Hari Kamis menjadi hari yang paling dinanti-nanti Alena, karena Alva akan pulang kembali padanya. Alva sudah berangkat dari Berlin sejak Rabu pagi, dan akan tiba di Jogja hari Kamis, sekitar jam tiga sore. Penerbangan dari Berlin ke Jogja memang memakan waktu lumayan panjang, lebih dari 24 jam. Alena terus-menerus menghubungi Alva saat dia sedang transit, untuk menanyakan kabarnya. Rasanya Alena sudah tak sabar ingin segera berangkat menjemput Alva.
"Kamu takut aku hilang ya?" Alva menggodanya, ketika Alena menelepon lagi. Pesawat Alva sedang transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Setelah itu, pesawat akan langsung membawa Alva ke Jakarta, dan terakhir ke Jogja. Saat ini, sudah hampir tengah malam di Jogja. Alena tertawa. "Aku takut kamu lupa pulang...""Coba kamu pejamkan mata dan tidur... Besok, aku pasti udah sampai di Jogja," sambung Alva lagi."Aku nggak bisa tidur... Kamu lagi apa?""Ini lagi jalan-jalan di bandara Abu Dhabi.""Enak ya kamu, malah jalan-jalan...," Alena pura-pura mengomel."Kamu mau aku bawain oleh-oleh apa?""Aku cuma mau kamu cepat pulang...""Tidurlah, Sayang...," ucap Alva dengan suara lembut. Alena tersipu. Untuk pertama kalinya, Alva memanggilnya 'Sayang' secara langsung!"Udah malam... Besok kita ketemu ya...," sambung Alva.Demi mendengar suara Alva yang lembut membujuknya, akhirnya Alena menyerah. "Ya udah... Aku mau tidur sekarang. Kamu juga istirahat ya, nanti di pesawat...""Iya... Good night, Alena..."*
Kamis sore, sekitar jam setengah tiga, Alena bersama Papa dan Mama sudah menunggu di bandara Yogyakarta International Airport. Pesawat Alva akan mendarat sesaat lagi. Alena memakai dress batik selutut warna putih, bermotif bunga-bunga. Rambutnya dikepang sebagian di tengah. Ia sudah menyiapkan dandanannya untuk menyambut Alva, walaupun ia tahu, Alva tak pernah meributkan penampilannya. Kenapa ia merasa gugup dan berdebar-debar?
Pesawat yang membawa Alva sudah diumumkan mendarat. Sesaat lagi, ia bisa bertemu Alva. Alena terus-menerus menatap ke arah pintu kedatangan internasional. Mereka sudah menunggu di sana setengah jam lebih. Arus orang-orang yang berjalan keluar dari pintu kedatangan sudah mulai ramai."Sabar, Lena... Nanti juga pasti kelihatan," kata Papa sambil tersenyum. Mungkin Papa melihat Alena terus melongok ke pintu, mencari-cari menembus kerumunan orang.Mama juga tertawa dan merangkul bahu Alena. "Pasti ketemu kok..."Alena tersenyum malu. "Habis, udah setengah jam kok belum muncul juga...""Ya mungkin lagi nunggu bagasi...," sambung Mama lagi.Arus keramaian sudah mulai berkurang. Sekarang, pintu kedatangan sudah terlihat jelas. Alena berusaha melihat ke dalam ruangan kedatangan internasional lewat pintu kaca.Alva berjalan keluar dari pintu, sosoknya memang selalu tampak berbeda dari yang lainnya. Ia memakai kemeja lengan pendek berwarna abu-abu, dengan aksen hitam di bagian kerah, bahu, dan kancingnya. Tangannya menarik sebuah koper berukuran besar, dan bahunya menyandang ransel. Jaket hoodie berwarna putih tersampir di bahunya. Bagi Alena, Alva tampak lebih menarik, apa karena Alena sudah lama tidak melihatnya?Alva sepertinya tak perlu waktu lama untuk menemukan Alena. Matanya sudah langsung tertuju lurus pada Alena. Alena tersenyum. Mama mengedikkan kepala, memberi tanda supaya Alena menghampiri Alva. Alena berjalan maju. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup, seolah ini pertama kalinya ia bertemu Alva.Jarak di antara mereka semakin dekat. Alena setengah berlari ke arah Alva, sampai mereka berdiri berhadapan."Alva...," sapa Alena. Ia menatap Alva dengan penuh kerinduan.Alva tersenyum memandangnya, senyuman yang sanggup membuat hati Alena meleleh. Alva mengulurkan tangannya dan memeluk Alena dengan lembut. Alena memejamkan matanya, menikmati kehangatan pelukan Alva. Beberapa detik kemudian, Alva melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih merangkul pinggang Alena. Alena merasa wajahnya merona. Mereka saling berpandangan."Aku kangen...," Alva setengah berbisik. Tatapan matanya begitu hangat. Alena tertawa kecil. "Tumben kamu ada jenggotnya..." Wajah Alva sepertinya belum dicukur, ada rambut-rambut halus tipis di bawah hidung dan mulutnya, dan di sekitar dagunya, membuat ia terlihat seperti lebih dewasa."Aku belum sempat cukur. Kamu suka?" Alva memasang wajah jenakanya untuk menggoda Alena.Alena tertawa lagi, sambil mencubit lengan Alva dengan gemas. Rasanya seperti cuma ada mereka berdua di situ, sampai Papa dan Mama menghampiri mereka."Om, Tante... Apa kabar?" sapa Alva dengan sopan.Alena segera tersadar, ia cepat-cepat bergeser ke samping kiri Alva. Wajahnya memerah. Mereka tadi berpelukan di depan Papa dan Mama!
"Halo, Alva... Kamu sehat kan?" sapa Mama, sambil menyalami Alva dengan wajah ceria."Sehat, Tante. Makasih...," jawab Alva. "Waw, Alva...! Kamu kelihatan beda, kayak pria dewasa...," kata Papa sambil terkekeh. Ia merangkul bahu Alva. Alva sedikit lebih tinggi daripada Papa.Alva tersenyum pada Papa. "Ini belum cukur dua hari, Om...""Keren kok... Tapi di sekolah nggak boleh ya, hehehe...," Papa terkekeh lagi. "Ayo, kita ngobrol di mobil aja.""Iya, Alva pasti capek habis perjalanan panjang...," Mama menyambung."Iya, Om, Tante..." Alva menarik kopernya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan Alena. Mereka berjalan mengikuti Papa dan Mama ke arah tempat parkir mobil. Alena merasa hatinya begitu ringan, seolah melayang. Ia menggenggam tangan Alva dengan lebih erat. Alva sudah pulang kembali padanya.Di mobil, mereka asyik mengobrol. Mama menanyakan kabar keluarga Alva di Jerman. Alva menyampaikan salam hangat dari Tante Clara dan Om Hanz. Ia juga sekilas menceritakan kondisi di Berlin, di sana sedang musim panas, dan ramai dengan turis.
Alena dan Alva duduk bersebelahan di kursi belakang mobil. Tangan Alva masih menggenggam tangan Alena, dan berkali-kali Alva menatapnya dengan pandangan penuh kehangatan. Alena merasa begitu bahagia. Mobil terus melaju menuju rumah Alva di Magelang.Sampai di Magelang, Opa dan Oma sudah menunggu. Mereka jelas sangat merindukan Alva juga. Opa dan Oma memeluk Alva erat-erat saat bertemu. Lalu mengajak semuanya untuk makan malam bersama.
Suasana malam itu begitu akrab. Selesai makan, Alva membuka kopernya, mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya. Untuk Opa dan Oma, sepertinya sudah dititipkan khusus oleh Tante Clara, Alva membawakan mereka beberapa set pakaian dari Jerman. Kemudian untuk Papa, sebuah miniatur mobil VW Beetle berwarna hijau tua. Papa menerimanya dengan sangat gembira."Wah, Alva... Kamu tau aja Om suka mobil," komentar Papa sambil tertawa.Untuk Mama, Alva membawakan sebuah piring keramik pajangan bergambarkan Tembok Berlin. Selain itu, ada juga dua kotak Lebkuchen, kue kering jahe khas Jerman, dan dua kotak Apfelstrudel, strudel apel khas Jerman, untuk Alena sekeluarga. Untuk Alena, Alva membawakan oleh-oleh coklat merk Ritter Sport, Alpia, dan Milka, masing-masing satu kotak. Serta satu lusin gantungan kunci dengan logo Berlin."Buat dibagi ke Karin sama teman-teman lain juga," kata Alva. Alena mengangguk sambil tersenyum. "Kamu borong ya, oleh-olehnya banyak banget...," komentar Alena.Koper Alva lebih dari separuhnya berisi oleh-oleh, sisanya barulah barang-barang pribadinya."Aku emang nggak bawa banyak barang kok, biar bisa muat oleh-oleh.""Pakaian kamu selama di sana gimana?" tanya Alena. "Ini udah cukup. Lagian, Mama juga udah siapin aku pakaian di sana, jadi nggak usah bawa banyak-banyak."Alena terharu mendengarnya, Tante Clara pasti sudah sangat menantikan kedatangan Alva.Mereka terus mengobrol dengan akrab, sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam. Akhirnya, Papa berkata mereka harus pamit, mereka akan pergi ke rumah Om Andre. Alva mengantarkan mereka sampai ke pagar depan. Papa dan Mama sudah masuk ke mobil, tapi Alena masih mengobrol dengan Alva. "Besok pagi, aku mampir ke rumah Om Andre ya, sekalian bawain oleh-oleh buat Om...," ujar Alva.Alena baru saja mau membuka mulutnya untuk menjawab.
"Nggak usah dijemput, aku bisa pinjam motor Opa," sambungnya dengan cepat, seolah bisa membaca pikiran Alena. Alena tersenyum."Ya udah, nanti aku bilang ke Papa sama Om... Makasih ya, buat oleh-olehnya. Daah, Alva...," ucap Alena sambil melambaikan tangan. Alva membalas lambaian tangannya. Mobil pun meluncur meninggalkan rumah Alva.*
Esok paginya, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Om Andre. Ia mengendarai motor Vespa tua milik Opa. Om Andre menyambut dengan gembira, apalagi ketika Alva memberikan oleh-oleh. Sebuah miniatur mobil VW Beetle seperti milik Papa, hanya berbeda warna, untuk Om Andre warna merah tua. Selain itu, Alva juga membawakan satu kotak coklat merk Ritter Sport, dan satu kotak kue kering Lebkuchen.
"Wah, Alva... Makasih banyak ya... Gimana liburan kamu di Berlin sana?" sambut Om Andre."Asyik, Om... Udah lama nggak pulang, banyak yang berubah," sahut Alva. Papa juga ikut bergabung dalam obrolan, mereka duduk bersantai di pendopo depan rumah. Setelah puas mengobrol tentang suasana dan liburan Alva di Berlin, Om Andre dan Papa membiarkan Alva dan Alena mengobrol berdua."Pasti udah banyak yang mau kalian bicarakan berdua," kata Papa sambil terkekeh. Alena tersipu malu. Om Andre juga tertawa, lalu ia dan Papa masuk ke dalam rumah.Alena memandang Alva yang duduk di kursi kayu jati di seberangnya. Alva sudah bercukur, wajahnya kembali mulus, tanpa jenggot dan kumis halus."Kok dicukur sih? Aku kan masih pingin lihat kamu berjenggot...," goda Alena sambil tersenyum.Alva menatapnya dengan mata bersinar. Tiba-tiba, ia berpindah tempat duduk ke samping Alena. Alena merasa jantungnya berdebar-debar, padahal Alva tidak melakukan apa-apa, hanya duduk dengan tenang di sampingnya. Alva membuka ranselnya. "Aku masih punya oleh-oleh buat kamu."Alena terkejut. "Lho, kemarin kan udah..."Alva menatapnya dengan lembut. "Kemarin, aku nggak enak karena ada orang lain. Semua oleh-oleh yang aku bawa kemarin itu dibeli Mama sama Om Hanz," ujarnya, sambil mengeluarkan sebuah bungkusan. "Kalau ini, aku beli pakai uangku sendiri..."Alva membuka bungkusan kain itu. Isinya ternyata satu set pakaian musim dingin, terdiri dari sweater putih berkerah turtle neck, mantel musim dingin panjang berwarna coklat khaki dengan aksen bulu di bagian kerah, celana panjang warna hitam, sebuah topi trapper warna putih, sepasang sarung tangan warna abu-abu gelap, dan sepasang kaos kaki termal panjang warna abu-abu juga. Semuanya terbuat dari bahan wol tebal yang halus. Alena terpana melihatnya. "Alva... Kenapa beliin aku sebanyak ini?" ucapnya dengan suara pelan, ia merasa sungkan menerima pemberian itu."Aku ingat waktu di Dieng, kamu sempat kedinginan. Ini buat di Berlin nanti. Di sana kalau musim dingin, suhunya bisa lebih dingin lagi. Ya kamu harus beli lagi buat cadangan, tapi setidaknya udah punya satu set buat jaga-jaga," Alva menjawab dengan santai."Maksud aku... Aku nggak enak nerimanya, ini pasti mahal... Alva, kamu nggak usah beli yang mahal-mahal buat aku..." Alena menggelengkan kepalanya. Alva menatapnya dan tersenyum. Alva jadi lebih sering tersenyum sekarang, dan Alena senang melihatnya. "Waktu aku beli, ini lagi diskon kok... Kalau mau beli pakaian musim dingin, sebaiknya beli waktu musim panas, pasti jauh lebih murah."Alena masih merasa sungkan. "Alva... Bukannya aku nggak berterima kasih, tapi jangan manjain aku... Kamu kan juga masih sekolah, sebaiknya uang tabungan kamu buat keperluan kamu aja...," kata Alena sambil memegang lengan Alva.Alva balas menggenggam tangan Alena. "Aku pingin beliin kamu barang dengan uang hasil kerjaku sendiri. Ini nggak mahal kok... Lagian, masa aku nggak boleh beliin hadiah buat kekasihku?" ucap Alva dengan wajah menggodanya.Wajah Alena memerah seketika mendengar ucapan Alva. Ia tersenyum. "Emangnya kamu udah kerja? Kok kamu bilang uang hasil kerja kamu?" Alva mengeluarkan ponselnya, lalu membuka sebuah situs di ponselnya. "Beberapa bulan belakangan ini, aku dapat ide buat jual foto-foto dari kameraku, ternyata lumayan laku di internet. Nih, lihat... Ada beberapa website yang aku join, hasilnya lumayan..." Alva memperlihatkan situs-situs tempat ia menjual foto hasil karyanya. Alena terpukau, ia tidak menyangka Alva sudah memiliki ide untuk mencari penghasilan dengan bakat fotografinya. Foto-foto yang ditawarkan Alva bervariasi, mulai dari foto pemandangan, objek wisata, benda-benda di alam, bahkan foto ketika pentas seni dan pentas drama musikal."Alva... Ini kan waktu pentas seni... Ini juga waktu teater kemarin...," celoteh Alena dengan nada heran, ia terus melihat-lihat. "Tapi, kok nggak ada foto aku?" tanya Alena sambil menatap Alva.Alva balas menatap dengan lembut. "Kalau foto kamu itu buat arsip pribadi aku... Nggak dijual...," sahutnya.Alena tertawa, tapi terus terang, ia semakin kagum dengan Alva. Alva sudah berpikiran dewasa dan mandiri, dan ia tampak bahagia sekarang. Alena merasa, justru ia yang lebih banyak belajar dari Alva."Makasih ya, Alva...," ucap Alena sambil tersenyum manis. Alva masih tetap menggenggam tangan Alena, tatapan matanya begitu hangat."Aku juga pingin cerita, tentang Studienkolleg sama universitas yang udah aku survey kemarin di Berlin. Sekalian diskusi sama Om dan Tante juga.""Iya, boleh... Ayo, kita ke dalam aja, aku bilang ke Papa Mama ya...," ajak Alena. Ia memeluk bungkusan hadiah dari Alva di tangan kanannya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.Pagi itu, Papa, Mama, Alena, dan Alva berdiskusi, membahas tentang pilihan universitas dan Studienkolleg di Berlin. Alva sudah melakukan tugas dengan baik, ia membawa banyak informasi.
"Kalau universitas yang ada dua-duanya, jurusan musik sama teater, itu cuma Universitat der Kunste. Universitas milik pemerintah, bagus banget, tapi saingannya juga ketat. Ini bisa jadi pilihan pertama," Alva sedang menerangkan, sambil menunjukkan brosur dan foto universitas yang dimaksud. "Buat jaga-jaga, kita tetap harus daftar universitas lain sebagai alternatif. Buat Alena, ada dua pilihan lain. Tapi keduanya nggak ada jurusan musik, jadi kita nggak bisa satu kampus, selain di Universitat der Kunste..."Papa dan Mama mengangguk-angguk."Nggak apa-apa, selama masih sama-sama di Berlin ya... Alva benar, kita tetap harus daftar di beberapa universitas, buat jaga-jaga kalau nggak keterima," komentar Papa.
"Tapi pilihan pertama tetap fokus di Universitat der Kunste...," Mama yang menyambung."Iya, Om, Tante...," kata Alva, matanya beralih menatap Alena. "Alena juga punya beberapa pilihan untuk tempat tinggal. Mama sama Om Hanz sebenarnya udah nawarin untuk tinggal di rumah kami, maksudnya rumah Om Hanz. Tapi kalau kurang nyaman buat Alena, ada tiga pilihan lain..." Alva sangat memahami pemikiran Alena, tentu saja ia akan merasa sungkan untuk tinggal serumah dengan Alva, karena mereka belum punya ikatan yang resmi. Walaupun bagi budaya Barat mungkin bukan suatu masalah.Papa dan Mama saling berpandangan. "Ya, sepertinya nggak enak ya, kalau merepotkan Tante Clara dan Om Hanz...Nggak elok juga kalau di budaya kita...," Papa yang menjawab. "Terima kasih buat tawarannya, Alva... Tapi menurut Om dan Tante, Alena sebaiknya tinggal di tempat lain aja, asal nggak terlalu jauh dari kamu," respon Papa sambil tersenyum.Alva masih menatap Alena. "Iya, Om... Saya juga pikir begitu."Alena tersenyum membalas tatapan Alva."Ada beberapa pilihan. Yang pertama di asrama, ini biasanya banyak banget buat mahasiswa. Yang kedua, bisa juga di flat atau apartemen, yang disewa bareng teman-teman lain. Atau ketiga, terus terang saya cenderung lebih nawarin yang ketiga ini..., Alena bisa tinggal sama Tante saya, adik almarhum Papa saya, namanya Tante Jenna. Dia tinggal sendiri di rumahnya, belum nikah, dan dia senang banget waktu ketemu saya lagi kemarin... Dia yang nawarin, supaya Alena bisa tinggal bareng dia. Rumahnya juga nggak terlalu jauh dari rumah kami," Alva menjelaskan panjang lebar.Papa dan Mama saling berpandangan lagi.Alva meneruskan, "Saya pikir..., ada banyak keuntungan, kalau Alena bisa tinggal di rumah Tante Jenna. Pertama, lebih hemat biaya tempat tinggal, jadi biayanya bisa dialihkan untuk keperluan yang lain. Kedua, bisa bantu-bantu Tante Jenna, karena Tante Jenna buka bakery kecil di rumahnya. Ketiga, lebih aman, dan untuk adaptasi juga lebih gampang, karena seperti tinggal di rumah sendiri. Terakhir, bisa memperdalam bahasa Jerman Alena juga, karena tinggal sama penduduk asli. Makanya, kenapa saya cenderung setuju pilihan yang ini..." Alva seperti sedang melakukan presentasi untuk meyakinkan Papa, Mama, dan Alena. Ia menjelaskan dengan suara jelas dan mantap. Sejenak, semuanya terdiam mendengarkan Alva. "Kamu yakin aku nggak ngerepotin Tante Jenna? Aku nggak enak kalau ngerepotin, Tante Jenna baik banget nawarin aku tempat tinggal, padahal belum kenal...," Alena mengutarakan isi hatinya dengan suara pelan."Tante Jenna emang orangnya baik banget kok, aku dari dulu dekat sama dia. Dia langsung nawarin, supaya kamu tinggal sama dia, begitu aku cerita tentang kamu. Aku rasa, dia juga berharap kamu tinggal sama dia, biar aku bisa tetap jaga kamu, dan aku jadi lebih sering ngunjungin dia... Nanti kalau udah di Berlin, aku kenalin ke Tante Jenna. Kamu bisa lihat sendiri, orangnya emang baik... Aku yakin, kalian pasti cepat cocok...," sahut Alva sambil memandang Alena dengan lembut.Papa dan Mama saling berpandangan sambil tersenyum. "Baiklah, Alva... Om rasa itu emang pilihan terbaik. Biarpun nggak enak kalau sampai merepotkan, tapi kamu benar, emang banyak positifnya juga. Kami cuma mau Alena bisa aman dan nyaman tinggal di negeri yang jauh. Kalau tinggal sama orang yang udah kenal, pasti hati kami jadi lebih tenang juga...," akhirnya Papa memutuskan. Mama juga mengangguk setuju sambil membelai rambut Alena. Alena memandang Papa dan Mama, ia tidak mau menolak lagi, jika orang tuanya sudah setuju. Lalu ia beralih memandang Alva. Alva tetap memandangnya dari tadi. Alena tersenyum. Alva benar-benar melakukan tugasnya meyakinkan Papa dan Mama dengan sangat baik.Mereka masih terus berdiskusi tentang syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Termasuk ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute, rencananya dalam enam bulan ke depan. Mulai kelas XII ini, Alena harus mengikuti kursus bahasa Jerman lebih intensif lagi, supaya dapat lulus minimal level B2 sebagai syarat masuk ke Studienkolleg. Syarat-syarat lainnya juga tidak mudah, dan mereka berdua jelas harus bekerja keras lagi. Alena menarik nafas panjang. Ia tahu sejak awal, kalau keinginannya ini tidak mudah untuk diwujudkan. Tapi melihat betapa antusiasnya Alva, dan semua upaya yang ia lakukan untuk mereka berdua, Alena tahu, ia telah mengambil keputusan yang tepat.Libur kenaikan kelas telah berakhir. Kembali ke sekolah berarti kembali ke kesibukan, dan kerja keras dimulai. Alena sangat gembira ketika dia dan Alva bisa tetap sekelas, mereka masuk ke kelas XII C sekarang. Sedangkan Karin dan Lucky berdua masuk ke kelas XII A.Lucu juga pengaturannya bisa begitu pas, Alena membatin dalam hati. Dia dan Alva tidak lagi duduk bersebelahan, tapi yang penting mereka tetap sekelas.Karin agak memprotes setelah hari pertama masuk sekolah lagi, mereka sedang mengobrol berdua di kamar malam harinya."Ah, nggak seru... Aku nggak bisa pinjam PR kamu lagi, nggak bisa belajar bareng...," keluh Karin."Ya tetap bisa belajar bareng, Rin… Lagian, kamu harusnya senang, karena sekelas sama Lucky," Alena menanggapi."Iya, sih... Kamu juga sama Alva, nggak bisa dipisahin deh...," Karin terkikik. "Kayaknya, guru-guru nggak mau pasangan Alvalena yang paling populer di sekolah ini terpisah."
Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel."Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian
Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya."Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu."Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain.Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan
Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu b
Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira
Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu