Karena terlanjur menanyakan hal aneh yang tak selaras dengan apa yang ada di dalam angan-angannya, dan tidak mungkin memutar waktu untuk memperbaikinya, maka Jake memperjelasnya—dengan sedikit alasan.“M-maksudku, a-pakah kamu sudah makan di dalam barusan? Kenapa buru-buru keluar?” tanyanya.Zafran menunduk, memijit ruang sempit di antara kedua alis lebatnya, Jake tahu ia sedang menahan tawa atas situasi aneh yang mereka buat ini.“Sudah,” jawab Zafran akhirnya, kemudian mengangkat wajahnya, memandang Jake yang mengangguk beberapa kali sebagai sebuah tanggapan. “Selamat untuk butik Laura yang berkembang, Jake,” lanjutnya setelah beberapa detik berlalu.“Kenapa kamu memberi selamat padaku?” tanggap Jake. “Ini acara Laura, kamu bisa mengucapkan selamat padanya secara langsung.”Salah satu alis Zafran terangkat, sedikit terkejut menjumpai responnya yang berbeda dengan saat mereka terakhir kali bertemu di hotel malam hari itu.“Ah, baiklah,” kata Zafran, tak ingin ambil pusing.“Bagaimana
Mendapatkan jalan untuk melancarkan aksinya … Fidel menyusun strategi. Seperti yang ia pikirkan sebelumnya, bahwa ia akan membuat Jake dikhianati oleh istri dan tangan kanannya, ia tak ingin mengulur waktu. Johan—ayahnya Fidel—telah kembali mendesaknya untuk mengenyahkan diri dari Jakarta dalam waktu dekat. Alasan yang ia utarakan adalah, ‘Aku tidak ingin melihatmu melakukan hal tidak berguna dan membuang uangku, Fidella Magali!’ hardiknya tadi pagi. Hal itu bukan tanpa sebab, hardikan itu terjadi karena semalam ayahnya memergokinya pulang dalam keadaan mabuk dan sempoyongan berjalan memasuki rumah hingga tumbang di dekat tangga. Johan pasti berpikir tak ada gunanya memarahi orang mabuk sehingga menunggu hingga pagi hari, saat Fidel mendapatkan kembali kesadarannya, lalu kalimat pengusirannya kembali ia perdengarkan. ‘Belajarlah bertanggung jawab dengan apa yang kamu minta, Fidella!’ ucapan ayahnya saat mereka tadi duduk di ruang makan. ‘Kamu meminta pada Papa toko pakaian di
“Ah ….”Suara dua orang yang tengah memadu cinta terdengar menggema lirih di dalam kamar milik Jake dan Laura. Fajar menyingsing, matahari pun mulai meninggi tetapi tampaknya itu tak membuat mereka segera beranjak dari atas tempat tidur.Dikarenakan semalam tidak saling menyentuh sebab keduanya tertidur pulas setelah pulang menemui partner Jake yang datang dari luar negeri, maka pagi ini pun jadi!Kala pergumulan panjang berlalu, kini menyisakan dua manusia yang masih mengatur napas.Laura menatap langit-langit kamar, nyawanya belum sepenuhnya kembali. Sentuhan lembut bibir Jake pada bagian-bagiannya yang sensitif masih terasa hingga beberapa menit berselang.“Kamu pergi ke butik hari ini?” tanya Jake, yang berbaring di sisi kirinya. Ujung jari telunjuknya menyentuh pipi Laura yang kemudian menoleh dan memberinya jawaban dengan sebuah anggukan, “Iya, Jake.”“Aku sangat malas untuk pergi ke kantor. Tidak bisakah aku libur sehari saja?”“Baru juga weekend,” tanggap Laura, membalas tata
“Yang hampir menabrakku di depan butik?” ulang Laura memperjelas. “Iya, Bu Laura,” jawab gadis itu yakin. “Sedan hitam yang hari itu melindas tangan Pak Jake lalu kabur begitu saja, hari di mana Anda pingsan dan berakhir koma,” lanjutnya dengan keterangan yang cukup jelas seolah hari itu juga meninggalkan trauma baginya. “Saya masih ada di depan kafe dan melihat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya,” katanya. “Hanya tampak dari samping, tapi saya ingat-ingat wajahnya. Lalu di malam peresmian bangunan baru kita itu, saat saya melihatnya mengawasi butik ... saya berpikir mereka adalah orang yang sama.” Dada Laura berdebar, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan hinggap tatkala kesaksian Hani membuatnya merasakan gelombang kejut hingga ia lupa caranya menjawab. “Tapi ini hanya pendapat saya, Bu Laura,” ucap Hani, menghela dalam napasnya. Sepasang netranya mengisyaratkan agar Laura tidak mempercayainya begitu saja. Karena .... “Karena ini hanya dugaan,” katanya, seolah tah
Jake melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang pria yang ia kenal betul sebagai orang yang ia percayai, Farren. Pemuda itu berada di atas ranjang, bersama dengan— “Jake?!” panggil sebuah suara, seorang wanita yang terdengar manis di telinganya. Itu adalah suara Laura. Tetapi datangnya suara itu tidak dari dalam, melainkan dari lantai bawah. Jake urung masuk ke dalam kamar Farren dan lebih dulu mengintip dari atas, Laura sedang berada di bawah, tampak kebingungan menengok ke kanan serta ke kiri, mencari keberadaannya. Tak ada satu orang pun di rumah ini selain seorang security di depan dan pelayan rumah tangga yang bekerja dari pagi hingga siang saja—setidaknya begitu yang pernah didengar Jake dari Farren. “Di atas, Sayang,” jawab Jake yang membuat Laura—yang tampak mungil dari atas sini—menengadahkan kepalanya. Mata mereka bertemu, Jake melambaikan tangannya sehingga Laura menaiki tangga untuk menyusulnya. “Kenapa kamu tidak menungguku di bawah?” tegur Laura, sedi
“Ah—” Laura terkejut saat merasakan pelukan dari belakangnya sewaktu ia berdiri mengamati isi lemari pendingin milik Farren. Dua lengan kekar itu melingkari pinggangnya sehingga membuat Laura dengan gegas menoleh ke belakang, “Jake?!” sebutnya sembari memberi pukulan pada punggung tangan si pemiliknya. “Apa, Sayang?” tanya Jake tanpa rasa berdosa. “Jangan macam-macam, kita sedang ada di dalam rumah orang.” Mengingatkan seandainya Jake akan melakukan sesuatu yang sedikit 'berbahaya' dan tak baik untuk kesehatan jantungnya di sini. “Aku melihatmu bicara sendiri dari tadi, kenapa?” tanya Jake, kali ini sembari melonggarkan tangannya sehingga Laura memiliki kesempatan untuk memutar tubuhnya dan membuat mereka berhadapan. “Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria yang tinggal sendirian,” jawab Laura. “Apa maksudnya itu, Sayang?” Jake sedikit menundukkan wajahnya, ada sekerat kebingungan yang tampak pada kedua sudut matanya. Laura tak begitu saja menjawab
Meski membeku selama beberapa detik berlalu, akhirnya Jake membalas pelukannya. Bahu kecil Laura—meski tak sekurus sebelumnya—masihlah menjadi bahu ringkih yang ia sukai, yang ingin terus ia lindungi dengan kedua tangannya seperti ini.Yang Laura lakukan itu seolah sedang mengatakan bahwa kini ia mempercayai Jake, setelah kesalahpahaman yang panjang dan melelahkan.Jake mengusap rambut Laura yang sudah lebih dari sebahu sebelum istrinya itu menarik kepalanya dan menengadahkan wajahnya.“Lakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jake, mengusap lembut pipi Laura dengan ibu jarinya yang besar. “Kamu boleh melakukannya asalkan itu membuatmu bahagia, Laura.”“T-termasuk peragaan busana?” tanya Laura, memperjelasnya.“Tentu saja,” Jake mengangguk menanggapinya. “Asalkan dengan satu syarat.”“Apa?”“EO yang meng-handle harus EO yang bagus dan bertanggung jawab, bukan EO yang kamu pakai terakhir kali itu,” tegas Jake, ada penekanan dalam setiap katanya seolah ia tidak ingin Laura mengalami kejadia
'Kepastian yang dikatakan oleh Farren itu adalah kepastian bahwa dia menolak bekerja sama denganku?' batinnya tak karuan. Harusnya Fidel melihat senyum Farren yang menunjukkan seringai tipisnya di luar tadi. Tetapi karena ditutupi oleh kesenangan bahwa pemuda itu pasti akan melakukan yang ia mau sesuai kesepakatan … Fidel malah mengabaikannya. Ia sudah berpikir bahwa Farren akan mengirim satu amplop besar berisi foto, atau diska lepas yang berisikan file video, atau apapun itu yang bisa membuat Jake dan Laura berpisah. Sehingga Fidel memiliki kesempatan yang luas dan terbuka lebar untuk membuat Jake menjadi miliknya. Tapi alih-alih sebuah amplop seperti yang ia pikirkan, yang ia lihat dengan sepasang matanya adalah tas tenteng berwarna hitam yang berisikan uang yang satu minggu lalu ia serahkan pada Farren. ‘Sial! Dia mengembalikannya!’ umpat Fidel dalam hati—sekali lagi. Ia menggigit bibirnya yang terasa membeku. Kakinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak, tak