"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.
Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban. "Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.” Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan. Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda. Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit. Beruntung lalu lintas pagi itu terbilang lancar. Alins yang mengemudi pun tiba dengan selamat di rumahnya. “Michelle!” Alins memekik panik sembari berlari keluar dari mobil. Dia panik melihat Michelle sudah terbaring di tandu, dibawa ke dalam ambulans oleh tim medis yang datang. “Seharusnya tadi aku tidak meninggalkanmu,” keluh Alins penuh penyesalan. “Arghh, rasanya sakit sekali, Bibi Alins.” Michelle merintih kesakitan. Wajah cantiknya yang pucat telah dibanjiri keringat, sementara tangannya telah meremas kencang tangan Alins. “Apakah aku bisa melahirkan anakku dengan selamat, Bibi Alins?” “Kau bisa melakukannya, Michelle! Kau bukanlah wanita lemah. Kau dan anakmu akan baik-baik saja.” Alins menyemangati Michelle. Sejujurnya, Alins sendiri merasa takut. Situasi sama persis yang dihadapi ketika dulu kakaknya berjuang melahirkan Michelle. Tidak ada pria yang menemani kecuali dirinya. Dia menjadi saksi hidup bagaimana dulu ibunya Michelle berjuang sendirian. Dalam pikiran yang berkecamuk itu Alins berusaha terlihat tenang di sisi Michelle. Dia bertekad akan setia mendampingi Michelle sampai ke ruang persalinan. “Alins! Bagaimana keadaan Michelle?” Danny menyambut Alins beserta Michelle di unit UGD. Pria itu sepintas memperhatikan istrinya yang memucat karena panik, kemudian menatap keadaan Michelle yang perlahan kehilangan tenaga. “Sepertinya air ketuban Michelle sudah banyak keluar dalam perjalanan,” jelas Alins yang sangat tertata. Namun tidak dengan ritme suaranya yang gemetaran takut. “Walaupun aku bukan dokter kandungan, melihatnya saja sudah sangat mustahil bagi Michelle melahirkan secara normal. Bagaimana ini, Sayang? Aku takut terjadi hal buruk pada Michelle.” Danny dengan sigap menenangkan istrinya ke dalam pelukan setelah Michelle mendapatkan pertolongan dari tim medis. “Kita akan berikan yang terbaik untuk Michelle dan calon anaknya. Mau itu normal ataupun cesare, yang terpenting keduanya dalam keadaan baik-baik saja.” “Aku sudah berkoordinasi dengan dokter kandungan Michelle. Dia telah menyiapkan segala tindakan yang terbaik untuk persalinan Michelle. Jadi, kita bantu dengan doa agar Michelle dan calon anaknya bisa selamat,” lanjut Danny menimpali. Dan benar saja, setelah mendapatkan pertolongan singkat di UGD, Michelle segera dilarikan ke ruang operasi. Selaku wali sah dari wanita cantik itu, Alins tentu tak menolak. “Apakah suami dari Nyonya Michelle akan menemani selama operasi persalinan?” Alins dan Danny terdiam dibuat perawat yang membawa Michelle ke ruang operasi. “Hmm ... itu-” “Suaminya tidak bisa mendampingi karena bekerja di luar kota.” Danny segera mengambil alih karena Alins kebingungan mencari alasan. “Kalau begitu apa salah satu dari kalian yang akan menemani?” tanya perawat dengan sopan. Danny melirik pada istrinya. Hatinya sangat berat mengizinkan istrinya masuk menemani Michelle. Hal itu karena pucatnya wajah Alins, ditambah lagi kacaunya emosi Alins membuat Danny takut jika istrinya tak bisa bersikap tenang di dalam sana. Sayangnya, Danny tak bisa memutuskan keputusan itu mengingat Alins nanti akan kecewa. “Istriku yang akan masuk menemani Michelle,” putusnya. *** Cahaya putih di depan mata sangat menyilaukan pandangan. Tetapi anehnya, Michelle tidak merasa terganggu. Sebaliknya, dia merasa menggenggam sebuah harapan setelah sebelumnya sangat tersiksa oleh rasa sakit yang baru pertama kali dirasakan. Wanita cantik itu sadar atas posisinya saat itu. Dia sedang berada di meja operasi. Michelle bahkan mengetahui jika sebelumnya telah diberi bius yang membuai kesadaran diri ke dalam ketenangan. Dia akan melahirkan anaknya secara cesare. Namun, apakah dia mampu bertahan setelah melahirkan anaknya? Mengingat Michelle merasa tak lagi memiliki tenaga lebih. “Michelle,” seruan lembut dari sisi kiri telah mencuri perhatian Michelle. Wanita cantik itu menoleh. Matanya sayup-sayup melihat sosok wanita cantik yang wajahnya sangat dirindukan. “Mommy?” Michelle menggumam lemah. “Michelle, ini aku-Alins.” Suara Alins sangat lembut menyadarkan Michelle, selembut tangannya membelai pipi Michelle. “Kau bisa bertahan, Michelle! Kau kuat! Jangan pikirkan apa pun kecuali anakmu yang akan kau temui saat ini.” Batin Michelle sangat menyetujui perkataan Alins. Tetapi, ada bisikan lain yang mengacaukan pikiran jika Michelle tak bisa seperti itu. Apalagi Michelle merasakan kedinginan yang menyelimuti sekujur tubuh sampai ke ujung -ujung jemari kaki. “Bibi Alins, aku kedinginan.” Alins terkesiap dengan mata membelalak panik. “Michelle, anakmu sebentar lagi akan lahir. Aku melihat dokter sudah memegang kepalanya.” “Dingin sekali, Bibi Alins. Aku kedinginan.” Ketika mulut Alins sudah terbuka ingin menyanggah Michelle, suara tangis bayi yang memekik kencang telah menginterupsi seluruh ruangan. Suaranya yang kencang begitu menguasai, seolah-olah dia sedang menegaskan keadaannya yang sehat sampai bisa berteriak sekencang itu. Sayangnya, tangisan yang memekik itu tak tersampaikan baik ke telinga Michelle . Perhatian Alins terpecahkan. Wanita itu panik melihat Michelle yang sudah menutup rapat-rapat kedua matanya. “Michelle! Michelle! Buka matamu, Michelle!” Alins berseru memanggil-manggil Michelle yang tak merespon. *** Sret! Roland terkesiap ketika tiba-tiba ujung telunjuknya terluka akibat ketajaman ujung HVS dari dokumen yang sedang ditandangani. Pria terdiam kaku melihat melihat darah segar yang keluar dari goresan luka di telunjuk. “Maafkan saya, Tuan Roland. Saya akan mengganti dengan kertas tak setajam untuk selanjutnya.” Daniel bertindak cepat mengambil selembar tissue. Roland masih pada posisinya, terdiam kaku menatap telunjuknya yang terluka kecil. Dia bahkan tak mengambil selembar tissue yang diberikan oleh Daniel. “Tuan Roland? Anda baik-baik saja?” Daniel menegur dengan berhati-hati. Roland sendiri juga merasa bingung pada dirinya. Beberapa belakangan itu dia sulit berkonsentrasi. Roland kerap dihantui kegelisahan. Belakangan itu juga Roland mengalami insomnia berkepanjangan yang mengganggu. Padahal sebelumnya Roland tak pernah mengalami kesulitan-kesulitan itu. Roland menghela napas kasar kemudian melepaskan kacamata yang dipergunakan selama bekerja. Barulah setelah itu dia mengambil selembar tissue yang sudah sejak tadi Daniel tawarkan. “Anda baik-baik saja, Tuan Roland?” tanya Daniel merasa cemas. “Aku baik-baik saja. Mungkin karena insomnia sialan itu aku jadi kurang konsentrasi.” Roland bersikap tenang. "Sebaiknya Anda beristirahat . Anda sudah bekerja selama 2 hari tanpa pulang ke apartemen. Dan bukankah beberapa hari lagi natal? Anda tidak ingin menghabiskan malam natal dengan agenda pribadi?” Roland kembali terdiam. Dia sangat tersinggung pada Daniel yang berbicara dengan naif. Roland jelas tidak akan melewatkan natal tahun ini dengan kebahagiaan. Sebab, natal di tahun sebelumnya terisi oleh kenangan manis bersama Michelle. Roland tidak pernah berlama-lama menghabiskan waktu dengan keluarganya. Dia hanya akan sekadar makan malam dengan keluarga, kemudian berlari ke pelukan Michelle yang membuai kesadarannya. Hanya ada Michelle yang selalu menemani Roland pada setiap natal. Hanya ada kehangatan Michelle yang memanjakan Roland. “Mohon maaf sebelumnya, Tuan Roland. Saya menemukan ini di laci meja kerja saya.” Daniel meletakkan sebuah kotak berpita di meja kerja Roland. “Mungkin pemiliknya lupa atau tidak punya waktu memberikan kepada Anda.” Walaupun samar-samar, Roland berhasil mengingat kotak itu. Kotak itu pernah hampir diterimanya pada natal tahun lalu. Tetapi, Roland kembalikan tanpa sempat membukanya dan lebih memilih kenikmatan tubuh Michelle sebagai hadiahnya. Sepasang cufflink berwarna biru Roland dapati di dalam kotak itu. Sebuah catatan kecil bertuliskan “Marry Christmas” dengan simbol hati juga Roland temui. “Batalkam schedule-ku hari ini. Aku ingin ke suatu tempat,” titah Roland tak terbantah. ~ Bersambung ~Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
Setelah siuman dari koma, butuh beberapa hari bagi Michelle memulihkan kesadaran sepenuhnya di ruangan ICU. Wanita cantik itu akhirnya dipindahkan ke kamar inap dan leluasa bertemu dengan Alins beserta Danny.Bukan hanya kedua orang terdekat itu, Michelle juga bertemu dengan Celine yang datang menjenguk—satu hari sebelum Michelle siuman.Michelle akhirnya mengetahui bahwa dirinya mengalami koma selama tiga hari. Lewat Alins, dia diberi tahu bahwa Alins dan Danny menangisi dirinya yang mengeluarkan air mata ketika tak sadarkan diri.Puncak kebahagiaan Michelle adalah bertemu untuk pertama kali dengan putri cantiknya.Segenap desakan kebahagiaan menguasai jiwa Michelle yang berkaca-kaca menatap putrinya. Tangannya sampai gemetar ketika menerima putrinya ke dalam pelukannya.Bayi itu adalah bayi perempuan bertubuh sehat dengan pipi gembul yang menggemaskan. Bibirnya yang memerah sampai terhimpit oleh pipi gembulnya, sampai menekan bibirnya hingga setengah mengerucut mungil.Sayangnya, ha
“Memangnya orang sepertiku bisa bertemu dengan orang penting seperti mereka?”Ah, benar. Celine sudah pasti sulit bertemu dengan orang-orang seperti Roland maupun Ella. Celine hanyalah pegawai biasa di sebuah perusahaan, sementara Roland dan Ella tokoh berpengaruh di bidangnya masing-masing. Latar belakang sosial mereka sangat bertolak belakang, ditambah lagi perusahaan tempat Celine bekerja tidak berkaitan dengan perusahaan Roland.Michelle terlalu memaksakan diri dari pemikirannya yang dinilai. Tidak akan mungkin Celine bertemu dengan Roland, walaupun hanya sepintas.“Kenapa kau masih memikirkan pria itu?”Michelle tersentak dari lamunannya. Matanya semula kosong karena berpikir telah menatap Celine yang menatapnya penuh penekanan mendalam.“Dia saja tidak ada penyesalan setelah mencampakanmu, jadi tidak ada gunanya kau masih memikirkan dia,” lanjut Celine menasihati.“Aku hanya penasaran saja sebaik apa kehidupannya sekarang.” Michelle berdalih sembari memalingkan pandangan kepada
~ Lima tahun kemudian ~Kesepuluh jemari yang menari lincah di keyboard—laptop akhirnya berhenti setelah menekan keypad titik. Mata yang terlihat lelah itu juga merengkuh rasa lega, karena tidak lagi fokus ke layar laptop.Wanita cantik yang mengenakan setelan formal berwarna putih-cokelat itu telah mengendurkan ketegangan di tubuhnya. Dia melakukan peregangan pada lehernya, mematahkan lembut ke kanan dan ke kiri. Pinggang yang terasa pegal pun tak luput dari gerakan peregangannya.Dia adalah Michelle yang kembali produktif. Satu tahun setelah melahirkan, Michelle berhasil mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah firma hukum cukup ternama.Michelle tak memilih-milih pekerjaan walaupun harus kembali menjadi personal asistant untuk pemilik firma hukum itu. Apalagi gaji yang ditawarkan sangat menarik. Yang terpenting bagi Michelle saat itu adalah menghasilkan uang dan tak menjadi beban bagi Alins beserta Danny.Pekerjaannya tidak berbanding jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Michelle masih t
Setelah menjemput putrinya di rumah Alins, Michelle langsung bertolak pulang ke rumahnya. Wanita cantik itu segera membersihkan tubuhnya yang lelah, berusaha melepaskan seluruh kepenatan yang menguras pikiran dan tenaga di kerjaan.Namun, Michelle belum mampu melupakan perkataan David.Michelle duduk di meja rias setelah mengenakan piyama. Awalnya Michelle berniat menyisir rambutnya, namun dia berakhir duduk melamun di sana.Itu bukan pertama kali David mengatakan kalimat ambigu yang bisa membuat Michelle salah paham. David memang selalu terang-terang bersikap dan berkata-kata sama. Apalagi tadi sebelum beranjak pergi, Michelle terkejut oleh David yang tiba-tiba mengelus pipinya dengan lembut.“Apa yang sedang Anda pikirkan, Nyonya Michelle?”Michelle tersentak, kemudian menoleh ke arah pintu kamar yang sudah terbuka. Wajah Michelle seketika berseri melihat Leah yang memasang wajah mengejek.“Kau sudah menyiapkan tas sekolahmu untuk besok, Nona Leah?” sahut Michelle dengan candaan yan
Sembari menenangkan perasaannya, Michelle memindai baik-baik pria di hadapannya itu. Mau berapa lama pun Michelle menatap, pria di hadapannya itu adalah Roland—pria yang setengah mati Michelle lupakan.Michelle sampai meyakinkan diri bahwa situasi bukanlah mimpi. Dia dengan sengaja mengepal tangannya kencang-kencang, sampai kuku-kuku jemarinya menyakiti telapak tangan.Rasa sakit yang dirasakan begitu tegas menyadarkan Michelle. Angin malam yang menerpa tubuh—yang berpakaian cukup terbuka pun turut ikut campur.Michelle telah mati-matian melupakan pria yang merusak perjalanan hidupnya hampir enam tahun lalu. Mengapa dia kembali dipertemukan setelah hatinya lebih kuat?Tiba-tiba Michelle teringat pada Leah yang berada di dalam mobilnya. Michelle menoleh singkat ke arah mobil, kemudian memposisikan diri sejajar berdiri di depan Roland yang menatapnya tajam.Tujuan Michelle hanya satu, yaitu menghalangi Leah bisa melihat sosok Roland. Dia juga berusaha menutup keberadaan Leah dari Roland
“Sialan kau, Roland! Mulutmu itu selalu saja sesuka hati berbicara.” David cepat menyanggah dengan senyuman kesal di wajahnya.“Jadi dia bukan mainanmu? Kau sudah mulai serius dengan wanita?” Roland memandang rendah Michelle yang merundukkan pandangan tanpa peduli pada David.“Sudah hentikan, Roland.”David menoleh pada Michelle. Dia tidak merasa tidak enak hati pada Michelle, sehingga dia memperlakukan Michelle lebih perhatian dari sebelumnya.“Dia adalah wanita baik-baik. Keberadaannya di sini bersamaku tidak seperti yang kau bayangkan.”Tangan David yang memegang lengan Michelle telah berpindah ke punggung. Wanita itu tersentak singkat ketika merasakan kehangatan telapak tangan David di kulit punggungnya.“Perkenalkan, dia adalah personal asistant-ku, Michelle Louise. Keberadaannya di sini menemaniku untuk urusan pekerjaan.”Roland tak merespon. Dia lebih memilih menikmati wine di gelas pada genggaman tangan kanan. Sikapnya yang mengabaikan itu benar-benar meremehkan keberadaan Mic