Share

Hari Pertama

Setelah acara akan berakhir dan para undangan mulai pulang, Talitha memperkenalkanku pada Devan.

"Pap, ini loh istrinya Pak Widodo. Dia mau kerja di sini, aku kira Ratih orangnya bersih jadi ya aku terima saja," kata Talitha sambil tersenyum.

"Pak Widodo yang sopir truk di kantorku itu? Oooh boleh saja," jawab Devan sambil mengangguk setuju.

"Terima kasih, Tuan," kataku sambil menunduk. Aku merasa sedikit lega mendengar persetujuan dari Devan.

"Ratih, pastikan kamu merasa nyaman bekerja di sini. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk berbicara dengan kami" tambah Talitha.

"Baik, Nyonya. Terima kasih," jawabku dengan tulus.

Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku dengan semangat baru. Meskipun perasaan cemas masih ada, aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan membantu perekonomian keluargaku.

Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga Devan dan Talitha. Mereka tampak seperti pasangan yang saling melengkapi, dengan chemistry yang kuat terlihat dalam cara mereka berinteraksi satu sama lain. Talitha selalu tampil penuh kasih sayang, memastikan bahwa semua tamu merasa diterima dan diurus dengan baik.

Devan, di sisi lain, memiliki sikap yang tenang dan sabar, sering membantu Talitha ketika ada yang perlu dilakukan. Melihat mereka bersama membuatku menyadari betapa pentingnya komunikasi dan kepercayaan dalam sebuah hubungan. Keduanya selalu saling menghargai dan mendukung, menciptakan lingkungan yang hangat dan nyaman bagi semua orang di sekitar mereka.

Lalu aku memperhatikan Devan dengan tubuh yang tinggi dan atletis, serta rambut hitam yang selalu tampak rapi. Wajahnya tampan dengan garis tegas dan mata coklat yang tajam, membuatku terpesona.

"Ratih, jangan aneh-aneh ah, itu kan majikanmu," bisikku dalam pikiranku, berusaha menenangkan diri. Namun, saat aku melihat Devan dengan tatapan seriusnya, hatiku berdebar kencang. Namun, aku juga menyadari bahwa aku perlu menjaga batasan,  karena aku seharusnya adalah seorang istri yang setia pada Widodo.

Acara hari itu berjalan dengan lancar. Setelah semua undangan pulang, Devan dan Talitha pun beristirahat. Ketiga anak mereka telah ditangani oleh para suster, sementara aku dan ART yang lainnya segera membereskan segala sesuatu.

Kami bekerja dengan cepat dan efisien, memastikan rumah kembali bersih dan rapi. Semua peralatan pesta, piring kotor, dan sisa makanan sudah dibereskan. Setelah semuanya selesai, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku menuju kamarku yang berada di lantai bawah.

ART di rumah ini mendapatkan satu kamar untuk masing-masing orangnya. Ada tiga ART termasuk aku: Mbok Yanti yang berusia 57 tahun, Mbak Tuti yang berusia 42 tahun, dan aku yang termuda, 23 tahun.

Saat aku memasuki kamar, Mbok Yanti sedang duduk di kursinya, terlihat lelah tapi puas dengan pekerjaan hari ini.

"Ratih, yang betah ya kerja di sini. Mbok sudah cape, mungkin ga lama lagi Mbok akan pulang kampung mau pensiun. Mbok sudah 20 tahun kerja dengan keluarga Tuan Devan," pesan Mbok Yanti dengan bijak.

"Insyaallah, Mbok. Kalau Mbok betah harusnya saya juga betah," jawabku sambil tersenyum, berusaha memberikan semangat.

Mbak Tuti yang sedang merapikan tempat tidurnya menambahkan, "Iya, Ratih. Keluarga ini baik sekali. Kamu beruntung bisa bekerja di sini. Tapi tetap jaga sikap dan jangan sampai mengecewakan mereka."

"Iya, Mbak. Saya akan berusaha keras," kataku sambil mengangguk setuju.

Setelah berbincang sebentar, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Hari ini sangat melelahkan, tapi juga penuh pelajaran. Aku berbaring di tempat tidurku, merenung tentang semua yang terjadi hari ini.

Suasana rumah setelah acara sangat tenang, hanya terdengar suara angin berhembus pelan di luar jendela. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan wajah Tuan Devan dengan tatapan seriusnya terus muncul di pikiranku. Aku tahu harus menjaga jarak dan batasan, tapi perasaan ini begitu sulit diabaikan.

Tiba-tiba terdengar suara dug dug dug tepat dari lantai atas kamarku. Aku terkejut dan membuka mata lebar-lebar, berusaha mendengarkan lebih jelas. Suara itu terus berulang, semakin keras dan mengganggu.

Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Semua kamar lain tampak sudah tertutup rapat, menunjukkan bahwa Mbok Yanti dan Mbak Tuti sudah beristirahat. Aku kembali ke kamarku dan mengunci pintu dengan hati-hati, berusaha menghilangkan rasa penasaran yang mengganggu.

Aku berbaring lagi, mencoba untuk tidur, namun suara itu masih terdengar.

Dug dug dug. Degup jantungku semakin cepat, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di lantai atas. Aku memutuskan untuk mendengarkan lebih seksama.

Aku membuka telinga lebar-lebar dan mendengar suara lain yang samar-samar. Ada yang mendesah.

"Ahhh yesss baby ahhh."

Aku mencoba menenangkan diri, berusaha meyakinkan diriku bahwa ini bukan urusanku. Namun, rasa penasaran semakin membesar.

Suara itu pun berlanjut, kali ini lebih jelas.

"Ahhh pap ahhh I'm coming pap, ahhh," suara Talitha terdengar mendesah.

Aku terdiam sejenak. "Apakah itu benar-benar yang aku pikirkan?" gumamku dalam hati. Semakin jelas bahwa Devan dan Talitha sedang berhubungan intim. Pikiran nakal mulai muncul di benakku tanpa bisa kuhindari. Aku mencoba mengusir bayangan itu, tapi sulit sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status