Home / Romansa / Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah! / Bab 11: Sosok yang Dirindukan

Share

Bab 11: Sosok yang Dirindukan

last update Last Updated: 2024-07-10 13:38:32

"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.

Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban.

"Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”

Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.

Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.

Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.

Beruntung lalu lintas pagi itu terbilang lancar. Alins yang mengemudi pun tiba dengan selamat di rumahnya.

“Michelle!” Alins memekik panik sembari berlari keluar dari mobil.

Dia panik melihat Michelle sudah terbaring di tandu, dibawa ke dalam ambulans oleh tim medis yang datang.

“Seharusnya tadi aku tidak meninggalkanmu,” keluh Alins penuh penyesalan.

“Arghh, rasanya sakit sekali, Bibi Alins.” Michelle merintih kesakitan. Wajah cantiknya yang pucat telah dibanjiri keringat, sementara tangannya telah meremas kencang tangan Alins. “Apakah aku bisa melahirkan anakku dengan selamat, Bibi Alins?”

“Kau bisa melakukannya, Michelle! Kau bukanlah wanita lemah. Kau dan anakmu akan baik-baik saja.” Alins menyemangati Michelle.

Sejujurnya, Alins sendiri merasa takut. Situasi sama persis yang dihadapi ketika dulu kakaknya berjuang melahirkan Michelle.

Tidak ada pria yang menemani kecuali dirinya. Dia menjadi saksi hidup bagaimana dulu ibunya Michelle berjuang sendirian.

Dalam pikiran yang berkecamuk itu Alins berusaha terlihat tenang di sisi Michelle. Dia bertekad akan setia mendampingi Michelle sampai ke ruang persalinan.

“Alins! Bagaimana keadaan Michelle?” Danny menyambut Alins beserta Michelle di unit UGD.

Pria itu sepintas memperhatikan istrinya yang memucat karena panik, kemudian menatap keadaan Michelle yang perlahan kehilangan tenaga.

“Sepertinya air ketuban Michelle sudah banyak keluar dalam perjalanan,” jelas Alins yang sangat tertata. Namun tidak dengan ritme suaranya yang gemetaran takut. “Walaupun aku bukan dokter kandungan, melihatnya saja sudah sangat mustahil bagi Michelle melahirkan secara normal. Bagaimana ini, Sayang? Aku takut terjadi hal buruk pada Michelle.”

Danny dengan sigap menenangkan istrinya ke dalam pelukan setelah Michelle mendapatkan pertolongan dari tim medis. “Kita akan berikan yang terbaik untuk Michelle dan calon anaknya. Mau itu normal ataupun cesare, yang terpenting keduanya dalam keadaan baik-baik saja.”

“Aku sudah berkoordinasi dengan dokter kandungan Michelle. Dia telah menyiapkan segala tindakan yang terbaik untuk persalinan Michelle. Jadi, kita bantu dengan doa agar Michelle dan calon anaknya bisa selamat,” lanjut Danny menimpali.

Dan benar saja, setelah mendapatkan pertolongan singkat di UGD, Michelle segera dilarikan ke ruang operasi. Selaku wali sah dari wanita cantik itu, Alins tentu tak menolak.

“Apakah suami dari Nyonya Michelle akan menemani selama operasi persalinan?”

Alins dan Danny terdiam dibuat perawat yang membawa Michelle ke ruang operasi.

“Hmm ... itu-”

“Suaminya tidak bisa mendampingi karena bekerja di luar kota.” Danny segera mengambil alih karena Alins kebingungan mencari alasan.

“Kalau begitu apa salah satu dari kalian yang akan menemani?” tanya perawat dengan sopan.

Danny melirik pada istrinya. Hatinya sangat berat mengizinkan istrinya masuk menemani Michelle. Hal itu karena pucatnya wajah Alins, ditambah lagi kacaunya emosi Alins membuat Danny takut jika istrinya tak bisa bersikap tenang di dalam sana.

Sayangnya, Danny tak bisa memutuskan keputusan itu mengingat Alins nanti akan kecewa.

“Istriku yang akan masuk menemani Michelle,” putusnya.

***

Cahaya putih di depan mata sangat menyilaukan pandangan. Tetapi anehnya, Michelle tidak merasa terganggu. Sebaliknya, dia merasa menggenggam sebuah harapan setelah sebelumnya sangat tersiksa oleh rasa sakit yang baru pertama kali dirasakan.

Wanita cantik itu sadar atas posisinya saat itu. Dia sedang berada di meja operasi. Michelle bahkan mengetahui jika sebelumnya telah diberi bius yang membuai kesadaran diri ke dalam ketenangan.

Dia akan melahirkan anaknya secara cesare. Namun, apakah dia mampu bertahan setelah melahirkan anaknya? Mengingat Michelle merasa tak lagi memiliki tenaga lebih.

“Michelle,” seruan lembut dari sisi kiri telah mencuri perhatian Michelle.

Wanita cantik itu menoleh. Matanya sayup-sayup melihat sosok wanita cantik yang wajahnya sangat dirindukan.

“Mommy?” Michelle menggumam lemah.

“Michelle, ini aku-Alins.” Suara Alins sangat lembut menyadarkan Michelle, selembut tangannya membelai pipi Michelle. “Kau bisa bertahan, Michelle! Kau kuat! Jangan pikirkan apa pun kecuali anakmu yang akan kau temui saat ini.”

Batin Michelle sangat menyetujui perkataan Alins. Tetapi, ada bisikan lain yang mengacaukan pikiran jika Michelle tak bisa seperti itu.

Apalagi Michelle merasakan kedinginan yang menyelimuti sekujur tubuh sampai ke ujung -ujung jemari kaki.

“Bibi Alins, aku kedinginan.”

Alins terkesiap dengan mata membelalak panik. “Michelle, anakmu sebentar lagi akan lahir. Aku melihat dokter sudah memegang kepalanya.”

“Dingin sekali, Bibi Alins. Aku kedinginan.”

Ketika mulut Alins sudah terbuka ingin menyanggah Michelle, suara tangis bayi yang memekik kencang telah menginterupsi seluruh ruangan.

Suaranya yang kencang begitu menguasai, seolah-olah dia sedang menegaskan keadaannya yang sehat sampai bisa berteriak sekencang itu.

Sayangnya, tangisan yang memekik itu tak tersampaikan baik ke telinga Michelle .

Perhatian Alins terpecahkan. Wanita itu panik melihat Michelle yang sudah menutup rapat-rapat kedua matanya.

“Michelle! Michelle! Buka matamu, Michelle!” Alins berseru memanggil-manggil Michelle yang tak merespon.

***

Sret! Roland terkesiap ketika tiba-tiba ujung telunjuknya terluka akibat ketajaman ujung HVS dari dokumen yang sedang ditandangani.

Pria terdiam kaku melihat melihat darah segar yang keluar dari goresan luka di telunjuk.

“Maafkan saya, Tuan Roland. Saya akan mengganti dengan kertas tak setajam untuk selanjutnya.” Daniel bertindak cepat mengambil selembar tissue.

Roland masih pada posisinya, terdiam kaku menatap telunjuknya yang terluka kecil. Dia bahkan tak mengambil selembar tissue yang diberikan oleh Daniel.

“Tuan Roland? Anda baik-baik saja?” Daniel menegur dengan berhati-hati.

Roland sendiri juga merasa bingung pada dirinya. Beberapa belakangan itu dia sulit berkonsentrasi. Roland kerap dihantui kegelisahan.

Belakangan itu juga Roland mengalami insomnia berkepanjangan yang mengganggu. Padahal sebelumnya Roland tak pernah mengalami kesulitan-kesulitan itu.

Roland menghela napas kasar kemudian melepaskan kacamata yang dipergunakan selama bekerja. Barulah setelah itu dia mengambil selembar tissue yang sudah sejak tadi Daniel tawarkan.

“Anda baik-baik saja, Tuan Roland?” tanya Daniel merasa cemas.

“Aku baik-baik saja. Mungkin karena insomnia sialan itu aku jadi kurang konsentrasi.” Roland bersikap tenang.

"Sebaiknya Anda beristirahat . Anda sudah bekerja selama 2 hari tanpa pulang ke apartemen. Dan bukankah beberapa hari lagi natal? Anda tidak ingin menghabiskan malam natal dengan agenda pribadi?”

Roland kembali terdiam. Dia sangat tersinggung pada Daniel yang berbicara dengan naif.

Roland jelas tidak akan melewatkan natal tahun ini dengan kebahagiaan. Sebab, natal di tahun sebelumnya terisi oleh kenangan manis bersama Michelle.

Roland tidak pernah berlama-lama menghabiskan waktu dengan keluarganya. Dia hanya akan sekadar makan malam dengan keluarga, kemudian berlari ke pelukan Michelle yang membuai kesadarannya.

Hanya ada Michelle yang selalu menemani Roland pada setiap natal. Hanya ada kehangatan Michelle yang memanjakan Roland.

“Mohon maaf sebelumnya, Tuan Roland. Saya menemukan ini di laci meja kerja saya.” Daniel meletakkan sebuah kotak berpita di meja kerja Roland. “Mungkin pemiliknya lupa atau tidak punya waktu memberikan kepada Anda.”

Walaupun samar-samar, Roland berhasil mengingat kotak itu. Kotak itu pernah hampir diterimanya pada natal tahun lalu. Tetapi, Roland kembalikan tanpa sempat membukanya dan lebih memilih kenikmatan tubuh Michelle sebagai hadiahnya.

Sepasang cufflink berwarna biru Roland dapati di dalam kotak itu. Sebuah catatan kecil bertuliskan “Marry Christmas” dengan simbol hati juga Roland temui.

“Batalkam schedule-ku hari ini. Aku ingin ke suatu tempat,” titah Roland tak terbantah.

~ Bersambung ~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 12: Itu Semua Keputusanmu

    Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya

    Last Updated : 2024-07-11
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 13: Mimpi yang Nyata

    Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan

    Last Updated : 2024-07-12
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 14: Fakta Menyakitkan

    Setelah siuman dari koma, butuh beberapa hari bagi Michelle memulihkan kesadaran sepenuhnya di ruangan ICU. Wanita cantik itu akhirnya dipindahkan ke kamar inap dan leluasa bertemu dengan Alins beserta Danny.Bukan hanya kedua orang terdekat itu, Michelle juga bertemu dengan Celine yang datang menjenguk—satu hari sebelum Michelle siuman.Michelle akhirnya mengetahui bahwa dirinya mengalami koma selama tiga hari. Lewat Alins, dia diberi tahu bahwa Alins dan Danny menangisi dirinya yang mengeluarkan air mata ketika tak sadarkan diri.Puncak kebahagiaan Michelle adalah bertemu untuk pertama kali dengan putri cantiknya.Segenap desakan kebahagiaan menguasai jiwa Michelle yang berkaca-kaca menatap putrinya. Tangannya sampai gemetar ketika menerima putrinya ke dalam pelukannya.Bayi itu adalah bayi perempuan bertubuh sehat dengan pipi gembul yang menggemaskan. Bibirnya yang memerah sampai terhimpit oleh pipi gembulnya, sampai menekan bibirnya hingga setengah mengerucut mungil.Sayangnya, ha

    Last Updated : 2024-07-13
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 15: Pengakuan

    “Memangnya orang sepertiku bisa bertemu dengan orang penting seperti mereka?”Ah, benar. Celine sudah pasti sulit bertemu dengan orang-orang seperti Roland maupun Ella. Celine hanyalah pegawai biasa di sebuah perusahaan, sementara Roland dan Ella tokoh berpengaruh di bidangnya masing-masing. Latar belakang sosial mereka sangat bertolak belakang, ditambah lagi perusahaan tempat Celine bekerja tidak berkaitan dengan perusahaan Roland.Michelle terlalu memaksakan diri dari pemikirannya yang dinilai. Tidak akan mungkin Celine bertemu dengan Roland, walaupun hanya sepintas.“Kenapa kau masih memikirkan pria itu?”Michelle tersentak dari lamunannya. Matanya semula kosong karena berpikir telah menatap Celine yang menatapnya penuh penekanan mendalam.“Dia saja tidak ada penyesalan setelah mencampakanmu, jadi tidak ada gunanya kau masih memikirkan dia,” lanjut Celine menasihati.“Aku hanya penasaran saja sebaik apa kehidupannya sekarang.” Michelle berdalih sembari memalingkan pandangan kepada

    Last Updated : 2024-07-14
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 16: Tidak Bisa Berhati-hati

    ~ Lima tahun kemudian ~Kesepuluh jemari yang menari lincah di keyboard—laptop akhirnya berhenti setelah menekan keypad titik. Mata yang terlihat lelah itu juga merengkuh rasa lega, karena tidak lagi fokus ke layar laptop.Wanita cantik yang mengenakan setelan formal berwarna putih-cokelat itu telah mengendurkan ketegangan di tubuhnya. Dia melakukan peregangan pada lehernya, mematahkan lembut ke kanan dan ke kiri. Pinggang yang terasa pegal pun tak luput dari gerakan peregangannya.Dia adalah Michelle yang kembali produktif. Satu tahun setelah melahirkan, Michelle berhasil mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah firma hukum cukup ternama.Michelle tak memilih-milih pekerjaan walaupun harus kembali menjadi personal asistant untuk pemilik firma hukum itu. Apalagi gaji yang ditawarkan sangat menarik. Yang terpenting bagi Michelle saat itu adalah menghasilkan uang dan tak menjadi beban bagi Alins beserta Danny.Pekerjaannya tidak berbanding jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Michelle masih t

    Last Updated : 2024-07-15
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 17: Kecelakaan yang Mendebarkan

    Setelah menjemput putrinya di rumah Alins, Michelle langsung bertolak pulang ke rumahnya. Wanita cantik itu segera membersihkan tubuhnya yang lelah, berusaha melepaskan seluruh kepenatan yang menguras pikiran dan tenaga di kerjaan.Namun, Michelle belum mampu melupakan perkataan David.Michelle duduk di meja rias setelah mengenakan piyama. Awalnya Michelle berniat menyisir rambutnya, namun dia berakhir duduk melamun di sana.Itu bukan pertama kali David mengatakan kalimat ambigu yang bisa membuat Michelle salah paham. David memang selalu terang-terang bersikap dan berkata-kata sama. Apalagi tadi sebelum beranjak pergi, Michelle terkejut oleh David yang tiba-tiba mengelus pipinya dengan lembut.“Apa yang sedang Anda pikirkan, Nyonya Michelle?”Michelle tersentak, kemudian menoleh ke arah pintu kamar yang sudah terbuka. Wajah Michelle seketika berseri melihat Leah yang memasang wajah mengejek.“Kau sudah menyiapkan tas sekolahmu untuk besok, Nona Leah?” sahut Michelle dengan candaan yan

    Last Updated : 2024-07-16
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 18: Malam Pertemuan

    Sembari menenangkan perasaannya, Michelle memindai baik-baik pria di hadapannya itu. Mau berapa lama pun Michelle menatap, pria di hadapannya itu adalah Roland—pria yang setengah mati Michelle lupakan.Michelle sampai meyakinkan diri bahwa situasi bukanlah mimpi. Dia dengan sengaja mengepal tangannya kencang-kencang, sampai kuku-kuku jemarinya menyakiti telapak tangan.Rasa sakit yang dirasakan begitu tegas menyadarkan Michelle. Angin malam yang menerpa tubuh—yang berpakaian cukup terbuka pun turut ikut campur.Michelle telah mati-matian melupakan pria yang merusak perjalanan hidupnya hampir enam tahun lalu. Mengapa dia kembali dipertemukan setelah hatinya lebih kuat?Tiba-tiba Michelle teringat pada Leah yang berada di dalam mobilnya. Michelle menoleh singkat ke arah mobil, kemudian memposisikan diri sejajar berdiri di depan Roland yang menatapnya tajam.Tujuan Michelle hanya satu, yaitu menghalangi Leah bisa melihat sosok Roland. Dia juga berusaha menutup keberadaan Leah dari Roland

    Last Updated : 2024-07-17
  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 19: Pembicaraan yang Disengaja

    “Sialan kau, Roland! Mulutmu itu selalu saja sesuka hati berbicara.” David cepat menyanggah dengan senyuman kesal di wajahnya.“Jadi dia bukan mainanmu? Kau sudah mulai serius dengan wanita?” Roland memandang rendah Michelle yang merundukkan pandangan tanpa peduli pada David.“Sudah hentikan, Roland.”David menoleh pada Michelle. Dia tidak merasa tidak enak hati pada Michelle, sehingga dia memperlakukan Michelle lebih perhatian dari sebelumnya.“Dia adalah wanita baik-baik. Keberadaannya di sini bersamaku tidak seperti yang kau bayangkan.”Tangan David yang memegang lengan Michelle telah berpindah ke punggung. Wanita itu tersentak singkat ketika merasakan kehangatan telapak tangan David di kulit punggungnya.“Perkenalkan, dia adalah personal asistant-ku, Michelle Louise. Keberadaannya di sini menemaniku untuk urusan pekerjaan.”Roland tak merespon. Dia lebih memilih menikmati wine di gelas pada genggaman tangan kanan. Sikapnya yang mengabaikan itu benar-benar meremehkan keberadaan Mic

    Last Updated : 2024-07-18

Latest chapter

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 137: Ayah dan Gadis Kecilnya

    “Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 136: Berjanjilah Padaku

    Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 135: Bagaimana Jika Tahu? (II)

    Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 134: Bagaimana Jika Tahu? (I)

    “Apa kita tidak ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa barangku dan Leah?”Michelle berusaha memecahkan keheningan canggung yang membentang di dalam mobil. Dia melirik ke samping di mana Roland bergeming tenang sembari fokus mengemudi. Michelle sedang samar-samar menanti tanggapan Roland yang sejak tadi menutup mulut.“Karena tidak tahu berapa lama aku dan Leah tinggal di tempatmu, sepertinya tidak salah jika kita ke rumahku untuk mengambil beberapa barang keperluan kami.” Michelle kembali mencuri perhatian dengan ketenangan yang hati-hati.Sayangnya, usaha Michelle belum mampu menarik perhatian Roland. Pria itu masih bergeming seperti semula. Seolah-olah dia mengabaikan keberadaan Michelle.Sikap Michelle itu berkaitan dengan sikap Roland yang tiba-tiba menjadi pendiam. Padahal sebelumnya Roland sangat kritis atas apa pun ucapan Michelle. Sehingga Michelle menaruh kecurigaan pada Roland yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.Keheningan Roland dinilai gugup dan gelisah. Penda

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 133: Firasat

    ~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 132: Apa Kau Siap?

    Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 131: Keinginan yang Mendesak

    Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 130: Penyesalan Di akhir

    Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 129: Sapaan Baru

    Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status