“Sialan kau, Roland! Mulutmu itu selalu saja sesuka hati berbicara.” David cepat menyanggah dengan senyuman kesal di wajahnya.“Jadi dia bukan mainanmu? Kau sudah mulai serius dengan wanita?” Roland memandang rendah Michelle yang merundukkan pandangan tanpa peduli pada David.“Sudah hentikan, Roland.”David menoleh pada Michelle. Dia tidak merasa tidak enak hati pada Michelle, sehingga dia memperlakukan Michelle lebih perhatian dari sebelumnya.“Dia adalah wanita baik-baik. Keberadaannya di sini bersamaku tidak seperti yang kau bayangkan.”Tangan David yang memegang lengan Michelle telah berpindah ke punggung. Wanita itu tersentak singkat ketika merasakan kehangatan telapak tangan David di kulit punggungnya.“Perkenalkan, dia adalah personal asistant-ku, Michelle Louise. Keberadaannya di sini menemaniku untuk urusan pekerjaan.”Roland tak merespon. Dia lebih memilih menikmati wine di gelas pada genggaman tangan kanan. Sikapnya yang mengabaikan itu benar-benar meremehkan keberadaan Mic
“Hei, Roland. Sudah hentikan! Michelle bisa tak nyaman jika kau terus seperti itu.” David cepat menghentikan Roland yang selalu saja melontarkan kalimat-kalimat meremehkan Michelle.“Kenapa kau peduli sekali dengan dia? Kau suka padanya?” Roland menuduh.“Hei, kau ini! Michelle adalah orang kepercayaanku sekaligus banyak membantu pekerjaanku!” kali itu David cukup ketus berbicara seperti mulai hilang kesabaran. “Aku tidak mau gara-gara kau, Michelle menjadi tak nyaman! Jangan sampai gara-gara kau, Michelle mengundurkan diri.”“Kau takut kehilangan dia?” Roland bersikap keras kepala pada emosinya.“Roland.” David tertawa kesal sampai sedikit menggeram. “Sangat sulit menemukan personal asistant yang cekatan seperti Michelle. Michelle selalu bisa aku andalkan. Dia selalu serba bisa, pekerjaannya tak pernah mengecewakanku.”“Termasuk tak pernah mengecewakanmu di atas ranjang?”Astaga, seenak hatinya Roland menuduh tanpa tahu kebenarannya. Abaikan Michelle yang sudah terbiasa dengan mulu
Tangan Michelle mengepal kencang, berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi dan menampar pria kejam di hadapannya. Mungkin sudah takdirnya berhadapan dengan pria pendendam yang tak tahu malu menuduh itu.Namun, kali itu Michelle tidak berdiam diri. Roland sudah keterlaluan merendahkan dia yang membungkam mulutnya sejak tadi.“Sepertinya aku sangat berkesan di hidupmu ya, Roland? Sampai sudah enam tahun berlalu kau masih belum bisa melupakanku. Aku saja sudah lupa bagaimana dengan bodohnya bergoyang di atasmu.” Michelle tersenyum sinis dengan tatapan merendahkan.Michelle sudah tidak peduli lagi pada ekspresi marah Roland. Dia juga tidak peduli bagaimana tidak sopannya menyapa Roland. Yang terpenting bagi Michelle saat itu adalah membalas provokasi Roland.“Kau terlalu percaya diri, Michelle.” Roland tersenyum kesal setelah menggeram marah.“Kau yang tidak bisa move on, Roland.” Michelle membalas balik dengan nada sinis yang kental. “Kau yang mencampakkanku! Kau juga yang mengatakan
“Roland? Roland siapa yang kau maksud, Michelle?” Alins langsung bereaksi panik sesuai ekpektasi Michelle. Dia sampai duduk menegang dengan mata membulat sempurna.“Tuan David meneleponku dan aku menjawabnya dalam keadaan menyetir. Aku panik karena sudah sangat terlambat. Dan aku tidak sengaja menabrak mobil yang berada di depanku karena kelalaianku.”Michelle menghela napas kasar setelah menjelaskan awal kronologi kecelakaan yang dialami. Tak lama setelah itu dia kembali membuka mulut untuk melanjutkan cerita.“Awalnya aku mengira itu bukan Roland, karena pria yang pertama aku temui adalah orang lain. Tapi ketika aku berbicara dengan pria itu, Roland keluar dari mobil dan mengejutkanku,” jelasnya.“Bagaimana dengan Leah? Apa dia tahu saat itu kau bersama Leah.” Alins menyahut cepat.Michelle menggeleng. “Dia tidak menyinggung siapa pun kecuali aku. Aku juga telah memastikan Leah juga tidak melihatnya.”Alins mengembuskan napas kasar sembari memejam singkat mata. Duduknya yang menegan
Pagi itu Michelle masih berada di rumah Alins. Dia masih terbaring di ranjang tidur, kedua matanya masih terpejam rapat karena begitu lelahnya kemarin malam. Kedamaian yang dirasakan terganggu oleh sentuhan jemari di pipinya. Michelle enggan membuka mata, sebab dia tahu siapa yang sedang mengusiknya. “Kulit wajah Mommy lembut sekali.” Itu adalah Leah—yang memuji takjub dalam gumaman lemahnya. Michelle tersenyum dengan posisi mata tertutup, namun tak lama setelahnya Michelle membuka mata. “Good morning, Sweetheart.” “Mommy sudah bangun?” Leah tersentak sampai jemarinya membuka di wajah Michelle. “Bagaimana Mommy tidak bangun? Ada jari-jari nakal yang memegang-megang wajah Mommy,” protes Michelle bernada tak senang yang dibuat-buat. “Aku suka menyentuh wajah Mommy, lembut sekali.” Michelle menanggapi lewat senyuman lembut. Wanita itu menatap Leah sembari merapikan rambut Leah yang sedikit berantakan. “Bagaimana perasaanmu? Grandma Alins mengatakan kemarin malam kau ketakutan.” Mi
Michelle telah selesai mempersiapkan diri untuk bekerja di weekend itu. Beruntung dia memiliki beberapa pakaian yang pantas dipakai yang memang sengaja ditinggalkan di rumah Alins. Sehingga setiap kali ada hal mendadak serupa Michelle tak perlu repot-repot pulang ke rumah.Make up yang dipakai juga tepat pada situasi tak terlalu formal, sangat seirama dengan dress semi formal yang menonjolkan sisi feminim seorang Michelle.Namun, Michelle masih diselimuti rasa bersalah pada Leah.Ketika memberitahu Leah bahwa dia tidak bisa memenuhi janji, hati Michelle begitu sakit melihat ekspresi kecewa yang kental menyelimuti wajah cantik putrinya.Leah memang tidak mengeluh apalagi melarangnya pergi. Tetapi wajah murung yang berusaha keras disembunyikan membuat Michelle dihantui rasa bersalah.Michelle keluar dari kamar tidur itu dengan membawa tas pribadi beserta tas yang berisikan laptop dan tablet pc. Langkah kakinya menuju ke teras belakang di mana Alins dan Danny mengajak Lea bersantai.“Kau
Taksi yang ditumpangi hampir tiba pada lokasi tujuan Michelle. Namun Michelle merasa ragu atas tujuannya.Lokasi yang diberitahu David menuju ke bandara di mana semua private jet parkir dan lepas landas. Titik lokasi yang diberikan David pun berada di sebuah cafe yang berada di sekitar bandara.Apa David dan Roland benar-benar akan melakukan pembahasan bisnis pada tempat yang kurang sempurna itu?Pemikiran Michelle semakin menguat ketika dia taksi yang ditumpangi berhenti di titik tujuan. Michelle yang keluar dari taksi menatap bingung lokasi cafe itu. Cafe itu hanya sebuah tempat minum biasa yang jauh dari standart seorang David apalagi Roland.“Anda sudah datang, Nona Michelle?”Seketika Michelle berbalik saat disapa oleh seseorang dari arah belakang. Matanya yang kebingungan telah menatap seorang pria berkemeja formal.“Ya?” Michelle menatap waspada.“Saya adalah Daniel—sekretaris pribadi Tuan Roland.”Michelle langsung tersadar ketika pria itu memperkenalkan diri dan mengajak berj
“Anda bisa ikut duduk dengan saya di kabin belakang. Di sana masih tersedia seat untuk Anda, Nona Michelle.”Daniel berani mengajak Michelle yang menjadi bahan olok-olokan kedua atasan tak bermoral itu. Hal itu dia lakukan demi tak menunda keberangkatan.Michelle sendiri sudah mengangguk setuju pada ajakan Daniel yang menyelamatkannya. Namun, hatinya masih tak terima atas perbuatan Roland beserta David yang secara tak langsung telah melecehkan kehormatannya.“Saya mohon untuk tidak melakukan bercandaan seperti yang barusan kalian lakukan. Walaupun saya hanya seorang bawahan, tetapi saya tidak suka diperlakukan seenak hati dan dinilai murahan. Saya sangat menghormati Anda berdua, jadi tolong perlakukan saya dengan cara yang sama. Saya permisi, Tuan David ... Tuan Roland.”Michelle merundukkan kepala kepada kedua pria yang tertegun dibuatnya. Secara tidak langsung wanita itu menegaskan sikap hormat dari dirinya.Tak lama setelahnya Michelle mengikuti Daniel ke kabin belakang yang dibata