Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus.
"Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri. "Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan.Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.
Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat lagi dengan Alva sekarang. Setidaknya jika jadwal mereka tidak begitu sibuk, mereka bisa bertemu di kampus.
Alva juga mengenalkan Alena dengan salah satu pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI, yang kuliah di universitas itu, namanya Yosua. Ia juga kuliah di fakultas yang sama dengan Alva, tapi berbeda jurusan. Mereka saling bertukar nomor ponsel. Yosua juga memberikan alamat email dan alamat kantor PPI di Berlin, jika suatu saat Alena membutuhkan bantuan. "Kamu juga join PPI?" tanya Alena, setelah mereka berpisah dengan Yosua."Iya, aku masih alumni pelajar Jogja kan?" sahut Alva sambil memasang wajah jenakanya.Alena tertawa. "Iya sih... Tapi kamu warga Jerman. Mereka nggak keberatan kan?""Nggak kok, mereka ramah-ramah. Justru mereka malah senang, kalau ada yang bergabung. Ada juga alumni PPI yang akhirnya jadi warga negara Jerman, karena menikah atau menetap di Jerman," Alva menjelaskan. Entah kenapa, Alena mendadak berdebar-debar mendengarnya. Ia terdiam. Apakah ia juga akan menjadi warga negara Jerman kelak? Alva memandangnya sambil tersenyum, lalu menggandeng tangan Alena lebih erat. Alena merasa wajahnya merona, jangan-jangan Alva bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya!*
Berita baik datang kurang lebih seminggu kemudian. Alena berhasil diterima di Jurusan Teater di Universitat der Kunste. Pada saat yang bersamaan, Alva juga berhasil lulus dari kursus fotografi dan mendapatkan sertifikat. Tante Clara langsung menyiapkan perayaan di hari Sabtu.
Seperti biasanya, perayaan berupa acara makan-makan dan kumpul bersama di rumah Alva. Tante Jenna juga ikut datang, membawa kue Red Velvet kesukaan Alena, dan puding oreo kesukaan Alva. Mereka menikmati kebersamaan dengan gembira. Setelah makan siang bersama, Alva mengajak Alena melihat-lihat lantai dua rumah itu. Selama ini, Alena memang belum pernah naik ke lantai dua, karena hampir semua kegiatan berpusat di lantai satu. Lantai dua hanya berisi kamar tidur, dan balkon yang menghadap ke halaman depan.Ada empat kamar, kamar utama adalah kamar Tante Clara dan Om Hanz. Di sebelahnya kamar Alma, yang masih dihubungkan dengan pintu ke kamar utama. Di seberangnya, terdapat dua kamar lagi, yaitu kamar Alva, dan sebuah kamar tamu.
Alva membuka pintu kamarnya. Kesan minimalis sangat terasa dalam kamar itu. Dindingnya dicat warna putih bersih. Pada sisi dinding di belakang tempat tidur, dihiasi dengan wallpaper berdesain batu bata putih yang tampak elegan. Sebuah tempat tidur warna putih berukuran queen terletak di sisi kiri pintu masuk, tempat tidur itu menyatu dengan laci-laci penyimpanan di bawahnya. Di sebelahnya, terdapat lemari built-in besar dari kayu, yang menjadi satu dengan meja belajar. Biola Alva tampak diletakkan secara khusus di salah satu rak berkaca.Sebuah jendela berukuran besar terdapat di seberang tempat tidur dan lemari, dihiasi gorden panjang berwarna coklat tua. Sebuah standing punchbag berwarna hitam tampak terpasang di lantai, di samping lemari. Alva hanya menghiasi dinding kamar dengan beberapa foto berpigura, selebihnya tidak ada hiasan lain.
"Kamu suka olahraga tinju?" Alena mengomentari punchbag Alva, ia tidak mengira kalau Alva selama ini suka berlatih fisik."Buat olahraga aja, lumayan buat melatih fisik," jawab Alva.Alena melihat-lihat foto di dinding, ada tiga foto Alva dengan Papa dan Mamanya waktu masih kecil, satu foto Papa dan Mamanya berdua, dan satu foto Alva kecil bersama Papanya.Tetapi di meja belajarnya terdapat dua pigura lagi, Alena agak kaget melihatnya. Keduanya adalah foto Alva dan Alena. Satu foto waktu mereka dinobatkan menjadi King and Queen of Prom Night, dan satu foto lagi waktu mereka berada di Dieng, di atas Bukit Sidengkeng, dengan latar belakang Telaga Warna. Wajah Alena merona. Kedua foto itu memang menyimpan kenangan indah bagi mereka berdua. Alena tersenyum memandang kedua foto itu. Alva berjalan menghampiri meja belajar juga.
"Masih ada yang lain kok...," ujar Alva. Ia membuka pintu lemari di samping meja belajar, dan...seluruh sisi bagian dalam pintu lemari itu penuh dengan foto-foto mereka berdua dalam berbagai momen. Waktu pentas seni, pentas drama musikal, konser musik klasik, di Air Terjun Sri Gethuk, di Dieng, di Bandung, dan masih banyak lagi.Semua foto itu digantung pada mesh board, yang dipasang di pintu lemari. Alena memandang foto-foto mereka dengan wajah takjub, mulutnya terbuka. Ia tergelak dan beralih memandang Alva.
"Kamu cetak semua foto kita? Banyak banget...," komentar Alena dengan nada terkejut."Aku kan udah bilang, foto kamu itu buat koleksi pribadiku...," jawab Alva dengan santai. Ada senyum di wajahnya. Ia mendekat dan merangkul pinggang Alena. Alena tersenyum, ia melingkarkan kedua tangannya di leher Alva dengan manja. Tatapan mata Alva begitu hangat, dan mereka begitu bahagia hari ini, merayakan momen yang penting. Tentu saja sebuah ciuman mesra akan menyempurnakan momen ini. Alva mencium bibir Alena dengan lembut dan perlahan, memberikan percikan kenikmatan di setiap sentuhan bibirnya."Kamu pandai mencium ya...," Alena berbisik manja, ketika Alva melepaskan bibirnya untuk sesaat. Mata Alva bersinar, ia merengkuh Alena lebih erat ke dalam pelukannya, memberikan ciuman yang lebih lama lagi. Alena merasa hatinya seperti melayang. Alva akan selalu merajai hati dan pikirannya sampai kapanpun.*
Tiga hari pertama Alena di kampus lebih berupa orientasi dan pengenalan. Mereka dibawa berkeliling fakultas, supaya bisa mengetahui setiap gedung dan bagian yang ada. Alena juga berkenalan dengan teman-teman seangkatannya yang baru.
Tapi satu hal yang kurang menyenangkan bagi Alena adalah ketika dia tahu, bahwa Paula juga diterima di Fakultas Seni Pertunjukan, Universitat der Kunste. Walaupun mereka beda jurusan, Paula masuk di jurusan Akting, tetapi ada kemungkinan mereka berada dalam satu kelas, jika sedang menjalani mata kuliah yang sama. Ini dikarenakan ada beberapa mata kuliah yang sama antara jurusan Akting dan jurusan Teater. Mata kuliah itu diberikan dalam satu kelas berukuran besar, menggabungkan mahasiswa kedua jurusan itu, untuk memudahkan jadwal dosennya.
Seperti hari ini, hari pertama kuliah dimulai dengan kelas tatap muka, mata kuliahnya adalah Seni Akting. Sesuai dugaan Alena, ia bertemu Paula. Paula seperti sudah mencarinya, ia langsung duduk di sebelah Alena, yang sedang mengobrol dengan Jill, teman satu angkatannya di jurusan Teater yang berasal dari Australia."Alena...!! Akhirnya ketemu lagi...," sapanya setengah memekik. Beberapa orang menoleh ke arah mereka."Hai, Paula...," balas Alena, berusaha tersenyum.Mereka bertiga duduk di baris keempat dari bawah, di deretan bangku yang tersusun berundak ke atas seperti tangga. Ruangan kelas yang besar itu berbentuk setengah lingkaran, sehingga semua mahasiswa dapat melihat bagian depan kelas dengan jelas, begitu juga sebaliknya, pengajar dapat melihat mahasiswa secara keseluruhan.Paula beralih memandangi seluruh isi kelas, seperti sedang mencari sesuatu. Alena meneruskan mengobrol dengan Jill. Ia tak sadar dosen sudah memasuki kelas, sampai Paula menyenggol tangannya, setengah berbisik kepadanya, "My goodness, he is so damn hot!!"Alena menoleh kebingungan ke arah Paula. Mata Paula tampak menatap lurus ke depan. Siapa yang seksi, dosen mereka? Bahkan Paula juga tertarik dengan dosen? Alena mengarahkan pandangannya ke depan, ke arah pria yang berdiri di depan kelas. Pria itu masih muda, mungkin belum tiga puluh tahun, tidak sesuai dengan bayangan Alena, bahwa dosen mereka pasti sudah berumur setidaknya empat puluh tahun ke atas. Rambutnya ikal kecoklatan, berkacamata, dan berkulit agak kecoklatan, seperti orang berdarah Latin.Alena agak memicingkan matanya, kenapa ia merasa tidak asing dengan wajah pria itu? Tapi di mana ia pernah melihatnya, apakah waktu berkeliling kampus?
Alena masih mencoba mengingat-ingat, ketika pria itu mengenalkan dirinya. "Hallo semuanya... Nama saya Luis Dario Sanchez, saya adalah asisten dari Professor Luciano Moretti, yang berhalangan masuk hari ini. Saya akan menggantikannya, kalian mungkin akan beberapa kali bertemu saya."Deg! Alena membelalakkan matanya. Nama itu... Luis? Apakah mungkin? Alena teringat pemuda Spanyol yang pernah bertemu dengannya, waktu Alva tampil dalam konser musik klasik di Taman Budaya Yogyakarta, hampir tiga tahun yang lalu. Pemuda itu mahasiswa ISI Jurusan Teater, dari program pertukaran pelajar. Dan pemuda itu terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya pada Alena, tapi Alena tidak menanggapinya. Terakhir Alena menolak memberikan nomor ponselnya, dan ia pun tak pernah melihat pemuda itu lagi. Bagaimana mungkin pemuda Spanyol itu sekarang bisa berada di Berlin?Asisten dosen itu mulai memandang berkeliling kelas. Alena agak menundukkan wajahnya. Dia sebenarnya tidak yakin pria itu adalah Luis yang sama, tentu saja ia tak pernah menanyakan nama lengkap Luis. Selain itu, pria ini berbadan lebih kekar dan berotot. Ia juga memiliki cambang di wajahnya. Mungkin hanya mirip, Alena membatin. Tapi tetap saja Alena merasa gugup, sebaiknya pria itu tak usah melihatnya. Alena berpura-pura membaca bukunya, supaya tidak usah memandang ke depan. Tetapi Paula yang duduk di samping kiri Alena seperti tak bisa diam, ia terus-menerus menegakkan tubuhnya, atau mencondongkan tubuhnya ke depan dan ke samping. Sepertinya ia berusaha menarik perhatian asisten dosen itu."Baiklah, kita mulai dengan perkenalan dulu. Saya ingin tahu nama Anda satu persatu," sambung pria itu. Sesuatu yang sangat tidak diharapkan Alena. Apakah itu memang kebiasaan seorang dosen untuk tahu nama mahasiswa satu persatu, padahal jumlah mereka cukup banyak?"Aileen Matthews...," panggil pria itu dengan suara lantang. Seorang mahasiswi di baris kedua dari bawah mengangkat tangan kanannya."Baik…" Pria itu berhenti sejenak. Alena mulai berdebar-debar."Alena Paramitha..."Alena mengangkat tangan kanannya, tapi wajahnya masih setengah menunduk. Ia berharap pria itu tidak menyadarinya."Saya tak bisa melihat wajahmu, Alena...," kata pria itu dengan suara tegas.Alena dengan agak terpaksa mengangkat wajahnya, menatap sang asisten dosen. Pria itu juga sedang menatap lurus ke arah Alena, lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman. Matanya seperti mengisyaratkan sesuatu. Astaga! Itu memang Luis, dan dia juga mengenali Alena! Jika tidak, mengapa dia tersenyum dan menatap penuh arti seperti itu? Alena tidak membalas senyuman pria itu, ia menundukkan kepalanya lagi. Pria itu lanjut membacakan nama-nama lain. Alena sudah tidak menaruh perhatian lagi, rasanya ia ingin keluar saja dari kelas itu. Kenapa hari pertama kuliah di kelas harus dimulai seperti ini? Tapi, kalaupun itu memang Luis, lalu kenapa? Mereka tak punya masalah apa-apa, kecuali kalau pria itu tersinggung ketika Alena menolak memberikan nomor teleponnya. Kejadiannya sudah lebih dari dua tahun lalu. Masa iya, Luis masih marah? Tapi bagaimana juga Luis bisa berada di Berlin, dan malah menjadi asisten dosennya sekarang? Sungguh kebetulan yang tidak enak, Alena mengeluh dalam hati. Mata kuliah Seni Akting itu berlangsung selama 90 menit. Dan selama itu, Alena berusaha untuk tidak memikirkan yang macam-macam, berfokus pada materi yang disampaikan, dan menghindari tatapan mata sang asisten dosen. Setiap kali pria itu berbicara, Alena mengarahkan pandangannya ke layar presentasi di depan, menunduk membaca buku, atau mencatat di catatannya. Entah kenapa, ia merasa pria itu sering mengarahkan pandangan ke arah tempat duduknya. Padahal posisi tempat duduknya agak di samping kiri, bukan persis di depan meja dosen. Apakah gara-gara tingkah laku Paula yang tak bisa diam?Paula berkali-kali berbisik kepada Alena, memuji tubuh sang asisten dosen yang kekar, atau senyumannya yang menarik, bahkan suaranya yang berat. Duduk di sebelah Paula di kelas memang ide yang buruk. Mungkin lain kali, dia sebaiknya masuk belakangan ke dalam kelas, supaya bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula.Akhirnya 90 menit itu berlalu juga. Semua mahasiswa mulai meninggalkan ruangan. Alena sengaja berjalan bersama Jill di dekatnya. Asisten dosen itu belum meninggalkan ruangan. Untunglah Alena duduk di sisi kiri kelas yang bersebelahan dengan pintu keluar, sehingga ia bisa keluar dari kelas, tanpa harus melewati meja dosen. Ia dan Jill melangkah keluar kelas. Mereka akan masuk ke kelas berikutnya, yang untungnya bukan kelas besar seperti kelas sebelumnya, artinya tidak ada Paula. "Lain kali, aku akan lebih hati-hati, kalau ikut kelas Seni Akting," Alena mengingatkan dalam hati.Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m
Hari berikutnya adalah hari casting untuk drama musikal. Casting baru dimulai jam sebelas siang, setelah semua jadwal kuliah berakhir, karena casting akan memakan waktu cukup panjang. Ada sekitar lima puluh tiga orang mahasiswa dari dua jurusan, Teater dan Akting.Casting diadakan di ruangan kelas yang lebih kecil, yang biasanya disebut ruang latihan, karena ruangan ini memang digunakan untuk latihan akting oleh para mahasiswa dari angkatan yang lebih senior. Ada lebih dari sepuluh ruang latihan di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. Semua ruang didesain sama, dengan dipasangi cermin memanjang di ketiga sisinya. Gunanya supaya para pemain bisa melihat gerakan dan akting mereka sendiri. Di luar ruang latihan, ada ruang ganti pakaian untuk pria dan wanita, serta ruang yang berisi loker untuk menyimpan barang-barang.Alena dan teman-temannya menanti giliran dipanggil di lorong panjang, di luar ruang latihan. Alena sudah pernah menjalani seleksi untuk drama
Setelah berganti pakaian, Alena berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Alva mengirim chat, bahwa ia menunggu di bangku taman, dekat pintu masuk fakultasnya. Alena melihat Alva sedang duduk sendiri, sambil mendengarkan sesuatu dari ponselnya, headset terpasang di telinganya. Ia tampak serius.Mendadak, Alena merasa sangat merindukan Alva. Kejadian hari ini membuat pikirannya agak kacau. Rasanya ada yang harus dikatakannya secara terus terang pada Alva.Alva langsung berdiri menyambut Alena begitu melihatnya."Pasti udah lama banget ya kamu nunggunya...," sapa Alena, saat mereka sudah berdiri berhadapan.Alva merangkul pinggang Alena dan mengecup keningnya. "Nggak apa-apa, Sayang... Gimana casting-nya?" tanya Alva dengan suara lembut."Hasilnya baru diumumkan besok...," Alena menjawab singkat. "Kita cari tempat buat ngobrol yuk..."Alva memandangnya. Sepertinya Alva sudah mengerti, bahwa ada hal serius yan
Hari Rabu, hasil casting diumumkan oleh Professor Moretti di kelas. Ternyata kelas mereka akan dipisah menjadi dua kelompok, sesuai jurusan. Jurusan Teater dengan pemain mereka masing-masing, begitu pula dengan Jurusan Akting. Mungkin ini karena standard penilaian yang digunakan berbeda antara kedua jurusan.Dari Jurusan Akting, pemeran utama yang terpilih adalah Paula sebagai Putri Odette, dan Henry sebagai Pangeran Siegfried. Sedangkan dari Jurusan Teater, Alena yang akan menjadi Putri Odette, didampingi oleh Matteo sebagai sang pangeran.Matteo adalah seorang pemuda dari Italia. Alena sudah mengenalnya karena mereka sekelas, dan menurut Alena, dia cowok yang baik dan ramah. Matteo langsung menghampiri Alena begitu kelas usai. Ia berkata, ia senang karena akan berpasangan dengan Alena. Mereka semua akan memulai latihan di siang hari, setelah kuliah berakhir."Aku masih nggak percaya Paula bisa jadi Odette... Pasti itu gara-gara dia ngerayu Herr
Mereka berangkat hari Rabu pagi dengan pesawat. Penerbangan ke Nice memakan waktu dua jam lebih. Sampai di bandara, mereka lanjut menaiki trem, sejenis kereta listrik yang berjalan di jalur rel di atas jalan raya. Suasana di kota Nice cukup ramai.Nice adalah kota di pinggir Pantai Mediterania, sudah pasti pemandangannya sangat indah. Tante Jenna memang benar, cuaca di Nice tidak sedingin di Berlin saat musim dingin. Matahari masih bersinar dengan hangatnya. Rasanya seperti musim gugur di Berlin. Alena tak perlu memakai mantel musim dingin, cukup sweater dan syal untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.Alma sudah berusia tiga tahun sekarang, ia makin lincah, dan rasa ingin tahunya sangat besar. Ia duduk dekat Alena dan Alva, terus-menerus berceloteh sepanjang jalan, bertanya dan berkomentar tentang apa pun yang dilihatnya. Alva dengan sabar meladeninya.Mereka tiba di depan sebuah rumah bergaya Italia. Dahulu, Nice memang termasuk daerah Ita
Esok paginya, Tante Clara dan Om Hanz pergi berziarah ke makam ayahnya Om Hanz. Mereka berangkat jam enam pagi, dan meminta tolong Alena untuk menjaga Alma. Alma tadinya masih terlelap di tempat tidur. Tapi mungkin karena mendengar suara mobil di halaman depan, ia pun terbangun dan mulai rewel.Alena mengajaknya ke dapur, membuatkan sereal untuknya. Alma cuma makan beberapa sendok, lalu berlari ke pintu kamar Alva, dan memanggil-manggil kakak tirinya itu."Alma, ayo sini... Kak Alva masih tidur, jangan diganggu...," panggil Alena dengan suara pelan.Ia menaruh mangkok sereal di meja makan, bermaksud untuk menggandeng Alma kembali ke meja makan. Ternyata pintu kamar Alva tak tertutup rapat, Alma langsung mendorong pintu, dan berlari masuk ke dalam kamar itu. Alena mengejar dari belakang. Ia terpaksa melangkah masuk ke kamar Alva juga."Alma... Kak Alva masih..." Alena terdiam, tidak meneruskan kalimatnya.Alva ternyata sudah ban
Hari berikutnya adalah malam tahun baru. Paginya, Om Hanz mengizinkan Alva mengemudikan mobil sewaannya, untuk pergi berdua dengan Alena, sedangkan Tante Clara, Om Hanz, dan Alma tetap di rumah.Alena dan Alva menyukai hal-hal yang berbau seni, jadi mereka pergi ke daerah Cimiez, di mana terdapat Museum Nasional Marc Chagall dan Museum Matisse. Kedua museum tersebut benar-benar memanjakan pecinta seni dengan pameran beraneka karya seni dari kedua seniman tersebut.Setelah puas berkeliling di kedua museum tersebut, mereka mampir ke Monastere Notre Dame de Cimiez, yang merupakan gereja Katolik sekaligus biara. Di kawasan ini, terdapat sebuah taman yang sangat indah. Dari taman ini, pengunjung dapat menikmati pemandangan kota Nice dan Bay of Angels yang menawan dari atas.Menjelang makan siang, Alena dan Alva sudah kembali ke rumah. Mereka berlima makan siang bersama, lalu bersiap-siap melewatkan malam pergantian tahun.Tu
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu