Pelukan hangat Alins menyambut kedatangan Michelle di terminal kedatangan bandara. Dia membelai rambut panjang Michelle yang tergerai indah, kemudian sorot matanya penuh sayang menatap sosok keponakan yang sudah seperti putri kandungnya.
Danny Elfman juga melakukan hal serupa. Dengan cara sama dia memberikan perhatian serta kasih sayang pada Michelle yang dianggap seperti putri kandung sendiri.
Maklum saja, Alins Louise dan suaminya belum dikaruniakan anak dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan dokter itu, putri mereka adalah Michelle yang merupakan putri kandung dari kakaknya Alins.
“Jangan merasa tidak enak dengan kami selama kau di sini, Michelle.” Danny menyatakan perasaannya ketika mereka tiba di rumah.
“Justru kami sangat senang kau mau pindah ke sini.” Alins menimpali.
Michelle tersenyum, namun hatinya bertolak belakang dengan eskpresi di wajah. Sejak tadi dia telah bersusah payah menahan perasaan bersalah bercampur sedih kepada Alins dan Danny.
Terutama pada Alins, Michelle sangat gelisah ingin mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan. Dia takut kejujuran itu akan melukai perasaan Alins.
Namun percuma, sebagai seorang psikiater Alins tentu bisa membaca gelagat Michelle. Sehingga tanpa menunda dia berinisitif untuk menenangkan.
Tangannya mengulur ke wajah Michelle yang bergetar. Dia sengaja menaburkan kehangatan nyata. “Kita bisa berbicara setelah kau tenang. Seperti yang kau tahu, kami selalu mendukung dan menyayangimu.”
Mata Michelle terpejam, air matanya juga jatuh membasahi pipi. “Aku ingin membicarakan sesuatu,” ucapnya dengan suara gemetar.
Alins merangkul Michelle dan membawanya ke ruangan santai di mana mereka akan berbicara. Sofa empuk menjadi tempat ternyaman bagi Alins menenangkan Michelle yang menangis. Sementara itu Danny memposisikan duduk di sofa bersebrangan dengan keduanya.
“Maafkan aku karena lagi-lagi menyusahkan kalian.”
“Sebagai pengganti orang tuamu, kami tidak merasa seperti itu.” Danny menanggapi bijak.
“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” Alins tenang membujuk Michelle.
Michelle merundukkan pandangan mata. “Aku berbohong mengenai pemecatan itu. Aku memilih mengundurkan diri karena tidak sanggup untuk terus menjadi wanita simpanan atasanku.”
Shock, itu hal pertama yang ditunjukkan Alins dan Danny. Namun mereka tidak langsung menghakimi karena sangat mengetahui Michelle adalah sosok gadis yang baik.
“Selama dua tahun aku menjadi wanita simpanan Tuan Roland. Hal itu aku lakukan karena aku benar-benar tulus mencintainya, walau dia tidak mencintaiku.”
Alins meraup wajah keponakan tersayangnya itu. Senyuman lembutnya menjadi pemandangan sejuk bagi kedua mata Michelle yang berkaca-kaca.
“Perasaanmu itu tidak salah, Michelle. Hal ini hanya salah pada waktu dan orangnya.”
Michelle sesunggukan menangis ke pelukan Alins. “Aku langsung tersadar ketika mengetahui rencana pernikahannya. Bahwa aku tidak penting selain pemuas nafsunya. Dia tidak pernah berniat baik padaku, maka dari itu aku memutuskan untuk menyudahi segala kebodohanku yang terus menunggu balasannya.”
“Dia pasti kecewa padamu?”
Michelle mengangguk. “Dia sangat marah karena aku membantahnya. Aku dipecat secara tak hormat. Orang-orang di kantorku membicarakan hal-hal buruk tentangku.”
Cara komunikasi Alins seperti mensugesti Michelle. Tanpa sadar Michelle menceritakan hampir seluruhnya. Mengenai cintanya yang bertepuk sebelah tangan, termasuk penghinaan yang didapatkan.
Di dalam hati Alins merasa sedih, kenapa Michelle mengalami hal serupa seperti ibu kandungnya?
Baik Michelle maupun ibunya jatuh cinta pada pria yang salah. Sosok luar biasa dengan status sosial yang begitu bertolak belakang dengan mereka menjadi pilihan hati.
Hanya saja kali itu Alins merasa cukup lega karena Michelle tidak berakhir seperti ibunya. Michelle langsung tersadar sebelum terlalu jauh terikat apa pun dengan pria pilihan hati, selain perasaannya.
“Yang terpenting saat ini adalah masa depanmu, Michelle.” Danny mengambil alih suasana sedih yang menguasai. “Kau tidak perlu lagi memikirkan yang sudah berlalu. Selama di sini kau bisa melakukan apa pun yang kau mau.”
“Paman Danny benar. Tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Yang terpenting saat ini adalah mengatur masa depanmu, Michelle.”
Michelle mengangguk setuju setelah kemudian kembali dalam pelukan Alins. Memang benar, tidak gunanya Michelle meratapi kesedihannya berlarut-larut. Sangat tidak adil baginya berjalan di tempat, sementara tersangka utama yang menyakitinya meraih hidup sempurna tanpa rasa bersalah.
***
Satu bulan lebih berlalu, Michelle mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Michelle bangun lebih awal tanpa peduli baru beberapa jam dia tertidur. Dia selalu menyempatkan diri menghidangkan sarapan pagi untuk Alins dan Danny yang akan bekerja ke rumah sakit.
Alins dan Danny telah berulang kali melarang Michelle melakukan hal itu. Sebab, mereka tahu mengenai Michelle yang mengambil job freelance online di beberapa situs resmi. Michelle selalu menyelesaikan pekerjaan itu hingga larut malam bahkan sampai dini hari.
“Good morning.” Michelle tersenyum manis pada Alins yang menghampiri ke meja makan.
Ciuman hangat di kening menjadi balasan dari Alins kepada Michelle. “Good morning, Dear. Jam berapa kau tidur malam tadi?”
Michelle terkekeh lemah. “Bibi tenang saja. Aku sudah cukup dengan tidur tiga jam saja.”
“Kau baru tidur jam empat pagi?”
“Aku sengaja mempercepat pekerjaan dari jadwal yang client tentukan. Jika job itu cepat selesai, aku bisa mengambil job lainnya.”
“Kau terlalu memaksakan diri. Kau bisa jatuh sakit jika bekerja seperti itu. Lihat saja sekarang?! Wajahmu pucat sekali.” Alins menyatakan kekecewaannya.
“Bibi tenang saja. Aku hanya kurang tidur. Setelah aku puas tidur wajahku akan kembali cerah.”
Wajah Michelle berseri seperti mentari cerah pagi itu. Kedua matanya hampir tenggelam saking cerianya Michelle menyakinkan Alins.
Bertolak belakang dengan ekspresi di wajah, hati Michelle sedang gelisah. Dia harus menemukan pekerjaan tetap yang memiliki penghasilan lebih. Job freelance online itu sendiri sebenarnya memiliki hasil yang lumayan. Hanya saja, tidak setiap waktu Michelle mendapatkan gaji yang lumayan dengan client tidak merepotkan.
Dan benar perkataan Alins bahwa Michelle harus menjaga kesehatannya. Belakangan dia sering merasa pusing yang begitu hebat. Tubuhnya cepat merasa lelah serta kehilangan nafsu makan. Semua itu pasti berkaitan pada Michelle yang sering tidur dini hari.
Namun jika diingat-ingat, bukankah Michelle dulu sering kekurangan jam tidurnya?
Michelle malas memikirkan lebih lanjut. Mungkin dengan tidur yang cukup nantinya dia akan merasa sedikit lebih baik.
Sembari menikmati sarapan pagi, Michelle menyempatkan diri memeriksa email lewat handphone di genggaman tangan. Sebuah notifikasi iklan di bagian bawah mengusik fokus perhatian Michelle. Iklan itu berisikan hot news yang memiliki judul besar sampai membuat Michelle terpaku kaku.
Ella Hansen mengumumkan kehamilannya setelah sebulan lalu dinikahi Roland Archer.
“Kau mau jus buah, Michelle?” Alins menegur karena tak tahu.
Michelle masih bersikap sama. Masih begitu fokus pada berita yang tak sengaja terlihat.
Padahal selama itu dia bersikeras menutup mata dari segala hal bersangkutan dengan Roland. Dia mengganti nomor telepon, sengaja menghindari pemberitaan yang bersinggungan dengan Roland.
Sialnya, kenapa berita kehamilan Ella terbaca oleh Michelle?
Rasa pusing yang menyiksa tiba-tiba mengganggu ketenangan Michelle. Bersamaan dengan itu, pandangan matanya semakin kabur hingga berangsur-angsur menjadi gelap seutuhnya.
Michelle yang terduduk lemah berakhir hilang kesadaran. Beruntung dia tidak sampai terjatuh berkat Alins cepat menangkapnya.
***
Pemandangan gelap yang lama didapatkan perlahan memudar oleh sebuah cahaya putih di depan mata. Meski sedikit berkabur, Michelle mampu mengetahui warna putih yang didapatkan itu berasal sebuah plafon di langit-langit ruangan.
Telinganya juga mulai merengkuh suara-suara panik dari dua orang. Sehingga dia segera memeriksa asal suara itu.
“Michelle? Kau sudah sadar?” Alins sangat cemas menyapa, wajahnya yang memucat sedikit merengkuh rasa lega.
“Kau bisa mendengarkan kami, Michelle?” Danny ikut menyapa.
Michelle mengangguk, tubuhnya yang melemah mulai memiliki tenaga tidak seperti sebelumnya. Kesadaran pun didapatkan Michelle sampai menyadari bahwa dia sudah berada di unit gawat darurat sebuah rumah sakit.
“Kami membawamu ke sini karena tiba-tiba kau pingsan cukup lama.” Danny menjadi yang pertama menjelaskan pada Michelle.
Michelle menghela napas kasar. “Aku jadi merepotkan kalian karena aku kurang tidur. Mulai hari ini aku berjanji akan menjaga kesehatanku.”
“Michelle.” Suara Alins gemetaran cemas. “Kau pingsan bukan karena kurang tidur.”
“A-apa ... apa aku mengidap penyakit yang berbahaya?” Michelle tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya.
Alins menggelengkan kepala. “Kau sedang hamil, Michelle.”
Michelle mematung tak percaya dengan apa yang ia dengar. "A-apa? Mengandung?" wajah cantik Michelle semakin pucat. Michelle membelalakkan matanya. Telinganya lebih ia tajamkan, barangkali salah mendengar. "Jangan bersedih kamu harus tetap tersenyum dan kuat demi bayimu. Apapun yang terjadi sekarang kita akan hadapi bersama." Usap lembut Alins di pundak michelle benar-benar menyatakan bahwa yang ia dengar adalah benar. Kini Michelle hanya mampu menerima pelukan Allins sambil memejamkan mata. 'Hamil?' Michelle di dalam hatinya masih tak percaya. Saat Michelle memejamkan mata, selintas wajah tampan dengan senyum yang sebenarnya ia rindukan terlintas. 'Roland, ini adalah anak Roland!' hati Michelle tak percaya dengan apa yang ia alami, hatinya mengeja nama Roland bagai menyebut sebuah mantra sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi. Michelle benci Roland karena tidak pernah sedikitpun mencintainya tetapi fakta bahwa ini adalah anak Roland membuatnya kembali menginga
Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras."Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland.Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?""Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran.“Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan
Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta