Share

Bab 11: Sosok yang Dirindukan

"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.

Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban.

"Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”

Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.

Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.

Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.

Beruntung lalu lintas pagi itu terbilang lancar. Alins yang mengemudi pun tiba dengan selamat di rumahnya.

“Michelle!” Alins memekik panik sembari berlari keluar dari mobil.

Dia panik melihat Michelle sudah terbaring di tandu, dibawa ke dalam ambulans oleh tim medis yang datang.

“Seharusnya tadi aku tidak meninggalkanmu,” keluh Alins penuh penyesalan.

“Arghh, rasanya sakit sekali, Bibi Alins.” Michelle merintih kesakitan. Wajah cantiknya yang pucat telah dibanjiri keringat, sementara tangannya telah meremas kencang tangan Alins. “Apakah aku bisa melahirkan anakku dengan selamat, Bibi Alins?”

“Kau bisa melakukannya, Michelle! Kau bukanlah wanita lemah. Kau dan anakmu akan baik-baik saja.” Alins menyemangati Michelle.

Sejujurnya, Alins sendiri merasa takut. Situasi sama persis yang dihadapi ketika dulu kakaknya berjuang melahirkan Michelle.

Tidak ada pria yang menemani kecuali dirinya. Dia menjadi saksi hidup bagaimana dulu ibunya Michelle berjuang sendirian.

Dalam pikiran yang berkecamuk itu Alins berusaha terlihat tenang di sisi Michelle. Dia bertekad akan setia mendampingi Michelle sampai ke ruang persalinan.

“Alins! Bagaimana keadaan Michelle?” Danny menyambut Alins beserta Michelle di unit UGD.

Pria itu sepintas memperhatikan istrinya yang memucat karena panik, kemudian menatap keadaan Michelle yang perlahan kehilangan tenaga.

“Sepertinya air ketuban Michelle sudah banyak keluar dalam perjalanan,” jelas Alins yang sangat tertata. Namun tidak dengan ritme suaranya yang gemetaran takut. “Walaupun aku bukan dokter kandungan, melihatnya saja sudah sangat mustahil bagi Michelle melahirkan secara normal. Bagaimana ini, Sayang? Aku takut terjadi hal buruk pada Michelle.”

Danny dengan sigap menenangkan istrinya ke dalam pelukan setelah Michelle mendapatkan pertolongan dari tim medis. “Kita akan berikan yang terbaik untuk Michelle dan calon anaknya. Mau itu normal ataupun cesare, yang terpenting keduanya dalam keadaan baik-baik saja.”

“Aku sudah berkoordinasi dengan dokter kandungan Michelle. Dia telah menyiapkan segala tindakan yang terbaik untuk persalinan Michelle. Jadi, kita bantu dengan doa agar Michelle dan calon anaknya bisa selamat,” lanjut Danny menimpali.

Dan benar saja, setelah mendapatkan pertolongan singkat di UGD, Michelle segera dilarikan ke ruang operasi. Selaku wali sah dari wanita cantik itu, Alins tentu tak menolak.

“Apakah suami dari Nyonya Michelle akan menemani selama operasi persalinan?”

Alins dan Danny terdiam dibuat perawat yang membawa Michelle ke ruang operasi.

“Hmm ... itu-”

“Suaminya tidak bisa mendampingi karena bekerja di luar kota.” Danny segera mengambil alih karena Alins kebingungan mencari alasan.

“Kalau begitu apa salah satu dari kalian yang akan menemani?” tanya perawat dengan sopan.

Danny melirik pada istrinya. Hatinya sangat berat mengizinkan istrinya masuk menemani Michelle. Hal itu karena pucatnya wajah Alins, ditambah lagi kacaunya emosi Alins membuat Danny takut jika istrinya tak bisa bersikap tenang di dalam sana.

Sayangnya, Danny tak bisa memutuskan keputusan itu mengingat Alins nanti akan kecewa.

“Istriku yang akan masuk menemani Michelle,” putusnya.

***

Cahaya putih di depan mata sangat menyilaukan pandangan. Tetapi anehnya, Michelle tidak merasa terganggu. Sebaliknya, dia merasa menggenggam sebuah harapan setelah sebelumnya sangat tersiksa oleh rasa sakit yang baru pertama kali dirasakan.

Wanita cantik itu sadar atas posisinya saat itu. Dia sedang berada di meja operasi. Michelle bahkan mengetahui jika sebelumnya telah diberi bius yang membuai kesadaran diri ke dalam ketenangan.

Dia akan melahirkan anaknya secara cesare. Namun, apakah dia mampu bertahan setelah melahirkan anaknya? Mengingat Michelle merasa tak lagi memiliki tenaga lebih.

“Michelle,” seruan lembut dari sisi kiri telah mencuri perhatian Michelle.

Wanita cantik itu menoleh. Matanya sayup-sayup melihat sosok wanita cantik yang wajahnya sangat dirindukan.

“Mommy?” Michelle menggumam lemah.

“Michelle, ini aku-Alins.” Suara Alins sangat lembut menyadarkan Michelle, selembut tangannya membelai pipi Michelle. “Kau bisa bertahan, Michelle! Kau kuat! Jangan pikirkan apa pun kecuali anakmu yang akan kau temui saat ini.”

Batin Michelle sangat menyetujui perkataan Alins. Tetapi, ada bisikan lain yang mengacaukan pikiran jika Michelle tak bisa seperti itu.

Apalagi Michelle merasakan kedinginan yang menyelimuti sekujur tubuh sampai ke ujung -ujung jemari kaki.

“Bibi Alins, aku kedinginan.”

Alins terkesiap dengan mata membelalak panik. “Michelle, anakmu sebentar lagi akan lahir. Aku melihat dokter sudah memegang kepalanya.”

“Dingin sekali, Bibi Alins. Aku kedinginan.”

Ketika mulut Alins sudah terbuka ingin menyanggah Michelle, suara tangis bayi yang memekik kencang telah menginterupsi seluruh ruangan.

Suaranya yang kencang begitu menguasai, seolah-olah dia sedang menegaskan keadaannya yang sehat sampai bisa berteriak sekencang itu.

Sayangnya, tangisan yang memekik itu tak tersampaikan baik ke telinga Michelle .

Perhatian Alins terpecahkan. Wanita itu panik melihat Michelle yang sudah menutup rapat-rapat kedua matanya.

“Michelle! Michelle! Buka matamu, Michelle!” Alins berseru memanggil-manggil Michelle yang tak merespon.

***

Sret! Roland terkesiap ketika tiba-tiba ujung telunjuknya terluka akibat ketajaman ujung HVS dari dokumen yang sedang ditandangani.

Pria terdiam kaku melihat melihat darah segar yang keluar dari goresan luka di telunjuk.

“Maafkan saya, Tuan Roland. Saya akan mengganti dengan kertas tak setajam untuk selanjutnya.” Daniel bertindak cepat mengambil selembar tissue.

Roland masih pada posisinya, terdiam kaku menatap telunjuknya yang terluka kecil. Dia bahkan tak mengambil selembar tissue yang diberikan oleh Daniel.

“Tuan Roland? Anda baik-baik saja?” Daniel menegur dengan berhati-hati.

Roland sendiri juga merasa bingung pada dirinya. Beberapa belakangan itu dia sulit berkonsentrasi. Roland kerap dihantui kegelisahan.

Belakangan itu juga Roland mengalami insomnia berkepanjangan yang mengganggu. Padahal sebelumnya Roland tak pernah mengalami kesulitan-kesulitan itu.

Roland menghela napas kasar kemudian melepaskan kacamata yang dipergunakan selama bekerja. Barulah setelah itu dia mengambil selembar tissue yang sudah sejak tadi Daniel tawarkan.

“Anda baik-baik saja, Tuan Roland?” tanya Daniel merasa cemas.

“Aku baik-baik saja. Mungkin karena insomnia sialan itu aku jadi kurang konsentrasi.” Roland bersikap tenang.

"Sebaiknya Anda beristirahat . Anda sudah bekerja selama 2 hari tanpa pulang ke apartemen. Dan bukankah beberapa hari lagi natal? Anda tidak ingin menghabiskan malam natal dengan agenda pribadi?”

Roland kembali terdiam. Dia sangat tersinggung pada Daniel yang berbicara dengan naif.

Roland jelas tidak akan melewatkan natal tahun ini dengan kebahagiaan. Sebab, natal di tahun sebelumnya terisi oleh kenangan manis bersama Michelle.

Roland tidak pernah berlama-lama menghabiskan waktu dengan keluarganya. Dia hanya akan sekadar makan malam dengan keluarga, kemudian berlari ke pelukan Michelle yang membuai kesadarannya.

Hanya ada Michelle yang selalu menemani Roland pada setiap natal. Hanya ada kehangatan Michelle yang memanjakan Roland.

“Mohon maaf sebelumnya, Tuan Roland. Saya menemukan ini di laci meja kerja saya.” Daniel meletakkan sebuah kotak berpita di meja kerja Roland. “Mungkin pemiliknya lupa atau tidak punya waktu memberikan kepada Anda.”

Walaupun samar-samar, Roland berhasil mengingat kotak itu. Kotak itu pernah hampir diterimanya pada natal tahun lalu. Tetapi, Roland kembalikan tanpa sempat membukanya dan lebih memilih kenikmatan tubuh Michelle sebagai hadiahnya.

Sepasang cufflink berwarna biru Roland dapati di dalam kotak itu. Sebuah catatan kecil bertuliskan “Marry Christmas” dengan simbol hati juga Roland temui.

“Batalkam schedule-ku hari ini. Aku ingin ke suatu tempat,” titah Roland tak terbantah.

~ Bersambung ~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status