Mata cokelatnya yang indah telah diselimuti oleh genangan air mata. Michelle terpaku kaku menatap Roland yang tak berekspresi pada dirinya.
Pelacur? Begitu rendahnya sosok Michelle bagi Roland, sehingga tidak ada kata lebih layak yang disematkan pada Michelle.
Padahal selama ini Michelle menghormati dan tulus memandang sosok Roland.
Semuanya memang salah Michelle. Dia sudah memahami karakter dan sikap Roland. Bahkan, Michelle sudah menakar sebab-akibat dari keputusannya itu.
Michelle benar-benar naif. Bukan! Michelle benar-benar melakukan kesalahan fatal. Selama ini dia mencintai pria yang salah dan tak memiliki hati.
Ketika memutuskan beranjak turun dari ranjang itu, batin Michelle telah mantap menentukan keputusan. Bahwa dia akan menyerah untuk menunggu balasan cinta dari Roland.
Ada rasa nyeri tak tertahankan di inti sensitifnya akibat perbuatan kasar Roland. Sangat perih seperti ratusan bekas sayatan baru terukir di sana. Namun, Michelle bersikeras menyembunyikan karena tak ingin terlihat lemah.
Michelle mengabaikan Roland yang menatapnya marah. Dia melewati tanpa rasa takut pada intimidasi mengerikan itu.
“Kau mau keluar dengan pakaian kusut seperti itu?”
Langkah Michelle didikte untuk berhenti oleh gemeretak kasar Roland. Matanya yang sudah basah oleh air mata telah berpadu dengan mata Roland, mata hazel—keabu-abuan yang ganas, berbahaya dan kejam.
“Kau mau menjatuhkan harga dirimu kepada orang-orang dengan penampilan kusutmu itu?” Roland kembali mencela.
Michelle tersenyum hampa. “Harga diriku telah jatuh, bahkan sudah diinjak-injak olehmu, Roland Archer.”
“Kau!” Roland kembali menggeram. Dia sudah meremas lengan kurus Michelle karena dorongan emosi. “Berani sekali kau bersikap kurang ajar denganku?!”
“Justru karena aku wanita rendahan aku bisa bersikap kurang ajar padamu, Roland Archer yang terhormat!” keberanian Michelle tak bergetar melawan Roland.
“Michelle!” Roland membentak kencang.
Suara yang dipenuhi emosi itu menguasai ruangan, sehingga tidak memiliki celah sedikit pun bagi udara untuk menyelinap masuk. Suara itu begitu kejam membungkam keberanian Michelle.
Suasana mencekam itu diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Celahnya yang terbuka kecil semakin melebar dan menampilkan seseorang diambang pintu.
Tidak hanya Roland, Michelle sudah terkejut dengan sosok itu. Dia tidak mengetahui jika Roland akan kehadiran tamu wanita cantik yang menatapnya penuh kebencian. Atau mungkin dia yang sengaja tidak diberitahu mengenai kehadiran sosok wanita cantik itu.
Michelle sangat sadar diri. Sebab, wanita itu sangat pantas datang menemui Roland kapan pun karena dia adalah calon tunangan Roland. Dia adalah Ella Hansen, seorang putri bungsu dari pemilik mall ternama di New York. Ella juga model ternama.
Sungguh pendamping yang sempurna. Putri yang terlahir dari keluarga konglomerat dan sosok publik yang bersinar sangat pantas menjadi pendamping hidup Roland Archer. Bukan seperti Michelle yang hanya seorang piatu dan karyawan rendahan.
“Hello, Baby.” Ella sangat manis menyapa Roland. “Aku datang karena kau sudah janji menemaniku memilih cincin tunangan kita. Aku langsung masuk ke ruanganmu karena di depan tidak ada siapa pun. Aku sudah menghubungimu, tapi handphone-mu tertinggal di meja. Aku mendengar suara sedikit berisik dari sini. Karena cemas, aku mencoba memeriksa apa yang terjadi di sini.”
Cara Ella menjelaskan sangat lembut, begitu jelas menunjukkan karakter lembut yang sinkron dengan penampilan elegannya. Dia juga menunjukkan identitas seorang calon tunangan dan istri yang sempurna tanpa celah.
Hal itu hanya ditujukan pada Roland seorang. Ketika menatap Michelle, semua hal-hal baik itu lenyap.
Tatapan lembut Ella berubah sinis menatap Michelle. Seolah Michelle adalah sosok pengganggu yang harus segera disingkirkan.
“Dia sekretarismu?” tanya Ella sangat menuntut.
“Tunggulah di luar. Aku akan menyusulmu setelah menyelesaikan sesuatu.” Roland mengabaikan karena malas menjelaskan, sementara tangannya masih meremas lengan kurus Michelle.
“Aku harus tahu siapa dia dan apa yang terjadi diantara kalian.” Ella bertindak egois tanpa peduli pada penilaian Roland. “Aku harus mengetahui apa pun tentangmu karena aku adalah calon pendamping hidupmu,” lanjutnya tak terbantahkan.
“Rencana pernikahan kita karena dorongan politik bisnis.” Roland sengaja menyinggung karena Ella pasti tahu maksud ucapannya.
“Tapi, aku harus tahu siapa saja yang pernah “melayani” calon pendamping hidupku. Agar aku bisa menyingkirkannya “sampah” yang nantinya tidak mengganggu kehidupan pernikahanku.” Ella tersenyum manis membujuk, namun ucapannya begitu menusuk.
Michelle merundukkan pandangan mata. Gadis cantik itu tidak sanggup mengangkat wajah, tidak lagi peduli pada Roland dan Ella yang menghina lewat pandangan dan mulut keji mereka.
Hati Michelle semakin remuk dan tak terbentuk lagi. Keadaan itu semakin memburuk mengenai dia yang tidak diberitahu atas kedatangan Ella.
Abaikan status Michelle yang hanya wanita simpanan Roland. Sebagai seorang sekretaris, Michelle pantas mengetahui tentang apapun yang akan Roland lakukan seharian penuh, sehingga jadwal yang sudah diatur tidak terbentur dengan hal-hal tidak terduga.
Roland benar-benar menyembunyikan perihal pertunangan dan pernikahan itu dari Michelle. Dia menganggap Michelle tidak penting, tidak lebih dari sekadar wanita simpanan.
“Aku memiliki urusan pribadi. Jadi, batalkan semua shedule-ku sampai siang nanti.”
Michelle tersenyum getir terhadap perintah Roland yang tidak tahu malu. Dengan menahan rasa sakit dan hancur yang berkecamuk, Michelle mengangkat wajahnya kemudian dengan lembut melepaskan lengan kurusnya dari remasan Roland.
“Aku sudah bukan lagi siapa-siapa bagimu, termasuk bukan sekretarismu. Jadi, aku tidak akan mendengarkan apa pun yang kau ucapkan.”
Roland terdiam menanggapi. Namun tidak pada matanya yang dipenuhi emosi dan penuh hasrat kebencian nyata terhadap Michelle.
“Kau—Michelle Louise tidak lagi menjadi sekretarisku. Segera kemasi barang-barangmu dan kau dilarang menginjakkan kaki di perusahaanku. Kau tidak boleh menampakkan batang hidungmu ke hadapanku.”
Pria itu meninggalkan Michelle tanpa peduli bagaimana jahatnya dia telah mematah-matahkan hati Michelle. Tindakannya itu sekaligus memberitahu bahwa Ella harus mengikutinya.
Ella enggan menurut. Dia memutuskan mendekati Michelle dengan pandangan yang berbeda-beda, seolah-olah ada rasa simpati terhadap Michelle yang direndahkan.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Roland.” Ella bersuara tenang, pun dia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya untuk kemudian membasuh air mata di pipi Michelle.
“Tapi, aku mau kau tidak memiliki hubungan apa pun dengan Roland!” lanjut Ella yang tiba-tiba melemparkan sapu tangan itu ke wajah Michelle.
Sorot mata penuh kebencian Ella kembali menyerang Michelle. “Sudah berapa lama kau menjadi penghangat ranjangnya Roland?”
Michelle memilih membisu. Rasanya dia tidak memiliki lagi tenaga untuk meladeni Ella.
“Siapa saja yang mengetahui hubungan kotor kalian?” Ella mencecar.
Lagi-lagi Michelle menutup rapat mulutnya. Tindakannya itu menimbulkan embusan napas kasar lolos dari mulut Ella.
“Tidak masalah jika kau tidak mau mengatakan. Aku tidak akan terpengaruh oleh sampah sepertimu.”
Ella tersenyum lembut penuh keramahan, kemudian dia melontarkan kalimat yang sudah terangkai di ujung lidah. “Kau harus sadar diri, wanita kotor dan miskin sepertimu tidak pantas untuk pria terhormat seperti Roland.”
Ella memalingkan pandangannya seolah sangat menjijikkan berlama-lama memandangi Michelle. Keinginannya segera angkat kaki dari hadapan Michelle sedikit terhalangi oleh sesuatu. Ketika kembali menatap Michelle, Ella melemparkan kartu nama miliknya.
“Kau bisa menghubungiku dan mintalah imbalan padaku jika kau tidak mau pergi dengan tangan kosong. Aku akan memberikanmu sebanyak kau mau, asalkan wajah menjijikkanmu itu tidak muncul di hadapanku dan Roland,” ucapnya angkuh.
Air mata mengalir deras tanpa diminta ketika pintu dibanting secara keras. Kedua kaki yang gemetaran pun tak lagi mampu menopang bobot tubuh, sehingga berujung membuat tubuh terduduk lemah di lantai yang dingin. Tubuhnya bergetar lagi diiringi dengan tangisan.
Hari itu merupakan hari paling melelahkan bagi Michelle. Emosi dan perasaannya dipermainkan secara brutal. Michelle juga harus mengosongkan meja kerjanya dan mengalihkan pekerjaan itu kepada pengganti yang ditunjuk. Beban pikiran semakin bertambah saat mengetahui Roland melakukan pengumuman pertunangan kepada pers dan media tanpa memberitahu pada Michelle.Roland telah mencampakkan Michelle dengan keji. Itu artinya tidak ada lagi alasan bagi Michelle bertahan di lingkungan yang menyakitkan itu.Dia menerima keadaan pahit itu dan tidak lagi ingin peduli mengenai apa pun yang bersangkutan dengan Roland. Semua memang kebodohan diri yang buta akibat terlalu mencintai Roland. Michelle mengaku terlalu percaya diri bahwa perhatian Roland bukan hanya sekadar untuk nafsu saja.Tindakannya itu serupa dengan tindakan acuhnya terhadap orang-orang di perusahaan yang mulai mencibir sosoknya.Michelle menjadi pembicaraan hangat atas kabar bahwa dirinya dipecat secara tak hormat. Mulut-mulut penggosi
Michelle duduk bersandar di kursi penumpang dari taksi yang ditumpangi, sementara itu matanya menatap kosong ke luar jendela—di mana hujan deras sedang berlangsung.Setelah cukup mampu memperbaiki harga dirinya, Michelle tak lagi bisa mengekspresikan suasana hati yang tersayat-sayat.Di sisi lain ada perasaan lega mengendap di hati Michelle. Dia sangat puas bisa membantah seorang Roland. Setelah menyumpahi Roland, Michelle dengan berani melewati Roland sampai sengaja menabrak lengannya ke pria kejam itu.Wanita cantik itu mengabaikan teriakan Roland, tak takut pada dua bodyguard yang ingin menangkap. Michelle mengunci rapat-rapat kamar yang dimasuki. Cepat-cepat pula Michelle mengganti pakaiannya dengan kaos putih dipadukan celana jeans biru yang merupakan pakaian miliknya sendiri. Michelle keluar dari kamar setelah memasukkan barang-barang miliknya ke dalam satu koper.Michelle tidak merasa rugi melepaskan segala kemewahan yang didapatkan dari Roland. Sebaliknya, ada kepuasaan di bat
Pelukan hangat Alins menyambut kedatangan Michelle di terminal kedatangan bandara. Dia membelai rambut panjang Michelle yang tergerai indah, kemudian sorot matanya penuh sayang menatap sosok keponakan yang sudah seperti putri kandungnya.Danny Elfman juga melakukan hal serupa. Dengan cara sama dia memberikan perhatian serta kasih sayang pada Michelle yang dianggap seperti putri kandung sendiri.Maklum saja, Alins Louise dan suaminya belum dikaruniakan anak dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan dokter itu, putri mereka adalah Michelle yang merupakan putri kandung dari kakaknya Alins.“Jangan merasa tidak enak dengan kami selama kau di sini, Michelle.” Danny menyatakan perasaannya ketika mereka tiba di rumah.“Justru kami sangat senang kau mau pindah ke sini.” Alins menimpali.Michelle tersenyum, namun hatinya bertolak belakang dengan eskpresi di wajah. Sejak tadi dia telah bersusah payah menahan perasaan bersalah bercampur sedih kepada Alins dan Danny.Terutama pada Alins, Michelle sa
Michelle mematung tak percaya dengan apa yang ia dengar. "A-apa? Mengandung?" wajah cantik Michelle semakin pucat. Michelle membelalakkan matanya. Telinganya lebih ia tajamkan, barangkali salah mendengar. "Jangan bersedih kamu harus tetap tersenyum dan kuat demi bayimu. Apapun yang terjadi sekarang kita akan hadapi bersama." Usap lembut Alins di pundak michelle benar-benar menyatakan bahwa yang ia dengar adalah benar. Kini Michelle hanya mampu menerima pelukan Allins sambil memejamkan mata. 'Hamil?' Michelle di dalam hatinya masih tak percaya. Saat Michelle memejamkan mata, selintas wajah tampan dengan senyum yang sebenarnya ia rindukan terlintas. 'Roland, ini adalah anak Roland!' hati Michelle tak percaya dengan apa yang ia alami, hatinya mengeja nama Roland bagai menyebut sebuah mantra sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi. Michelle benci Roland karena tidak pernah sedikitpun mencintainya tetapi fakta bahwa ini adalah anak Roland membuatnya kembali menginga
Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras."Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland.Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?""Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran.“Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan
Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta