Selagi Farren tercenung mendengar pandangan Laura, Jake membenarkannya. “Tania yang polos bisa saja ditipu oleh si donatur itu,” katanya, menyetujui Laura. ‘’Kita sama-sama memiliki dugaan bahwa dia adalah si Fidel,” lanjutnya. Ada kebencian yang cukup kentara dari cara Jake menyebutkan nama ‘Fidel.’ “Tania menurut pada Fidel saat itu, bahkan memikul beban sendirian karena dia berpikir Fidel adalah satu-satunya orang yang akan menolongnya,” kata Jake, matanya yang beriris kelam jatuh pada cangkir kopinya yang mengepulkan asap. “Dan bahkan Tania masih berpikir begitu hingga dia ada di dalam penjara tanpa tahu yang dia percaya malah ingkar dan tidak melakukan kesepakatan untuk tetap membiayai adiknya.” Laura mengangguk, seperti itulah yang tadi ia maksudkan. Keheningan menyergap, mereka kembali terdiam untuk merenungi kalimat Jake barusan. Sekarang Farren pun tahu bahwa dugaan Tuan dan Nonanya ini memiliki kemungkinan lebih dari lima puluh persen benar. Ia mengangkat wajahnya saat
Rasanya habis kata Tania dibuat oleh ibunya. Yang tersisa hari itu hanyalah tangis hingga Farida pergi meninggalkannya. Di dalam tahanan, setelah Tania dibawa kembali ke sana, matanya berkabut air mata saat ia memandangi besi berjajar yang mengekangnya. Percakapannya dengan Farida membekas dan menyakiti hatinya. ‘Dia tidak pernah datang dan memberikan bantuan sejak kamu masuk tahanan.’ Terus saja terulang, puluhan, hingga ratusan kali, terngiang di indera pendengarnya, memukul dadanya, membuatnya sesak. Bibirnya terbungkam tanpa kata, tetapi sepasang netranya yang basah itu mengatakan lebih banyak sekecewa apa sekarang ia. “Kamu bohong ….” katanya lirih, meremas jemarinya yang gemetar dan kesemutan. “Ternyata kamu bukan malaikat seperti yang terlihat.” Tania menunduk, tangisnya tak terbendung. Air mata kian deras menghujani wajah dan bermuara di pipinya. Ia merasa sangat bersalah pada Amara, adiknya yang nyawanya telah terenggut. Dan bahkan ... jauh sebelum itu ia pernah membua
“Mama memang memiliki dosa yang besar pada ayahnya Jake, pada Jake juga, padamu, pada keluarga Heizt yang menjadikan Mama sebagai seorang Nyonya terhormat,” kata Alina, suaranya bertambah parau sebab ia berbicara dengan menahan air mata. “Mama sangat takut dosa itu diketahui oleh kalian, jadi Mama memilih untuk merahasiakannya. Tapi—“ Alina menjedanya, menggosok matanya yang perih dan menggigit bibirnya, menahan rasa malu. “Tapi justru hal itu diketahui oleh Fidel yang memanfaatkannya sebagai celah agar dia mendapatkan apa yang dia mau.” “Mama ….” panggil Laura lembut, menggapai tangan Alina lewat celah sempit yang berada di hadapan mereka. “Mama sangat menyesal, Laura. Maafkan Mama ….” Laura mendapati Alina yang lain, sosok ibu mertuanya yang sangat berbeda dengan pribadinya yang dulu kerap menyerang Laura secara verbal dengan hinaan fisik atau ketidakmampuannya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri karena dianggap mandul. Ia termangu sejenak, menemukan sebuah garis terang
Beberapa waktu berjalan, Laura sudah mendapati butik yang selesai dari masa perbaikan. Kali ini bangunannya lebih bagus.Akhirnya, setelah bekerja sementara di gedung milik Jake, ia dan para staf yang lainnya kembali ke tempat asal.Malam hari ini, butik miliknya cukup ramai. Ada acara kecil yang ia buat untuk meresmikan tempat baru di sebelah timur bangunan utama.Tidak banyak yang hadir di sana. Hanya beberapa teman dekat Laura, dan staf yang ia perbolehkan untuk mengajak serta keluarganya.Salah satunya yang hadir di sana adalah Elsa. Laura melihat kedatangannya bersama Zafran.Meski sempat tercenung dengan kedatangan mereka yang bersamaan, Laura tetap menyambut dengan senyum yang ceria. Mempersilahkan keduanya untuk masuk.Selagi Zafran bergabung dengan para pria yang lain, Elsa berdiri berhadapan dengan Laura. Temannya itu membawa buket bunga yang cukup besar yang ia berikan pada Laura sembari mengatakan, “Terima kasih sudah mengundangku, Lau,” ucapnya.“Mana mungkin aku tidak me
Karena terlanjur menanyakan hal aneh yang tak selaras dengan apa yang ada di dalam angan-angannya, dan tidak mungkin memutar waktu untuk memperbaikinya, maka Jake memperjelasnya—dengan sedikit alasan.“M-maksudku, a-pakah kamu sudah makan di dalam barusan? Kenapa buru-buru keluar?” tanyanya.Zafran menunduk, memijit ruang sempit di antara kedua alis lebatnya, Jake tahu ia sedang menahan tawa atas situasi aneh yang mereka buat ini.“Sudah,” jawab Zafran akhirnya, kemudian mengangkat wajahnya, memandang Jake yang mengangguk beberapa kali sebagai sebuah tanggapan. “Selamat untuk butik Laura yang berkembang, Jake,” lanjutnya setelah beberapa detik berlalu.“Kenapa kamu memberi selamat padaku?” tanggap Jake. “Ini acara Laura, kamu bisa mengucapkan selamat padanya secara langsung.”Salah satu alis Zafran terangkat, sedikit terkejut menjumpai responnya yang berbeda dengan saat mereka terakhir kali bertemu di hotel malam hari itu.“Ah, baiklah,” kata Zafran, tak ingin ambil pusing.“Bagaimana
Mendapatkan jalan untuk melancarkan aksinya … Fidel menyusun strategi. Seperti yang ia pikirkan sebelumnya, bahwa ia akan membuat Jake dikhianati oleh istri dan tangan kanannya, ia tak ingin mengulur waktu. Johan—ayahnya Fidel—telah kembali mendesaknya untuk mengenyahkan diri dari Jakarta dalam waktu dekat. Alasan yang ia utarakan adalah, ‘Aku tidak ingin melihatmu melakukan hal tidak berguna dan membuang uangku, Fidella Magali!’ hardiknya tadi pagi. Hal itu bukan tanpa sebab, hardikan itu terjadi karena semalam ayahnya memergokinya pulang dalam keadaan mabuk dan sempoyongan berjalan memasuki rumah hingga tumbang di dekat tangga. Johan pasti berpikir tak ada gunanya memarahi orang mabuk sehingga menunggu hingga pagi hari, saat Fidel mendapatkan kembali kesadarannya, lalu kalimat pengusirannya kembali ia perdengarkan. ‘Belajarlah bertanggung jawab dengan apa yang kamu minta, Fidella!’ ucapan ayahnya saat mereka tadi duduk di ruang makan. ‘Kamu meminta pada Papa toko pakaian di
“Ah ….”Suara dua orang yang tengah memadu cinta terdengar menggema lirih di dalam kamar milik Jake dan Laura. Fajar menyingsing, matahari pun mulai meninggi tetapi tampaknya itu tak membuat mereka segera beranjak dari atas tempat tidur.Dikarenakan semalam tidak saling menyentuh sebab keduanya tertidur pulas setelah pulang menemui partner Jake yang datang dari luar negeri, maka pagi ini pun jadi!Kala pergumulan panjang berlalu, kini menyisakan dua manusia yang masih mengatur napas.Laura menatap langit-langit kamar, nyawanya belum sepenuhnya kembali. Sentuhan lembut bibir Jake pada bagian-bagiannya yang sensitif masih terasa hingga beberapa menit berselang.“Kamu pergi ke butik hari ini?” tanya Jake, yang berbaring di sisi kirinya. Ujung jari telunjuknya menyentuh pipi Laura yang kemudian menoleh dan memberinya jawaban dengan sebuah anggukan, “Iya, Jake.”“Aku sangat malas untuk pergi ke kantor. Tidak bisakah aku libur sehari saja?”“Baru juga weekend,” tanggap Laura, membalas tata
“Yang hampir menabrakku di depan butik?” ulang Laura memperjelas. “Iya, Bu Laura,” jawab gadis itu yakin. “Sedan hitam yang hari itu melindas tangan Pak Jake lalu kabur begitu saja, hari di mana Anda pingsan dan berakhir koma,” lanjutnya dengan keterangan yang cukup jelas seolah hari itu juga meninggalkan trauma baginya. “Saya masih ada di depan kafe dan melihat seorang perempuan yang mengendarai mobilnya,” katanya. “Hanya tampak dari samping, tapi saya ingat-ingat wajahnya. Lalu di malam peresmian bangunan baru kita itu, saat saya melihatnya mengawasi butik ... saya berpikir mereka adalah orang yang sama.” Dada Laura berdebar, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan hinggap tatkala kesaksian Hani membuatnya merasakan gelombang kejut hingga ia lupa caranya menjawab. “Tapi ini hanya pendapat saya, Bu Laura,” ucap Hani, menghela dalam napasnya. Sepasang netranya mengisyaratkan agar Laura tidak mempercayainya begitu saja. Karena .... “Karena ini hanya dugaan,” katanya, seolah tah