Michelle duduk bersandar di kursi penumpang dari taksi yang ditumpangi, sementara itu matanya menatap kosong ke luar jendela—di mana hujan deras sedang berlangsung.
Setelah cukup mampu memperbaiki harga dirinya, Michelle tak lagi bisa mengekspresikan suasana hati yang tersayat-sayat.
Di sisi lain ada perasaan lega mengendap di hati Michelle. Dia sangat puas bisa membantah seorang Roland. Setelah menyumpahi Roland, Michelle dengan berani melewati Roland sampai sengaja menabrak lengannya ke pria kejam itu.
Wanita cantik itu mengabaikan teriakan Roland, tak takut pada dua bodyguard yang ingin menangkap. Michelle mengunci rapat-rapat kamar yang dimasuki. Cepat-cepat pula Michelle mengganti pakaiannya dengan kaos putih dipadukan celana jeans biru yang merupakan pakaian miliknya sendiri. Michelle keluar dari kamar setelah memasukkan barang-barang miliknya ke dalam satu koper.
Michelle tidak merasa rugi melepaskan segala kemewahan yang didapatkan dari Roland. Sebaliknya, ada kepuasaan di batin Michelle yang berhasil menampar emosi Roland. Michelle juga merasa beruntung bahwa perasaan tulusnya tidak akan terbuang sia-sia terlalu larut.
Taksi yang berhenti telah menyadarkan Michelle dari lamunan kosong. Dia telah tiba di tujuannya, di mana tempat itu selalu Michelle kunjungi.
Tanpa berlama-lama, Michelle keluar dari taksi. Dia masuk ke dalam gedung tinggi itu dengan menggeret satu koper yang dibawa. Ketika tiba pada salah satu hunian di lantai sebelas, ada keraguan yang mempengaruhi Michelle.
“Apa aku tidak merepotkan?” Michelle bergumam sendirian.
“Michelle!”
Michelle tersentak, seketika menoleh ke sisi kanan di mana teriakan itu memanggil namanya.
“Kau sudah lama sampai?”
Michelle tersenyum tipis menyapa sang pemilik hunian apartemen tujuannya. “Kau dari mana? Aku pikir kau ada di dalam.”
Dia adalah Celine—sahabat Michelle yang sudah merangkul lengan Michelle. “Aku sangat cemas setelah mendengarkan ceritamu di telepon tadi. Kau pasti belum makan seharian, jadi aku memutuskan membeli makanan. Ayo kita masuk! Kau pasti lapar dan kelelahan.”
Celine mengambil alih koper Michelle kemudian menggeretnya masuk ke dalam hunian apartemen. Menu makan malam yang dibeli tak berlama-lama Celine hidang di meja makan. Gadis itu juga tak lupa menyajikan secangkir teh hangat kepada Michelle.
“Aku minta maaf telah merepotkanmu.”
Celine mendengus kesal. “Aku benturkan kepalamu ke dinding agar kau ingat aku ini siapa!”
Michelle tertawa kecil. “Kenapa kau juga kejam kepadaku?”
“Aku ini tidak kejam! Jangan kau sama kan aku dengan Tuan Roland sialan itu! Sampai mati pun aku tidak akan pernah menyakitimu!”
Benar! Selain bibinya, Celine merupakan sosok terbaik yang tidak akan menyakiti Michelle.
Celine adalah sahabat yang Michelle kenal sejak dia diasuh oleh bibinya. Wanita yang berusia satu tahun lebih tua dari Michelle itu tinggal di sebelah rumah bibi Michelle. Mereka tumbuh bersama dari masa anak-anak, remaja sampai detik itu.
Orang tua Celine juga yang mengajak Michelle untuk tinggal bersama ketika bibinya Michelle pindah mengikuti suaminya. Setelah mendapatkan pekerjaan, mereka memutuskan menyewa sebuah apartemen untuk ditinggali bersama. Yang tak lama kemudian Michelle keluar dari apartemen itu karena pindah ke apartemen pemberian Roland atas paksaan pria itu.
Meski tidak tinggal bersama, Michelle selalu menghabiskan waktu bersama Celine jika tidak bersama Roland. Celine juga merupakan salah satu orang yang mengetahui hubungan rahasia Michelle dengan Roland.
Michelle tersenyum memandangi Celine yang sedang dalam keadaan kesal. Dia benar-benar tidak salah memutuskan datang pada Celine, seolah mendapatkan cahaya baru setelah kegelapan menyiksa tanpa ampun. Celine benar-benar mampu menghibur hati Michelle.
“Yang harus aku benturkan kepala ke dinding itu adalah kepalanya Tuan Roland.” Celine mengembuskan napas kasar tanda kesal.
Michelle tenang menikmati teh hangat, setelahnya dia menanggapi perkataan Celine. “Kau bisa terkena masalah jika nekat melakukan itu.”
“Bisa-bisanya dia melakukan hal jahat semua itu padamu! Aku pikir tingkah playboy-nya sudah hilang sejak memutuskan lama berhubungan denganmu. Apa selama itu dia tidak pernah sedikit pun menaruh perasaanmu pada gadis cantik sepertimu? Otak dan hatinya benar-benar sudah rusak!”
“Aku hanya wanita simpanan dan pemuas nafsunya,” ungkap Michelle yang benar kenyataan.
“Apa tidak ada sedikit pun perasaan baik yang menyangkut di otaknya itu? Sebelum kau dibutakan cintanya, kau sudah bekerja keras pada pekerjaanmu. Kau lembur hampir setiap hari. Dan sekarang, kau dipecat secara tak hormat? Dia benar-benar mematikan langkah karirmu, Michelle!”
Mulut Celine sudah ingin menimpali perkataannya. Namun, logikanya bertindak cepat mendikte agar tidak melakukan kesalahan. Pada akhirnya Celine memilih mengabaikan emosi yang begitu ingin mengumpat sosok Roland habis-habisan.
Celine mengembuskan napas kasar. “Tinggallah di sini denganku. Aku akan membantumu untuk mencari pekerjaan yang jauh lebih baik dari perusahaan pria kejam itu. Kebetulan ada posisi kosong di tempatku bekerja. Aku bisa merekomendasikanmu pada HRD di kantorku.”
“Terima kasih, Celine. Aku telah memutuskan tidak akan menetap di sini lagi.” Michelle menanggapi tulus yang begitu menghargai kebaikan sahabatnya.
Celine mengangguk-angguk lemah. “Kau benar, kau tidak akan dalam keadaan baik-baik saja jika berada di sini. Pria itu sudah sangat kejam padamu. Dia mengambil semua pemberiannya tanpa terkecuali, padahal pemberianmu jauh lebih berharga. Dasar orang kaya pelit!”
“Sebelum tiba di sini, aku menghubungi Bibi Alins.”
“Apa yang kau katakan pada beliau?” Celine cukup cemas, karena Alins tidak mengetahui hubungan rahasia yang Michelle lakukan.
“Aku mengatakan mengenai aku yang dipecat karena kesalahan fatalku. Bibi Alins dan Paman Danny memintaku untuk segera pindah ke sana. Mereka sudah memesankan tiket pesawat agar besok aku bisa ke sana.”
Michelle terdiam sejenak saat memikirkan keputusan yang cukup sulit dia tentukan.
“Aku juga berniat akan menceritakan permasalahan ini kepada mereka. Aku tidak ingin menutupinya, apalagi sampai membuat mereka mendengarkan dari mulut orang lain,” ucapnya.
Celine langsung memeluk Michelle. “Harusnya aku mati-matian menghasutmu sejak dulu agar kau membenci pria kejam itu. Dia tidak pantas menyakiti gadis baik sepertimu, Michelle. Pria tampan memang paling berbahaya di dunia!”
“Aku tidak ingin tersisa apa pun lagi yang menyangkut tentang dia. Aku ingin tenang menjalani masa depanku. Aku tidak akan sanggup tinggal di sini, Celine.”
Saat itu Michelle tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Dia menangis di pelukan Celine, membasahi bahu Celine dengan air mata yang mengalir deras tanpa mau berhenti.
“Keputusanmu sudah tepat. Kau melepaskan beban yang seharusnya sejak dulu kau lepaskan,” bisik Celine sembari menepuk-nepuk ringan punggung Michelle.
“Aku takut ... aku takut akan berakhir seperti Mommy-ku.”
Celine melepaskan pelukannya, dia meraup wajah Michelle yang memerah basah. “Jangan berkata seperti itu, Michelle. Keputusanmu sudah tepat pergi dari pria kejam itu.”
***
Roland kesulitan meredam emosi pasca berdebat sengit dengan Michelle. Dia marah pada Michelle yang berani membantah. Dia tidak menyangka gadis penurut yang paling disukai olehnya itu berhasil mengacaukan emosinya.
Di kamar tidurnya, suhu ruangan sengaja diatur dingin. Tetapi belum mampu meredakan aura panas di hati Roland. Beberapa botol minuman juga telah dinikmati. Hasilnya masih juga sama, belum mampu menghibur perasaan yang kacau balau.
Roland memandang kesal ranjang tidurnya yang malam itu terasa hampa. Batinnya merutuk kesal, dia tidak akan berakhir sendirian jika Michelle tidak melakukan kesalahan yang dinilainya bodoh. Sudah pasti dia akan merasa nikmat sepanjang malam bersama Michelle.
Sejujurnya, Michelle memiliki penilaian tersendiri bagi Roland. Dari semua wanita yang pernah singgah di hidupnya, hanya Michelle yang mampu membuat jantung Roland berdebar-debar. Michelle mampu membuat darah Roland berdesir dengan memikirkannya saja. Michelle pula yang bisa memantik rasa rindu Roland jika tidak melihat wajah cantiknya.
Sayangnya, ada sebuah luka yang bertengger kokoh di hati Roland. Sehingga dia tidak percaya pada cinta, ketulusan dan kesetiaan.
“Michelle munafik!” geraham Roland mengeras, sementara giginya menggemeretak kasar. “Wanita rendahan seperti dia tidak pantas menyumpahiku! Kau yang tidak akan bahagia jika tidak bersamaku!” lanjutnya dengan kesal melemparkan gelas di genggaman tangan ke arah dinding.
Pelukan hangat Alins menyambut kedatangan Michelle di terminal kedatangan bandara. Dia membelai rambut panjang Michelle yang tergerai indah, kemudian sorot matanya penuh sayang menatap sosok keponakan yang sudah seperti putri kandungnya.Danny Elfman juga melakukan hal serupa. Dengan cara sama dia memberikan perhatian serta kasih sayang pada Michelle yang dianggap seperti putri kandung sendiri.Maklum saja, Alins Louise dan suaminya belum dikaruniakan anak dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan dokter itu, putri mereka adalah Michelle yang merupakan putri kandung dari kakaknya Alins.“Jangan merasa tidak enak dengan kami selama kau di sini, Michelle.” Danny menyatakan perasaannya ketika mereka tiba di rumah.“Justru kami sangat senang kau mau pindah ke sini.” Alins menimpali.Michelle tersenyum, namun hatinya bertolak belakang dengan eskpresi di wajah. Sejak tadi dia telah bersusah payah menahan perasaan bersalah bercampur sedih kepada Alins dan Danny.Terutama pada Alins, Michelle sa
Michelle mematung tak percaya dengan apa yang ia dengar. "A-apa? Mengandung?" wajah cantik Michelle semakin pucat. Michelle membelalakkan matanya. Telinganya lebih ia tajamkan, barangkali salah mendengar. "Jangan bersedih kamu harus tetap tersenyum dan kuat demi bayimu. Apapun yang terjadi sekarang kita akan hadapi bersama." Usap lembut Alins di pundak michelle benar-benar menyatakan bahwa yang ia dengar adalah benar. Kini Michelle hanya mampu menerima pelukan Allins sambil memejamkan mata. 'Hamil?' Michelle di dalam hatinya masih tak percaya. Saat Michelle memejamkan mata, selintas wajah tampan dengan senyum yang sebenarnya ia rindukan terlintas. 'Roland, ini adalah anak Roland!' hati Michelle tak percaya dengan apa yang ia alami, hatinya mengeja nama Roland bagai menyebut sebuah mantra sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga di pipi. Michelle benci Roland karena tidak pernah sedikitpun mencintainya tetapi fakta bahwa ini adalah anak Roland membuatnya kembali menginga
Roland mencengkeram pundak Ella kasar, "Katakan bayi siapa itu? Atau aku bisa saja berbuat kasar padamu!" Roland memekik dengan suara keras."Apa kau pernah berlaku lembut padaku? Apa kau pernah peduli dengan kehadiranku selama ini?" Ella melepaskan cengkraman kasar Roland dengan keras. Suara wanita itu terdengar meninggi, sehingga lantunan tegasnya sama kerasnya dengan suara Roland.Roland menyeringai bengis. Sementara sorot matanya melayang tajam penuh intimidasi yang menciutkan keberanian Ella. "Aku belum sekali pun menyentuhmu, Ella. Bagaimana bisa kau hamil?""Kau selalu pulang mabuk dini hari. Waktu itu, Kau melakukannya dengan kasar dengan menyebut wanita sialan itu! Kau jahat, Roland.” Ella memekik marah sampai wajahnya memerah gemetaran.“Ketika bayi ini hadir kau mengelak? Pria bodoh dan pemabuk sepertimu mungkin tidak punya perasaan! Sampai lupa kapan menikmati keperawanan istrimu!" lanjut Ella mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Hentikan mobilnya.” Dengan suara parau Roland memerintah Daniel.Pria yang duduk di kursi penumpang belakang itu telah tersadar dari mabuknya. Matanya memerah itu menyorot tajam Daniel yang melirik singkat dari cermin dashboard.“Apa Anda ingin saya antar ke apartemen?”Roland terhenyak dengan wajah tak berekspresi dibuat oleh Daniel. Sejujurnya, itu adalah opsi terbaik dari orang kepercayaannya. Roland yang benci pada Ella tidak akan menemukan apalagi mengendus jejak Ella di hunian mewah yang hanya dia dan orang-orang terdekat yang tahu.Tetapi, apartemen itu penuh memori tentang Michelle. Bahwa Roland selalu menghabiskan dan menikmati waktu bersama Michelle.“Aku ingin tidur di hotel saja. Telepon manager hotel untuk menyiapkan kamarku.”Roland merebahkan kepala di sandaran kursi setelah memutuskan, sementara matanya terpejam pasrah seolah melepaskan kepenatan.“Baik, Tuan Roland,” Daniel menyahut patuh.
Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka.[Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas]Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya."Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya."Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari.Michelle diam beberapa menit mencoba tegar
Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon keb
"Bibi Alins, sepertinya aku akan melahirkan.” Michelle berusaha bersuara tenang demi tidak menambah kepanikan.Padahal wanita itu sudah merintih kesakitan dengan keringat yang berpeluh. Michelle bahkan sudah memucat ketika memastikan air yg keluar dari tengah-tengah pahanya itu adalah air ketuban."Aku sudah menghubungi ambulans. Aku juga akan segera ke rumah. Bertahnlah, Michelle.”Tanpa Michelle ketahui, Alins sudah setengah berlari di lorong ruangan. Karena dorongan panik itu Alins sempat beberapa kali tak sengaja menabrak orang yang berjalan.Semua itu karena suara nyaring dari pecahan kaca. Alins takut Michelle akan terluka karena tak sengaja menjatuhkan suata benda.Sampai-sampai Alins sepintas lupa memberitahu suaminya mengenai ketegangan saat itu. Sehingga ketika ingat di perjalanan, Alins tergesa-gesa menghubungi Danny kemudian menekan agar suaminya standby menunggu di rumah sakit.Beruntung lalu lintas pagi
Embusan napas kasar terdengar samar-sama di tangga darurat lantai enam belas. Dia—Celine sudah bersandar lemas di dinding, sementara tangannya masih setia mengenggam handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Lewat Alins yang menghubunginya, gadis itu mengetahui tentang keadaan Michelle. Sehingga sejak tadi Celine diserang gelisah dan sibuk menunggu kabar dari Alins.“Michelle masih belum sadarkan diri, Bibi Alins?” Celine kembali memastikan.Deheman lemah Alins terdengar lewat sambungan telepon itu. “Aku baru saja keluar dari ICU. Michelle belum ada perkembangan.”Celine merosot sampai terjongkok lemas, sementara wajahnya semakin lesu diserang cemas. “Bagaimana keadaan anaknya, Bibi Alins?”“Syukurnya anak itu dalam keadaan baik-baik saja, Celine. Putrinya terlahir sehat. Hanya saja dia belum bisa menyusu dari ibunya dikarenakan keadaan Michelle. Jadi, sementara dia diberikan susu formula atas saran dari dokternya.”Celina langsung menutup sebagian wajahnya dengan satu tangannya ya
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan
Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta