Share

Bab 10: Pagi yang Panik

Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.

“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”

Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”

"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.

Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.

Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon kebahagian dan ketenangan hidup saat itu tidak akan pernah rusak.

"Ayo segera tidurlah. Wanita hamil tidak baik tidur terlalu malam.” Alins mengalihkan suasana demi kesehatan Michelle. “Kami juga akan tidur karena besok kami akan berangkat pagi ke rumah sakit,” lanjutnya menuntun Michelle ke kasur sementara Danny dengan sigap

merapikan gelas susu hamil di meja Michelle.

Selimut dinaikkan hingga separuh tubuh michelle tertutup selimut. "Sekali lagi terima kasih sampaikan juga kepada Paman Danny."

"Tentu sayang, kami cuma mau kau jaga kesehatanmu dan bayimu. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami." Alins mengecup kening Michelle dan mematikan lampu.

.

Di ruangan gelap kamarnya michelle tak mampu menyembunyikan perasaan hatinya. Michelle merasa sangat beruntung karena Alins dan. Danny sudah menyayanginya dengan tulus. Mereka adalah pengganti Mommy dan Daddy yang sempurna bagi michelle dari kecil hingga sekarang dewasa.

Seharusnya hidupnya sempurna namun kenapa ada luka yang tak sembuh kala mata Michelle terpejam. Roland selalu hadir dalam terpejamnya. Berkali-kali ia mencoba melupakan namun tetap saja wajah itu selalu menghiasi pelupuk matanya. Tak pernah berhenti sedetik pun.

Danny dan Allins masih terjaga di ruang tidur mereka. Danny membaca buku dan Alins masih asik dengan ponselnya.

"Bagaimana bila kita memperluas kamar Michelle agar ketika bayinya lahir suasana baru membuatnya bahagia. Dia masih saja bersedih tampaknya. Sesekali ia menyembunyikan wajah sendunya." Alins meletakkan ponsel di nakasnya.

"Itu ide yang baik. Hamil sebagai single parent memang berat. Lakukan apa saja yang kau mau, Sayang. Michelle sudah seperti anak kita sendiri." Danny menutup bukunya. Meletakkan kacamata di atas meja. Lalu merebahkan dirinya di sisi Alins.

Alins tersenyum, "Boleh? Aku akan mendesain kamar yang indah untuk bayi Michelle kalau begitu. Sayang, terima kasih banyak." Aliens mendaratkan kecupan lembut di bibir suaminya. Danny memeluk istrinya dan mematikan lampu kamar tidur mereka.

***

~ Beberapa bulan kemudian ~

Kandungan Michelle sudah berusia sembilan bulan. Alins dirundung rasa gelisah ketika terpaksa meninggalkan Michelle di rumah sendirian.

"Aku sangat khawatir pada Michelle, menurut dokter 4 hari lagi bayinya lahir." Alins tampak mengurungkan niatnya berangkat.

"Jam makan siang aku akan melihatnya." Danny menenangkan istrinya itu.

"Aku tidak apa-apa. Percayalah padaku." Michelle turut menenangkan Alins.

"Michelle, jangan terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika ada salah satu tanda melahirkan, kau harus segera hubungi kami." Alins mendikte, kemudian mengenakan mantel dan syalnya demi menjaga kehangatan tubuh di tengah musim dingin yang menyelimuti.

"Tentu jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja." Michelle meyakinkan Alins.

Ketika ditinggalkan sendiri, Michelle tidak lagi menjaga ketenangan diri. Postur tubuh yang semula terlihat kuat dan baik-baik saja telah terlihat lemas tak berdaya. bahkan untuk menopang tubuhnya yang semakin memberat, Michelle terburu-buru duduk di sofa ruangan.

Kakinya sudah sangat terasa sangat pegal. Pinggangnya juga pegal. Kakinya bengkak dan kelas senam hamil yang dipelajari sudah berhenti karena telah memasuki prediksi masa persalinan.

Meski begitu, setelah merasa sedikit bertenaga dan merasa baik, Michelle memaksakan diri membersihkan area dapur atau pun sisi rumah yang berantakan. Padahal Alins tidak memintanya tetapi memang Michelle yang sudah terbiasa bergerak aktif tidak akan diam saja.

"Aaah ... Aduh sakiit." Michelle mendesis.

Sesaat sakitnya hilang. Michelle tahu itu adalah gejala awal pembukaan. Sakitnya kembali datang lagi beberapa menit kemudian. Itu yang ia pelajari dalam kelas senam hamil. Jemarinya bergelut dengan waktu menyelesaikan kegiatan yang hampir selesai.

“Awh, sakit!”

Michelle kembali mengeluh menahan sakit demi sakit yang semakin sering datang. Tangannya dengan sigap meraih handphone di meja lalu sambil merunduk menahan sakit yang kembali datang jemarinya menghubungi Alins lewat ponselnya.

“Bibi Alins, sakit sekali—”

Prank! Suara pecahan kaca yang nyaring telah menginterupsi pembicaraa yang baru tersambung. Sementara Michelle telah jatuh ke lantai dengan posisi meringis kesakitan di lantai.

“Michelle! Apa yang terjadi padamu?” Alins memekik panik di dalam sambungan telepon

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status