"C'mon, Dad, you’re too old for that," ujar Talitha dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana."Papa cuma nanya, masa nggak boleh?" balas ayah Talitha dengan nada yang sama, meskipun sorot matanya tetap mengawasi dengan intens."Selamat pagi, Tuan," kataku sambil tersenyum kecil dan menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Suasana sedikit canggung, dan aku merasa pandangan ayah Talitha masih lekat di punggungku saat aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Biar Ratih kembali bekerja, Dad. Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat," kata Talitha sambil menggandeng lengan ayahnya, mencoba mengalihkannya dari percakapan yang tidak nyaman ini. Ayah Talitha mengangguk pelan dan membiarkan Talitha membawanya pergi.Saat kami tiba di pintu keberangkatan, Talitha berbalik menatapku. "Ratih, jaga rumah dan semuanya selama aku pergi, ya," ucapnya dengan suara penuh kepercayaan."Baik, Nyonya. Saya akan usahakan yang terbaik," jawabku dengan tulus.Talitha mengangguk, memb
"Tiga bulan? Saya kan baru seminggu kerja di sini?" tanyaku heran, berusaha mencerna maksud dari perkataan Devan. Devan hanya tersenyum tipis, seakan menyembunyikan sesuatu yang menarik, lalu aku mencoba untuk mengingat-ingat kejadian-kejadian yang mungkin berkaitan."Apa karena saya pernah antar makanan ke tempat kerja Mas Widodo?" tanyaku penasaran, mencoba mencari kaitan dari peristiwa tersebut.Sebelum Devan sempat menjawab lebih lanjut dan menghilangkan rasa penasaranku, Prince tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih setengah tertutup menatapku dengan tatapan polosnya."Mbak, mamam," katanya dengan suara yang manja, seolah-olah tidak sabar untuk mendapatkan perhatian. Aku tersenyum, tidak bisa menahan rasa gemasku, dan segera mengalihkan perhatianku kepada Prince, memastikan bahwa dia merasa nyaman dan diperhatikan."Good morning, big guy," kata Devan sambil menghampiri dan mencium Prince. Ia menggelitik perut kecil Prince, membuat Prince tertawa cekikikan.Tidak be
Aku mencoba menenangkan diri dan menatap Tuan Edward dengan penuh perhatian."Mohon maaf, Tuan. Apakah ada sesuatu yang seharusnya saya ketahui?" tanyaku akhirnya, memberanikan diri.Tuan Edward hanya menatapku dengan muka datarnya, lalu menghela napas, membuatku semakin penasaran.Sebelum Tuan Edward sempat menjawab, terdengar suara dari samping rumah."Princeee...." Suara itu milik Sus Wulan yang telah kembali dari izin sakitnya. Suaranya membawa perasaan lega sekaligus cemas.Namun, Prince hanya menoleh sebentar dan melanjutkan bermainnya. Sus Wulan dengan antusias mendekati Prince, menggendongnya dan memeluknya, tetapi Prince tampak tidak terlalu nyaman dengan perlakuan itu. Ia meronta halus dari pelukan Sus Wulan, dan aku bisa melihat sedikit kebingungan di mata Prince."Ratih, kemarin Sus harus ijin sakit. Maafin Sus ya harus merepotkan Ratih jadi Ratih harus menjaga Prince," kata Sus Wulan dengan nada menyesal."Engga mas
Sus Wulan mendekat, langkahnya mantap dan penuh percaya diri, sementara matanya yang tajam menatapku dengan intensitas yang tak bisa diabaikan.Ingat, Ratih," ujarnya dengan suara yang tenang namun sarat ancaman. "Di sini saya yang bertanggung jawab atas Prince. Jangan coba-coba mengambil posisi saya," katanya, menambahkan penekanan pada setiap kata, membuat bulu kudukku meremang."Mengerti, Sus," jawabku pelan, meski dalam hati aku merasa semakin tertekan.Ketegangan masih terasa di udara saat Sus Wulan berbalik dan meninggalkan ruangan, tapi aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku terheran-heran atas perlakuan Sus Wulan, kenapa tiba-tiba jadi rumit?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tatapanku jatuh pada Prince yang masih nyaman dalam pelukanku. Hari sudah siang, sudah waktunya tidur siang Prince. Aku harus memusatkan perhatian pada Prince, meski pikiran tentang Sus Wulan terus mengganggu pikiranku."Prince, ayo kita ke kamar un
"Sus Wulan, ada apa sih? Apakah kamu lagi PMS? Jangan marah-marah terus, itu tidak baik untuk kesehatanmu," kata Sus Sari dengan nada yang mencoba menenangkan, namun terdengar sedikit sarkastis.Sus Wulan berhenti sejenak, mengarahkan tatapan tajamnya ke arahku sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Pandangannya yang dingin masih terkunci padaku, membuatku merasa seolah-olah aku berada di bawah mikroskop.Aku pun menatap Sus Sari dengan cepat. Sus Sari hanya menaikkan bahunya sambil cekikikan pelan, seakan mengatakan bahwa dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Enggak jelas," bibirku bergerak tapi tak ada suara yang keluar.Sus Sari mendekat sambil menahan tawa, matanya berkilat-kilat dengan kejenakaan yang mencoba mengurangi ketegangan."Sudah, biarin saja," ujarnya sambil tersenyum lembut, mencoba menenangkan suasana hati yang masih keruh. Aku mengangguk pelan, meski pikiran-pikiranku masih berputar-putar, mencari makna di balik ke
Suasana di ruang makan terasa sedikit tegang, namun ada kehangatan yang tidak bisa diabaikan. Aku menyerahkan mangkuk makanan kepada Sus Wulan yang menyambutnya dengan anggukan singkat, lalu segera beralih untuk melanjutkan tugasnya."Terima kasih, Ratih," ucap Sus Wulan dengan nada datar, namun matanya memancarkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Aku hanya bisa tersenyum kecil sebelum melangkah menuju halaman tengah, mencari udara segar untuk menenangkan pikiranku yang kacau.Di luar, angin malam berhembus lembut, membawa aroma rumput basah dan bunga melati yang bermekaran. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam memasuki paru-paruku. Rasanya begitu menenangkan, mengusir sebagian dari kekhawatiran yang sempat menggantung di benakku."Ratih," suara lembut dan familiar memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Devan berdiri di ambang pintu, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan."Ya, Tuan?" balasku, mencoba menyem
Aku menunggu dengan perasaan cemas saat Sus Wulan menyerahkan ponsel padaku. Tanganku sedikit gemetar saat menggenggam telepon itu, membayangkan segala kemungkinan percakapan yang akan terjadi."Halo, Nyonya," sapaku dengan suara yang berusaha stabil, meski hatiku berdegup kencang."Ratih, aku nemu baju yang lucu buat kamu," kata Talitha dengan nada ceria."Baju, Nyonya?" tanyaku dengan sedikit keheranan."Iya, kamu pasti suka," sahutnya dengan semangat, membuatku ingin tahu namun tetap fokus pada yang lebih penting."Nyonya, maaf tadi ada masalah kecil," kataku, mencoba menjaga nada suara agar tetap tenang."Masalah apa?" tanya Talitha, suaranya tetap ringan."Tadi saat saya mengganti seprai tempat tidur Prince, botol susu tidak sengaja tersenggol dan tumpah, Nyonya," jelasku, merasa tatapan Sus Wulan masih terarah padaku."Ah, ada Tuti kan? Sudah dibersihkan?" Talitha menanggapi dengan santai, tak terdengar khawatir."
Seketika, suasana berubah. Seolah disiram air dingin, aku tersentak kembali ke kenyataan. Devan mengendurkan pelukannya, namun tatapannya tetap tertuju padaku.Gelombang malu dan gugup bercampur aduk dalam diriku. Aku merapikan pakaian dengan cepat, berusaha menguasai kembali diri dari situasi yang berubah drastis. Devan tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana dengan pandangan lembutnya."Maafkan aku," ucapku pelan, menundukkan kepala sejenak sebelum bangkit dari pangkuannya, berusaha mengalihkan perhatian pada tugas yang menunggu. Devan menahan tanganku sejenak."Nanti malam ke sini lagi," ucapnya dengan nada yang menggoda, meninggalkan jejak janji yang menggantung di udara. Aku tertegun, terbelah antara rasa penasaran dan ketidakpastian yang menyertai undangannya.Suara langkah kaki yang menaiki tangga, dari ruang service mengingatkanku pada realitas yang tak bisa dihindari. Ketegangan menebal, mendorongku untuk segera bertindak."Tuan, turu
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah