Sudah mati-matian menghindari … tapi apa mau dikata jika takdir tak menginzinkannya?Sepasang mata Elsa melebar, ia memandang Zafran yang tak lama kemudian melepas tangan dari pinggangnya seraya bertanya, “Kamu baik-baik saja?”Elsa mengangguk, “I-iya, Zaf,” jawab Elsa. “Terima kasih.”Zafran hanya menunjukkan seulas senyumnya sebelum mereka membawa langkah kaki untuk keluar dari pintu hotel. Berada pada teras yang sedikit lengang, Zafran kembali membuka suaranya.“Aku pikir kamu tidak datang malam ini,” katanya.“Datang, Zaf. Laura mengundangku.” “Tapi ... bagaimana caramu pulang, Elsa?” tanya Zafran.“Aku bawa mobil,” jawabnya. “Tadi datang ke sini dengan temanku. Dia sedang ambil di parkiran sebentar dan memintaku menunggu di sini,” lanjutnya panjang lengkap dengan penjelasannya sekaligus.“Sungguh?” sangsinya. “Tidak naik taksi?”“Tidak, Zaf,” jawab Elsa. “Kalau begitu aku pergi dulu.” Zafran tak menyiapkan jawaban atas kalimat Elsa yang tiba-tiba saja berpamitan. Elsa sekilas
Setelah tiga puluh satu Oktober menggenapi usia Laura pada umur dua puluh tujuh, mereka mengawali minggu pertama bulan November untuk menepati janji yang pernah mereka katakan. Kembali ke Pantai Kenangan. Sore hari ini, janji mereka telah terwujud. Melalui perjalanan yang tidak sebentar dari kota, melewati perbatasan, melalui jalan di tengah hutan, tempat tujuan mereka telah berada di depan mata. Angin dari lautan membelai rambut Laura yang lebih dari sebahu, ia tengah berjalan di atas pasir putih dengan tangan yang saling bergandengan bersama Jake, mengaitkan jari mereka lebih erat, meyakinkan diri bahwa hari ini berhasil mereka gapai. “Bukankah sekarang keadaannya sudah berbeda?” tanya Laura saat mereka baru saja melewati tumpukan batu yang sepertinya dibuat oleh pengunjung lain sebelum mereka sampai. “Apanya yang beda, Sayangku?” tanya Jake balik. Ia yang berjalan di sisi kanan Laura menoleh padanya, sedikit menunduk mengantisipasi sekiranya suara Laura tak sampai pada indera
Nyawanya belum sepenuhnya kembali. Laura sepertinya masih terjebak pada waktu di mana ia mendengar Jake mengatakan, ‘Jangan minta aku berhenti malam ini.’Ia menghela napas dengan sedikit dalam, mengingat semalam seperti tak akan ada habisnya. Harus bagaimana Laura menjelaskan bahwa memang Jake sedikit ‘nakal’ dan tidak bisa … dikendalikan?Ia menggosok matanya dan bangun dari berbaringnya setelah melihat ranjang di sebelahnya telah kosong, tidak ada Jake yang semalam terlelap di sana pagi hari ini.Laura keluar dari kamar setelah mengambil sembarang pakaian.Berjalan ke lantai satu, ia mendengar adanya aktivitas di dapur dan membawa langkah kakinya ke sana dan menjumpai prianya yang tengah berdiri di depan lemari pendingin. Tengah meneguk minuman dengan mata terpejam, jakunnya yang seksi naik turun, seolah dahaga yang sedang ia tuntaskan itu sudah ia simpan sangat lama.‘Apa dia baru olahraga?’ tanya Laura dalam hati, memandangi rambut Jake yang memang sedikit basah.‘Tapi apakah b
‘Apa’ dari Jake yang meninggi mengindikasikan sebuah rasa kecewa yang berbaur dengan kemarahan yang sangat besar. Laura yang berdiri di sekat nakas untuk mengambilkan Barack minuman pun turut terkejut mendengar pengakuan ayah mertuanya itu. Ia kembali mendekat, menyodorkan segelas air hangat untuk Barack yang dibantu bangun oleh Jake terlebih dahulu. Melihat Barack … Laura tahu ia sedang tidak baik-baik saja. Bibir dan wajahnya yang pucat menunjukkan betapa ia kecewa pada wanita yang telah dinikahinya selama ini. “Terima kasih,” ucap Barack setelah meneguk minuman dan mengembalikan cangkirnya pada Laura. “Jangan menjadikannya sebagai beban, Pa,” kata Laura, menunjukkan senyumnya pada Barack. Melakukan apapun sebisanya agar umur pria tua itu tak dipersempit takdir akibat memikul kekecewaan yang besar. “Jika Papa berkenan, Papa bisa menceritakannya pada kami apa saja yang dikatakan oleh Mama,” lanjutnya yang membuat Jake sejenak termangu mendengar kehangatan dari cara Laura beruca
“Pantaskah sekarang kamu mengatakan soal ‘cinta’ dengan bibirmu itu?” tanya Erick, pria itu baru saja melemparkan seulas tawanya yang kental akan ejekan pada Fidel. Matanya yang beriris hazel tampak mengeras padahal sebelumnya ia terlihat lemah lembut pada Fidel yang berdiri di depannya dengan kedua tangan terkepal.“Lalu, bagaimana dengan dirimu yang sudah meninggalkanku dan anak kita, Fidel?” tanyanya kembali. “Apakah itu juga masih pantas kamu sebut sebagai ‘cinta’?”Fidel terdiam, bibirnya gemetar, air mata membuat sepasang netranya berkabut saat ia berusaha tegar menghadapi Erick.“T-tapi—“ Fidel menjedanya, meremas jemarinya yang terasa kebas saat mengumpulkan keberanian agar suaranya menjadi satu kalimat yang utuh. “T-tapi b-bukankah aku s-sudah meminta maaf?” tanyanya balik dengan terbata-bata. “Aku mohon jangan mengekangku seperti ini, Erick,” pintanya.“Mengekang?”“Jika kamu memang dendam padaku, apakah semua ini masih belum cukup?” Fidel memandang raut wajah pria di hadap
Bau obat-obatan terasa mencemari indera pembau Fidel saat ia membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan menyadari dirinya tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit yang cukup bagus. ‘Aku dirumah sakit?’ batinnya, melihat pada sebelah kiri pergelangan tangannya, selang infus tengah menggantung. Di sebelahnya, Erick duduk dengan kepala tertunduk. Tangan pria itu menggenggamnya dengan lembut dan beberapa kali mengusapnya. Meski kepala Fidel tak begitu terasa sakit, tetapi nyeri di tubuhnya masih belum sepenuhnya menghilang. Ia menelan ludah untuk tenggorokannya yang kering saat mencoba mengingat hal apa yang terjadi padanya sebelum berakhir di sini. ‘Turn around, Babe ….’ Suara Erick terngiang di kepalanya, rengkuhan tangannya yang kasar pada pinggangnya membuatnya berbalik dengan cepat menunjukkan punggungnya. Dari sana itu berawal, cahaya putih menyayat matanya lalu dunia gelap. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Apakah Erick melanjutkan keinginannya, atauk
“Kamu membohongiku?” tanya Laura, mengarahkan salah satu tangannya ke depan, mencubit dada bidang Jake sehingga pria itu dengan cepat menegakkan tubuhnya yang semula condong menghimpit Laura.“S-sakit, Sayang ….” desis Jake, mengusap dadanya yang panas. Cubitan Laura selalu saja menyengat dan memberinya gelombang kejut.“Bukannya kamu bilang kalau kita ke dalam sini untuk memeriksa punggungmu yang sakit?” desak Laura—mengingatkan Jake seandainya dia berpura-pura lupa.“Kamu yang mengajakku ke dalam sini, Sayang,” tepis Jake, tak ingin disalahkan begitu saja. “Jangan lupa tadi kamu yang bilang agar kita pergi ke kamar mandi.”“Itu karena aku sudah berpikir sesuatu yang serius terjadi pada punggungmu,” jawab Laura. “Aku sudah berpikir mungkin saja ada luka dalam yang tidak kita ketahui saat kamu ditabrak mobil sore hari itu.”Jake tak bisa menahan senyumnya, entah kenapa justru dadanya berdebar mendengar betapa khawatirnya Laura menanggapi candaannya ini.“Maaf, aku pikir akan menyenang
Fidel berjalan keluar dari ruang rawatnya, ia berhenti sejenak untuk menyempatkan diri menengok ke kanan serta ke kiri. Memastikan tidak ada tanda keberadaan Erick di sekitarnya sehingga ia mengayunkan kakinya lebih gegas untuk memasuki lift. Tangannya yang gemetar menekan tombol agar ia bisa turun ‘Aku harus cepat,’ batinnya gelisah. Fidel tidak ingin Erick menemukannya. Ia jelas tidak akan pernah mendapatkan kesempatan sebagus ini di masa depan. Ada kelegaan sendiri saat ia melihat lift yang terbuka dan membawanya pergi dari lantai sebelumnya. Hanya perlu melewati lorong ini lalu satu tikungan dan ia akan menemukan pintu keluar. Ia mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatnya sepanjang ia berjalan. Seorang wanita dengan pakaian pasien yang berjalan tanpa alas kaki, terburu-buru pergi. Langkahnya beradu dengan lantai yang terasa dingin kala senja menggelap, rintik hujan yang akan datang kurang dari satu jam membuat adrenalinnya terpacu semakin hebat. Ia tahan air mata agar
Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau