Share

Kecupan Terlarang

"Tuan..." aku tak kuasa menahan senyum yang muncul tanpa sadar.

“Takut akan banyak hal, takut pada Nyonya, dan takut dengan asisten rumah tangga lainnya di sini. Terlalu banyak orang, Tuan,” ujarku, berusaha mengingatkan kami berdua akan kenyataan yang ada.

“Tenang, kita masih punya banyak waktu,” bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat bulu kudukku merinding. Dia mengecup pipiku dengan lembut; aroma maskulin dan kecupannya membuat jantungku berdegup lebih kencang.

"Tuan..." desahku, mataku sedikit terpejam, merasakan kenikmatan yang datang hanya dari kecupannya.

Devan pun mengedipkan matanya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku di tengah kemelut gairah yang masih terasa hangat di kulitku. Rasanya hatiku ikut terbawa pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang sulit kujelaskan.

Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak menolaknya? Kenapa tubuh ini begitu mudah bereaksi terhadap sentuhannya? Aku memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Ini bukan aku. Aku seharusnya bisa menolak. Tapi kenapa setiap kali dia mendekat, aku seperti kehilangan kendali?

Devan, dengan segala pesonanya, selalu berhasil membuatku merasa istimewa dan Talitha, wanita yang begitu baik dan penuh perhatian. Namun, ada bagian dari diriku yang tak bisa menolak tarikan magnetis dari Devan. Setiap sentuhan, setiap kecupan, selalu meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus.

Aku menghela napas panjang, berusaha memahami perasaanku sendiri. Ini lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatku merasa hidup setiap kali dia ada di dekatku. Tapi apa itu? Apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Devan?

"Mengapa kau seperti ini, Ratih?" gumamku pada diri sendiri. "Kenapa kau membiarkan dirimu terjebak dalam permainan yang berbahaya ini?"

Brakkk! Suara helm terjatuh dari sepeda kecil membuyarkan lamunanku. Aku segera tersadar bahwa aku harus menjaga Prince.

"Bike, bike," katanya dengan lucu, menyadarkanku dari kebingungan yang melanda.

Aku menghampirinya dan memeluknya erat. 

"Mbak ntik, Prince like," katanya dengan suara manis yang membuat hatiku meleleh.

"Eh, anak kecil sudah bisa gombal ya kamu," jawabku dengan tawa kecil, merasa gemas dengan Prince.

Prince tertawa riang, membuat suasana hatiku sedikit lebih cerah. Keberadaannya seperti angin segar yang menyapu pergi awan kelabu di hatiku. Aku menggandeng tangannya, membantunya berdiri dan memungut helm yang jatuh.

"Ayo, kita bermain lagi," kataku dengan senyum, mencoba melupakan sejenak semua kegelisahan yang mengganggu pikiranku.

Kami bermain di halaman rumah, aku mendorong sepedanya pelan-pelan sementara Prince tertawa bahagia. Suara tawa dan keceriaannya membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya, saat ini, aku bisa melupakan masalah yang ada.

"Prince kita minum dulu yuuk," ajakku sambil berdiri dan menggandeng tangannya menuju dapur.

Di dapur, aku membantunya minum jus jeruk yang segar. Wajahnya yang puas dan senyumnya yang manis membuatku merasa lebih baik.

"Tang yu, Mba ntik," katanya sambil menghapus bibirnya yang belepotan jus.

"Sama-sama, sayang," jawabku, merasa hatiku kembali hangat.

Saat sore hari tiba, Talitha memintaku untuk membantunya menyiapkan pakaian yang akan dipakai untuk sesi berfoto di studio. Aku mengangguk dan mengikutinya ke kamar, di mana banyak pakaian dan aksesori sudah tertata rapi di atas tempat tidur.

"Aku butuh bantuanmu untuk memilih mana yang lebih cocok, Ratih," katanya dengan senyum lembut.

Ada rasa canggung yang tak bisa kuhindari saat berada di dekat Talitha. Wanita ini begitu sempurna di mataku—anggun, baik hati, dan penuh perhatian. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dalam diriku, sesuatu yang membuatku bertanya-tanya apa yang kurang dari Talitha sehingga Devan masih bisa berpaling darinya.

Kami mulai memilih-milih gaun. Talitha mencoba beberapa tanpa ragu, mengganti pakaian di depanku dan melepaskan pakaiannya sampai hanya tersisa celana dalam saja. Aku merasa kikuk sekaligus minder karena tubuh Talitha yang begitu sempurna, dengan setiap lekukannya yang tampak elegan dalam balutan apapun.

Talitha menyadari kekikukan ku dan mendekatiku dengan senyum lembut.

"Santai saja, di sini tidak ada siapa-siapa," katanya sambil menepuk pundakku dengan lembut.

"Maaf Nyonya, saya hanya tidak terbiasa," aku mencoba tersenyum balik, meskipun rasa canggung itu tetap ada.

"Tak perlu minta maaf, Ratih," Talitha tertawa kecil dan kembali mencoba gaun lain.

Setelah beberapa kali percobaan, Talitha akhirnya memilih gaun berwarna emas dengan detail renda yang halus.

"Bagaimana menurutmu, Ratih?" tanyanya, berputar sekali lagi di depan cermin.

"Itu sangat cantik, Nyonya. Warna emas benar-benar menonjolkan kecantikan Nyonya," jawabku dengan tulus.

Talitha tampak puas dan tersenyum hangat. Lalu, dengan gerakan lembut, dia mengambil sebuah gaun lain dari rak dan memberikannya padaku.

"Coba kamu pakai," katanya.

Aku terkejut atas permintaan itu, merasa sedikit gugup. "Nyonya?"

"Ya, Ratih. Aku ingin melihat bagaimana gaun ini terlihat padamu. Aku yakin kamu akan terlihat cantik," jawab Talitha dengan senyum yang meyakinkan.

Dengan ragu-ragu, aku mengambil gaun itu dari tangannya. Gaun itu berwarna biru lembut dengan detail renda yang indah. Aku merasa ragu, namun tidak ingin mengecewakan Talitha.

"Baiklah, Nyonya," kataku akhirnya.

Ketika aku berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian, Talitha memanggilku dengan nada lembut namun tegas. 

"Mau ke mana? Ganti di sini saja," katanya.

Aku tertegun sejenak, merasa canggung dengan permintaan itu. Di hadapan wanita yang begitu sempurna seperti Talitha, rasa minder ku semakin dalam.

"Di sini, Nyonya?" tanyaku, mencoba memastikan.

"Ya, di sini saja. Tidak apa-apa, Ratih. Aku hanya ingin melihat bagaimana gaun itu terlihat padamu," Talitha mengangguk sambil tersenyum.

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengumpulkan keberanian dan mulai berganti pakaian di sana, di depan Talitha. Setiap gerakan terasa lambat dan hati-hati, sementara rasa canggung terus menghantui.

Tatapannya berubah saat aku melepas seluruh pakaianku, hanya tersisa bra dan celana dalam. Mata Talitha mengikuti setiap gerakanku dengan intensitas yang membuatku merasa terperangkap dalam cahayanya. Aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih cepat, dan nafasku terasa berat.

"Buka saja, bra-nya tidak cocok dengan gaun itu," katanya lagi dengan nada lembut.

Aku terdiam sejenak, merasa darah mengalir deras ke wajahku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku melepaskan bra-ku. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak, dan hanya ada aku dan Talitha di ruangan itu, dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan.

Talitha mendekat, menatapku dengan mata yang penuh dengan sesuatu yang tak bisa kuartikan. Tangannya yang lembut menyentuh bahuku, mengirimkan gelombang kehangatan melalui kulitku.

"Lihat, Ratih. Kamu benar-benar cantik," bisiknya pelan, suaranya begitu dekat di telingaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status