Michelle mematung tak percaya dengan apa yang ia dengar. "A-apa? Mengandung?" wajah cantik Michelle semakin pucat. Michelle membelalakkan matanya. Telinganya lebih ia tajamkan, barangkali salah mendengar.
"Jangan bersedih kamu harus tetap tersenyum dan kuat demi bayimu. Apapun yang terjadi sekarang kita akan hadapi bersama." Usap lembut Alins di pundak michelle benar-benar menyatakan bahwa yang ia dengar adalah benar. Kini Michelle hanya mampu menerima pelukan Allins sambil memejamkan mata. 'Hamil?' Michelle di dalam hatinya masih tak percaya. Saat Michelle memejamkan mata, selintas wajah tampan dengan senyum yang sebenarnya ia rindukan terlintas. 'Roland, ini adalah anak Roland!' hati Michelle tak percaya dengan apa yang ia alami, hatinya mengeja nama Roland bagai menyebut sebuah mantra sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi. Michelle benci Roland karena tidak pernah sedikitpun mencintainya tetapi fakta bahwa ini adalah anak Roland membuatnya kembali mengingat untaian kisahnya dengan Roland hingga kisah itu harus berakhir. Ada luka yang masih lebar menganga. "Sayang, Kami siap membantumu membesarkan bayi ini. Tenangkan hatimu." Danny ikut menguatkan Michele. Michelle benar-benar hanya mampu mengangguk dan menerima pelukan bibi dan pamannya yang berlimpah kasih sayang untuknya itu. Kini michelle berada di ruang USG bersama Alins. Dengan posisi tidur terlentang perut. Michelle diberikan gel yang terasa dingin di perutnya. Hati Michelle berdebar kencang ketika dokter tersebut menunjuk layar dan memberitahukan bahwa titik kecil yang berada di layar adalah janin milik Michelle. Bahagia, sedih, haru, heran serta takjub mewarnai hati Michelle, Alins yang berada disisi Michelle juga tak mampu menyembunyikan rasa haru, lalu tersenyum bahagia pada Michelle. Resep untuk Michelle telah selesai di tukar dengan beberapa vitamin dan penambah darah oleh Danny. Sementara setelah menjalani beberapa test lainnya Michelle diperbolehkan pulang. Kini mereka di mobil. Alins mampir membeli buah dan jus segar untuk Michelle. Danny membeli camilan. Meat loaf, aplle pie, cheese cake juga di beli Danny untuk Michelle. Michelle hanya mematung seakan masih tak percaya dengan apa yang ia alami. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Anak ini ..." Michelle mengusap perutnya rata. Michelle membenci dirinya ketika bibirnya mengucap nama Roland. Bukankah Ella sudah hamil. Hamil anak Roland seperti yang ia baca di berita online tempo hari?' Michelle menghapus nama dan wajah Roland di hatinya. 'Ini adalah anakku. Roland tidak berhubungan sama sekali dengan kehamilan ini.' bisik hati Michelle. "Beristirahatlah dengan baik, mulai sekarang jangan terlalu keras bekerja. Kami ada untuk membantumu." Alins memegang tangan Michelle yang masih membisu. "Alins maafkan aku. Aku pasti mengecewakanmu. Apa yang aku harus lakukan dengan bayi ini? Apa kau dan Danny marah padaku?" Michelle tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya isak yang terdengar. "Sssth, apa yang kau tangisi Dear. Kau sudah melewati saat yang berat ketika mengakhiri hubungan dengan pria itu. Kini dan selanjutnya kami disisimu meringankan bebanmu. Jujur, kami sedikit terkejut tetapi seorang anak adalah anugrah yang sangat indah. Tersenyumlah. Makhluk kecil yang kau miliki kelak membuat kebahagiaan kita sempurna. Percayalah padaku." Alins menatapnya penuh keyakinan. "Aku sebenarnya meragukan kemampuanku dengan kehadiran bayi ini. tetapi setelah mendengarkan pendapatmu. Aku memutuskan akan membesarkan bayi ini." Tekat Michelle mengangkat wajahnya. "Itu keputusan yang tepat. Kami ada disisimu. Selalu." Allins mengukir senyumnya pada Michelle. Michelle membalas senyum itu dengan hati lebih tenang. Pintu kamar Michelle ditutup dan Michelle merebahkan dirinya di kasur. Matanya menatap meja kamarnya yang berisi kudapan dan jus yang tadi dibeli Danny dan Alins untuknya. Lalu mata Michelle beralih pada foto 4 dimensi janinnya. Sekilas wajah Roland terbayang kembali dan perasaan haru, bahagia, sedih, kecewa bahkan kebencian pada Roland menguasai hatinya. Isaknya pecah kembali, menyesali takdirnya. Kisah Ibunya terulang lagi padanya. Michelle benci anaknya akan lahir tanpa kasih sayang seorang Papa sama seperti dirinya. Kembali Michelle terisak mengelus perutnya hingga akhir ia tertidur kelelahan. Alins masih berada di ruang keluarga dengan Danny. "Bagaimana keadaannya?" Danny menatap mata Allins. "Dia memutuskan membesarkan bayinya." Alins menghirup teh Hijau miliknya lalu menyesapnya perlahan. "Itu yang seharusnya. Seberapapun bencinya dia pada pria itu. Kita harus menjaganya agar dia mengambil keputusan yang tepat." Danny mengigit Apple pie dan menyuapkan potongan kecil lainnya pada Alins. "Sebenarnya aku meyesalkan kenapa nasib Michelle sama seperti ibunya. Jatuh cinta pada pria yang tidak tepat. Aku merasakan lukanya." Alins menunduk. "Lupakan masalah itu. Dia akan sedih bila mendengar kalimat itu, Al. Tugas kita membantunya melewati saat ini dan memastikan bayi Michelle tidak akan kekurangan kasih sayang." Danny meneguk kopinya. Alins mengangguk. "Bayi itu adalah cucu kita." Alins tersenyum berbisik pada suaminya. Danny membalas senyum istrinya itu. *** Suara pintu yang terbuka kasar mengejutkan Ella. Dia yang duduk nyaman di sofa ruang kamarnya seketika terkesiap atas kehadiran Roland. Ella tentu akan merasa senang jika Roland datang dengan wajah tampan yang penuh kehangatan. Hanya saja saat itu Roland sama sekali tak menunjukkan sedikit pun ketampanan yang dirindukan. Pria itu datang dengan ekspresi dingin yang tak bersahabat. Wajah tampannya diselimuti emosi yang meledak sampai membuat Ella cemas ketakutan. “Roland? Apa yang terjadi padamu?” Ella menyapa lembut seolah menaruh rasa perhatian yang mendalam. “Apa yang kau lakukan, Ella?” Roland mencengkeram kasar pundak Ella. "Kau hamil? Bagaimana kau bisa hamil? Selama menikah aku tidak pernah menyentuhmu!” ~ Bersambung ~Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras."Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland.Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?""Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran.“Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
Setelah siuman dari koma, butuh beberapa hari bagi Michelle memulihkan kesadaran sepenuhnya di ruangan ICU. Wanita cantik itu akhirnya dipindahkan ke kamar inap dan leluasa bertemu dengan Alins beserta Danny.Bukan hanya kedua orang terdekat itu, Michelle juga bertemu dengan Celine yang datang menjenguk—satu hari sebelum Michelle siuman.Michelle akhirnya mengetahui bahwa dirinya mengalami koma selama tiga hari. Lewat Alins, dia diberi tahu bahwa Alins dan Danny menangisi dirinya yang mengeluarkan air mata ketika tak sadarkan diri.Puncak kebahagiaan Michelle adalah bertemu untuk pertama kali dengan putri cantiknya.Segenap desakan kebahagiaan menguasai jiwa Michelle yang berkaca-kaca menatap putrinya. Tangannya sampai gemetar ketika menerima putrinya ke dalam pelukannya.Bayi itu adalah bayi perempuan bertubuh sehat dengan pipi gembul yang menggemaskan. Bibirnya yang memerah sampai terhimpit oleh pipi gembulnya, sampai menekan bibirnya hingga setengah mengerucut mungil.Sayangnya, ha