Pelukan hangat Alins menyambut kedatangan Michelle di terminal kedatangan bandara. Dia membelai rambut panjang Michelle yang tergerai indah, kemudian sorot matanya penuh sayang menatap sosok keponakan yang sudah seperti putri kandungnya.
Danny Elfman juga melakukan hal serupa. Dengan cara sama dia memberikan perhatian serta kasih sayang pada Michelle yang dianggap seperti putri kandung sendiri.
Maklum saja, Alins Louise dan suaminya belum dikaruniakan anak dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan dokter itu, putri mereka adalah Michelle yang merupakan putri kandung dari kakaknya Alins.
“Jangan merasa tidak enak dengan kami selama kau di sini, Michelle.” Danny menyatakan perasaannya ketika mereka tiba di rumah.
“Justru kami sangat senang kau mau pindah ke sini.” Alins menimpali.
Michelle tersenyum, namun hatinya bertolak belakang dengan eskpresi di wajah. Sejak tadi dia telah bersusah payah menahan perasaan bersalah bercampur sedih kepada Alins dan Danny.
Terutama pada Alins, Michelle sangat gelisah ingin mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan. Dia takut kejujuran itu akan melukai perasaan Alins.
Namun percuma, sebagai seorang psikiater Alins tentu bisa membaca gelagat Michelle. Sehingga tanpa menunda dia berinisitif untuk menenangkan.
Tangannya mengulur ke wajah Michelle yang bergetar. Dia sengaja menaburkan kehangatan nyata. “Kita bisa berbicara setelah kau tenang. Seperti yang kau tahu, kami selalu mendukung dan menyayangimu.”
Mata Michelle terpejam, air matanya juga jatuh membasahi pipi. “Aku ingin membicarakan sesuatu,” ucapnya dengan suara gemetar.
Alins merangkul Michelle dan membawanya ke ruangan santai di mana mereka akan berbicara. Sofa empuk menjadi tempat ternyaman bagi Alins menenangkan Michelle yang menangis. Sementara itu Danny memposisikan duduk di sofa bersebrangan dengan keduanya.
“Maafkan aku karena lagi-lagi menyusahkan kalian.”
“Sebagai pengganti orang tuamu, kami tidak merasa seperti itu.” Danny menanggapi bijak.
“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” Alins tenang membujuk Michelle.
Michelle merundukkan pandangan mata. “Aku berbohong mengenai pemecatan itu. Aku memilih mengundurkan diri karena tidak sanggup untuk terus menjadi wanita simpanan atasanku.”
Shock, itu hal pertama yang ditunjukkan Alins dan Danny. Namun mereka tidak langsung menghakimi karena sangat mengetahui Michelle adalah sosok gadis yang baik.
“Selama dua tahun aku menjadi wanita simpanan Tuan Roland. Hal itu aku lakukan karena aku benar-benar tulus mencintainya, walau dia tidak mencintaiku.”
Alins meraup wajah keponakan tersayangnya itu. Senyuman lembutnya menjadi pemandangan sejuk bagi kedua mata Michelle yang berkaca-kaca.
“Perasaanmu itu tidak salah, Michelle. Hal ini hanya salah pada waktu dan orangnya.”
Michelle sesunggukan menangis ke pelukan Alins. “Aku langsung tersadar ketika mengetahui rencana pernikahannya. Bahwa aku tidak penting selain pemuas nafsunya. Dia tidak pernah berniat baik padaku, maka dari itu aku memutuskan untuk menyudahi segala kebodohanku yang terus menunggu balasannya.”
“Dia pasti kecewa padamu?”
Michelle mengangguk. “Dia sangat marah karena aku membantahnya. Aku dipecat secara tak hormat. Orang-orang di kantorku membicarakan hal-hal buruk tentangku.”
Cara komunikasi Alins seperti mensugesti Michelle. Tanpa sadar Michelle menceritakan hampir seluruhnya. Mengenai cintanya yang bertepuk sebelah tangan, termasuk penghinaan yang didapatkan.
Di dalam hati Alins merasa sedih, kenapa Michelle mengalami hal serupa seperti ibu kandungnya?
Baik Michelle maupun ibunya jatuh cinta pada pria yang salah. Sosok luar biasa dengan status sosial yang begitu bertolak belakang dengan mereka menjadi pilihan hati.
Hanya saja kali itu Alins merasa cukup lega karena Michelle tidak berakhir seperti ibunya. Michelle langsung tersadar sebelum terlalu jauh terikat apa pun dengan pria pilihan hati, selain perasaannya.
“Yang terpenting saat ini adalah masa depanmu, Michelle.” Danny mengambil alih suasana sedih yang menguasai. “Kau tidak perlu lagi memikirkan yang sudah berlalu. Selama di sini kau bisa melakukan apa pun yang kau mau.”
“Paman Danny benar. Tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Yang terpenting saat ini adalah mengatur masa depanmu, Michelle.”
Michelle mengangguk setuju setelah kemudian kembali dalam pelukan Alins. Memang benar, tidak gunanya Michelle meratapi kesedihannya berlarut-larut. Sangat tidak adil baginya berjalan di tempat, sementara tersangka utama yang menyakitinya meraih hidup sempurna tanpa rasa bersalah.
***
Satu bulan lebih berlalu, Michelle mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Michelle bangun lebih awal tanpa peduli baru beberapa jam dia tertidur. Dia selalu menyempatkan diri menghidangkan sarapan pagi untuk Alins dan Danny yang akan bekerja ke rumah sakit.
Alins dan Danny telah berulang kali melarang Michelle melakukan hal itu. Sebab, mereka tahu mengenai Michelle yang mengambil job freelance online di beberapa situs resmi. Michelle selalu menyelesaikan pekerjaan itu hingga larut malam bahkan sampai dini hari.
“Good morning.” Michelle tersenyum manis pada Alins yang menghampiri ke meja makan.
Ciuman hangat di kening menjadi balasan dari Alins kepada Michelle. “Good morning, Dear. Jam berapa kau tidur malam tadi?”
Michelle terkekeh lemah. “Bibi tenang saja. Aku sudah cukup dengan tidur tiga jam saja.”
“Kau baru tidur jam empat pagi?”
“Aku sengaja mempercepat pekerjaan dari jadwal yang client tentukan. Jika job itu cepat selesai, aku bisa mengambil job lainnya.”
“Kau terlalu memaksakan diri. Kau bisa jatuh sakit jika bekerja seperti itu. Lihat saja sekarang?! Wajahmu pucat sekali.” Alins menyatakan kekecewaannya.
“Bibi tenang saja. Aku hanya kurang tidur. Setelah aku puas tidur wajahku akan kembali cerah.”
Wajah Michelle berseri seperti mentari cerah pagi itu. Kedua matanya hampir tenggelam saking cerianya Michelle menyakinkan Alins.
Bertolak belakang dengan ekspresi di wajah, hati Michelle sedang gelisah. Dia harus menemukan pekerjaan tetap yang memiliki penghasilan lebih. Job freelance online itu sendiri sebenarnya memiliki hasil yang lumayan. Hanya saja, tidak setiap waktu Michelle mendapatkan gaji yang lumayan dengan client tidak merepotkan.
Dan benar perkataan Alins bahwa Michelle harus menjaga kesehatannya. Belakangan dia sering merasa pusing yang begitu hebat. Tubuhnya cepat merasa lelah serta kehilangan nafsu makan. Semua itu pasti berkaitan pada Michelle yang sering tidur dini hari.
Namun jika diingat-ingat, bukankah Michelle dulu sering kekurangan jam tidurnya?
Michelle malas memikirkan lebih lanjut. Mungkin dengan tidur yang cukup nantinya dia akan merasa sedikit lebih baik.
Sembari menikmati sarapan pagi, Michelle menyempatkan diri memeriksa email lewat handphone di genggaman tangan. Sebuah notifikasi iklan di bagian bawah mengusik fokus perhatian Michelle. Iklan itu berisikan hot news yang memiliki judul besar sampai membuat Michelle terpaku kaku.
Ella Hansen mengumumkan kehamilannya setelah sebulan lalu dinikahi Roland Archer.
“Kau mau jus buah, Michelle?” Alins menegur karena tak tahu.
Michelle masih bersikap sama. Masih begitu fokus pada berita yang tak sengaja terlihat.
Padahal selama itu dia bersikeras menutup mata dari segala hal bersangkutan dengan Roland. Dia mengganti nomor telepon, sengaja menghindari pemberitaan yang bersinggungan dengan Roland.
Sialnya, kenapa berita kehamilan Ella terbaca oleh Michelle?
Rasa pusing yang menyiksa tiba-tiba mengganggu ketenangan Michelle. Bersamaan dengan itu, pandangan matanya semakin kabur hingga berangsur-angsur menjadi gelap seutuhnya.
Michelle yang terduduk lemah berakhir hilang kesadaran. Beruntung dia tidak sampai terjatuh berkat Alins cepat menangkapnya.
***
Pemandangan gelap yang lama didapatkan perlahan memudar oleh sebuah cahaya putih di depan mata. Meski sedikit berkabur, Michelle mampu mengetahui warna putih yang didapatkan itu berasal sebuah plafon di langit-langit ruangan.
Telinganya juga mulai merengkuh suara-suara panik dari dua orang. Sehingga dia segera memeriksa asal suara itu.
“Michelle? Kau sudah sadar?” Alins sangat cemas menyapa, wajahnya yang memucat sedikit merengkuh rasa lega.
“Kau bisa mendengarkan kami, Michelle?” Danny ikut menyapa.
Michelle mengangguk, tubuhnya yang melemah mulai memiliki tenaga tidak seperti sebelumnya. Kesadaran pun didapatkan Michelle sampai menyadari bahwa dia sudah berada di unit gawat darurat sebuah rumah sakit.
“Kami membawamu ke sini karena tiba-tiba kau pingsan cukup lama.” Danny menjadi yang pertama menjelaskan pada Michelle.
Michelle menghela napas kasar. “Aku jadi merepotkan kalian karena aku kurang tidur. Mulai hari ini aku berjanji akan menjaga kesehatanku.”
“Michelle.” Suara Alins gemetaran cemas. “Kau pingsan bukan karena kurang tidur.”
“A-apa ... apa aku mengidap penyakit yang berbahaya?” Michelle tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya.
Alins menggelengkan kepala. “Kau sedang hamil, Michelle.”
Michelle mematung tak percaya dengan apa yang ia dengar. "A-apa? Mengandung?" wajah cantik Michelle semakin pucat. Michelle membelalakkan matanya. Telinganya lebih ia tajamkan, barangkali salah mendengar. "Jangan bersedih kamu harus tetap tersenyum dan kuat demi bayimu. Apapun yang terjadi sekarang kita akan hadapi bersama." Usap lembut Alins di pundak michelle benar-benar menyatakan bahwa yang ia dengar adalah benar. Kini Michelle hanya mampu menerima pelukan Allins sambil memejamkan mata. 'Hamil?' Michelle di dalam hatinya masih tak percaya. Saat Michelle memejamkan mata, selintas wajah tampan dengan senyum yang sebenarnya ia rindukan terlintas. 'Roland, ini adalah anak Roland!' hati Michelle tak percaya dengan apa yang ia alami, hatinya mengeja nama Roland bagai menyebut sebuah mantra sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi. Michelle benci Roland karena tidak pernah sedikitpun mencintainya tetapi fakta bahwa ini adalah anak Roland membuatnya kembali menginga
Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras."Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland.Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?""Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran.“Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
Gemerisik dedaunan yang bergesekan akibat sentuhan angin telah membangunkan Michelle. Kelopak matanya terbuka perlahan, memamerkan sepasang bola mata yang cantik dan teduh.Bibirnya menipis, mengukir senyuman manis ketika mata disajikan pemandangan menyegarkan di depan mata. Yaitu hamparan padang hijau dengan sebuah sungai mengalir tenang.Michelle sendiri sedang berbaring nyaman di atas rerumputan cantik yang seperti sebuah karpet, sementara sebuah pohon rindang dengan daun hijaunya memayungi Michelle.Sungguh, itu adalah sebuah kenyamanan indah yang membuai Michelle. Suasana damai seperti adalah suasana impian Michelle sejak lama.Tidak ada ketegangan yang menyapa jiwa sampai rentan membuat Michelle takut. Michelle tak perlu waspada pada setiap gerakan dari keputusannya. Bahkan, Michelle tak merasakan obsesi kehidupan apalagi takut merasa sendirian.Wanita cantik itu merasa akan baik-baik saja di kedamaian itu. Seolah semua sudah tertata sedemikian rupa tanpa perlu Michelle pikirkan
Roland baru saja terbangun dari dunia mimpi yang singkat dirasakan. Tetapi dia kembali disuguhkan oleh hal-hal yang mustahil didapatkan.Walaupun sejak kemarin Michelle menunjukkan sisi lembut yang penurut, akalnya merasa seperti masih bermimpi mendengarkan pengakuan Michelle. Bahkan Roland memeriksa keadaan itu dengan mencermati jelas kehangatan tangan Michelle dalam genggamannya.“Katakan saja nanti setelah kau dalam kesadaran penuh. Aku tidak mau nantinya kau berpura-pura tidak mengingat ini,” ujar Roland yang samar-samar menyindir.“Aku akan ingat dan tidak akan berpura-pura.” Michelle meyakinkan dengan sorot mata lemah namun penuh keseriusan. “Seperti yang kau katakan terakhir kali di depan firma—sebelum balik ke New York, ayo kita lupakan masa lalu,” lanjut Michelle menegaskan.“Aku tidak ingin menahan semuanya dan berbohong pada diriku sendiri, bahwa kau masih tetap ada di hatiku. Mau sekeras apa pun aku melupakanku, rasanya semua sia-sia karena aku masih berdebar-debar setiap
Rutinitas pagi di kediaman Jullian berlangsung seperti biasanya. Para pelayan mulai sibuk melakukan kewajiban mereka di kediaman mewah itu, di mana tuan rumah baru saja kembali setelah beberapa waktu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.Sayangnya, kesibukan mereka diselimuti oleh ketegangan yang diciptakan oleh sang pemilik kediaman. Yaitu Jullian yang menunjukkan emosi tak terbendung di ruangan santai teras belakang.Sejak sore kemarin, Jullian memang telah menunjukkan ekspresi kesal saat pulang ke rumah. Namun, kekesalan itu semakin bertambah ketika asisten pribadinya mengadukan perihal Roland yang batal menjemputnya di rumah sakit.“Jadi anak berandal itu batal menjemputku karena ke Los Angeles?” tanya Jullian penuh tekanan kepada asisten pribadinya yang merunduk.“Informasi yang saya terima bahwa Tuan Roland mendadak pergi ke Los Angeles.”Jullian berdecih kesal. “Dia pasti menemui wanita itu lagi! Demi wanita itu, anak berandal itu membohongiku!”Berbanding terbalik den
“Apa yang akan Kakak lakukan?” Valencia bertanya setelah polisi itu pergi.Mata Roland yang masih menyimpan seberkas emosi telah menatap Valencia. Pria itu memindai Valencia yang memucat dan wajah penuh lelah.“Aku kesal sekali pada kesimpulan polisi itu mengenai kasus Michelle,” lanjutnya membuat Roland menatap tajam.“Kesimpulan apa itu?” desak Roland ingin tahu.“Lewat suamiku dia mengatakan jika kesaksianku beserta sopir taksi itu tak memiliki kekuatan untuk menangkap David Revorman.”Valencia tak ragu-ragu mengadukan kesimpulan yang menjengkelkan—yang sebelumnya mendorong dirinya cepat-cepat mengadu pada Roland.“Polisi itu malah mengatakan jika Michelle bisa saja melakukan “pekerjaan” lain karena mungkin kebetulan saja berada di dekat lokasi rumah David. Dia juga mengatakan bahwa Michelle bukan lagi personal asisstant dari David Revorman. Melainkan hanya seorang administrator di firma itu. Bukankah Kakak berteman dengan David itu?”Setumpuk emosi memuncak ke ubun-ubun Roland, se
Ketika mulut Michelle terbuka guna lebih lanjut mengadu, suara ketukan pintu yang terdengar beruntun telah menghalangi keinginan Michelle. Sorot matanya teralihkan dari Roland yang menunjukkan eksprsi gelap. Michelle mencoba menoleh ke arah pintu yang terbuka, namun sayang terhalangi oleh tubuh gagah Roland yang masih menegang.“Selamat malam. Saya—polisi yang menangani kasus Nyonya Michelle.”Kecemasan yang tak menenangkan kembali menghantui Michelle setelah mendengar seseorang itu adalah pihak kepolisian. Sama seperti sebelumnya, Michelle masih belum mau berinteraksi dengan orang-orang yang tidak dikenal.“Beberapa saat lalu saya menghubungi dokter yang menangani Nyonya Michelle dan mengetahui bahwa beliau sudah sadar. Saya ingin sedikit bertanya-tanya pada Nyonya Michelle mengenai kasus yang menimpanya. Apa bisa saya berbicara dengan Nyonya Michelle?”Batin Michelle langsung menolak sebelum Roland maupun Valencia menoleh ke arahnya. Tangannya yang gemetaran telah terangkat, bersusa
Beberapa jam kemudian Michelle telah dipindahkan ke kamar inap setelah kondisinya dinyatakan stabil. Selang oksigen yang terpasang sudah dilepaskan, kecuali jarum beserta selang infus yang masih terpasang.Meski kondisinya dinyatakan lebih baik dari sebelumnya, Michelle masih bersikap sama yaitu tak mengendurkan sedikit rasa takut dan cemas.Jemarinya bertindak egois terhadap Valencia, tak ingin melepaskan sedikit tangan Valencia dari genggamannya. Bahkan ketika dokter memeriksakan keadaannya, Michelle tak ingin ditinggalkan sedetik pun oleh Valencia.Semua karena bayangan mengerikan itu mengisi seluruh pikiran Michelle.Ketika matanya terbuka, Michelle berpikir dirinya telah tidak lagi berada di bumi karena pandangan mata yang kabur pada warna putih mendominasi. Hal hampir serupa pernah Michelle rasakan ketika tak sadarkan diri sewaktu pasca melahirkan Leah.Namun setelah beberapa kali mengerjapkan mata dan penglihatan mata kembali jernih, Michelle menyadari dirinya yang masih bernya
Valencia membasuh air mata yang membasahi wajah cantiknya dengan sapu tangan pemberian suaminya. Napasnya masih saja sesak setelah memaksa diri agar berhenti dari tangisannya. Duduk di ruang tunggu itu, Valencia berakhir menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.“Apa yang aku lakukan sudah benar, ‘kan?” tanya Valencia dengan nada masih sedikit terisak.“Mendengar bentakannya tadi, aku bisa menebak rasa terkejut dan kemarahan Kak Roland.” Albert berkomentar tenang.“Dia langsung mematikan telepon tanpa memberitahu apa yang akan dilakukan. Tetapi aku bisa menebak, dia pasti akan langsung ke sini tanpa peduli betapa penting pekerjaannya di sana.”Valencia berkomentar serupa ketika menormalkan kembali napasnya.“Aku hanya berharap Michelle cepat sadar agar bisa memberitahukan semua yang dia lalui sendirian,” lanjutnya berbicara.“Sebaiknya kau pulang saja, Valen. Aku akan menunggu perkembangan tentang Michelle di sini.”Pernyataan Albert membuat Valencia mengangkat kepalanya yang tenang be
Roland terduduk lemas di kursi penumpang belakang pada mobil yang dinaiki. Pria itu mengendurkan dasi yang melingkar rapi di leher, sengaja memberi ruang bebas pada tenggorokan yang dipenuhi sesak tak mengenakkan. Sementara itu mata abu-abunya menatap kosong ke arah depan, tak peduli pada Daniel yang melirik cemas seperti ingin menarik perhatian.Pembicaraan intens beberapa menit lalu bersama Alins dan Danny benar-benar menguras perasaan Roland. Selain mengetahui cerita hidup Michelle yang tertutup sempurna, dia juga mengetahui perihal penyakit dari dua orang yang seperti orang tua pengganti bagi Michelle.Alins mengidap kanker lambung stadium empat, di mana hari itu dokter di rumah sakit itu menyampaikan kabar buruk perihal kanker itu sudah menyebar dan menggerogoti ke jaringan lain di tubuhnya. Sementara Danny disarankan untuk beristirahat dari pekerjaannya dan melakukan tindakan pengobatan pada penyakit jantung yang diderita.Tak ada yang bisa Roland lakukan kecuali terdiam dan men
Roland terhenyak dalam pertanyaan Alins sampai mulutnya bungkam tidak bisa menjawab. Padahal pertanyaan yang diucapkan sudah Roland ketahui sendiri jawabannya, tetapi rasa penasaran mendesaknya ingin mencari tahu secara langsung.“Dibandingkan Michelle, kami sudah siap jika sewaktu-waktu kau mengetahui perihal Leah.” Danny memecahkan keheningan diri yang sebelumnya memilih menjadi pendengar. “Karena sebuah rahasia tidak ada yang abadi untuk disembunyikan,” lanjutnya menimpali.“Apa tujuanmu datang kali ini di kehidupan Michelle masih sama, Roland?” tanya Alins dengan kelembutan namun terselip sebuah ketegasan yang dirasakan kental.Roland masih bersikap sama. Entah mengapa mulutnya terasa sulit untuk terbuka dan bersuara.“Sejak kecil Michelle tak pernah mau menyulitkan siapa pun termasuk ibunya. Michelle kecil selalu terbiasa mandiri dengan sosok orang tua tunggal yang dia miliki. Mungkin karena ibunya yang merupakan kakak kandungku sudah memberitahu bahwa hanya Michelle hanya memili
Di dalam lift yang dinaiki, Roland melepaskan napas kasar. Pria itu merengkuh sedikit kelegaan setelah berbicara dengan Jullian. Setelah sekian lama berlalu, Roland tak lagi ragu ingin mengungkapkan alasan menceraikan Ella.Dia memiliki alasan yang tepat untuk tidak mengubur aib itu sendirian. Jika dulu dia memilih acuh, kali itu dia terdorong harus demi menata masa depan indah bersama wanita yang dicintai.“Sore ini bisa kosongkan jadwalku? Aku ingin menjemput daddy yang pulang sore ini.” Roland tenang meminta pada Daniel yang berdiri di belakang.“Saya akan mengatur untuk Anda.” Daniel mengulas senyuman getir setelah terpaksa memenuhi permintaan Roland.“Oh ... iya, Tuan. Saat menunggu Anda tadi, Nyonya Valencia menghubungi saya. Beliau menanyakan perihal Anda yang tidak menjawab telepon. Saya mengatakan jika Anda sedang menjenguk Tuan Jullian.”Roland tersadar pada handphone-nya yang di-silent-kan di dalam saku dalam jas setelah Daniel mengadu. Tanpa menuda pria itu merogoh saku dal