Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras.
"Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland. Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?" "Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran. “Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah. "Tidak mungkin! Aku tidak bodoh,” sanggah Roland tersenyum sinis. "Kenapa tidak mungkin? Itu fakta.” Ella menentang lantang. “Kau masih mencintai sekretarismu itu! Kau bahkan membayangkan Aku adalah dia. Aku muak padamu, Roland!" Ella menunjuk wajah Rolland dengan mata terbuka lebar. Dadanya naik turun mengeluarkan sesak yang selama ini tersimpan. Roland terdiam kaku ketika nama Michele dicatut. Roland tak percaya di saat kemarahannya menggelegak seperti itu justru wajah cantik berambut panjang dengan senyum memikat milik Michelle malah terlintas di pelupuk matanya. Ella dan Michelle adalah dua sosok bagaikan bumi dan langit. Penilaian itu bukan dari segi materi atau pun sosial, melainkan kepribadiannya. Dan Roland mengakui di dalam hati bahwa Michelle memiliki kelebihan yang memikat hati Roland. "Jangan bawa-bawa Michelle! Michelle bukan wanita murahan sepertimu,” Roland mendesis sinis. Isak tangis Ella terdengar. "Justru Aku harus bertanya, siapa Michelle hingga kau terus mengingatnya? Aku bertanya padamu, berapa lama kita menikah? Mengapa kau menyentuhku dengan menyebut dan membayangkan wanita itu? Apa kau mencintai wanita itu?" "Michelle tidak sangkut pautnya dengan permasalahan saat ini! Apa yang kau tangisi? Bukankah di perutmu telah tumbuh buah cinta dengan pria itu. Tersenyumlah! Aku tidak pernah mencintaimu tetapi kau menginjak harga diriku, El! Aku kan menuntut perceraian pernikahan kita." "Roland, aku mohon jangan lakukan itu. Aku mencintaimu. Aku ikhlas kamu menyentuhku dengan membayangkan pelac*r murahan itu. Ini adalah anakmu." “Dia bukan pelac*r!” Roland memekik marah. “Kau mencintai aku tetapi ada bayi pria lain di perutmu, mungkin itu kalimat yang tepat untukmu, Ella.” Roland tersenyum sinis dengan tatapan dingin. Roland mencampakan puluhan foto bukti perselingkuhan Ella yang telah Roland cari tahu diam-diam selama menikah. Puluhan Foto dengan adegan tak senonoh dan kemesraan yang sangat jelas berhamburan di wajah Ella dan jatuh ke lantai dan ranjang didekat Ella berdiri. "Kau pikir aku bodoh? Sejak awal aku sudah menyuruh orang untuk memata-mataimu. Aku akan beri pilihan, akui kesalahanmu atau aku hancurkan hidupmu?" Mata Ella terbelalak melihat satu-persatu fotonya dan Jeremy terpampang jelas. Wajahnya tampak panik dan bingung. Lehernya berulang kali menggeleng keras. Ella terduduk lemah di ranjang. Meratap pilu karena tampaknya ia harus kehilangan Roland. "Roland dengar penjelasanku, ini fit-" Hiks. Roland berlalu menuju pintu dan membanting pintu itu dengan keras mengacuhkan suara Ella yang belum selesai bicara. Ella masih meratap dan memohon berulang kali. Suara mobil Rolland mengakhiri pertengkaran hebat suami istri tersebut. Derai air mata menguasai wajah cantik Ella tak kuasa menahan keinginannya untuk bercerita pada seseorang. Ella meraih ponselnya di nakas. Jemari lentik itu akhirnya menekan sebuah nama yang selalu mendengar ceritanya. Nada sambung terdengar. [Jeremy, aku tak sanggup lagi. Hiks. Aku mohon bawa aku pergi dari neraka ini.] mata sembab dan suara serak Ella kini kembali meneteskan bulir air mata. [Sayang, maafkan aku. Kau harus menderita seperti ini. Apa kau sudah makan? Bagaimana anak kita] Jeremy mengusap wajahnya kasar. Jeremy hilir mudik di apartemen sewa miliknya yang sempit tak tahu harus bagaimana bersikap. [Aku mau hamil dan disisimu Jemmy. Aku muak selalu bertengkar dengan Roland. Roland tahu aku hamil padahal aku belum menjebaknya] Ella kesal mengadu. [Hanya dia jalan satu-satunya agar warisanmu bisa kita dapatkan, kita hanya bertahan 2 atau 3 tahun harusnya. Itu janji papamu bukan? Memberikan warisan granpa-mu bila Kau menikahi Roland. Demi hidup kita kelak lebih baik kau melunak.] [Seandainya Papa merestui kita aku tidak akan terjebak dalam permainan ini. Aku benci Papaku!] [Jangan seperti itu sayang, Papamu adalah jembatan emas kita menuju kebahagiaan. Kau mau bahagia denganku bukan? Berhubungan baiklah dengannya. Kau akan baik-baik saja. Jangan khawatir, fotomu dan Roland waktu itu bisa kita gunakan sekarang. Setelah ini Roland bertekuk lutut padamu. Kau harus yakin] Suara lembut Jemmy seakan menimang Ella yang merasa hancur. Kini Ella sedikit lebih tenang. "Tidak bisa Jemy, tidak bisa semudah itu. Roland malah mempunyai puluhan foto kita ketika kita bercinta. Dia marah besar. Kita gagal sayang, kita gagal. Hiks." Ella merutuki dirinya. Niat hati ingin menjebak Roland malah ia kini terjebak dalam permainannya sendiri. Hubungan komunikasi mereka terputus. Di seberang sana Jemmy menendang apapun yang bisa ia tendang. "Damn! Gagal menguras harta Ella dan Roland. Itu memuakkan sekali!" Teriak Jemmy kesal. Hanya butuh waktu 7 hari surat tuntutan perceraian dari Roland sampai di jemari Ella. Wajah Ella pucat tak mampu membayangkan bagaimana kemarahan orang tuanya mendengar ini. Ella luruh ke lantai ketika seorang sopir menjemputnya untuk keluar dari rumah mewah Roland dan mengantarkan Ella menuju rumah orang tuanya. Ella tak mampu menolak apalagi surat perceraian itu di bawa dan di tunjukkan oleh pengacara Roland. Belum lagi seluruh staf rumah tangga yang merapikan semua barang Ella. Menyiapkan kopernya. Seakan-akan berkonspirasi agar Ella segera angkat kaki dari kediaman Roland. Roland tak menampakan batang hidungnya sama sekali. Justru itu membuat Ella sangat merasa direndahkan. *** Dentuman musik di sebuah klub malam menemani Roland selama 2 hari ini. Ia memang sengaja tidak pulang. Hari ini adalah hari Ella angkat kaki dari rumahnya dan Ia harus merayakannya bukan? "Berikan aku segelas lagi. Lagi, lagi dan lagi ..." racau Roland. Bartender mengangguk menuangkan kembali wine terbaik yang mereka punya untuk tamu VIP mereka. Beberapa wanita cantik kadang berhenti untuk sekedar menyapa dan menggoda Roland yang mabuk berat. Roland mengacuhkan mereka. Ada luka perih yang tak bisa di sembuhkan disini. Bukan Ella, Roland sama sekali tidak terluka oleh ulah Ella. Jauh di lubuk hatinya Roland malah bersyukur bisa membongkar kebusukan wanita itu. Ini tentang kosongnya hati Roland. Setiap sudutnya telah beku oleh nama yang terpahat jauh sebelum pernikahannya dengan Ella berlangsung. "Michelle ..." Bibir Roland entah untuk ke berapa kalinya menyebut nama wanita itu. Roland tak percaya akan terluka oleh hilangnya wanita itu. Semua perilaku lembut dan kebersamaannya dengan Michelle yang ternyata membuatnya bahagia. Bahkan mungkin semua prestasi pekerjaannya yang gemilang karena wanita itu. "Michelle, di mana kamu?" Roland ambruk di meja bartender tak sadarkan diri. Seorang pelayan yang bertugas menangani tamu yang mabuk dengan sigap mencari kartu nama Roland dan menelepon seseorang yang kan menjemputnya. [Tuan Roland mabuk di bar kami, Tuan Hernandes] pelayan bar itu mengabari Daniel Hernandes sekretaris Roland lewat telepon Bar. [Aku akan menjemputnya. Terima kasih atas pelayanan baik Anda pada bos kami.] Bisik-bisik orang lain yang mengenali Roland tampak iba. Berita perceraian Roland Archer, konglomerat perusahaan properti generasi ketiga yang menjabat sebagai CEO perusahaan properti ternama itu dalam beberapa menit telah menjadi kudapan publik. Mantan istri Roland yang memang seorang model dan anak pengusaha jaringan mall di negeri ini pun tak luput di kejar para wartawan. ~ Bersambung ~"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
Setelah siuman dari koma, butuh beberapa hari bagi Michelle memulihkan kesadaran sepenuhnya di ruangan ICU. Wanita cantik itu akhirnya dipindahkan ke kamar inap dan leluasa bertemu dengan Alins beserta Danny.Bukan hanya kedua orang terdekat itu, Michelle juga bertemu dengan Celine yang datang menjenguk—satu hari sebelum Michelle siuman.Michelle akhirnya mengetahui bahwa dirinya mengalami koma selama tiga hari. Lewat Alins, dia diberi tahu bahwa Alins dan Danny menangisi dirinya yang mengeluarkan air mata ketika tak sadarkan diri.Puncak kebahagiaan Michelle adalah bertemu untuk pertama kali dengan putri cantiknya.Segenap desakan kebahagiaan menguasai jiwa Michelle yang berkaca-kaca menatap putrinya. Tangannya sampai gemetar ketika menerima putrinya ke dalam pelukannya.Bayi itu adalah bayi perempuan bertubuh sehat dengan pipi gembul yang menggemaskan. Bibirnya yang memerah sampai terhimpit oleh pipi gembulnya, sampai menekan bibirnya hingga setengah mengerucut mungil.Sayangnya, ha
“Memangnya orang sepertiku bisa bertemu dengan orang penting seperti mereka?”Ah, benar. Celine sudah pasti sulit bertemu dengan orang-orang seperti Roland maupun Ella. Celine hanyalah pegawai biasa di sebuah perusahaan, sementara Roland dan Ella tokoh berpengaruh di bidangnya masing-masing. Latar belakang sosial mereka sangat bertolak belakang, ditambah lagi perusahaan tempat Celine bekerja tidak berkaitan dengan perusahaan Roland.Michelle terlalu memaksakan diri dari pemikirannya yang dinilai. Tidak akan mungkin Celine bertemu dengan Roland, walaupun hanya sepintas.“Kenapa kau masih memikirkan pria itu?”Michelle tersentak dari lamunannya. Matanya semula kosong karena berpikir telah menatap Celine yang menatapnya penuh penekanan mendalam.“Dia saja tidak ada penyesalan setelah mencampakanmu, jadi tidak ada gunanya kau masih memikirkan dia,” lanjut Celine menasihati.“Aku hanya penasaran saja sebaik apa kehidupannya sekarang.” Michelle berdalih sembari memalingkan pandangan kepada
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan
Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta