Share

Bab 5: Pagi Mengejutkan

Pelukan hangat Alins menyambut kedatangan Michelle di terminal kedatangan bandara. Dia membelai rambut panjang Michelle yang tergerai indah, kemudian sorot matanya penuh sayang menatap sosok keponakan yang sudah seperti putri kandungnya.

Danny Elfman juga melakukan hal serupa. Dengan cara sama dia memberikan perhatian serta kasih sayang pada Michelle yang dianggap seperti putri kandung sendiri.

Maklum saja, Alins Louise dan suaminya belum dikaruniakan anak dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan dokter itu, putri mereka adalah Michelle yang merupakan putri kandung dari kakaknya Alins.

“Jangan merasa tidak enak dengan kami selama kau di sini, Michelle.” Danny menyatakan perasaannya ketika mereka tiba di rumah.

“Justru kami sangat senang kau mau pindah ke sini.” Alins menimpali.

Michelle tersenyum, namun hatinya bertolak belakang dengan eskpresi di wajah. Sejak tadi dia telah bersusah payah menahan perasaan bersalah bercampur sedih kepada Alins dan Danny.

Terutama pada Alins, Michelle sangat gelisah ingin mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan. Dia takut kejujuran itu akan melukai perasaan Alins.

Namun percuma, sebagai seorang psikiater Alins tentu bisa membaca gelagat Michelle. Sehingga tanpa menunda dia berinisitif untuk menenangkan.

Tangannya mengulur ke wajah Michelle yang bergetar. Dia sengaja menaburkan kehangatan nyata. “Kita bisa berbicara setelah kau tenang. Seperti yang kau tahu, kami selalu mendukung dan menyayangimu.”

Mata Michelle terpejam, air matanya juga jatuh membasahi pipi. “Aku ingin membicarakan sesuatu,” ucapnya dengan suara gemetar.

Alins merangkul Michelle dan membawanya ke ruangan santai di mana mereka akan berbicara. Sofa empuk menjadi tempat ternyaman bagi Alins menenangkan Michelle yang menangis. Sementara itu Danny memposisikan duduk di sofa bersebrangan dengan keduanya.

“Maafkan aku karena lagi-lagi menyusahkan kalian.”

“Sebagai pengganti orang tuamu, kami tidak merasa seperti itu.” Danny menanggapi bijak.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” Alins tenang membujuk Michelle.

Michelle merundukkan pandangan mata. “Aku berbohong mengenai pemecatan itu. Aku memilih mengundurkan diri karena tidak sanggup untuk terus menjadi wanita simpanan atasanku.”

Shock, itu hal pertama yang ditunjukkan Alins dan Danny. Namun mereka tidak langsung menghakimi karena sangat mengetahui Michelle adalah sosok gadis yang baik.

“Selama dua tahun aku menjadi wanita simpanan Tuan Roland. Hal itu aku lakukan karena aku benar-benar tulus mencintainya, walau dia tidak mencintaiku.”

Alins meraup wajah keponakan tersayangnya itu. Senyuman lembutnya menjadi pemandangan sejuk bagi kedua mata Michelle yang berkaca-kaca.

“Perasaanmu itu tidak salah, Michelle. Hal ini hanya salah pada waktu dan orangnya.”

Michelle sesunggukan menangis ke pelukan Alins. “Aku langsung tersadar ketika mengetahui rencana pernikahannya. Bahwa aku tidak penting selain pemuas nafsunya. Dia tidak pernah berniat baik padaku, maka dari itu aku memutuskan untuk menyudahi segala kebodohanku yang terus menunggu balasannya.”

“Dia pasti kecewa padamu?”

Michelle mengangguk. “Dia sangat marah karena aku membantahnya. Aku dipecat secara tak hormat. Orang-orang di kantorku membicarakan hal-hal buruk tentangku.”

Cara komunikasi Alins seperti mensugesti Michelle. Tanpa sadar Michelle menceritakan hampir seluruhnya. Mengenai cintanya yang bertepuk sebelah tangan, termasuk penghinaan yang didapatkan.

Di dalam hati Alins merasa sedih, kenapa Michelle mengalami hal serupa seperti ibu kandungnya?

Baik Michelle maupun ibunya jatuh cinta pada pria yang salah. Sosok luar biasa dengan status sosial yang begitu bertolak belakang dengan mereka menjadi pilihan hati.

Hanya saja kali itu Alins merasa cukup lega karena Michelle tidak berakhir seperti ibunya. Michelle langsung tersadar sebelum terlalu jauh terikat apa pun dengan pria pilihan hati, selain perasaannya.

“Yang terpenting saat ini adalah masa depanmu, Michelle.” Danny mengambil alih suasana sedih yang menguasai. “Kau tidak perlu lagi memikirkan yang sudah berlalu. Selama di sini kau bisa melakukan apa pun yang kau mau.”

“Paman Danny benar. Tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Yang terpenting saat ini adalah mengatur masa depanmu, Michelle.”

Michelle mengangguk setuju setelah kemudian kembali dalam pelukan Alins. Memang benar, tidak gunanya Michelle meratapi kesedihannya berlarut-larut. Sangat tidak adil baginya berjalan di tempat, sementara tersangka utama yang menyakitinya meraih hidup sempurna tanpa rasa bersalah.

***

Satu bulan lebih berlalu, Michelle mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Michelle bangun lebih awal tanpa peduli baru beberapa jam dia tertidur. Dia selalu menyempatkan diri menghidangkan sarapan pagi untuk Alins dan Danny yang akan bekerja ke rumah sakit.

Alins dan Danny telah berulang kali melarang Michelle melakukan hal itu. Sebab, mereka tahu mengenai Michelle yang mengambil job freelance online di beberapa situs resmi. Michelle selalu menyelesaikan pekerjaan itu hingga larut malam bahkan sampai dini hari.

“Good morning.” Michelle tersenyum manis pada Alins yang menghampiri ke meja makan.

Ciuman hangat di kening menjadi balasan dari Alins kepada Michelle. “Good morning, Dear. Jam berapa kau tidur malam tadi?”

Michelle terkekeh lemah. “Bibi tenang saja. Aku sudah cukup dengan tidur tiga jam saja.”

“Kau baru tidur jam empat pagi?”

“Aku sengaja mempercepat pekerjaan dari jadwal yang client tentukan. Jika job itu cepat selesai, aku bisa mengambil job lainnya.”

“Kau terlalu memaksakan diri. Kau bisa jatuh sakit jika bekerja seperti itu. Lihat saja sekarang?! Wajahmu pucat sekali.” Alins menyatakan kekecewaannya.

“Bibi tenang saja. Aku hanya kurang tidur. Setelah aku puas tidur wajahku akan kembali cerah.”

Wajah Michelle berseri seperti mentari cerah pagi itu. Kedua matanya hampir tenggelam saking cerianya Michelle menyakinkan Alins.

Bertolak belakang dengan ekspresi di wajah, hati Michelle sedang gelisah. Dia harus menemukan pekerjaan tetap yang memiliki penghasilan lebih. Job freelance online itu sendiri sebenarnya memiliki hasil yang lumayan. Hanya saja, tidak setiap waktu Michelle mendapatkan gaji yang lumayan dengan client tidak merepotkan.

Dan benar perkataan Alins bahwa Michelle harus menjaga kesehatannya. Belakangan dia sering merasa pusing yang begitu hebat. Tubuhnya cepat merasa lelah serta kehilangan nafsu makan. Semua itu pasti berkaitan pada Michelle yang sering tidur dini hari.

Namun jika diingat-ingat, bukankah Michelle dulu sering kekurangan jam tidurnya?

Michelle malas memikirkan lebih lanjut. Mungkin dengan tidur yang cukup nantinya dia akan merasa sedikit lebih baik.

Sembari menikmati sarapan pagi, Michelle menyempatkan diri memeriksa email lewat handphone di genggaman tangan. Sebuah notifikasi iklan di bagian bawah mengusik fokus perhatian Michelle. Iklan itu berisikan hot news yang memiliki judul besar sampai membuat Michelle terpaku kaku.

Ella Hansen mengumumkan kehamilannya setelah sebulan lalu dinikahi Roland Archer.

“Kau mau jus buah, Michelle?” Alins menegur karena tak tahu.

Michelle masih bersikap sama. Masih begitu fokus pada berita yang tak sengaja terlihat.

Padahal selama itu dia bersikeras menutup mata dari segala hal bersangkutan dengan Roland. Dia mengganti nomor telepon, sengaja menghindari pemberitaan yang bersinggungan dengan Roland.

Sialnya, kenapa berita kehamilan Ella terbaca oleh Michelle?

Rasa pusing yang menyiksa tiba-tiba mengganggu ketenangan Michelle. Bersamaan dengan itu, pandangan matanya semakin kabur hingga berangsur-angsur menjadi gelap seutuhnya.

Michelle yang terduduk lemah berakhir hilang kesadaran. Beruntung dia tidak sampai terjatuh berkat Alins cepat menangkapnya.

***

Pemandangan gelap yang lama didapatkan perlahan memudar oleh sebuah cahaya putih di depan mata. Meski sedikit berkabur, Michelle mampu mengetahui warna putih yang didapatkan itu berasal sebuah plafon di langit-langit ruangan.

Telinganya juga mulai merengkuh suara-suara panik dari dua orang. Sehingga dia segera memeriksa asal suara itu.

“Michelle? Kau sudah sadar?” Alins sangat cemas menyapa, wajahnya yang memucat sedikit merengkuh rasa lega.

“Kau bisa mendengarkan kami, Michelle?” Danny ikut menyapa.

Michelle mengangguk, tubuhnya yang melemah mulai memiliki tenaga tidak seperti sebelumnya. Kesadaran pun didapatkan Michelle sampai menyadari bahwa dia sudah berada di unit gawat darurat sebuah rumah sakit.

“Kami membawamu ke sini karena tiba-tiba kau pingsan cukup lama.” Danny menjadi yang pertama menjelaskan pada Michelle.

Michelle menghela napas kasar. “Aku jadi merepotkan kalian karena aku kurang tidur. Mulai hari ini aku berjanji akan menjaga kesehatanku.”

“Michelle.” Suara Alins gemetaran cemas. “Kau pingsan bukan karena kurang tidur.”

“A-apa ... apa aku mengidap penyakit yang berbahaya?” Michelle tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya.

Alins menggelengkan kepala. “Kau sedang hamil, Michelle.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status