Hari itu adalah perayaan ulang tahun ketiga anak bungsu Tuan Devan dan Nyonya Talitha. Rumah besar mereka penuh dengan dekorasi berwarna-warni—balon-balon menggantung di setiap sudut, pita-pita berkilauan, dan suara tawa anak-anak yang memenuhi ruangan. Di tengah-tengah keceriaan itu, aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan berisi gelas-gelas minuman.
"Nyonya, saya sudah siapkan kue ulang tahunnya di meja," kataku kepada Nyonya Talitha, yang tampak sibuk mengatur segala sesuatunya.
"Terima kasih, Ratih. Pastikan semua tamu mendapatkan minuman, ya," jawabnya singkat sebelum beralih ke tamu lainnya.
Aku mengangguk dan mulai berkeliling ruangan, menawarkan minuman kepada para tamu. Di tengah keramaian, mataku terus mencari-cari sosok Tuan Devan. Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadanya, sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa ditunda lagi.
Akhirnya, aku melihatnya berdiri dekat taman belakang, tertawa bersama beberapa temannya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ini adalah saat yang tepat.
Aku melangkah mendekatinya, dan dia pun menyadari kehadiranku. Dia mundur sedikit dari teman-temannya dan mendekat padaku.
"Ada apa, Ratih?" bisiknya, suaranya terdengar khawatir.
"Tuan, bolehkah saya bicara sebentar?" Aku melangkah mendekatinya.
"Tidak bisa nanti aja?" katanya, tampak sedikit tidak sabar.
Aku menggeleng pelan, mencoba menunjukkan betapa pentingnya ini.
"Tidak, Tuan. Ini sangat penting."
Devan menghela napas dan melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan.
"Baiklah, ayo kita bicara di sini," katanya sambil mengajakku ke sudut yang lebih sepi di taman.
Setelah kami berada di tempat yang lebih tenang, dia menatapku dengan serius. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Ratih?"
"Tuan, saya tidak tahu bagaimana mengatakannya," kataku dengan suara gemetar,
"tapi saya hamil." Jantungku berdebar kencang, merasa campur aduk antara cemas dan bingung.
"Apa maksudmu, Ratih?" Devan terdiam, wajahnya berubah serius.
"Saya hamil... anak Tuan," ulangku, suara ku semakin gemetar.
Tiba-tiba, Nyonya Talitha menghampiri kami berdua.
"Pap, itu temanmu nyariin," katanya dengan nada ceria, tidak menyadari ketegangan di antara kami.
"Oh, iya. Terima kasih, Mom. Aku akan segera ke sana," Devan berusaha tetap tenang dan tersenyum pada istrinya.
"Ratih, tolong cari Wilma dan Wilona. Kita sudah mau tiup lilin," Talitha kemudian beralih padaku.
"Baik, Nyonya," aku mengangguk cepat.
Setelah Talitha pergi, Devan kembali menatapku dengan tatapan serius.
"Kita akan bicara lebih lanjut nanti. Untuk sekarang, lakukan apa yang Nyonya minta."
"Baik, Tuan," aku mengangguk lagi, merasa sedikit lega karena percakapan ini tertunda.
Aku segera bergegas mencari Wilma dan Wilona, mencoba mengalihkan pikiranku dari percakapan yang baru saja terjadi. Pikiran tentang bagaimana Tuan Devan akan menangani situasi ini terus menghantuiku, tapi aku tahu aku harus fokus pada tugas saat ini.
Setelah menemukan Wilma dan Wilona, aku membawa mereka kembali ke ruang utama di mana semua orang sudah berkumpul untuk tiup lilin. Nyonya Talitha memegang kue ulang tahun besar dengan lilin yang menyala, dan semua tamu mulai menyanyikan lagu ulang tahun.
Aku berdiri di sudut, menyaksikan momen bahagia ini dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa lega telah mengungkapkan kebenaran kepada Tuan Devan. Di sisi lain, aku khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
<<<<<<<<<<<
<<<<<<<<<<<
Semua ini bermula dari setahun yang lalu, ketika aku baru mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Devan dan Talitha. Keputusan ini diambil untuk membantu perekonomian keluarga, terutama karena suamiku, Mas Widodo, yang bekerja di perusahaan Devan, sering bepergian jauh untuk mengantar logistik ke luar pulau.
Hari-hari pertama bekerja di rumah Devan dan Talitha terasa seperti mimpi. Rumah besar mereka penuh dengan kemewahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga mereka, meskipun ada sesuatu yang terasa aneh tentang hubungan mereka.
"Ratih, tolong pastikan semua makanan sudah siap sebelum acara dimulai," kata Talitha saat ia lewat di dekatku, tampak tergesa-gesa.
"Baik, Nyonya," jawabku sambil tersenyum. Hari itu, aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru ini. Aku bersyukur karena Devan dan Talitha adalah majikan yang baik dan ramah.
Aku ingat betapa gugupnya aku saat pertama kali mulai bekerja di rumah besar ini. Aku ingin memastikan semuanya sempurna dan tidak mengecewakan mereka. Suara-suara tawa anak-anak dan para tamu yang datang hari itu mengingatkanku betapa pentingnya perayaan keluarga ini bagi mereka.
Saat kembali dari dapur, aku melihat Talitha tampak sangat sibuk mengatur dekorasi dan berkoordinasi dengan para tamu lainnya. Sementara itu, Devan berdiri di pojok, sesekali melirik ke arahku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Setelah acara akan berakhir dan para undangan mulai pulang, Talitha memperkenalkanku pada Devan."Pap, ini loh istrinya Pak Widodo. Dia mau kerja di sini, aku kira Ratih orangnya bersih jadi ya aku terima saja," kata Talitha sambil tersenyum."Pak Widodo yang sopir truk di kantorku itu? Oooh boleh saja," jawab Devan sambil mengangguk setuju."Terima kasih, Tuan," kataku sambil menunduk. Aku merasa sedikit lega mendengar persetujuan dari Devan."Ratih, pastikan kamu merasa nyaman bekerja di sini. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk berbicara dengan kami" tambah Talitha."Baik, Nyonya. Terima kasih," jawabku dengan tulus.Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku dengan semangat baru. Meskipun perasaan cemas masih ada, aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan membantu perekonomian keluargaku.Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga Devan dan Talitha. Mereka tampak seperti pasangan yang saling melengkapi, dengan chemistry yang kuat terlihat dalam ca
"Pap, harder, ahhh," suara Talitha semakin mendesah, membuatku membayangkan apa yang terjadi di kamar atas. Tanpa disadari, tanganku mulai merayap ke balik dasterku dan merasakan sesuatu yang basah di antara kakiku.Degup jantungku semakin cepat, hampir seirama dengan suara yang kudengar dari atas. Kuselipkan jariku di antara belahan kewanitaanku, merasakan cairan yang terasa di jariku. Perlahan, kuputar-putar titik sensitifku, sensasi yang timbul membuatku menggeliat di tempat tidur."Ahh..." desahku pelan, mencoba menahan suara agar tidak terdengar oleh yang lain. Setiap gerakan jariku, setiap desahan Talitha, terasa seakan-akan menyatu dalam irama yang sama. Tubuhku merespons dengan cepat, gelombang panas menjalar dari bawah ke seluruh tubuh.Desahan Talitha semakin intens, "Pap, faster! Ahhh..." Suara itu menggema di kepala, membuat fantasi yang ada di benakku semakin liar. Aku membayangkan diriku berada di tempat Talitha, merasakan setiap sentuhan Devan, setiap penetrasi yang mem
Namun saat mengambil Prince dari pelukanku, entah disengaja atau tidak, ujung jemarinya membelai gunung kembarku. Aku sedikit terhenyak dan tersipu, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini."Maaf, Ratih," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuat pipiku terasa panas.Aku hanya bisa tersenyum kaku dan berusaha mengalihkan pandangan. "Tidak apa-apa, Tuan," jawabku pelan.Devan menggendong Prince dengan penuh kasih sayang, sementara aku mencoba menenangkan diri dan kembali ke tugas-tugasku. Meski kejadian tadi membuatku sedikit gugup, aku berusaha untuk tetap profesional dan fokus pada pekerjaanku.Sambil menyiapkan sarapan untuk Thalita, Devan dan kedua anak kembarnya, pikiranku sesekali melayang pada momen singkat tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan dan tidak perlu terlalu dipikirkan.Tak lama kemudian, Thalita dan kedua anak kembar, Wilma dan Wilona, bergabung di meja makan. Kehadiran mereka membawa suasana hangat dan penuh kasih.
Mas Widodo menggauliku hanya sekejap sebelum dia mencapai puncaknya. Ada penyesalan yang terpancar di wajahnya, namun juga kilatan rasa penasaran yang sulit kulupakan.‘Apakah tatapan penasaran itu muncul karena aku tak lagi murni saat menikah dengannya?’ pikirku. Sejak awal pernikahan, Mas Widodo tak pernah menyinggung masa laluku, dan aku pun merasa tak perlu membahasnya. Mungkin ia tak terlalu peduli, atau mungkin terlalu sopan untuk bertanya. Namun, pertanyaan itu terus menghantuiku. Seakan ada bagian dari diriku yang selalu tersembunyi, tak pernah benar-benar terbuka pada siapa pun.Ya, memang kesucianku bukan direnggut oleh Mas Widodo, tetapi akibat keisenganku kala SMA di Tulungagung. Aku tidak bisa menahan libidoku yang tinggi. Jari-jariku sendiri yang merobek selaput daraku, jari-jari nakal yang selalu menghantarkan puncak pelepasan setiap malamnya. Dan pria yang pertama kali memasukkan bendanya ke dalamku adalah mantanku yang kini telah menikah dengan gadis pilihan orang tua
Devan mengabaikan peringatanku, wajahnya semakin dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. "Ratih, kamu berbeda," bisiknya. Tangannya yang lain kini merambat ke pinggulku, membuatku merasa bingung antara ingin menolak atau menyerah pada perasaan yang tiba-tiba membakar."Tuan, saya takut Nyonya," kataku, bisikku bergetar antara ketakutan dan keinginan.Devan mengangguk, tangannya meremas pinggulku dengan lembut. "Selamat malam, Ratih," bisiknya di telingaku, dan bibirnya sekilas mengecup pipiku sebelum ia meninggalkan kamar Prince.Aku berdiri di sana, membeku sejenak, merasakan jejak ciumannya yang masih hangat di pipiku. Ada campuran emosi yang kuat, tak terduga, dan sulit diabaikan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari kamar Prince.Saat berjalan menuju kamarku, pikiranku terus dipenuhi oleh momen singkat namun penuh arti tadi. Ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini bukan akhir dari
"Tuan..." aku tak kuasa menahan senyum yang muncul tanpa sadar.“Takut akan banyak hal, takut pada Nyonya, dan takut dengan asisten rumah tangga lainnya di sini. Terlalu banyak orang, Tuan,” ujarku, berusaha mengingatkan kami berdua akan kenyataan yang ada.“Tenang, kita masih punya banyak waktu,” bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat bulu kudukku merinding. Dia mengecup pipiku dengan lembut; aroma maskulin dan kecupannya membuat jantungku berdegup lebih kencang."Tuan..." desahku, mataku sedikit terpejam, merasakan kenikmatan yang datang hanya dari kecupannya.Devan pun mengedipkan matanya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku di tengah kemelut gairah yang masih terasa hangat di kulitku. Rasanya hatiku ikut terbawa pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang sulit kujelaskan.Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak menolaknya? Kenapa tubuh ini begitu mudah bereaksi terhadap sentuhannya? Aku memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Ini bukan aku
Aku hanya bisa menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pujian di balik kata-katanya. Talitha mengambil gaun biru lembut itu dan dengan lembut membantuku mengenakannya. Sentuhannya terasa begitu intim, seolah-olah dia sedang merawat bagian dari dirinya sendiri.Saat gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhku, Talitha menatapku dengan tatapan penuh kekaguman."Lihat dirimu di cermin, Ratih. Kamu benar-benar cantik," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh emosi.Aku menoleh ke cermin dan terkejut melihat refleksi diriku sendiri. Gaun itu memang sangat cocok, membingkai tubuhku dengan cara yang membuatku merasa anggun dan percaya diri."Terima kasih, Nyonya," kataku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus dan percaya diri."Ratih, gaunnya untukmu saja," Talitha tersenyum dan tertawa kecil, ada getaran hangat dalam suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih nyaman."Tapi, Nyonya?" tanyaku, masih ragu."Sudahlah, buat
Devan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman keras di telingaku. Aku mencoba berpaling, namun kekuatan pandangannya terlalu kuat untuk dihindari.Dia menghampiriku, jarak antara kami semakin dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya."Prince sudah tidur?" bisiknya pelan, suaranya lembut namun penuh arti."Sudah, Tuan," jawabku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupanku.Devan lalu berjalan mendekati tempat tidur Prince, menunduk dan mencium kening anaknya dengan penuh kasih."Good night, buddy," bisiknya, suaranya begitu lembut dan penuh kehangatan seorang ayah.Aku berdiri di dekat pintu, merasa seperti seorang penonton dalam momen yang begitu pribadi dan intim. Hati kecilku berdenyut, terharu melihat sisi lain dari Devan yang jarang kutemui. Namun, perasaan ini segera tergantikan oleh kegugupan saat dia berbalik menghadap ku lagi. Devan berjalan kembali ke arahku, matanya tak pernah lepas dari pandanganku."Ratih," panggilnya lembut, namun ada k