Share

Bab 8: Merasa Kehilangan

"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.

Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.

“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”

Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel.

Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.

Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.

“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”

Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.

“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.

“Aku tidak akan pulang ke rumah itu lagi, aku akan tinggal di apartemen.”

“Baik, Tuan.” Sambil menyetir, Daniel melirik cemas pada atasannya.

***

Esok adalah week end. Lift begitu ramai dan seorang wanita memperhatikan dengan seksama wajah Roland ketika Daniel membawa Roland ke kamar 704. Wanita itu tersenyum bahagia dengan mata berbinar.

"Waaw itu Roland, dia masih sangat tampan." Wanita itu mengigit kukunya sambil terpaku. Sementara Daniel tidak tahu dirinya dan bosnya sedang diamati oleh wanita cantik yang berdiri anggun di dekat lift. Bahkan wanita itu mengigit bibirnya sambil menatap Roland dari kejauhan.

"Roland aku akan menggantikan posisi Ella agar kau tidak perlu mabuk lagi sayang, aku sangat mampu membuatmu melupakan Ella!" Tiffany adalah salah satu wanita yang pernah dekat dengan Roland. Seorang foto model dan ia merasa yakin hanya dirinya yang pantas bersanding dengan Roland.

Daniel telah setengah jam berlalu dari kamar Roland. Tiffany melangkah pasti mengetuk pintu itu. Sekali, dua kali ketuk dan ketukan ketiga kalinya.

Roland terhuyung membuka kamar itu. Matanya yang redup terbuka melihat wanita cantik di depannya. Wajahnya bingung berusaha mengingat wanita ini.

"Roland lupakan Ella, aku datang agar kau melupakan dia." Tiffany langsung memeluk pundak Rolland dengan penuh kehangatqn dan melangkah masuk ke kamar menyeret Roland yang masih terpaku bingung.

"Tiffany? Apa yang kau lakukan. Tolong tinggalkan aku. Aku ingin sendiri." Roland mundur perlahan dari wanita itu.

"Roland, apa aku tidak secantik Ella. Dulu kita sering melakukannya. Beri kesempatan aku membawamu menikmati Nirwan dan membuatmu tersenyum." Tiffany menutup pintu kamar sambil melepas scarf yang menutup lehernya. Menurunkan salah satu kancingnya dan menuntun Roland duduk di ranjangnya.

Roland berpaling namun Tiffany nekat melepas sepatunya dan menanggalkan satu demi satu pakaiannya.

Saliva Roland tertelan. Tubuh molek putih bagai marmer terpampang nyata di depannya. Roland mengusap wajahnya kasar dan dalam beberapa detik kelebat tubuh ramping milik wajah cantik yang ia rindukan membuatnya mundur.

Roland mengacuhkan tubuh menggeliat yang menggodanya. Tiffany berhasil menuntun Roland ke ranjang king size tersebut. Mata Roland terpejam merasakan deru nafasnya, menekan perih kerinduan pada wajah cantik yang lama sekali ia idamkan, 'Michelle!'

Roland tersentak dan mendorong tubuh 'naked' yang berusaha menaklukannya. Tubuh Tiffany terlempar dan terjatuh dari ranjang itu. Pekik Tiffany berteriak kesakitan begitu ngilu terdengar.

"Aaw, Roland apa yang kau lakukan?" tubuh Tiffany merasa sangat kesakitan oleh dorongan kasar Roland.

"KELUAR KAU DARI KAMARKU ATAU AKU PANGGIL KEAMANAN SETENGA JAM DARI SEKARANG!" bentak Roland berpaling pandangan dari tubuh naked Tiffany.

Tiffany hany meringis dan mengenakan pakaiannya yang terserak sementara Roland pergi meninggalkan Tiffany dengan tatap jijik dan benci. Sikap dingin Roland ditambah tatapan setajam elang yang ingin membunuh musuh membuat Tiffany gemetar ketakutan.

Roland menikmati wine di tangannya. Ia menatap kosong ke depan sambil menghembuskan nafas panjang. Denting piano lembut di sudut cafe menambah sendu suasana hatinya.

Roland telah menikahi Ella, melarikan diri dengan alkohol, bekerja bahkan dengan jam kerja melebihi jam kerja pada umumnya. Mengalihkan dunianya demi menghapus paras cantik sekretarisnya itu. "Aku tak bisa ... tak bisa sedetikpun berpaling darinya ..." Roland meracau sambil berbisik pelan.

Roland seperti patung yang hidup. Ia tidak tertarik oleh wanita mana pun saat ini. Tubuh dan jiwanya telah terkunci mati oleh sentuhan lembut yang terakhir ia terima dari Michelle. Kosong dan kosong itulah arti hidup Roland saat ini. Entah sampai kapan semua ini berakhir.

***

"Tuan Roland merger perusahaan kita dengan Tuan Abraham, Ayah dari Nyonya Ella yakin anda batalkan?" Manager dan rapat pemegang saham kini bertanya sekali lagi meyakinkan diri Roland pad keputusannya.

Roland mengangguk acuh. Wajahnya tak perduli Sam sekali.

"Maaf Tuan, sejak akuisisi ini terjadi keuntungan kita berlipat naik. Pasar saham akan kecewa bila kita menggagalkan Merger ini karena tingkat kepercayaan publik menurun. Lagipula Tuan Abraham akan merugi dan saham kita secara keseluruhan ikut anjlok." Salah satu pemegang saham lainnya ikut bicara, menjelaskan secara gamblang mengkhawatirkan keputusan Roland.

"Aku tak perduli dengan itu. Atur kebijakan penggagalan merger. Batalkan secara resmi secepatnya. Aku yakin Abraham tidak akan berani menghadapi kita. Kita bisa menggunakan inovasi yang sudah selesai dirampungkan tim riset. Itu akan membuat angka penjualan terus naik berkali lipat. Saham kita akan tetap konstan di tempat setelah itu."

Daniel segera mencatat instruksi dari Roland dan rapat pemegang saham akhirnya menyetujui keputusan bulat sang CEO atas kerjasama bisnis yang sudah terjalin itu berakhir.

***

Michelle mengernyit setelah berhasil memuntahkan semua isi perutnya ke di kamar mandi. Michelle bngkit terhuyung dengan wajah pucat.

Alins di pintu menatapnya khawatir menuntun Michelle ke kamarnya. "Beristirahatlah, ini gejala morning sicknes. Kau harus tetap makan walau sedikit."

"Aku mual, aku tak bisa Alins." Michelle menggelengkan wajahnya lemah.

Danny tiba-tiba berada dipintu membawa baki berisi sarapan ringan roti panggang teh lemon hangat.

"Michelle minumlah teh ini setelah roti 'backed' nya kau cicipi." Baki itu disiapkan dengan meja lipat di depan Michelle.

"Terima kasih Alins, Danny. Aku beruntung memiliki Kalian." Michelle masih bersandar lemah pada sisi ranjang.

"Sst, honey. Kami bahagia melakukan ini." Danny berkata lembut.

"Danny, aku akan menjaga Michelle. Berangkatlah." Alins mengecup kening Danny. Danny mengangguk setuju dan berlalu.

Sementara Michelle kembali lari ke kamar mandi. Lagi dan lagi memuntahkan semua isi perutnya. Wajah Michelle yang kuyu menatap cermin hampa. Aneh Michael merindukan wajah dari Papa bayi ini.

Setiap pergantian pagi adalah dera siksa bagi Michelle selain mual dan muntah tubuh Michelle juga begitu lemah hingga ia tidak mampu mempersiapkan makan pagi seperti biasanya. Untung saja Alins mengerti sekali dengan keadaan ini.

Beberapa Minggu kemudian. Michelle memegangi tasnya di klinik bersalin. Disamping kiri dan kanannya pasangan suami istri juga sedang antri. Disebelahnya seorang suami mengelus pinggang istrinya yang tampak kelelahan. Mereka menunggu panggilan dari suster yang memegang administrasi.

Hati Michelle terenyuh menekan rasa sedih ketika menyadari ia datang sendirian. Ia menolak diantar Alins karena sangat mengerti Alins harus ke rumah sakit menemui pasiennya.

"Nyonya Michelle silahkan masuk." Seorang suster membuyarkan lamunan Michele.

Butuh usaha keras bagi Michelle melewati waktu demi waktu dengan janin di perutnya tanpa kehadiran seorang pria sebagai papa bayinya. Terkadang hormon kehamilan yang membuat emosinya naik turun dengan cepat membuatnya terisak. Ia redup dalam hitungan menit dan kembali mencoba tersenyum walau terpaksa.

Alins mengelus perut Michelle yang kini tampak besar. "Apa kau akan siap jika bulan depan kau harus mengikuti pelatihan senam ibu hamil di rumah sakit?"

Michelle menggeleng lemah. "Aku siap tetapi pertanyaan demi pertanyaan peserta senam lainnya yang membuat aku begitu lemah, Alins." Michelle mengadu dengan sedih.

"Michelle Sayang, aku akan menemanimu. Bahkan hari pertama senam kehamilan aku akan mengosongkan jadwalku untuk kerumah sakit. Apa kau setuju?"

Michelle mengangguk, senyumannya kembali terukir seperti biasa.

Alins menarik nafas panjang. Masa kehamilan ini memang sangat membuat Michelle tersiksa. Alins sedih melihat tubuh Michelle yang terlihat kurus dan kuyu.

"Minumlah susu hamilmu. Ini rasa mangga."

Michelle menggeleng perlahan memilih terpejam sambil menghapus air matanya yang sebenarnya ia tahan. "Sungguh, ada rindu menyeruak begitu saja menatap wajahmu."

~ Bersambung ~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status