang jauh lebih ringan. Tidak ada yang berbicara. Hanya bisingnya dedaunan yang saling bersentuhan yang meramaikan senyapnya dua ora