Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.
“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?” Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.” "Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan. Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas. Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon kebahagian dan ketenangan hidup saat itu tidak akan pernah rusak. "Ayo segera tidurlah. Wanita hamil tidak baik tidur terlalu malam.” Alins mengalihkan suasana demi kesehatan Michelle. “Kami juga akan tidur karena besok kami akan berangkat pagi ke rumah sakit,” lanjutnya menuntun Michelle ke kasur sementara Danny dengan sigap merapikan gelas susu hamil di meja Michelle. Selimut dinaikkan hingga separuh tubuh michelle tertutup selimut. "Sekali lagi terima kasih sampaikan juga kepada Paman Danny." "Tentu sayang, kami cuma mau kau jaga kesehatanmu dan bayimu. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami." Alins mengecup kening Michelle dan mematikan lampu. . Di ruangan gelap kamarnya michelle tak mampu menyembunyikan perasaan hatinya. Michelle merasa sangat beruntung karena Alins dan. Danny sudah menyayanginya dengan tulus. Mereka adalah pengganti Mommy dan Daddy yang sempurna bagi michelle dari kecil hingga sekarang dewasa. Seharusnya hidupnya sempurna namun kenapa ada luka yang tak sembuh kala mata Michelle terpejam. Roland selalu hadir dalam terpejamnya. Berkali-kali ia mencoba melupakan namun tetap saja wajah itu selalu menghiasi pelupuk matanya. Tak pernah berhenti sedetik pun. Danny dan Allins masih terjaga di ruang tidur mereka. Danny membaca buku dan Alins masih asik dengan ponselnya. "Bagaimana bila kita memperluas kamar Michelle agar ketika bayinya lahir suasana baru membuatnya bahagia. Dia masih saja bersedih tampaknya. Sesekali ia menyembunyikan wajah sendunya." Alins meletakkan ponsel di nakasnya. "Itu ide yang baik. Hamil sebagai single parent memang berat. Lakukan apa saja yang kau mau, Sayang. Michelle sudah seperti anak kita sendiri." Danny menutup bukunya. Meletakkan kacamata di atas meja. Lalu merebahkan dirinya di sisi Alins. Alins tersenyum, "Boleh? Aku akan mendesain kamar yang indah untuk bayi Michelle kalau begitu. Sayang, terima kasih banyak." Aliens mendaratkan kecupan lembut di bibir suaminya. Danny memeluk istrinya dan mematikan lampu kamar tidur mereka. *** ~ Beberapa bulan kemudian ~ Kandungan Michelle sudah berusia sembilan bulan. Alins dirundung rasa gelisah ketika terpaksa meninggalkan Michelle di rumah sendirian. "Aku sangat khawatir pada Michelle, menurut dokter 4 hari lagi bayinya lahir." Alins tampak mengurungkan niatnya berangkat. "Jam makan siang aku akan melihatnya." Danny menenangkan istrinya itu. "Aku tidak apa-apa. Percayalah padaku." Michelle turut menenangkan Alins. "Michelle, jangan terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika ada salah satu tanda melahirkan, kau harus segera hubungi kami." Alins mendikte, kemudian mengenakan mantel dan syalnya demi menjaga kehangatan tubuh di tengah musim dingin yang menyelimuti. "Tentu jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja." Michelle meyakinkan Alins. Ketika ditinggalkan sendiri, Michelle tidak lagi menjaga ketenangan diri. Postur tubuh yang semula terlihat kuat dan baik-baik saja telah terlihat lemas tak berdaya. bahkan untuk menopang tubuhnya yang semakin memberat, Michelle terburu-buru duduk di sofa ruangan. Kakinya sudah sangat terasa sangat pegal. Pinggangnya juga pegal. Kakinya bengkak dan kelas senam hamil yang dipelajari sudah berhenti karena telah memasuki prediksi masa persalinan. Meski begitu, setelah merasa sedikit bertenaga dan merasa baik, Michelle memaksakan diri membersihkan area dapur atau pun sisi rumah yang berantakan. Padahal Alins tidak memintanya tetapi memang Michelle yang sudah terbiasa bergerak aktif tidak akan diam saja. "Aaah ... Aduh sakiit." Michelle mendesis. Sesaat sakitnya hilang. Michelle tahu itu adalah gejala awal pembukaan. Sakitnya kembali datang lagi beberapa menit kemudian. Itu yang ia pelajari dalam kelas senam hamil. Jemarinya bergelut dengan waktu menyelesaikan kegiatan yang hampir selesai. “Awh, sakit!” Michelle kembali mengeluh menahan sakit demi sakit yang semakin sering datang. Tangannya dengan sigap meraih handphone di meja lalu sambil merunduk menahan sakit yang kembali datang jemarinya menghubungi Alins lewat ponselnya. “Bibi Alins, sakit sekali—” Prank! Suara pecahan kaca yang nyaring telah menginterupsi pembicaraa yang baru tersambung. Sementara Michelle telah jatuh ke lantai dengan posisi meringis kesakitan di lantai. “Michelle! Apa yang terjadi padamu?” Alins memekik panik di dalam sambungan telepon"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
Setelah siuman dari koma, butuh beberapa hari bagi Michelle memulihkan kesadaran sepenuhnya di ruangan ICU. Wanita cantik itu akhirnya dipindahkan ke kamar inap dan leluasa bertemu dengan Alins beserta Danny.Bukan hanya kedua orang terdekat itu, Michelle juga bertemu dengan Celine yang datang menjenguk—satu hari sebelum Michelle siuman.Michelle akhirnya mengetahui bahwa dirinya mengalami koma selama tiga hari. Lewat Alins, dia diberi tahu bahwa Alins dan Danny menangisi dirinya yang mengeluarkan air mata ketika tak sadarkan diri.Puncak kebahagiaan Michelle adalah bertemu untuk pertama kali dengan putri cantiknya.Segenap desakan kebahagiaan menguasai jiwa Michelle yang berkaca-kaca menatap putrinya. Tangannya sampai gemetar ketika menerima putrinya ke dalam pelukannya.Bayi itu adalah bayi perempuan bertubuh sehat dengan pipi gembul yang menggemaskan. Bibirnya yang memerah sampai terhimpit oleh pipi gembulnya, sampai menekan bibirnya hingga setengah mengerucut mungil.Sayangnya, ha
“Memangnya orang sepertiku bisa bertemu dengan orang penting seperti mereka?”Ah, benar. Celine sudah pasti sulit bertemu dengan orang-orang seperti Roland maupun Ella. Celine hanyalah pegawai biasa di sebuah perusahaan, sementara Roland dan Ella tokoh berpengaruh di bidangnya masing-masing. Latar belakang sosial mereka sangat bertolak belakang, ditambah lagi perusahaan tempat Celine bekerja tidak berkaitan dengan perusahaan Roland.Michelle terlalu memaksakan diri dari pemikirannya yang dinilai. Tidak akan mungkin Celine bertemu dengan Roland, walaupun hanya sepintas.“Kenapa kau masih memikirkan pria itu?”Michelle tersentak dari lamunannya. Matanya semula kosong karena berpikir telah menatap Celine yang menatapnya penuh penekanan mendalam.“Dia saja tidak ada penyesalan setelah mencampakanmu, jadi tidak ada gunanya kau masih memikirkan dia,” lanjut Celine menasihati.“Aku hanya penasaran saja sebaik apa kehidupannya sekarang.” Michelle berdalih sembari memalingkan pandangan kepada
~ Lima tahun kemudian ~Kesepuluh jemari yang menari lincah di keyboard—laptop akhirnya berhenti setelah menekan keypad titik. Mata yang terlihat lelah itu juga merengkuh rasa lega, karena tidak lagi fokus ke layar laptop.Wanita cantik yang mengenakan setelan formal berwarna putih-cokelat itu telah mengendurkan ketegangan di tubuhnya. Dia melakukan peregangan pada lehernya, mematahkan lembut ke kanan dan ke kiri. Pinggang yang terasa pegal pun tak luput dari gerakan peregangannya.Dia adalah Michelle yang kembali produktif. Satu tahun setelah melahirkan, Michelle berhasil mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah firma hukum cukup ternama.Michelle tak memilih-milih pekerjaan walaupun harus kembali menjadi personal asistant untuk pemilik firma hukum itu. Apalagi gaji yang ditawarkan sangat menarik. Yang terpenting bagi Michelle saat itu adalah menghasilkan uang dan tak menjadi beban bagi Alins beserta Danny.Pekerjaannya tidak berbanding jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Michelle masih t
Setelah menjemput putrinya di rumah Alins, Michelle langsung bertolak pulang ke rumahnya. Wanita cantik itu segera membersihkan tubuhnya yang lelah, berusaha melepaskan seluruh kepenatan yang menguras pikiran dan tenaga di kerjaan.Namun, Michelle belum mampu melupakan perkataan David.Michelle duduk di meja rias setelah mengenakan piyama. Awalnya Michelle berniat menyisir rambutnya, namun dia berakhir duduk melamun di sana.Itu bukan pertama kali David mengatakan kalimat ambigu yang bisa membuat Michelle salah paham. David memang selalu terang-terang bersikap dan berkata-kata sama. Apalagi tadi sebelum beranjak pergi, Michelle terkejut oleh David yang tiba-tiba mengelus pipinya dengan lembut.“Apa yang sedang Anda pikirkan, Nyonya Michelle?”Michelle tersentak, kemudian menoleh ke arah pintu kamar yang sudah terbuka. Wajah Michelle seketika berseri melihat Leah yang memasang wajah mengejek.“Kau sudah menyiapkan tas sekolahmu untuk besok, Nona Leah?” sahut Michelle dengan candaan yan
Sembari menenangkan perasaannya, Michelle memindai baik-baik pria di hadapannya itu. Mau berapa lama pun Michelle menatap, pria di hadapannya itu adalah Roland—pria yang setengah mati Michelle lupakan.Michelle sampai meyakinkan diri bahwa situasi bukanlah mimpi. Dia dengan sengaja mengepal tangannya kencang-kencang, sampai kuku-kuku jemarinya menyakiti telapak tangan.Rasa sakit yang dirasakan begitu tegas menyadarkan Michelle. Angin malam yang menerpa tubuh—yang berpakaian cukup terbuka pun turut ikut campur.Michelle telah mati-matian melupakan pria yang merusak perjalanan hidupnya hampir enam tahun lalu. Mengapa dia kembali dipertemukan setelah hatinya lebih kuat?Tiba-tiba Michelle teringat pada Leah yang berada di dalam mobilnya. Michelle menoleh singkat ke arah mobil, kemudian memposisikan diri sejajar berdiri di depan Roland yang menatapnya tajam.Tujuan Michelle hanya satu, yaitu menghalangi Leah bisa melihat sosok Roland. Dia juga berusaha menutup keberadaan Leah dari Roland
Roland baru saja terbangun dari dunia mimpi yang singkat dirasakan. Tetapi dia kembali disuguhkan oleh hal-hal yang mustahil didapatkan.Walaupun sejak kemarin Michelle menunjukkan sisi lembut yang penurut, akalnya merasa seperti masih bermimpi mendengarkan pengakuan Michelle. Bahkan Roland memeriksa keadaan itu dengan mencermati jelas kehangatan tangan Michelle dalam genggamannya.“Katakan saja nanti setelah kau dalam kesadaran penuh. Aku tidak mau nantinya kau berpura-pura tidak mengingat ini,” ujar Roland yang samar-samar menyindir.“Aku akan ingat dan tidak akan berpura-pura.” Michelle meyakinkan dengan sorot mata lemah namun penuh keseriusan. “Seperti yang kau katakan terakhir kali di depan firma—sebelum balik ke New York, ayo kita lupakan masa lalu,” lanjut Michelle menegaskan.“Aku tidak ingin menahan semuanya dan berbohong pada diriku sendiri, bahwa kau masih tetap ada di hatiku. Mau sekeras apa pun aku melupakanku, rasanya semua sia-sia karena aku masih berdebar-debar setiap
Rutinitas pagi di kediaman Jullian berlangsung seperti biasanya. Para pelayan mulai sibuk melakukan kewajiban mereka di kediaman mewah itu, di mana tuan rumah baru saja kembali setelah beberapa waktu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.Sayangnya, kesibukan mereka diselimuti oleh ketegangan yang diciptakan oleh sang pemilik kediaman. Yaitu Jullian yang menunjukkan emosi tak terbendung di ruangan santai teras belakang.Sejak sore kemarin, Jullian memang telah menunjukkan ekspresi kesal saat pulang ke rumah. Namun, kekesalan itu semakin bertambah ketika asisten pribadinya mengadukan perihal Roland yang batal menjemputnya di rumah sakit.“Jadi anak berandal itu batal menjemputku karena ke Los Angeles?” tanya Jullian penuh tekanan kepada asisten pribadinya yang merunduk.“Informasi yang saya terima bahwa Tuan Roland mendadak pergi ke Los Angeles.”Jullian berdecih kesal. “Dia pasti menemui wanita itu lagi! Demi wanita itu, anak berandal itu membohongiku!”Berbanding terbalik den
“Apa yang akan Kakak lakukan?” Valencia bertanya setelah polisi itu pergi.Mata Roland yang masih menyimpan seberkas emosi telah menatap Valencia. Pria itu memindai Valencia yang memucat dan wajah penuh lelah.“Aku kesal sekali pada kesimpulan polisi itu mengenai kasus Michelle,” lanjutnya membuat Roland menatap tajam.“Kesimpulan apa itu?” desak Roland ingin tahu.“Lewat suamiku dia mengatakan jika kesaksianku beserta sopir taksi itu tak memiliki kekuatan untuk menangkap David Revorman.”Valencia tak ragu-ragu mengadukan kesimpulan yang menjengkelkan—yang sebelumnya mendorong dirinya cepat-cepat mengadu pada Roland.“Polisi itu malah mengatakan jika Michelle bisa saja melakukan “pekerjaan” lain karena mungkin kebetulan saja berada di dekat lokasi rumah David. Dia juga mengatakan bahwa Michelle bukan lagi personal asisstant dari David Revorman. Melainkan hanya seorang administrator di firma itu. Bukankah Kakak berteman dengan David itu?”Setumpuk emosi memuncak ke ubun-ubun Roland, se
Ketika mulut Michelle terbuka guna lebih lanjut mengadu, suara ketukan pintu yang terdengar beruntun telah menghalangi keinginan Michelle. Sorot matanya teralihkan dari Roland yang menunjukkan eksprsi gelap. Michelle mencoba menoleh ke arah pintu yang terbuka, namun sayang terhalangi oleh tubuh gagah Roland yang masih menegang.“Selamat malam. Saya—polisi yang menangani kasus Nyonya Michelle.”Kecemasan yang tak menenangkan kembali menghantui Michelle setelah mendengar seseorang itu adalah pihak kepolisian. Sama seperti sebelumnya, Michelle masih belum mau berinteraksi dengan orang-orang yang tidak dikenal.“Beberapa saat lalu saya menghubungi dokter yang menangani Nyonya Michelle dan mengetahui bahwa beliau sudah sadar. Saya ingin sedikit bertanya-tanya pada Nyonya Michelle mengenai kasus yang menimpanya. Apa bisa saya berbicara dengan Nyonya Michelle?”Batin Michelle langsung menolak sebelum Roland maupun Valencia menoleh ke arahnya. Tangannya yang gemetaran telah terangkat, bersusa
Beberapa jam kemudian Michelle telah dipindahkan ke kamar inap setelah kondisinya dinyatakan stabil. Selang oksigen yang terpasang sudah dilepaskan, kecuali jarum beserta selang infus yang masih terpasang.Meski kondisinya dinyatakan lebih baik dari sebelumnya, Michelle masih bersikap sama yaitu tak mengendurkan sedikit rasa takut dan cemas.Jemarinya bertindak egois terhadap Valencia, tak ingin melepaskan sedikit tangan Valencia dari genggamannya. Bahkan ketika dokter memeriksakan keadaannya, Michelle tak ingin ditinggalkan sedetik pun oleh Valencia.Semua karena bayangan mengerikan itu mengisi seluruh pikiran Michelle.Ketika matanya terbuka, Michelle berpikir dirinya telah tidak lagi berada di bumi karena pandangan mata yang kabur pada warna putih mendominasi. Hal hampir serupa pernah Michelle rasakan ketika tak sadarkan diri sewaktu pasca melahirkan Leah.Namun setelah beberapa kali mengerjapkan mata dan penglihatan mata kembali jernih, Michelle menyadari dirinya yang masih bernya
Valencia membasuh air mata yang membasahi wajah cantiknya dengan sapu tangan pemberian suaminya. Napasnya masih saja sesak setelah memaksa diri agar berhenti dari tangisannya. Duduk di ruang tunggu itu, Valencia berakhir menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.“Apa yang aku lakukan sudah benar, ‘kan?” tanya Valencia dengan nada masih sedikit terisak.“Mendengar bentakannya tadi, aku bisa menebak rasa terkejut dan kemarahan Kak Roland.” Albert berkomentar tenang.“Dia langsung mematikan telepon tanpa memberitahu apa yang akan dilakukan. Tetapi aku bisa menebak, dia pasti akan langsung ke sini tanpa peduli betapa penting pekerjaannya di sana.”Valencia berkomentar serupa ketika menormalkan kembali napasnya.“Aku hanya berharap Michelle cepat sadar agar bisa memberitahukan semua yang dia lalui sendirian,” lanjutnya berbicara.“Sebaiknya kau pulang saja, Valen. Aku akan menunggu perkembangan tentang Michelle di sini.”Pernyataan Albert membuat Valencia mengangkat kepalanya yang tenang be
Roland terduduk lemas di kursi penumpang belakang pada mobil yang dinaiki. Pria itu mengendurkan dasi yang melingkar rapi di leher, sengaja memberi ruang bebas pada tenggorokan yang dipenuhi sesak tak mengenakkan. Sementara itu mata abu-abunya menatap kosong ke arah depan, tak peduli pada Daniel yang melirik cemas seperti ingin menarik perhatian.Pembicaraan intens beberapa menit lalu bersama Alins dan Danny benar-benar menguras perasaan Roland. Selain mengetahui cerita hidup Michelle yang tertutup sempurna, dia juga mengetahui perihal penyakit dari dua orang yang seperti orang tua pengganti bagi Michelle.Alins mengidap kanker lambung stadium empat, di mana hari itu dokter di rumah sakit itu menyampaikan kabar buruk perihal kanker itu sudah menyebar dan menggerogoti ke jaringan lain di tubuhnya. Sementara Danny disarankan untuk beristirahat dari pekerjaannya dan melakukan tindakan pengobatan pada penyakit jantung yang diderita.Tak ada yang bisa Roland lakukan kecuali terdiam dan men
Roland terhenyak dalam pertanyaan Alins sampai mulutnya bungkam tidak bisa menjawab. Padahal pertanyaan yang diucapkan sudah Roland ketahui sendiri jawabannya, tetapi rasa penasaran mendesaknya ingin mencari tahu secara langsung.“Dibandingkan Michelle, kami sudah siap jika sewaktu-waktu kau mengetahui perihal Leah.” Danny memecahkan keheningan diri yang sebelumnya memilih menjadi pendengar. “Karena sebuah rahasia tidak ada yang abadi untuk disembunyikan,” lanjutnya menimpali.“Apa tujuanmu datang kali ini di kehidupan Michelle masih sama, Roland?” tanya Alins dengan kelembutan namun terselip sebuah ketegasan yang dirasakan kental.Roland masih bersikap sama. Entah mengapa mulutnya terasa sulit untuk terbuka dan bersuara.“Sejak kecil Michelle tak pernah mau menyulitkan siapa pun termasuk ibunya. Michelle kecil selalu terbiasa mandiri dengan sosok orang tua tunggal yang dia miliki. Mungkin karena ibunya yang merupakan kakak kandungku sudah memberitahu bahwa hanya Michelle hanya memili
Di dalam lift yang dinaiki, Roland melepaskan napas kasar. Pria itu merengkuh sedikit kelegaan setelah berbicara dengan Jullian. Setelah sekian lama berlalu, Roland tak lagi ragu ingin mengungkapkan alasan menceraikan Ella.Dia memiliki alasan yang tepat untuk tidak mengubur aib itu sendirian. Jika dulu dia memilih acuh, kali itu dia terdorong harus demi menata masa depan indah bersama wanita yang dicintai.“Sore ini bisa kosongkan jadwalku? Aku ingin menjemput daddy yang pulang sore ini.” Roland tenang meminta pada Daniel yang berdiri di belakang.“Saya akan mengatur untuk Anda.” Daniel mengulas senyuman getir setelah terpaksa memenuhi permintaan Roland.“Oh ... iya, Tuan. Saat menunggu Anda tadi, Nyonya Valencia menghubungi saya. Beliau menanyakan perihal Anda yang tidak menjawab telepon. Saya mengatakan jika Anda sedang menjenguk Tuan Jullian.”Roland tersadar pada handphone-nya yang di-silent-kan di dalam saku dalam jas setelah Daniel mengadu. Tanpa menuda pria itu merogoh saku dal