"Tuan..." aku tak kuasa menahan senyum yang muncul tanpa sadar.
“Takut akan banyak hal, takut pada Nyonya, dan takut dengan asisten rumah tangga lainnya di sini. Terlalu banyak orang, Tuan,” ujarku, berusaha mengingatkan kami berdua akan kenyataan yang ada.
“Tenang, kita masih punya banyak waktu,” bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat bulu kudukku merinding. Dia mengecup pipiku dengan lembut; aroma maskulin dan kecupannya membuat jantungku berdegup lebih kencang.
"Tuan..." desahku, mataku sedikit terpejam, merasakan kenikmatan yang datang hanya dari kecupannya.
Devan pun mengedipkan matanya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku di tengah kemelut gairah yang masih terasa hangat di kulitku. Rasanya hatiku ikut terbawa pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang sulit kujelaskan.
Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak menolaknya? Kenapa tubuh ini begitu mudah bereaksi terhadap sentuhannya? Aku memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Ini bukan aku. Aku seharusnya bisa menolak. Tapi kenapa setiap kali dia mendekat, aku seperti kehilangan kendali?
Devan, dengan segala pesonanya, selalu berhasil membuatku merasa istimewa dan Talitha, wanita yang begitu baik dan penuh perhatian. Namun, ada bagian dari diriku yang tak bisa menolak tarikan magnetis dari Devan. Setiap sentuhan, setiap kecupan, selalu meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus.
Aku menghela napas panjang, berusaha memahami perasaanku sendiri. Ini lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatku merasa hidup setiap kali dia ada di dekatku. Tapi apa itu? Apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Devan?
"Mengapa kau seperti ini, Ratih?" gumamku pada diri sendiri. "Kenapa kau membiarkan dirimu terjebak dalam permainan yang berbahaya ini?"
Brakkk! Suara helm terjatuh dari sepeda kecil membuyarkan lamunanku. Aku segera tersadar bahwa aku harus menjaga Prince.
"Bike, bike," katanya dengan lucu, menyadarkanku dari kebingungan yang melanda.
Aku menghampirinya dan memeluknya erat.
"Mbak ntik, Prince like," katanya dengan suara manis yang membuat hatiku meleleh.
"Eh, anak kecil sudah bisa gombal ya kamu," jawabku dengan tawa kecil, merasa gemas dengan Prince.
Prince tertawa riang, membuat suasana hatiku sedikit lebih cerah. Keberadaannya seperti angin segar yang menyapu pergi awan kelabu di hatiku. Aku menggandeng tangannya, membantunya berdiri dan memungut helm yang jatuh.
"Ayo, kita bermain lagi," kataku dengan senyum, mencoba melupakan sejenak semua kegelisahan yang mengganggu pikiranku.
Kami bermain di halaman rumah, aku mendorong sepedanya pelan-pelan sementara Prince tertawa bahagia. Suara tawa dan keceriaannya membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya, saat ini, aku bisa melupakan masalah yang ada.
"Prince kita minum dulu yuuk," ajakku sambil berdiri dan menggandeng tangannya menuju dapur.
Di dapur, aku membantunya minum jus jeruk yang segar. Wajahnya yang puas dan senyumnya yang manis membuatku merasa lebih baik.
"Tang yu, Mba ntik," katanya sambil menghapus bibirnya yang belepotan jus.
"Sama-sama, sayang," jawabku, merasa hatiku kembali hangat.
Saat sore hari tiba, Talitha memintaku untuk membantunya menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk sesi berfoto di studio. Aku mengangguk dan mengikutinya ke kamar, di mana banyak pakaian dan aksesori sudah tertata rapi di atas tempat tidur.
"Aku butuh bantuanmu untuk memilih mana yang lebih cocok, Ratih," katanya dengan senyum lembut.
Ada rasa canggung yang tak bisa kuhindari saat berada di dekat Talitha. Wanita ini begitu sempurna di mataku—anggun, baik hati, dan penuh perhatian. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dalam diriku, sesuatu yang membuatku bertanya-tanya apa yang kurang dari Talitha sehingga Devan masih bisa berpaling darinya.
Kami mulai memilih-milih gaun. Talitha mencoba beberapa tanpa ragu, mengganti pakaian di depanku dan melepaskan pakaiannya sampai hanya tersisa celana dalam saja. Aku merasa kikuk sekaligus minder karena tubuh Talitha yang begitu sempurna, dengan setiap lekukannya yang tampak elegan dalam balutan apapun.
Talitha menyadari kekikukan ku dan mendekatiku dengan senyum lembut.
"Santai saja, di sini tidak ada siapa-siapa," katanya sambil menepuk pundakku dengan lembut.
"Maaf Nyonya, saya hanya tidak terbiasa," aku mencoba tersenyum balik, meskipun rasa canggung itu tetap ada.
"Tak perlu minta maaf, Ratih," Talitha tertawa kecil dan kembali mencoba gaun lain.
Setelah beberapa kali percobaan, Talitha akhirnya memilih gaun berwarna emas dengan detail renda yang halus.
"Bagaimana menurutmu, Ratih?" tanyanya, berputar sekali lagi di depan cermin.
"Itu sangat cantik, Nyonya. Warna emas benar-benar menonjolkan kecantikan Nyonya," jawabku dengan tulus.
Talitha tampak puas dan tersenyum hangat. Lalu, dengan gerakan lembut, dia mengambil sebuah gaun lain dari rak dan memberikannya padaku.
"Coba kamu pakai," katanya.
Aku terkejut atas permintaan itu, merasa sedikit gugup. "Nyonya?"
"Ya, Ratih. Aku ingin melihat bagaimana gaun ini terlihat padamu. Aku yakin kamu akan terlihat cantik," jawab Talitha dengan senyum yang meyakinkan.
Dengan ragu-ragu, aku mengambil gaun itu dari tangannya. Gaun itu berwarna biru lembut dengan detail renda yang indah. Aku merasa ragu, namun tidak ingin mengecewakan Talitha.
"Baiklah, Nyonya," kataku akhirnya.
Ketika aku berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian, Talitha memanggilku dengan nada lembut namun tegas.
"Mau ke mana? Ganti di sini saja," katanya.
Aku tertegun sejenak, merasa canggung dengan permintaan itu. Di hadapan wanita yang begitu sempurna seperti Talitha, rasa minder ku semakin dalam.
"Di sini, Nyonya?" tanyaku, mencoba memastikan.
"Ya, di sini saja. Tidak apa-apa, Ratih. Aku hanya ingin melihat bagaimana gaun itu terlihat padamu," Talitha mengangguk sambil tersenyum.
Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengumpulkan keberanian dan mulai berganti pakaian di sana, di depan Talitha. Setiap gerakan terasa lambat dan hati-hati, sementara rasa canggung terus menghantui.
Tatapannya berubah saat aku melepas seluruh pakaianku, hanya tersisa bra dan celana dalam. Mata Talitha mengikuti setiap gerakanku dengan intensitas yang membuatku merasa terperangkap dalam cahayanya. Aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih cepat, dan nafasku terasa berat.
"Buka saja, bra-nya tidak cocok dengan gaun itu," katanya lagi dengan nada lembut.
Aku terdiam sejenak, merasa darah mengalir deras ke wajahku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku melepaskan bra-ku. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak, dan hanya ada aku dan Talitha di ruangan itu, dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan.
Talitha mendekat, menatapku dengan mata yang penuh dengan sesuatu yang tak bisa kuartikan. Tangannya yang lembut menyentuh bahuku, mengirimkan gelombang kehangatan melalui kulitku.
"Lihat, Ratih. Kamu benar-benar cantik," bisiknya pelan, suaranya begitu dekat di telingaku.
Aku hanya bisa menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pujian di balik kata-katanya. Talitha mengambil gaun biru lembut itu dan dengan lembut membantuku mengenakannya. Sentuhannya terasa begitu intim, seolah-olah dia sedang merawat bagian dari dirinya sendiri.Saat gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhku, Talitha menatapku dengan tatapan penuh kekaguman."Lihat dirimu di cermin, Ratih. Kamu benar-benar cantik," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh emosi.Aku menoleh ke cermin dan terkejut melihat refleksi diriku sendiri. Gaun itu memang sangat cocok, membingkai tubuhku dengan cara yang membuatku merasa anggun dan percaya diri."Terima kasih, Nyonya," kataku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus dan percaya diri."Ratih, gaunnya untukmu saja," Talitha tersenyum dan tertawa kecil, ada getaran hangat dalam suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih nyaman."Tapi, Nyonya?" tanyaku, masih ragu."Sudahlah, buat
Devan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman keras di telingaku. Aku mencoba berpaling, namun kekuatan pandangannya terlalu kuat untuk dihindari.Dia menghampiriku, jarak antara kami semakin dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya."Prince sudah tidur?" bisiknya pelan, suaranya lembut namun penuh arti."Sudah, Tuan," jawabku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupanku.Devan lalu berjalan mendekati tempat tidur Prince, menunduk dan mencium kening anaknya dengan penuh kasih."Good night, buddy," bisiknya, suaranya begitu lembut dan penuh kehangatan seorang ayah.Aku berdiri di dekat pintu, merasa seperti seorang penonton dalam momen yang begitu pribadi dan intim. Hati kecilku berdenyut, terharu melihat sisi lain dari Devan yang jarang kutemui. Namun, perasaan ini segera tergantikan oleh kegugupan saat dia berbalik menghadap ku lagi. Devan berjalan kembali ke arahku, matanya tak pernah lepas dari pandanganku."Ratih," panggilnya lembut, namun ada k
"Nyonya Talitha memanggil kita. Ayo, cepat," jawab Mbak Tuti dengan nada mendesak."Sebentar, Mbak. Saya ganti baju dulu," kataku sambil bergegas menuju lemari pakaian.Aku mengganti baju dengan cepat, mengenakan seragam kerja yang lebih rapi. Pikiran tentang panggilan mendadak ini membuatku semakin gelisah. Apakah ada masalah besar yang terjadi? Mengapa Nyonya Talitha memanggil kami jam segini?Setelah berpakaian, aku menemui Mbak Tuti di lorong. Kami berjalan bersama menghampiri Talitha di ruang tamu. Saat kami tiba, Talitha segera memanggil kami untuk masuk ke dalam kamarnya."Bantu packing baju ya, aku mau mengantar Opa berobat ke Singapore," pinta Talitha."Baik, Nyonya," jawab kami serempak.Sebelum aku masuk kamar, aku melihat Devan masih tertidur lelap di kamarnya. Talitha yang sudah menunggu di dalam kamar mengajak kami segera masuk."Ayo masuk saja," katanya sambil membuka pintu ruangan pakaiannya.Ruangan itu penuh dengan lemari pakaian besar yang berisi berbagai macam baju
"C'mon, Dad, you’re too old for that," ujar Talitha dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana."Papa cuma nanya, masa nggak boleh?" balas ayah Talitha dengan nada yang sama, meskipun sorot matanya tetap mengawasi dengan intens."Selamat pagi, Tuan," kataku sambil tersenyum kecil dan menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Suasana sedikit canggung, dan aku merasa pandangan ayah Talitha masih lekat di punggungku saat aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Biar Ratih kembali bekerja, Dad. Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat," kata Talitha sambil menggandeng lengan ayahnya, mencoba mengalihkannya dari percakapan yang tidak nyaman ini. Ayah Talitha mengangguk pelan dan membiarkan Talitha membawanya pergi.Saat kami tiba di pintu keberangkatan, Talitha berbalik menatapku. "Ratih, jaga rumah dan semuanya selama aku pergi, ya," ucapnya dengan suara penuh kepercayaan."Baik, Nyonya. Saya akan usahakan yang terbaik," jawabku dengan tulus.Talitha mengangguk, memb
"Tiga bulan? Saya kan baru seminggu kerja di sini?" tanyaku heran, berusaha mencerna maksud dari perkataan Devan. Devan hanya tersenyum tipis, seakan menyembunyikan sesuatu yang menarik, lalu aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian-kejadian yang mungkin berkaitan."Apa karena saya pernah antar makanan ke tempat kerja Mas Widodo?" tanyaku penasaran, mencoba mencari kaitan dari peristiwa tersebut.Sebelum Devan sempat menjawab lebih lanjut dan menghilangkan rasa penasaranku, Prince tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih setengah tertutup menatapku dengan tatapan polosnya."Mbak, mamam," katanya dengan suara yang manja, seolah-olah tidak sabar untuk mendapatkan perhatian. Aku tersenyum, tidak bisa menahan rasa gemasku, dan segera mengalihkan perhatianku kepada Prince, memastikan bahwa dia merasa nyaman dan diperhatikan."Good morning, big guy," kata Devan sambil menghampiri dan mencium Prince. Ia menggelitik perut kecil Prince, membuat Prince tertawa cekikikan.Tidak be
Aku mencoba menenangkan diri dan menatap Tuan Edward dengan penuh perhatian."Mohon maaf, Tuan. Apakah ada sesuatu yang seharusnya saya ketahui?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri.Tuan Edward hanya menatapku dengan muka datarnya, lalu menghela napas, membuatku semakin penasaran.Sebelum Tuan Edward sempat menjawab, terdengar suara dari samping rumah."Princeee...." Suara itu milik Sus Wulan yang telah kembali dari izin sakitnya. Suaranya membawa perasaan lega sekaligus cemas.Namun, Prince hanya menoleh sebentar dan melanjutkan bermainnya. Sus Wulan dengan antusias mendekati Prince, menggendongnya dan memeluknya, tetapi Prince tampak tidak terlalu nyaman dengan perlakuan itu. Ia meronta halus dari pelukan Sus Wulan, dan aku bisa melihat sedikit kebingungan di mata Prince."Ratih, kemarin Sus harus ijin sakit. Maafin Sus ya harus merepotkan Ratih jadi Ratih harus menjaga Prince," kata Sus Wulan dengan nada menyesal."Engga mas
Sus Wulan mendekat, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, sementara matanya yang tajam menatapku dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.Ingat, Ratih," ujarnya dengan suara yang tenang namun sarat ancaman. "Di sini saya yang bertanggung jawab atas Prince. Jangan coba-coba mengambil posisi saya," katanya, menambahkan penekanan pada setiap kata, membuat bulu kudukku meremang."Mengerti, Sus," jawabku pelan, meski dalam hati aku merasa semakin tertekan.Ketegangan masih terasa di udara saat Sus Wulan berbalik dan meninggalkan ruangan, tapi aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku terheran-heran atas perlakuan Sus Wulan, kenapa tiba-tiba jadi rumit?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tatapanku jatuh pada Prince yang masih nyaman dalam pelukanku. Hari sudah siang, sudah waktunya tidur siang Prince. Aku harus memusatkan perhatian pada Prince, meski pikiran tentang Sus Wulan terus mengganggu pikiranku."Prince, ayo kita ke kamar un
"Sus Wulan, ada apa sih? Apakah kamu lagi PMS? Jangan marah-marah terus, itu tidak baik untuk kesehatanmu," kata Sus Sari dengan nada yang mencoba menenangkan, namun terdengar sedikit sarkastis.Sus Wulan berhenti sejenak, mengarahkan tatapan tajamnya ke arahku sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Pandangannya yang dingin masih terkunci padaku, membuatku merasa seolah-olah aku berada di bawah mikroskop.Aku pun menatap Sus Sari dengan cepat. Sus Sari hanya menaikkan bahunya sambil cekikikan pelan, seakan mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Enggak jelas," bibirku bergerak tapi tak ada suara yang keluar.Sus Sari mendekat sambil menahan tawa, matanya berkilat-kilat dengan kejenakaan yang mencoba mengurangi ketegangan."Sudah, biarin saja," ujarnya sambil tersenyum lembut, mencoba menenangkan suasana hati yang masih keruh. Aku mengangguk pelan, meski pikiran-pikiranku masih berputar-putar, mencari makna di balik ke
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah