“Yang hampir menabrakku di depan butik?” ulang Laura memperjelas. “Iya, Bu Laura,” jawab gadis itu yakin. “Sedan hitam yang hari itu melindas tangan Pak Jake lalu kabur begitu saja, hari di mana Anda pingsan dan berakhir koma,” lanjutnya dengan keterangan yang cukup jelas seolah hari itu juga meninggalkan trauma baginya. “Saya masih ada di depan kafe dan melihat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya,” katanya. “Hanya tampak dari samping, tapi saya ingat-ingat wajahnya. Lalu di malam peresmian bangunan baru kita itu, saat saya melihatnya mengawasi butik ... saya berpikir mereka adalah orang yang sama.” Dada Laura berdebar, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan hinggap tatkala kesaksian Hani membuatnya merasakan gelombang kejut hingga ia lupa caranya menjawab. “Tapi ini hanya pendapat saya, Bu Laura,” ucap Hani, menghela dalam napasnya. Sepasang netranya mengisyaratkan agar Laura tidak mempercayainya begitu saja. Karena .... “Karena ini hanya dugaan,” katanya, seolah tah
Jake melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang pria yang ia kenal betul sebagai orang yang ia percayai, Farren. Pemuda itu berada di atas ranjang, bersama dengan— “Jake?!” panggil sebuah suara, seorang wanita yang terdengar manis di telinganya. Itu adalah suara Laura. Tetapi datangnya suara itu tidak dari dalam, melainkan dari lantai bawah. Jake urung masuk ke dalam kamar Farren dan lebih dulu mengintip dari atas, Laura sedang berada di bawah, tampak kebingungan menengok ke kanan serta ke kiri, mencari keberadaannya. Tak ada satu orang pun di rumah ini selain seorang security di depan dan pelayan rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga siang saja—setidaknya begitu yang pernah didengar Jake dari Farren. “Di atas, Sayang,” jawab Jake yang membuat Laura—yang tampak mungil dari atas sini—menengadahkan kepalanya. Mata mereka bertemu, Jake melambaikan tangannya sehingga Laura menaiki tangga untuk menyusulnya. “Kenapa kamu tidak menungguku di bawah?” tegur Laura, sedi
“Ah—” Laura terkejut saat merasakan pelukan dari belakangnya sewaktu ia berdiri mengamati isi lemari pendingin milik Farren. Dua lengan kekar itu melingkari pinggangnya sehingga membuat Laura dengan gegas menoleh ke belakang, “Jake?!” sebutnya sembari memberi pukulan pada punggung tangan si pemiliknya. “Apa, Sayang?” tanya Jake tanpa rasa berdosa. “Jangan macam-macam, kita sedang ada di dalam rumah orang.” Mengingatkan seandainya Jake akan melakukan sesuatu yang sedikit 'berbahaya' dan tak baik untuk kesehatan jantungnya di sini. “Aku melihatmu bicara sendiri dari tadi, kenapa?” tanya Jake, kali ini sembari melonggarkan tangannya sehingga Laura memiliki kesempatan untuk memutar tubuhnya dan membuat mereka berhadapan. “Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria yang tinggal sendirian,” jawab Laura. “Apa maksudnya itu, Sayang?” Jake sedikit menundukkan wajahnya, ada sekerat kebingungan yang tampak pada kedua sudut matanya. Laura tak begitu saja menjawab
Meski membeku selama beberapa detik berlalu, akhirnya Jake membalas pelukannya. Bahu kecil Laura—meski tak sekurus sebelumnya—masihlah menjadi bahu ringkih yang ia sukai, yang ingin terus ia lindungi dengan kedua tangannya seperti ini.Yang Laura lakukan itu seolah sedang mengatakan bahwa kini ia mempercayai Jake, setelah kesalahpahaman yang panjang dan melelahkan.Jake mengusap rambut Laura yang sudah lebih dari sebahu sebelum istrinya itu menarik kepalanya dan menengadahkan wajahnya.“Lakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jake, mengusap lembut pipi Laura dengan ibu jarinya yang besar. “Kamu boleh melakukannya asalkan itu membuatmu bahagia, Laura.”“T-termasuk peragaan busana?” tanya Laura, memperjelasnya.“Tentu saja,” Jake mengangguk menanggapinya. “Asalkan dengan satu syarat.”“Apa?”“EO yang meng-handle harus EO yang bagus dan bertanggung jawab, bukan EO yang kamu pakai terakhir kali itu,” tegas Jake, ada penekanan dalam setiap katanya seolah ia tidak ingin Laura mengalami kejadia
'Kepastian yang dikatakan oleh Farren itu adalah kepastian bahwa dia menolak bekerja sama denganku?' batinnya tak karuan. Harusnya Fidel melihat senyum Farren yang menunjukkan seringai tipisnya di luar tadi. Tetapi karena ditutupi oleh kesenangan bahwa pemuda itu pasti akan melakukan yang ia mau sesuai kesepakatan … Fidel malah mengabaikannya. Ia sudah berpikir bahwa Farren akan mengirim satu amplop besar berisi foto, atau diska lepas yang berisikan file video, atau apapun itu yang bisa membuat Jake dan Laura berpisah. Sehingga Fidel memiliki kesempatan yang luas dan terbuka lebar untuk membuat Jake menjadi miliknya. Tapi alih-alih sebuah amplop seperti yang ia pikirkan, yang ia lihat dengan sepasang matanya adalah tas tenteng berwarna hitam yang berisikan uang yang satu minggu lalu ia serahkan pada Farren. ‘Sial! Dia mengembalikannya!’ umpat Fidel dalam hati—sekali lagi. Ia menggigit bibirnya yang terasa membeku. Kakinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak, tak
Fidel membisu dihadapkan pada kemarahan ayahnya. Teriakannya barusan seperti memangkas habis rasa percaya dirinya.Hening yang ia berikan justru memantik Johan semakin berang.“Jawab aku, Fidella!” hardiknya sekali lagi.“I-itu—“ Fidel tak berani memandang Johan. Matanya terpejam tak berdaya sebelum ia menghela dalam napasnya dan sedikit mengangkat wajah, bersirobok dengan Johan yang kedua sisi rahangnya dalam keadaan tegang.“A-ku h-hanya ingin … mengambil a-apa yang harusnya menjadi milikku, Pa,” jawab Fidel akhirnya. “Dan Jake adalah milikku.”“Kamu sangat bebal!” tunjuk Johan dengan jarinya yang berada di depan pucuk hidung Fidel. “Kamu membuang waktu untuk seseorang yang bahkan tidak pernah melihatmu sama sekali.”“Tapi aku dan Jake—““Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan hal konyol lagi, Fidel,” potongnya dengan cepat. Tak ingin mendengar celotehan anak perempuannya yang ia tahu akan membela diri itu. “Yang kamu lakukan hanyalah menghabiskan uangku untuk hal yang dia-sia saj
Laura mulai memikirkan ulang tentang apa yang pernah ia sampaikan pada Jake—soal peragaan busana—dan jika memang benar ia akan mengadakannya suatu saat nanti, ia tak akan mengambil tempat yang sama seperti sebelumnya. Trauma akan tempat itu cukup membekas sehingga ia memikirkan untuk menyelenggarakannya di tempat yang lain. Atas saran Hani yang mengatakan agar mereka memakai gedung tempat Laura pernah diberikan undangan oleh Samantha Adam, sore hari ini pun mereka datang ke sana untuk melihatnya. “Saya rasa tempatnya memang sangat bagus, Bu Laura,” ujar Hani yang berdiri di sisi kanannya. “Apakah Anda juga berpikir kalau space-nya jauh lebih luas?” “Iya, kamu benar, Han.” Setelah mereka berdua berkeliling tempat itu sebentar, Laura memutuskan untuk mengajak Hani mampir ke sebuah tempat. Ia ingin membelikan stafnya minuman dingin. Anggap saja sebagai oleh-oleh karena sejak pagi bisa dikatakan ia dan Hani sudah pergi meninggalkan butik. “Kamu juga pesanlah,” ucap Laura pada Hani s
Teriakan Fidel menyiratkan sebuah ketersinggungan yang besar. Matanya nyalang menatap Laura yang terkesan tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, atau akan berubah menjadi apa ekspresinya. Ketenangan yang diberikan oleh Laura selalu saja berhasil membuat Fidel gusar. Kali ini pun sama. Sebuah pemandangan yang bisa disaksikan oleh Hani dari samping mobilnya. Ia tak habis pikir dengan bagaimana cara Laura membangun ketenangan itu padahal ia dihadapkan oleh kobaran api yang menyala meletup di hadapannya. “Kenapa kamu menjadi sangat arogan, Laura?” tanya Fidel, mendesis marah. “Kamu tidak lupa 'kan kalau dulu kita bersahabat dan kamu bukan siapa-siapa?!” serunya meluapkan kemelut dalam dadanya. Laura tersenyum sekali lagi, ia menurunkan paper cup holder yang tadi ia todongkan pada Fidel saat menjawab, “Kamu benar-benar masih berpikir kita hidup pada masu lalu, Fi?” tanyanya. “Harus sampai kapan? Apakah kamu tidak ingin melanjutkan hidupmu dan terus mengungkit hal-hal yang ada di belak