Suara musik dan gelak tawa anak-anak memenuhi udara sore itu. Rumah besar Devan dan Talitha bersinar dengan dekorasi ulang tahun yang megah—balon warna-warni, pita berkilauan, dan aroma manis kue ulang tahun yang baru saja dikeluarkan dari dapur. Pesta ini adalah untuk ulang tahun ketiga anak bungsu mereka, Prince. Namun, pikiranku sama sekali tidak ada di sini.
Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan penuh minuman yang bergetar karena tanganku yang gemetar. Mataku terus bergerak mencari-cari sosok Tuan Devan di antara keramaian tamu yang tak henti berbincang. Aku harus segera memberitahunya, meskipun tenggorokanku kering dan jantungku berdegup kencang seperti genderang.
Ini terlalu penting. Aku tak bisa menunggu lebih lama.
Akhirnya, aku melihatnya. Di dekat taman belakang, di antara sekelompok pria berjas, dia tertawa lepas. Senyum itu, senyum yang selalu membuat hatiku bergetar setiap kali melihatnya, kini terasa lebih menakutkan daripada menyenangkan. Bagaimana aku bisa mengatakannya? Bagaimana dia akan merespons?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu berjalan mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban di kakiku yang menahan. Ketika aku sudah cukup dekat, Devan menyadari kehadiranku. Tatapannya berubah serius, menandakan dia tahu ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan.
Dia menyingkir dari teman-temannya, sedikit menyipitkan mata, “Ada apa, Ratih?”
Aku merasa lidahku terbelit. Napasku tertahan, tetapi aku tahu tak ada waktu lagi. "Tuan, bolehkah saya bicara sebentar?" bisikku, suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuinginkan.
Devan mengerutkan kening. “Bisa nanti saja? Aku sedang sibuk,” katanya cepat, tatapannya beralih ke tamu-tamu di belakangku.
Aku menggeleng pelan, menggigit bibirku, menahan air mata yang mulai muncul. “Tidak bisa, Tuan. Ini sangat penting. Tolong...”
Dia menarik napas panjang, lalu melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan. “Baiklah,” gumamnya pelan. "Ikuti aku."
Dia membawaku ke sudut taman yang lebih sepi, jauh dari sorotan tamu. Taman itu diterangi cahaya lampu gantung yang remang, menciptakan bayangan panjang di rerumputan. Di sinilah, di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat kolam, Devan akhirnya berbalik dan menatapku dengan mata yang penuh tanya.
“Apa yang ingin kamu katakan, Ratih?”
Jantungku serasa berhenti. Aku membuka mulut, namun kata-katanya sulit keluar. Tanganku gemetar, dan aku harus menahannya agar nampan yang kubawa tidak jatuh.
“Tuan, saya... saya tidak tahu bagaimana mengatakannya,” gumamku, suaraku bergetar. "Tapi... saya hamil."
Kata-kata itu akhirnya terlepas, seperti sebuah batu besar yang kulemparkan dari tebing. Aku merasa seluruh tubuhku kehilangan keseimbangan, dan jantungku kembali berdetak kencang, seolah-olah baru dihidupkan lagi. Aku menundukkan kepala, takut melihat reaksinya.
Devan terdiam. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak kaku, bibirnya terkatup rapat. "Kamu..." Dia berhenti, suaranya lebih dingin. "Kamu bilang apa tadi?"
"Saya hamil, Tuan," ulangku, suaraku semakin lemah. "Anak ini... anak Tuan."
Waktu terasa berhenti. Rasanya seperti dunia di sekelilingku memudar, hanya ada dia dan aku di tempat ini. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri begitu keras di telinga, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Devan.
Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, suara tawa ceria tiba-tiba memecah kesunyian. Nyonya Talitha muncul, dengan senyumnya yang menawan, tidak menyadari ketegangan yang menggantung di antara kami.
“Pap, kamu di sini ternyata! Teman-temanmu mencarimu,” katanya sambil menyentuh lengan Devan dengan lembut. “Ratih, tolong cari Wilma dan Wilona ya. Kita sudah mau tiup lilin.”
Aku langsung mengangguk, nyaris tersedak oleh keterkejutanku. "Baik, Nyonya," jawabku cepat.
Talitha tersenyum hangat dan melenggang pergi, kembali ke keramaian tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi. Setelah dia menghilang dari pandangan, Devan kembali menatapku dengan tatapan serius yang membuat bulu kudukku meremang.
“Kita akan bicara nanti,” bisiknya, suaranya lebih tegas sekarang. “Lakukan apa yang Talitha minta untuk sekarang.”
Aku mengangguk cepat, meskipun hatiku bergemuruh. “Baik, Tuan,” jawabku, lalu segera pergi mencari Wilma dan Wilona.
Namun pikiranku sama sekali tidak berada di pesta ini. Aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana Devan akan menangani semua ini. Perasaanku bercampur aduk antara takut, cemas, dan lega karena aku akhirnya mengungkapkan kebenaran.
Ketika aku akhirnya menemukan Wilma dan Wilona, aku membawa mereka ke ruang utama, di mana semua tamu telah berkumpul. Lagu ulang tahun mulai dinyanyikan dengan penuh semangat, dan ruangan yang penuh sesak dipenuhi suara tawa dan nyanyian yang memeriahkan suasana. Semua orang tampak bahagia, terutama Devan dan Talitha, yang berdiri di depan kue besar dengan lilin-lilin yang menyala terang. Senyum ceria mereka tampak sempurna, layaknya pasangan suami istri yang harmonis di mata orang lain. Tapi aku tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang mengganjal.
Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan dengan tangan gemetar, menyaksikan mereka dari kejauhan. Jantungku masih berdetak kencang setelah percakapan singkat dengan Devan. Sekarang, setelah kebenaran terucap, aku merasa lebih terperangkap daripada sebelumnya. Pandanganku kabur, semua keceriaan di sekelilingku terasa seperti latar belakang yang tak penting.
Dia tahu. Tapi apa yang akan terjadi sekarang? Bagaimana reaksi Devan? Apakah dia akan memberitahu Talitha? Atau mungkin, lebih buruk lagi, dia akan menolak tanggung jawabnya?
Devan tiba-tiba melirik ke arahku. Sekilas, mata kami bertemu, dan aku langsung merasa dingin merayap di sepanjang tulang belakangku. Tatapannya begitu tajam, namun sulit diterjemahkan. Apakah itu rasa marah? Ketakutan? Atau... rasa bersalah?
Tatapan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum Devan mengalihkan perhatiannya kembali pada keluarganya, kembali tersenyum, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, aku tahu, sesuatu telah berubah. Ada jurang besar yang terbuka di antara kami, dan aku takut jatuh ke dalamnya.
Di tengah keceriaan pesta, aku merasa sangat sendirian.
<<<<<<
<<<<<<Semua ini bermula dari setahun yang lalu.
Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan berubah begitu cepat setelah aku mulai bekerja di rumah besar Devan dan Talitha. Keputusan itu awalnya sederhana—aku membutuhkan pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga, terutama karena suamiku, Mas Widodo, yang bekerja di perusahaan Devan, sering bepergian jauh untuk mengantar logistik ke luar pulau. Kehidupan kami sulit, dan tawaran bekerja di rumah Devan terasa seperti berkah yang datang di waktu yang tepat.
Hari pertama aku menginjakkan kaki di rumah itu, aku merasa seolah-olah masuk ke dalam dunia yang sepenuhnya berbeda. Rumah besar dengan lantai marmer, dinding-dinding berhiaskan karya seni mahal, dan perabotan yang terlihat seperti harta karun di mata orang sepertiku. Kemewahan itu hampir membuatku pusing.
Namun, di balik kemewahan itu, ada sesuatu yang terasa salah. Ada sesuatu yang tidak seimbang.
Pada awalnya, aku tidak bisa memastikan apa itu. Talitha, dengan segala keanggunannya, selalu tampak sempurna. Dia adalah wanita yang ramah dan penuh perhatian, tetapi aku mulai menyadari bahwa ada lapisan di balik senyumnya. Sesuatu yang tersembunyi. Sementara Devan, meskipun bersikap hangat dan penuh wibawa, sering kali menatapku dengan cara yang membuatku tidak nyaman. Tatapan yang sulit diartikan—bukan tatapan biasa antara majikan dan pekerja.
“Ratih, tolong pastikan semua makanan sudah siap sebelum acara dimulai,” kata Talitha saat lewat di dekatku dengan langkah tergesa-gesa, matanya sibuk memeriksa dekorasi.
"Baik, Nyonya," jawabku sambil tersenyum, meski dalam hati aku terus merasa gelisah. Hari itu, aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru ini. Aku ingin melakukan yang terbaik, memastikan semuanya berjalan sempurna. Bagiku, pekerjaan ini adalah kesempatan yang sangat berarti.
Aku ingat betapa gugupnya aku. Setiap langkah yang kuambil terasa penuh dengan kehati-hatian. Aku takut salah melangkah, takut mengecewakan mereka. Namun, di balik kebaikan mereka, selalu ada perasaan aneh yang menghantui pikiranku, terutama ketika Devan mulai melirik ke arahku. Tatapan yang sering dia berikan terasa seolah menembus kulitku, menggores sesuatu di dalam diriku yang tidak bisa kuabaikan.
Saat aku kembali dari dapur dengan nampan berisi makanan, aku melihat Talitha sibuk mengatur dekorasi di ruangan utama. Dia tampak sempurna—setiap rambut, setiap gerakan, terkontrol dengan baik. Dia adalah tuan rumah yang sempurna, tak pernah terlihat canggung atau lelah, meski pesta ini begitu besar dan melelahkan.
Namun, Devan... Devan berdiri di pojok ruangan, sendirian, sesekali melirik ke arahku. Tatapan itu—tatapan yang penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—membuat jantungku berdegup lebih kencang. Apakah dia tahu saat itu? Apakah dia sudah mulai merasakannya sejak hari-hari pertama aku bekerja di sini?
Ada jarak di antara kami, tapi aku bisa merasakan ketegangannya. Tatapan Devan terasa menusuk, hampir seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, mengetahui semua yang aku sembunyikan. Dia mungkin tahu bahwa aku, seorang pembantu yang sederhana, telah terjebak dalam jaring yang tak pernah kuinginkan.
Aku berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku, mencoba mengabaikan perasaan yang membakar di dalam diriku. Namun, semakin lama, semakin sulit untuk menghindarinya. Ketika Devan mendekat hari itu, ketika dia pertama kali berbicara kepadaku, aku tahu segalanya tidak akan pernah sama lagi.
Setelah acara akan berakhir dan para undangan mulai pulang, Talitha memperkenalkanku pada Devan."Pap, ini loh istrinya Pak Widodo. Dia mau kerja di sini, aku kira Ratih orangnya bersih jadi ya aku terima saja," kata Talitha sambil tersenyum."Pak Widodo yang sopir truk di kantorku itu? Oooh boleh saja," jawab Devan sambil mengangguk setuju."Terima kasih, Tuan," kataku sambil menunduk. Aku merasa sedikit lega mendengar persetujuan dari Devan."Ratih, pastikan kamu merasa nyaman bekerja di sini. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk berbicara dengan kami" tambah Talitha."Baik, Nyonya. Terima kasih," jawabku dengan tulus.Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku dengan semangat baru. Meskipun perasaan cemas masih ada, aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik dan membantu perekonomian keluargaku.Aku kagum dengan keharmonisan rumah tangga Devan dan Talitha. Mereka tampak seperti pasangan yang saling melengkapi, dengan chemistry yang kuat terlihat dalam ca
"Pap, harder, ahhh," suara Talitha semakin mendesah, membuatku membayangkan apa yang terjadi di kamar atas. Tanpa disadari, tanganku mulai merayap ke balik dasterku dan merasakan sesuatu yang basah di antara kakiku.Degup jantungku semakin cepat, hampir seirama dengan suara yang kudengar dari atas. Kuselipkan jariku di antara belahan kewanitaanku, merasakan cairan yang terasa di jariku. Perlahan, kuputar-putar titik sensitifku, sensasi yang timbul membuatku menggeliat di tempat tidur."Ahh..." desahku pelan, mencoba menahan suara agar tidak terdengar oleh yang lain. Setiap gerakan jariku, setiap desahan Talitha, terasa seakan-akan menyatu dalam irama yang sama. Tubuhku merespons dengan cepat, gelombang panas menjalar dari bawah ke seluruh tubuh.Desahan Talitha semakin intens, "Pap, faster! Ahhh..." Suara itu menggema di kepala, membuat fantasi yang ada di benakku semakin liar. Aku membayangkan diriku berada di tempat Talitha, merasakan setiap sentuhan Devan, setiap penetrasi yang mem
Namun saat mengambil Prince dari pelukanku, entah disengaja atau tidak, ujung jemarinya membelai gunung kembarku. Aku sedikit terhenyak dan tersipu, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini."Maaf, Ratih," bisiknya sambil tersenyum nakal, membuat pipiku terasa panas.Aku hanya bisa tersenyum kaku dan berusaha mengalihkan pandangan. "Tidak apa-apa, Tuan," jawabku pelan.Devan menggendong Prince dengan penuh kasih sayang, sementara aku mencoba menenangkan diri dan kembali ke tugas-tugasku. Meski kejadian tadi membuatku sedikit gugup, aku berusaha untuk tetap profesional dan fokus pada pekerjaanku.Sambil menyiapkan sarapan untuk Thalita, Devan dan kedua anak kembarnya, pikiranku sesekali melayang pada momen singkat tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan dan tidak perlu terlalu dipikirkan.Tak lama kemudian, Thalita dan kedua anak kembar, Wilma dan Wilona, bergabung di meja makan. Kehadiran mereka membawa suasana hangat dan penuh kasih.
Mas Widodo menggauliku hanya sekejap sebelum dia mencapai puncaknya. Ada penyesalan yang terpancar di wajahnya, namun juga kilatan rasa penasaran yang sulit kulupakan.‘Apakah tatapan penasaran itu muncul karena aku tak lagi murni saat menikah dengannya?’ pikirku. Sejak awal pernikahan, Mas Widodo tak pernah menyinggung masa laluku, dan aku pun merasa tak perlu membahasnya. Mungkin ia tak terlalu peduli, atau mungkin terlalu sopan untuk bertanya. Namun, pertanyaan itu terus menghantuiku. Seakan ada bagian dari diriku yang selalu tersembunyi, tak pernah benar-benar terbuka pada siapa pun.Ya, memang kesucianku bukan direnggut oleh Mas Widodo, tetapi akibat keisenganku kala SMA di Tulungagung. Aku tidak bisa menahan libidoku yang tinggi. Jari-jariku sendiri yang merobek selaput daraku, jari-jari nakal yang selalu menghantarkan puncak pelepasan setiap malamnya. Dan pria yang pertama kali memasukkan bendanya ke dalamku adalah mantanku yang kini telah menikah dengan gadis pilihan orang tua
Devan mengabaikan peringatanku, wajahnya semakin dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. "Ratih, kamu berbeda," bisiknya. Tangannya yang lain kini merambat ke pinggulku, membuatku merasa bingung antara ingin menolak atau menyerah pada perasaan yang tiba-tiba membakar."Tuan, saya takut Nyonya," kataku, bisikku bergetar antara ketakutan dan keinginan.Devan mengangguk, tangannya meremas pinggulku dengan lembut. "Selamat malam, Ratih," bisiknya di telingaku, dan bibirnya sekilas mengecup pipiku sebelum ia meninggalkan kamar Prince.Aku berdiri di sana, membeku sejenak, merasakan jejak ciumannya yang masih hangat di pipiku. Ada campuran emosi yang kuat, tak terduga, dan sulit diabaikan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari kamar Prince.Saat berjalan menuju kamarku, pikiranku terus dipenuhi oleh momen singkat namun penuh arti tadi. Ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ini bukan akhir dari
"Tuan..." aku tak kuasa menahan senyum yang muncul tanpa sadar.“Takut akan banyak hal, takut pada Nyonya, dan takut dengan asisten rumah tangga lainnya di sini. Terlalu banyak orang, Tuan,” ujarku, berusaha mengingatkan kami berdua akan kenyataan yang ada.“Tenang, kita masih punya banyak waktu,” bisiknya lembut di telingaku, suaranya membuat bulu kudukku merinding. Dia mengecup pipiku dengan lembut; aroma maskulin dan kecupannya membuat jantungku berdegup lebih kencang."Tuan..." desahku, mataku sedikit terpejam, merasakan kenikmatan yang datang hanya dari kecupannya.Devan pun mengedipkan matanya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku di tengah kemelut gairah yang masih terasa hangat di kulitku. Rasanya hatiku ikut terbawa pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang sulit kujelaskan.Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak menolaknya? Kenapa tubuh ini begitu mudah bereaksi terhadap sentuhannya? Aku memeluk diri sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Ini bukan aku
Aku hanya bisa menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pujian di balik kata-katanya. Talitha mengambil gaun biru lembut itu dan dengan lembut membantuku mengenakannya. Sentuhannya terasa begitu intim, seolah-olah dia sedang merawat bagian dari dirinya sendiri.Saat gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhku, Talitha menatapku dengan tatapan penuh kekaguman."Lihat dirimu di cermin, Ratih. Kamu benar-benar cantik," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh emosi.Aku menoleh ke cermin dan terkejut melihat refleksi diriku sendiri. Gaun itu memang sangat cocok, membingkai tubuhku dengan cara yang membuatku merasa anggun dan percaya diri."Terima kasih, Nyonya," kataku lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus dan percaya diri."Ratih, gaunnya untukmu saja," Talitha tersenyum dan tertawa kecil, ada getaran hangat dalam suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih nyaman."Tapi, Nyonya?" tanyaku, masih ragu."Sudahlah, buat
Devan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman keras di telingaku. Aku mencoba berpaling, namun kekuatan pandangannya terlalu kuat untuk dihindari.Dia menghampiriku, jarak antara kami semakin dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya."Prince sudah tidur?" bisiknya pelan, suaranya lembut namun penuh arti."Sudah, Tuan," jawabku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kegugupanku.Devan lalu berjalan mendekati tempat tidur Prince, menunduk dan mencium kening anaknya dengan penuh kasih."Good night, buddy," bisiknya, suaranya begitu lembut dan penuh kehangatan seorang ayah.Aku berdiri di dekat pintu, merasa seperti seorang penonton dalam momen yang begitu pribadi dan intim. Hati kecilku berdenyut, terharu melihat sisi lain dari Devan yang jarang kutemui. Namun, perasaan ini segera tergantikan oleh kegugupan saat dia berbalik menghadap ku lagi. Devan berjalan kembali ke arahku, matanya tak pernah lepas dari pandanganku."Ratih," panggilnya lembut, namun ada k
///BACK STORIES RINOA USIA 23 TAHUNAku mulai mempengaruhi Widodo agar menggunakan kedekatan nya untuk mengenalkanku kepada keluarga Devan, untuk mencari pekerjaan di tempat Devan dan Talitha dengan alasan untuk membantu kondisi ekonomi kami. Setiap kali dia pulang dari bekerja, aku akan berbicara dengan lembut, menanamkan ide itu di benaknya.Akhirnya, kesempatan itu akhirnya datang. "Ratih, aku denger dari Pak Devan, kayaknya mereka lagi butuh pembantu baru di rumah. Gimana kalau kamu coba lamar?" tawarnya dengan santai.Hatiku berdegup kencang, meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Serius? Kamu yakin aku bisa kerja di sana?" tanyaku, pura-pura ragu.Widodo mengangguk yakin. "Pasti bisa. Aku kenal beberapa orang di rumah itu, nanti aku bantu rekomendasiin. Kamu mau coba, kan?"Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak terlalu bersemangat. "Ya, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak?"Dalam hatiku, aku tahu. Ini adalah langkah pertama yang selama ini kutunggu. Melalui W
Kepergian Ibu... adalah sesuatu yang selalu kutakutkan, tapi aku tidak pernah siap menghadapinya. Semua rasa sakit, semua rasa kesepian, tiba-tiba menghantamku sekaligus. Dunia yang selama ini sudah terasa begitu berat kini menjadi gelap gulita. Aku tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ada lagi yang menunggu di rumah, tidak ada lagi senyum hangat Ibu yang menyambutku pulang.Aku tetap di samping tubuh Ibu selama berjam-jam, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Hanya ada rasa kosong yang besar di dalam dadaku, sebuah lubang menganga yang sepertinya tak akan pernah bisa tertutup. Aku menangis, menangis begitu keras, berharap tangisku bisa membangunkannya, mengembalikannya kepadaku. Tapi semua itu hanya harapan kosong.Malam mulai turun, tapi aku masih tetap duduk di sana, menggenggam tangan dingin Ibu
Malam itu, setelah ibu tertidur, aku duduk di samping tempat tidurnya, memikirkan segala hal yang baru saja aku dengar. Pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara. Aku ingin tahu siapa keluarga Hartanta sebenarnya. Apakah mereka benar-benar begitu dingin, begitu tak peduli? Atau apakah mereka tidak tahu tentang keberadaanku? Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Dengan rasa penasaran yang semakin kuat, aku mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan mereka. Aku tidak ingin datang begitu saja, mengetuk pintu rumah besar mereka dan mengaku sebagai anak Bastian. Itu akan sia-sia. Aku tahu, tak ada yang akan percaya pada seorang gadis miskin yang mengaku bagian dari keluarga kaya. Jadi, aku memilih cara lain—cara yang lebih halus.Setiap hari, aku pergi ke rumah besar keluarga Hartanta. Aku tidak pernah mendekat, hanya berdiri di seberang jalan, me
///BACK STORIES RINOA USIA 18 TAHUNKetika aku berusia 18 tahun, hidupku berubah dengan cara yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, aku selalu memandang hidup kami sebagai sebuah perjuangan tanpa akhir. Ibu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, meski tubuhnya semakin lemah dan penyakitnya semakin menggerogotinya. Namun, di balik semua itu, ternyata ada rahasia besar yang selama ini disimpannya.Hari itu, ibu semakin lemah. Batuknya semakin sering, dan wajahnya semakin pucat dari biasanya. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memberinya air minum dengan hati-hati. Setiap kali dia batuk, aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku ingin dia sembuh, tapi aku tahu... aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis."Rinoa..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menoleh, mema
///BACK STORIES RINOA USIA 5 TAHUNSaat itu, di pemakaman ayahku, Bastian Hartanta, suasana begitu sunyi. Tidak ada yang datang, baik dari keluarga besar Hartanta maupun sanak saudara. Hanya ada aku dan ibu, berdiri di tepi makam, menatap tubuh papa yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Udara terasa dingin, meski sinar matahari menembus awan tipis di langit yang cerah. Aku, yang baru berusia 5 tahun, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.Dengan mata penuh kebingungan, aku menarik ujung rok ibu, yang terus terisak di sebelahku. "Ibu, papa kenapa?" tanyaku, suaraku kecil dan polos, berusaha memahami kenapa ayahku tidak lagi bersamaku.Ibu menoleh ke arahku, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir. Namun, dia mencoba tersenyum, meskipun lelah dan sedih begitu tampak jelas di matanya. "Papamu... papamu naik ke
Ruangan langsung dipenuhi keheningan yang berat. Talitha, yang sebelumnya tersenyum bahagia, sekarang tampak kebingungan. Dia menoleh padaku, lalu ke arah Opa, dan kembali lagi ke aku, wajahnya menyiratkan ketidakpastian. “Bastian?” tanyanya sambil memandangiku, jelas terkejut.“Kenapa Bastian, Ratih?” Talitha akhirnya bertanya, suaranya terdengar ragu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bastian adalah nama yang berat, nama yang memiliki makna besar dalam keluarga Talitha, namun tak pernah mereka duga akan kutautkan ke dalam hidupku.Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa momen ini akan mengubah segalanya. Aku tersenyum kecil, meski dalam hati ada perasaan yang bercampur aduk. “Karena Bastian adalah nama papaku,” jawabku pelan, suaraku penuh emosi.Tatapan Talitha berubah seketika. Keheranan mulai tergambar je
Dokter menarik napas panjang, menatap layar dengan seksama. “Janin posisinya sungsang,” kata dokter pelan, tapi suaranya penuh dengan kepastian. “Bayi Anda terbelit tali pusar. Ini situasi yang cukup serius.”Jantungku seakan berhenti. Kata-kata itu menusukku dengan rasa takut yang luar biasa. Aku menoleh ke Gavin, dan tatapannya langsung berubah. Wajahnya pucat, meskipun dia berusaha keras tidak menunjukkan kepanikan. Tangannya mencengkeram tanganku lebih erat, sementara tatapan Talitha dari sisi lain semakin cemas."Apa artinya, Dok?" Gavin bertanya lagi, suaranya sekarang terdengar tegang.Dokter menatap kami dengan tenang, tetapi jelas situasinya serius. "Bayi Anda terlilit tali pusar dan posisinya sungsang, artinya posisi kepalanya masih di atas, padahal seharusnya sudah di bawah. Ini berbahaya jika dilahirkan
Pada bulan ke-8, Gavin benar-benar menepati janjinya. Dia tinggal di Kudus, menjaga dan memanjakanku setiap hari. Setiap pagi dan malam, dia selalu memastikan aku merasa nyaman. Bahkan, dia memaksaku untuk mengambil cuti melahirkan lebih awal, meskipun awalnya aku enggan karena merasa masih bisa bekerja. Tapi Gavin tak mau kompromi. Pada bulan ke-9, Opa sering datang ke rumah Talitha, terutama karena Talitha juga lebih sering menghabiskan waktu di Kudus akhir-akhir ini. Devan pun, meskipun sibuk, kadang terbang ke Kudus untuk bersama kami di akhir pekan.Suatu malam, ketika Opa datang ke rumah Talitha, kami semua makan malam bersama di meja besar. Rasanya hangat, penuh dengan canda dan tawa, dan Opa tampak senang melihat kami berlima berkumpul seperti keluarga besar yang harmonis.“Gimana, Ratih? Udah siap-siap jadi ibu nih?” tanya Devan sambil ters
Seperti yang sudah direncanakan, keesokan harinya, Gavin tiba di Kudus, ia langsung menuju pabrik untuk berbincang dengan Opa. Sementara itu, aku dan Talitha sibuk membicarakan tentang produk baru yang sedang kami rancang—rokok mini dengan varian rasa buah dan mentol yang terus kami kembangkan. Ada rasa puas di dalam hati karena kami sudah mulai melihat ide itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih konkret.Menjelang sore, aku dan Gavin bersiap untuk pergi ke dokter kandungan, sebuah kunjungan yang sudah lama dinantikan. Kami berkendara dalam diam sejenak, sebelum akhirnya Gavin membuka percakapan.“Gimana kabarnya?” Gavin bertanya dengan sedikit canggung, mungkin mencoba memecah kesunyian.Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan dengan godaan ringan. “Baik. Kamu dan Sheila gimana?” tanyaku dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Gavin mendesah pelan, tatapannya berubah serius. “Ratih, kamu tahu sendiri kan, aku dan Sheila nggak mungkin. Aku sudah