Aku hanya bisa menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pujian di balik kata-katanya. Talitha mengambil gaun biru lembut itu dan dengan lembut membantuku mengenakannya. Sentuhannya terasa begitu intim, seolah-olah dia sedang merawat bagian dari dirinya sendiri.
Saat gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhku, Talitha menatapku dengan tatapan penuh kekaguman.
"Lihat dirimu di cermin, Ratih. Kamu benar-benar cantik," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh emosi.
Aku menoleh ke cermin dan terkejut melihat refleksi diriku sendiri. Gaun itu memang sangat cocok, membingkai tubuhku dengan cara yang membuatku merasa anggun dan percaya diri.
"Terima kasih, Nyonya," kataku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus dan percaya diri.
"Ratih, gaunnya untukmu saja," Talitha tersenyum dan tertawa kecil, ada getaran hangat dalam suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih nyaman.
"Tapi, Nyonya?" tanyaku, masih ragu.
"Sudahlah, buat kamu saja. Aku tidak percaya diri menggunakan gaun itu. Kelak, jika ada undangan yang harus kamu hadiri, kamu sudah punya gaun yang indah," Talitha menjelaskan dengan nada yang lembut namun tegas.
"Tapi, Nyonya, saya hanya pembantu," kataku, suaraku hampir berbisik karena bingung dan canggung.
"Memangnya kenapa? Masa tidak boleh pakai gaun? Nonsense," Talitha menegaskan sambil menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan keraguanku.
Aku menatapnya, mencoba mencari petunjuk di balik matanya yang jernih dan penuh kasih sayang. Talitha selalu memperlakukan aku dengan baik, tapi ini adalah kali pertama dia memberikan sesuatu yang begitu berharga.
"Terima kasih, Nyonya," kataku dengan suara yang lebih mantap, mencoba mengatasi perasaan campur aduk yang berkecamuk dalam diri sambil perlahan mengangguk.
"Ratih, aku harap kamu bisa jadi lebih dari seorang pembantu di sini, oke honey?" ujar Talitha dengan nada centil, sambil mengalungkan lengannya di leherku.
Aku tertegun sejenak, merasakan kehangatan dari kedekatan fisik yang begitu jarang kurasakan. Ada sesuatu dalam cara Talitha berbicara dan bertindak yang membuat hatiku berdebar.
"Lebih dari seorang pembantu, Nyonya? maksud Nyonya?" tanyaku dengan penuh kebingungan, mataku mencari jawaban di wajahnya.
"Aku butuh teman," bisiknya sambil mengedipkan mata, suaranya terdengar seperti pengakuan yang jujur dan penuh harap.
Aku terdiam, mencerna kata-katanya yang sederhana namun begitu dalam. Teman. Sesuatu yang mungkin sepele bagi orang lain, tapi bagi seseorang seperti aku yang terbiasa berada di pinggiran, hal itu terasa begitu berharga.
"Baiklah, sekarang bantu aku susun baju untuk sesi foto nanti," ucap Talitha, memecah keheningan yang sempat tercipta. Dia tersenyum lembut, dan aku merasakan kehangatan yang tulus dalam senyumnya itu.
Aku mengikuti Talitha menuju ruang ganti yang luas, dindingnya dipenuhi cermin besar dan rak-rak yang penuh dengan pakaian indah. Cahaya lampu yang hangat memantul di setiap sudut, menciptakan suasana yang hampir magis. Talitha mulai menarik beberapa gaun dari rak, memeriksa setiap detail dengan teliti.
***
Jam 7 malam, Devan, Talitha, dan kedua anak kembar mereka, Wilma dan Wilona, bersiap-siap untuk berangkat menuju studio foto yang telah Talitha booking. Aku, seperti biasa, menjaga Prince, anak bungsu mereka yang selalu penuh energi.
Kami semua masuk ke dalam mobil yang luas dan nyaman. Pak Arif duduk di kursi pengemudi, sementara Devan dan Talitha duduk di kursi tengah bersama Wilma dan Wilona. Aku duduk di kursi belakang bersama Suter Sari, memeluk Prince yang gelisah. Mobil melaju dengan lancar menuju studio foto, suasana di dalam mobil penuh dengan canda tawa anak-anak yang membuat perjalanan terasa lebih singkat.
Setibanya di studio foto, kami disambut oleh fotografer yang ramah dan profesional. Studio itu sendiri sangat modern dan elegan, dengan pencahayaan yang sempurna dan berbagai latar belakang yang indah. Talitha langsung memimpin keluarganya menuju ruang ganti, sementara aku dan Suter Sari menenangkan Prince yang mulai merasa gelisah.
"Ratih, tolong bantu Wilma dan Wilona memilih pakaian yang cocok, ya," kata Talitha sambil tersenyum. Aku mengangguk dan mulai membantu kedua anak kembar itu memilih gaun dan setelan jas yang sesuai. Suter Sari sibuk membantu Talitha dengan gaunnya.
Saat sesi foto dimulai, aku berdiri di sudut ruangan, mengamati dinamika keluarga ini dengan penuh perhatian. Devan dan Talitha tampak serasi bersama, meskipun aku bisa melihat Devan terlihat sedikit kurang nyaman. Wilma dan Wilona mengikuti arahan fotografer dengan antusias, sementara Prince, yang duduk di pangkuanku, menunggu gilirannya untuk berfoto.
"Semua bersiap-siap, sekarang kita akan ambil foto keluarga," kata fotografer dengan suara hangat. Talitha mengambil Prince dari pangkuanku dan membawanya ke tengah, sementara Devan, meskipun tampak agak kaku, merangkul bahu Talitha. Wilma dan Wilona berdiri di depan mereka dengan senyum lebar.
"Ini untuk ulang tahun Prince yang ke-2, ayo tersenyum semuanya!" seru fotografer. Meskipun Devan terlihat canggung, dia mencoba tersenyum untuk kebahagiaan anak-anaknya. Talitha memberikan pandangan penuh kasih dan dukungan, berusaha membuat semua orang merasa nyaman.
Setelah sesi foto berakhir, Talitha memenuhi janjinya untuk membelikan Wilma dan Wilona es krim. "Ayo, sekarang kita menuju tempat favorit kalian," katanya dengan senyum lebar, memegang tangan kedua anak kembar itu. Aku mengangkat Prince yang masih antusias setelah sesi foto tadi, sementara Suter Sari dan Pak Arif membantu mengatur barang-barang.
Kami semua masuk ke dalam mobil lagi, kali ini dengan tujuan yang lebih santai. Pak Arif mengemudi dengan tenang, membawa kami ke sebuah kedai es krim yang terkenal dengan berbagai rasa uniknya. Sepanjang perjalanan, tawa dan cerita-cerita riang dari Wilma dan Wilona menghiasi suasana, sementara Devan duduk di samping Talitha, berusaha menikmati momen bersama keluarganya meskipun masih terlihat sedikit tegang.
Setibanya di kedai es krim, aroma manis langsung menyambut kami. Dinding-dindingnya berwarna-warni, dipenuhi dengan gambar-gambar es krim yang menggoda. Wilma dan Wilona segera berlari ke arah konter, mata mereka berbinar-binar melihat berbagai pilihan rasa yang tersedia. Talitha mengikuti di belakang mereka, tertawa kecil melihat antusiasme anak-anaknya.
Aku duduk di salah satu meja bersama Prince yang terus mengoceh, menunjukkan mainan barunya yang didapat dari sesi foto tadi. Devan, meskipun masih tampak sedikit canggung, memesan es krim untuk seluruh keluarga. Suter Sari dan aku mendapatkan kesempatan untuk memilih rasa favorit kami, sementara Talitha membantu anak-anak memilih es krim yang mereka inginkan.
Ketika semua es krim telah tersaji di meja, kebahagiaan terpancar dari wajah setiap anggota keluarga. Wilma dan Wilona sibuk menikmati es krim mereka, tertawa dan berbagi cerita tentang rasa favorit mereka. Talitha duduk di samping Devan, memberikan tatapan lembut yang penuh kasih, seolah mencoba menghilangkan ketegangan yang mungkin masih ada.
Malam itu berakhir dengan penuh tawa dan kebahagiaan. Ketika kami kembali ke rumah, Wilma dan Wilona tertidur di kursi belakang mobil dengan senyum di wajah mereka, sementara Prince tergolek lelah di pangkuanku.
Setelah tiba di rumah, aku menggantikan pakaian Prince dengan perlahan, setiap gerakan penuh kelembutan agar tidak membangunkannya. Mataku tak lepas dari wajahnya yang tenang, penuh dengan kepolosan masa kanak-kanak. Aku merebahkannya di tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi tubuh mungilnya dan mencium keningnya dengan sayang.
Namun, ketika aku hendak keluar dari kamar, pintu terbuka perlahan dan Devan masuk. Aku terkejut, tak menduga akan bertemu dengannya di sini. Matanya menatapku dengan intens, penuh hasrat yang membuat jantungku berdebar kencang. Suasana menjadi tegang, udara seakan mengalir lebih lambat.
"Ratih," suaranya terdengar serak, hampir berbisik. Aku bisa merasakan aura berbeda darinya, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tubuhku membeku, tak mampu bergerak, terjebak dalam tatapan yang penuh arti itu.
Devan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman keras di telingaku. Aku mencoba berpaling, namun kekuatan pandangannya terlalu kuat untuk dihindari.Dia menghampiriku, jarak antara kami semakin dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya."Prince sudah tidur?" bisiknya pelan, suaranya lembut namun penuh arti."Sudah, Tuan," jawabku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupanku.Devan lalu berjalan mendekati tempat tidur Prince, menunduk dan mencium kening anaknya dengan penuh kasih."Good night, buddy," bisiknya, suaranya begitu lembut dan penuh kehangatan seorang ayah.Aku berdiri di dekat pintu, merasa seperti seorang penonton dalam momen yang begitu pribadi dan intim. Hati kecilku berdenyut, terharu melihat sisi lain dari Devan yang jarang kutemui. Namun, perasaan ini segera tergantikan oleh kegugupan saat dia berbalik menghadap ku lagi. Devan berjalan kembali ke arahku, matanya tak pernah lepas dari pandanganku."Ratih," panggilnya lembut, namun ada k
"Nyonya Talitha memanggil kita. Ayo, cepat," jawab Mbak Tuti dengan nada mendesak."Sebentar, Mbak. Saya ganti baju dulu," kataku sambil bergegas menuju lemari pakaian.Aku mengganti baju dengan cepat, mengenakan seragam kerja yang lebih rapi. Pikiran tentang panggilan mendadak ini membuatku semakin gelisah. Apakah ada masalah besar yang terjadi? Mengapa Nyonya Talitha memanggil kami jam segini?Setelah berpakaian, aku menemui Mbak Tuti di lorong. Kami berjalan bersama menghampiri Talitha di ruang tamu. Saat kami tiba, Talitha segera memanggil kami untuk masuk ke dalam kamarnya."Bantu packing baju ya, aku mau mengantar Opa berobat ke Singapore," pinta Talitha."Baik, Nyonya," jawab kami serempak.Sebelum aku masuk kamar, aku melihat Devan masih tertidur lelap di kamarnya. Talitha yang sudah menunggu di dalam kamar mengajak kami segera masuk."Ayo masuk saja," katanya sambil membuka pintu ruangan pakaiannya.Ruangan itu penuh dengan lemari pakaian besar yang berisi berbagai macam baju
"C'mon, Dad, you’re too old for that," ujar Talitha dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana."Papa cuma nanya, masa nggak boleh?" balas ayah Talitha dengan nada yang sama, meskipun sorot matanya tetap mengawasi dengan intens."Selamat pagi, Tuan," kataku sambil tersenyum kecil dan menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Suasana sedikit canggung, dan aku merasa pandangan ayah Talitha masih lekat di punggungku saat aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Biar Ratih kembali bekerja, Dad. Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat," kata Talitha sambil menggandeng lengan ayahnya, mencoba mengalihkannya dari percakapan yang tidak nyaman ini. Ayah Talitha mengangguk pelan dan membiarkan Talitha membawanya pergi.Saat kami tiba di pintu keberangkatan, Talitha berbalik menatapku. "Ratih, jaga rumah dan semuanya selama aku pergi, ya," ucapnya dengan suara penuh kepercayaan."Baik, Nyonya. Saya akan usahakan yang terbaik," jawabku dengan tulus.Talitha mengangguk, memb
"Tiga bulan? Saya kan baru seminggu kerja di sini?" tanyaku heran, berusaha mencerna maksud dari perkataan Devan. Devan hanya tersenyum tipis, seakan menyembunyikan sesuatu yang menarik, lalu aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian-kejadian yang mungkin berkaitan."Apa karena saya pernah antar makanan ke tempat kerja Mas Widodo?" tanyaku penasaran, mencoba mencari kaitan dari peristiwa tersebut.Sebelum Devan sempat menjawab lebih lanjut dan menghilangkan rasa penasaranku, Prince tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih setengah tertutup menatapku dengan tatapan polosnya."Mbak, mamam," katanya dengan suara yang manja, seolah-olah tidak sabar untuk mendapatkan perhatian. Aku tersenyum, tidak bisa menahan rasa gemasku, dan segera mengalihkan perhatianku kepada Prince, memastikan bahwa dia merasa nyaman dan diperhatikan."Good morning, big guy," kata Devan sambil menghampiri dan mencium Prince. Ia menggelitik perut kecil Prince, membuat Prince tertawa cekikikan.Tidak be
Aku mencoba menenangkan diri dan menatap Tuan Edward dengan penuh perhatian."Mohon maaf, Tuan. Apakah ada sesuatu yang seharusnya saya ketahui?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri.Tuan Edward hanya menatapku dengan muka datarnya, lalu menghela napas, membuatku semakin penasaran.Sebelum Tuan Edward sempat menjawab, terdengar suara dari samping rumah."Princeee...." Suara itu milik Sus Wulan yang telah kembali dari izin sakitnya. Suaranya membawa perasaan lega sekaligus cemas.Namun, Prince hanya menoleh sebentar dan melanjutkan bermainnya. Sus Wulan dengan antusias mendekati Prince, menggendongnya dan memeluknya, tetapi Prince tampak tidak terlalu nyaman dengan perlakuan itu. Ia meronta halus dari pelukan Sus Wulan, dan aku bisa melihat sedikit kebingungan di mata Prince."Ratih, kemarin Sus harus ijin sakit. Maafin Sus ya harus merepotkan Ratih jadi Ratih harus menjaga Prince," kata Sus Wulan dengan nada menyesal."Engga mas
Sus Wulan mendekat, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, sementara matanya yang tajam menatapku dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.Ingat, Ratih," ujarnya dengan suara yang tenang namun sarat ancaman. "Di sini saya yang bertanggung jawab atas Prince. Jangan coba-coba mengambil posisi saya," katanya, menambahkan penekanan pada setiap kata, membuat bulu kudukku meremang."Mengerti, Sus," jawabku pelan, meski dalam hati aku merasa semakin tertekan.Ketegangan masih terasa di udara saat Sus Wulan berbalik dan meninggalkan ruangan, tapi aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku terheran-heran atas perlakuan Sus Wulan, kenapa tiba-tiba jadi rumit?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tatapanku jatuh pada Prince yang masih nyaman dalam pelukanku. Hari sudah siang, sudah waktunya tidur siang Prince. Aku harus memusatkan perhatian pada Prince, meski pikiran tentang Sus Wulan terus mengganggu pikiranku."Prince, ayo kita ke kamar un
"Sus Wulan, ada apa sih? Apakah kamu lagi PMS? Jangan marah-marah terus, itu tidak baik untuk kesehatanmu," kata Sus Sari dengan nada yang mencoba menenangkan, namun terdengar sedikit sarkastis.Sus Wulan berhenti sejenak, mengarahkan tatapan tajamnya ke arahku sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Pandangannya yang dingin masih terkunci padaku, membuatku merasa seolah-olah aku berada di bawah mikroskop.Aku pun menatap Sus Sari dengan cepat. Sus Sari hanya menaikkan bahunya sambil cekikikan pelan, seakan mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Enggak jelas," bibirku bergerak tapi tak ada suara yang keluar.Sus Sari mendekat sambil menahan tawa, matanya berkilat-kilat dengan kejenakaan yang mencoba mengurangi ketegangan."Sudah, biarin saja," ujarnya sambil tersenyum lembut, mencoba menenangkan suasana hati yang masih keruh. Aku mengangguk pelan, meski pikiran-pikiranku masih berputar-putar, mencari makna di balik ke
Suasana di ruang makan terasa sedikit tegang, namun ada kehangatan yang tidak bisa diabaikan. Aku menyerahkan mangkuk makanan kepada Sus Wulan yang menyambutnya dengan anggukan singkat, lalu segera beralih untuk melanjutkan tugasnya."Terima kasih, Ratih," ucap Sus Wulan dengan nada datar, namun matanya memancarkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Aku hanya bisa tersenyum kecil sebelum melangkah menuju halaman tengah, mencari udara segar untuk menenangkan pikiranku yang kacau.Di luar, angin malam berhembus lembut, membawa aroma rumput basah dan bunga melati yang bermekaran. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam memasuki paru-paruku. Rasanya begitu menenangkan, mengusir sebagian dari kekhawatiran yang sempat menggantung di benakku."Ratih," suara lembut dan familiar memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Devan berdiri di ambang pintu, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan."Ya, Tuan?" balasku, mencoba menyem
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah