Share

Desahan di Malam Hari

"Pap, harder, ahhh," suara Talitha semakin mendesah, membuatku membayangkan apa yang terjadi di kamar atas. Tanpa disadari, tanganku mulai merayap ke balik dasterku dan merasakan sesuatu yang basah di antara kakiku.

Degup jantungku semakin cepat, hampir seirama dengan suara yang kudengar dari atas. Kuselipkan jariku di antara belahan kewanitaanku, merasakan cairan yang terasa di jariku. Perlahan, kuputar-putar titik sensitifku, sensasi yang timbul membuatku menggeliat di tempat tidur.

"Ahh..." desahku pelan, mencoba menahan suara agar tidak terdengar oleh yang lain. Setiap gerakan jariku, setiap desahan Talitha, terasa seakan-akan menyatu dalam irama yang sama. Tubuhku merespons dengan cepat, gelombang panas menjalar dari bawah ke seluruh tubuh.

Desahan Talitha semakin intens, "Pap, faster! Ahhh..." Suara itu menggema di kepala, membuat fantasi yang ada di benakku semakin liar. Aku membayangkan diriku berada di tempat Talitha, merasakan setiap sentuhan Devan, setiap penetrasi yang membuat tubuhku bergelora.

Jariku semakin aktif, memutar-mutar titik sensitifku dengan ritme yang semakin cepat. Setiap sentuhan memberikan sensasi yang membuatku semakin mendesah.

"Ahh, Devan..." bisikku tanpa sadar, membayangkan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis.

Tubuhku mulai bergetar, tanda-tanda puncak kenikmatan mulai terasa. Aku memejamkan mata, membiarkan imajinasi dan sensasi itu menguasai sepenuhnya. Setiap gerakan, setiap sentuhan jariku, seakan-akan membawa diriku ke puncak yang tak terhingga.

"Ahh, ahh..." desahku semakin keras, sulit untuk menahan lagi. Tubuhku melengkung, napasku semakin berat. Sensasi itu semakin kuat, semakin mendalam, hingga akhirnya aku mencapai puncak kenikmatan. Badanku bergetar hebat, gelombang puncak melanda sekujur tubuhku.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengatur nafas yang masih terengah-engah. Sensasi itu masih terasa, membuatku merasa lelah namun puas. Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk.

"Apa yang baru saja kulakukan?" bisikku pada diri sendiri. Rasa bersalah mulai merayapi pikiranku, tapi ada juga rasa lega yang aneh.

Aku menyingkap selimut, menatap tanganku yang masih gemetar. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

*****

Ketika pagi tiba, aku merasa begitu lelah, tapi aku tahu harus bangkit dan melanjutkan pekerjaan. Rutinitas pagi membantu mengalihkan pikiranku dari kejadian semalam, setidaknya untuk sementara.

Saat aku menyiapkan sarapan di dapur, Mbok Yanti dan Mbak Tuti sudah mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kami bekerja dalam diam, tapi aku tahu mereka merasakan kelelahan yang sama setelah acara besar kemarin.

"Ratih, kamu kelihatan lelah. Apa kamu tidak tidur nyenyak semalam?" tanya Mbok Yanti dengan nada khawatir.

"Hanya sedikit sulit tidur, Mbok. Tapi saya baik-baik saja." Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahanku.

"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk cerita, ya, Ratih." Mbak Tuti menatapku sejenak, seolah bisa membaca pikiranku.

"Iya, Mbak. Terima kasih," jawabku pelan, merasa sedikit tenang dengan perhatian mereka.

"Ratih, Ratih," panggilan Talitha dari lantai dua terdengar jelas. Aku segera bergegas menghampirinya, merasa ada sesuatu yang mendesak.

"Iya, Nyonya?" tanyaku sopan, setelah sampai di depan pintu kamar Talitha.

"Prince pipis di box bayinya lagi. Tolong bersihkan, ya," ujarnya sambil menunjukkan ke arah box bayi yang terletak di pojok ruangan.

"Baik, Nyonya. Saya akan segera membersihkannya," jawabku sambil tersenyum.

Aku segera menggantikan sprei dan membersihkan box bayi yang terkena pipis. Prince tampak ceria dan terus bermain, sementara aku bekerja dengan cepat dan teliti.

"Haduh, ini Wulan sakit jadi agak repot," kata Talitha sambil menghela napas. Wulan adalah pengasuh utama Prince yang berusia 41 tahun.

"Semoga Wulan cepat sembuh, Nyonya. Saya akan berusaha membantu semaksimal mungkin," kataku dengan nada tulus.

"Adduhh repot kalau sus lagi sakit, ya Prince ya," katanya sambil menggantikan pakaian Prince yang sedikit basah.

Aku melanjutkan pekerjaanku dengan hati-hati, memastikan box bayi benar-benar bersih.

"Ratih, kalau sudah selesai, kamu cuci tangan ya. Setelah itu, tolong gendong Prince dulu, aku mau mandi," Thalita meminta dengan nada lembut.

"Baik, Nyonya," jawabku.

Setelah memastikan box bayi sudah bersih dan rapi, aku cuci tangan di wastafel toilet. Selesai mencuci tangan, aku menghampiri Thalita yang sedang menenangkan Prince di ruang tamu.

"Nyonya, saya sudah selesai," kataku.

Thalita tersenyum dan menyerahkan Prince kepadaku. 

"Kamu sekalian ajak Prince makan di bawah, ya. Tolong disuapin. Tapi biasanya Prince harus digendong biar mau makan," ujarnya sambil mengusap rambut Prince yang halus.

"Baik, Nyonya," jawabku sambil menggendong Prince yang berusia 2 tahun itu.

Aku menggendong Prince dengan hati-hati dan membawanya ke ruang makan. "Ayo, Prince, kita makan dulu, ya," kataku dengan lembut.

Di dapur, aku menyiapkan makanan untuk Prince. Menu hari ini adalah bubur ayam yang lembut dan bergizi. Aku meletakkan mangkuk bubur di meja makan dan mengambil sendok kecil. Sambil terus menggendong Prince, aku duduk di kursi dan mulai menyuapinya.

Menggendong Prince sambil menyuapinya memang butuh sedikit usaha ekstra, namun melihat Prince makan dengan lahap membuat semua jerih payah terasa sepadan. Setiap suapan yang masuk membuatnya semakin ceria dan puas.

Saat aku tengah asyik menyuapi Prince, aku mendengar langkah kaki menuruni tangga. Devan, muncul dari lantai dua dengan senyum ramah yang membuatku sedikit salah tingkah.

"Pagi semua," sapa Devan dengan suara hangat.

"Pagi, Tuan," jawab kami serempak di dapur.

"Tuan, sarapannya sudah siap," kata Mbok Yanti sambil menunjuk ke meja makan yang telah diatur rapi.

"Terima kasih, Mbok," jawab Devan sambil menghampiriku. Ia membuka tangannya, siap untuk mengambil alih Prince dariku.

Namun saat mengambil Prince dari pelukanku, entah disengaja atau tidak, ujung jemarinya membelai salah satu gunung kembarku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status