Namun saat mengambil Prince dari pelukanku, entah disengaja atau tidak, ujung jemarinya membelai gunung kembarku. Aku sedikit terhenyak dan tersipu, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini.
"Maaf, Ratih," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuat pipiku terasa panas.
Aku hanya bisa tersenyum kaku dan berusaha mengalihkan pandangan.
"Tidak apa-apa, Tuan," jawabku pelan.
Devan menggendong Prince dengan penuh kasih sayang, sementara aku mencoba menenangkan diri dan kembali ke tugas-tugasku. Meski kejadian tadi membuatku sedikit gugup, aku berusaha untuk tetap profesional dan fokus pada pekerjaanku.
Sambil menyiapkan sarapan untuk Thalita, Devan dan kedua anak kembarnya, pikiranku sesekali melayang pada momen singkat tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan dan tidak perlu terlalu dipikirkan.
Tak lama kemudian, Thalita dan kedua anak kembar, Wilma dan Wilona, bergabung di meja makan. Kehadiran mereka membawa suasana hangat dan penuh kasih. Wilma dan Wilona, yang berusia 5 tahun, tampak ceria dan bersemangat. Mereka dibantu oleh Sari, suster berusia 33 tahun yang setia merawat mereka.
Setelah memastikan semua makanan di meja sudah siap dan minuman sudah tersaji.
"Sarapan sudah siap, Nyonya," kataku sambil tersenyum pada Thalita.
"Terima kasih, Ratih," jawab Thalita dengan anggukan dan senyum hangat.
Devan, yang saat itu masih menggendong Prince, menghampiriku.
"Ratih, tolong lanjutkan menyuapi Prince," katanya sambil menyerahkan Prince kepadaku. Tatapannya yang mempesona membuatku sedikit tertegun sesaat.
"Baik, Tuan," jawabku sambil menerima Prince dengan hati-hati.
Aku kembali duduk di kursi dan melanjutkan menyuapi Prince yang tampak semakin ceria. Devan dan Thalita bersama kedua anak kembar mereka, Wilma dan Wilona, duduk di meja makan. Suasana menjadi semakin hangat dan penuh kasih.
Setelah selesai sarapan, kedua anak kembar segera menuju mobil untuk berangkat sekolah, diantar oleh Pak Arif, sopir yang berusia 51 tahun. Pak Arif selalu setia dan telaten mengantar jemput anak-anak setiap harinya.
"Ayo, Nak, waktunya ke sekolah," ujar Pak Arif dengan senyum ramah, membuka pintu mobil untuk Wilma dan Wilona.
Thalita kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri Devan. Dengan mesra, ia memeluk dan mencium Devan. "Pap, aku antar anak-anak ke sekolah, ya. Love you," ucapnya dengan suara penuh kasih sayang.
"Love you too, Babe," balas Devan sambil meremas bokong Thalita dengan nakal, seolah ingin mengungkapkan sisi kesensualannya padaku. Aku hanya bisa menunduk dan berusaha fokus pada Prince, meski perasaanku sedikit bercampur aduk.
Devan kemudian merapikan jasnya dan melanjutkan menikmati sarapannya. Thalita mengambil tasnya dan melangkah keluar rumah.
Setelah beberapa saat, Devan selesai sarapan dan menghampiriku untuk berpamitan pada Prince.
"Prince, Papa pergi dulu ya. Prince jangan nakal ya, mmmuahh," ujarnya sambil mencium pipi anaknya dengan sayang.
"Bye Papa," jawab Prince terbata-bata dengan suara kecilnya, membuat Devan tersenyum, kemudian menyerahkan Prince kembali padaku.
"Ratih, tadi maaf ya," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuatku tersipu.
"Ti-tidak apa-apa, Tuan," jawabku dengan suara sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Devan mengangguk dan melangkah keluar rumah.
Rumah terasa sepi setelah kepergian mereka. Hanya ada suara gemericik air dari dapur tempat Mbok Yanti sedang mencuci piring dan suara kegiatan membersihkan yang dilakukan oleh staf lainnya. Untuk sementara, tugasku adalah menemani Prince bermain.
Namun, belaian tak disengaja itu membuat pikiranku melayang. Aku mencoba menepis bayang-bayang tersebut dan fokus pada Prince yang kini tampak ceria bermain dengan mainan-mainan favoritnya di ruang keluarga.
Memiliki anak adalah salah satu impianku, tapi entah kenapa setelah dua tahun pernikahan dengan Mas Widodo, kami belum juga dikaruniai anak. Kadang aku bertanya-tanya, apakah mungkin karena aku tidak mencintainya sepenuhnya? Pikiran ini sering melintas, mengingat pernikahan kami yang terasa lebih seperti kewajiban daripada sebuah ikatan yang hangat.
Aku bertemu dengan Mas Widodo ketika aku berusia 21 tahun dan dia 38 tahun. Sebagai seorang sopir truk logistik, dia adalah pria yang sederhana dan ramah, yang selalu memperlakukanku dengan kebaikan. Meskipun hatiku belum sepenuhnya yakin saat itu, aku berharap cinta akan berkembang seiring berjalannya waktu. Tapi kenyataannya, hubungan kami terasa datar, seakan ada jarak yang tak terlihat di antara kami.
"Mbak, obil...obil...!" seru Prince, mengalihkan pikiranku dari kenangan masa lalu. Aku tersenyum dan mengangguk, ikut bermain bersama Prince, namun dalam benakku, perasaan ganjil itu tetap ada.
Malam pertama kami seharusnya menjadi momen spesial, namun justru terasa aneh dan canggung. Ada jarak yang tak terlihat antara kami, dan entah kenapa aku merasa tak sepenuhnya hadir. Rasanya seperti menjalani sebuah peran yang bukan milikku. Malam itu berlangsung begitu cepat,
Mas Widodo menggauliku hanya sekejap sebelum dia mencapai puncaknya. Ada penyesalan yang terpancar di wajahnya, namun juga kilatan rasa penasaran yang sulit kulupakan.‘Apakah tatapan penasaran itu muncul karena aku tak lagi murni saat menikah dengannya?’ pikirku. Sejak awal pernikahan, Mas Widodo tak pernah menyinggung masa laluku, dan aku pun merasa tak perlu membahasnya. Mungkin ia tak terlalu peduli, atau mungkin terlalu sopan untuk bertanya. Namun, pertanyaan itu terus menghantuiku. Seakan ada bagian dari diriku yang selalu tersembunyi, tak pernah benar-benar terbuka pada siapa pun.Ya, memang kesucianku bukan direnggut oleh Mas Widodo, tetapi akibat keisenganku kala SMA di Tulungagung. Aku tidak bisa menahan libidoku yang tinggi. Jari-jariku sendiri yang merobek selaput daraku, jari-jari nakal yang selalu menghantarkan puncak pelepasan setiap malamnya. Dan pria yang pertama kali memasukkan bendanya ke dalamku adalah mantanku yang kini telah menikah dengan gadis pilihan orang tua
Devan mengabaikan peringatanku, wajahnya semakin dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. "Ratih, kamu berbeda," bisiknya. Tangannya yang lain kini merambat ke pinggulku, membuatku merasa bingung antara ingin menolak atau menyerah pada perasaan yang tiba-tiba membakar."Tuan, saya takut Nyonya," kataku, bisikku bergetar antara ketakutan dan keinginan.Devan mengangguk, tangannya meremas pinggulku dengan lembut. "Selamat malam, Ratih," bisiknya di telingaku, dan bibirnya sekilas mengecup pipiku sebelum ia meninggalkan kamar Prince.Aku berdiri di sana, membeku sejenak, merasakan jejak ciumannya yang masih hangat di pipiku. Ada campuran emosi yang kuat, tak terduga, dan sulit diabaikan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari kamar Prince.Saat berjalan menuju kamarku, pikiranku terus dipenuhi oleh momen singkat namun penuh arti tadi. Ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini bukan akhir dari
"Tuan..." aku tak kuasa menahan senyum yang muncul tanpa sadar.“Takut akan banyak hal, takut pada Nyonya, dan takut dengan asisten rumah tangga lainnya di sini. Terlalu banyak orang, Tuan,” ujarku, berusaha mengingatkan kami berdua akan kenyataan yang ada.“Tenang, kita masih punya banyak waktu,” bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat bulu kudukku merinding. Dia mengecup pipiku dengan lembut; aroma maskulin dan kecupannya membuat jantungku berdegup lebih kencang."Tuan..." desahku, mataku sedikit terpejam, merasakan kenikmatan yang datang hanya dari kecupannya.Devan pun mengedipkan matanya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku di tengah kemelut gairah yang masih terasa hangat di kulitku. Rasanya hatiku ikut terbawa pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang sulit kujelaskan.Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak menolaknya? Kenapa tubuh ini begitu mudah bereaksi terhadap sentuhannya? Aku memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Ini bukan aku
Aku hanya bisa menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pujian di balik kata-katanya. Talitha mengambil gaun biru lembut itu dan dengan lembut membantuku mengenakannya. Sentuhannya terasa begitu intim, seolah-olah dia sedang merawat bagian dari dirinya sendiri.Saat gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhku, Talitha menatapku dengan tatapan penuh kekaguman."Lihat dirimu di cermin, Ratih. Kamu benar-benar cantik," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh emosi.Aku menoleh ke cermin dan terkejut melihat refleksi diriku sendiri. Gaun itu memang sangat cocok, membingkai tubuhku dengan cara yang membuatku merasa anggun dan percaya diri."Terima kasih, Nyonya," kataku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus dan percaya diri."Ratih, gaunnya untukmu saja," Talitha tersenyum dan tertawa kecil, ada getaran hangat dalam suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih nyaman."Tapi, Nyonya?" tanyaku, masih ragu."Sudahlah, buat
Devan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman keras di telingaku. Aku mencoba berpaling, namun kekuatan pandangannya terlalu kuat untuk dihindari.Dia menghampiriku, jarak antara kami semakin dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya."Prince sudah tidur?" bisiknya pelan, suaranya lembut namun penuh arti."Sudah, Tuan," jawabku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupanku.Devan lalu berjalan mendekati tempat tidur Prince, menunduk dan mencium kening anaknya dengan penuh kasih."Good night, buddy," bisiknya, suaranya begitu lembut dan penuh kehangatan seorang ayah.Aku berdiri di dekat pintu, merasa seperti seorang penonton dalam momen yang begitu pribadi dan intim. Hati kecilku berdenyut, terharu melihat sisi lain dari Devan yang jarang kutemui. Namun, perasaan ini segera tergantikan oleh kegugupan saat dia berbalik menghadap ku lagi. Devan berjalan kembali ke arahku, matanya tak pernah lepas dari pandanganku."Ratih," panggilnya lembut, namun ada k
"Nyonya Talitha memanggil kita. Ayo, cepat," jawab Mbak Tuti dengan nada mendesak."Sebentar, Mbak. Saya ganti baju dulu," kataku sambil bergegas menuju lemari pakaian.Aku mengganti baju dengan cepat, mengenakan seragam kerja yang lebih rapi. Pikiran tentang panggilan mendadak ini membuatku semakin gelisah. Apakah ada masalah besar yang terjadi? Mengapa Nyonya Talitha memanggil kami jam segini?Setelah berpakaian, aku menemui Mbak Tuti di lorong. Kami berjalan bersama menghampiri Talitha di ruang tamu. Saat kami tiba, Talitha segera memanggil kami untuk masuk ke dalam kamarnya."Bantu packing baju ya, aku mau mengantar Opa berobat ke Singapore," pinta Talitha."Baik, Nyonya," jawab kami serempak.Sebelum aku masuk kamar, aku melihat Devan masih tertidur lelap di kamarnya. Talitha yang sudah menunggu di dalam kamar mengajak kami segera masuk."Ayo masuk saja," katanya sambil membuka pintu ruangan pakaiannya.Ruangan itu penuh dengan lemari pakaian besar yang berisi berbagai macam baju
"C'mon, Dad, you’re too old for that," ujar Talitha dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana."Papa cuma nanya, masa nggak boleh?" balas ayah Talitha dengan nada yang sama, meskipun sorot matanya tetap mengawasi dengan intens."Selamat pagi, Tuan," kataku sambil tersenyum kecil dan menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Suasana sedikit canggung, dan aku merasa pandangan ayah Talitha masih lekat di punggungku saat aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Biar Ratih kembali bekerja, Dad. Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat," kata Talitha sambil menggandeng lengan ayahnya, mencoba mengalihkannya dari percakapan yang tidak nyaman ini. Ayah Talitha mengangguk pelan dan membiarkan Talitha membawanya pergi.Saat kami tiba di pintu keberangkatan, Talitha berbalik menatapku. "Ratih, jaga rumah dan semuanya selama aku pergi, ya," ucapnya dengan suara penuh kepercayaan."Baik, Nyonya. Saya akan usahakan yang terbaik," jawabku dengan tulus.Talitha mengangguk, memb
"Tiga bulan? Saya kan baru seminggu kerja di sini?" tanyaku heran, berusaha mencerna maksud dari perkataan Devan. Devan hanya tersenyum tipis, seakan menyembunyikan sesuatu yang menarik, lalu aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian-kejadian yang mungkin berkaitan."Apa karena saya pernah antar makanan ke tempat kerja Mas Widodo?" tanyaku penasaran, mencoba mencari kaitan dari peristiwa tersebut.Sebelum Devan sempat menjawab lebih lanjut dan menghilangkan rasa penasaranku, Prince tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih setengah tertutup menatapku dengan tatapan polosnya."Mbak, mamam," katanya dengan suara yang manja, seolah-olah tidak sabar untuk mendapatkan perhatian. Aku tersenyum, tidak bisa menahan rasa gemasku, dan segera mengalihkan perhatianku kepada Prince, memastikan bahwa dia merasa nyaman dan diperhatikan."Good morning, big guy," kata Devan sambil menghampiri dan mencium Prince. Ia menggelitik perut kecil Prince, membuat Prince tertawa cekikikan.Tidak be