Esok paginya, Tante Clara dan Om Hanz pergi berziarah ke makam ayahnya Om Hanz. Mereka berangkat jam enam pagi, dan meminta tolong Alena untuk menjaga Alma. Alma tadinya masih terlelap di tempat tidur. Tapi mungkin karena mendengar suara mobil di halaman depan, ia pun terbangun dan mulai rewel.
Alena mengajaknya ke dapur, membuatkan sereal untuknya. Alma cuma makan beberapa sendok, lalu berlari ke pintu kamar Alva, dan memanggil-manggil kakak tirinya itu."Alma, ayo sini... Kak Alva masih tidur, jangan diganggu...," panggil Alena dengan suara pelan.Ia menaruh mangkok sereal di meja makan, bermaksud untuk menggandeng Alma kembali ke meja makan. Ternyata pintu kamar Alva tak tertutup rapat, Alma langsung mendorong pintu, dan berlari masuk ke dalam kamar itu. Alena mengejar dari belakang. Ia terpaksa melangkah masuk ke kamar Alva juga."Alma... Kak Alva masih..." Alena terdiam, tidak meneruskan kalimatnya. Alva ternyata sudah banHari berikutnya adalah malam tahun baru. Paginya, Om Hanz mengizinkan Alva mengemudikan mobil sewaannya, untuk pergi berdua dengan Alena, sedangkan Tante Clara, Om Hanz, dan Alma tetap di rumah.Alena dan Alva menyukai hal-hal yang berbau seni, jadi mereka pergi ke daerah Cimiez, di mana terdapat Museum Nasional Marc Chagall dan Museum Matisse. Kedua museum tersebut benar-benar memanjakan pecinta seni dengan pameran beraneka karya seni dari kedua seniman tersebut.Setelah puas berkeliling di kedua museum tersebut, mereka mampir ke Monastere Notre Dame de Cimiez, yang merupakan gereja Katolik sekaligus biara. Di kawasan ini, terdapat sebuah taman yang sangat indah. Dari taman ini, pengunjung dapat menikmati pemandangan kota Nice dan Bay of Angels yang menawan dari atas.Menjelang makan siang, Alena dan Alva sudah kembali ke rumah. Mereka berlima makan siang bersama, lalu bersiap-siap melewatkan malam pergantian tahun.Tu
Puas berwisata kuliner, mereka naik trem untuk kembali ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Mereka turun di tempat pemberhentian trem terdekat dengan rumah, lalu meneruskan dengan jalan kaki.Cuaca sore ini masih tetap nyaman untuk berjalan-jalan tanpa kedinginan. Cuma tinggal melewati beberapa rumah lagi, untuk sampai di rumah.Mendadak, Alena melihat seorang wanita dengan tangan penuh kantong belanjaan, mendorong stroller bayi dari arah berlawanan dengan mereka. Wanita itu sepertinya kehilangan kendali atas stroller, ia menjerit ketakutan. Jalan tersebut menurun, sehingga stroller meluncur turun menuju ke arah jalan raya!Alena dengan refleks berlari cepat ke arah stroller itu, menariknya ke belakang tepat pada waktunya, sebelum sebuah mobil truk melaju dengan kencang melintasi jalan itu. Pengemudi truk membunyikan klakson dengan nyaring dan berteriak marah. Wanita itu berlari sambil menjerit. Alena terpaku lemas di tempat, strol
Untunglah kuliah baru dimulai tiga hari kemudian. Pada saat ini, kaki Alena sudah jauh lebih baik. Ia masih memakai bebat perban untuk mengurangi rasa sakit. Tapi Alena sudah bisa berjalan sendiri, tanpa dibantu lagi.Latihan drama musikal adalah yang paling dicemaskannya. Ia tidak yakin bisa menari saat ini. Alena mengutarakan kondisinya pada saat latihan sore itu, di depan semua teman sekelasnya dan Luis. Luis memandangnya dengan penuh perhatian."Nggak apa-apa...," akhirnya Luis berkata. "Kita tunggu sampai kamu sembuh, baru kita mulai lagi latihan menarinya, khusus untuk kamu. Untuk sekarang ini, kamu masih bisa latihan dialog dan menyanyi."Alena merasa tidak enak, karena menghalangi proses latihan. Setelah latihan selesai sore itu, ia mendekati Luis, yang masih membereskan barang-barang. Teman-teman yang lainnya sudah meninggalkan ruang latihan."Herr Sanchez...," sapa Alena.Luis menoleh. Wajahnya tampak ceria melihat Ale
Jadwal latihan di Klinik Glück hari Sabtu ini hanya sampai jam tiga sore. Tante Jenna tidak bisa ikut, karena ia mendapat pesanan roti dalam jumlah besar, ia meminta Alena tetap pergi menemani Alva.Selesai latihan, Alena dan Alva naik kereta kembali ke rumah Tante Jenna. Tapi mereka mampir dulu ke taman, tempat favorit mereka. Mereka berjalan bergandengan tangan dengan santai, berhenti di atas jembatan kayu yang melintang di atas danau.Berlin di bulan Januari berarti kembali merasakan musim dingin yang bersalju dan beku. Danau tertutup es, salju di mana-mana. Namun sore ini cuaca cukup tenang, tak ada tanda-tanda akan turun hujan atau salju.Alena merapatkan syalnya, karena merasakan hembusan angin dingin di lehernya. Alva melangkah mendekat, dan memeluknya dari belakang. Alena tersenyum."Aku udah mulai terbiasa kok, sama musim dingin di Berlin...," kata Alena, tapi ia menyandarkan juga kepalanya di bahu Alva."Aku cum
Sejak hari itu, setiap selesai latihan kelompok, Luis akan melatih Alena lagi secara khusus, hanya mereka berdua. Rasa sakit di kaki Alena lama-kelamaan tak terasa lagi. Kakinya mulai pulih, dan Alena sangat gembira.Hari ini, Alena sedang merasa sangat bersemangat. Hari ini tanggal 17 Januari, hari perayaan tiga tahun ia dan Alva menjalin hubungan kasih. Alva sudah berjanji akan membawanya ke suatu tempat untuk kencan sore ini, setelah selesai latihan. Seperti biasanya, Alva suka memberi kejutan, dan memikirkannya membuat Alena seperti mendapat tambahan energi sepanjang hari ini.Semangatnya juga berpengaruh pada latihan dramanya. Ia dan Matteo berduet dengan baik, kakinya sudah pulih sekarang. Mereka juga sudah berlatih dalam kelompok besar. Mulai besok, mereka semua akan berlatih di atas panggung tempat drama akan dipentaskan, karena waktu pentas tinggal dua minggu lagi.Jam tiga, latihan dihentikan. Wajah lelah tapi ceria terlihat pada semua mahasis
Selama dua minggu sebelum pentas drama musikal, Alena dan teman-temannya rutin berlatih di panggung besar, supaya mereka terbiasa pada saat pentas yang sesungguhnya nanti. Luis tetap melatih mereka. Alena berusaha untuk bersikap sewajar mungkin, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Seperti sudah ada kesepakatan tak tertulis di antara mereka, Luis juga bersikap seperti biasa. Ia tetap kelihatan bersemangat dan ceria. Mereka berdua sudah tidak latihan menari secara khusus lagi, karena Alena sudah menguasai gerakannya. Namun, sikap Luis kepada Alena juga tak berubah, tetap lembut dan perhatian.Hari ini adalah hari pentas. Pentas drama diadakan di ruang auditorium Fakultas Seni Pertunjukan, mulai jam dua siang. Pentas dapat ditonton secara gratis oleh semua mahasiswa Universitat der Kunste, tapi kapasitasnya terbatas. Sayangnya, Alva tak bisa menonton pertunjukan dari awal, karena masih ada kegiatan di kampusnya, tapi dia berjanji akan segera menyusul.
Alena berjalan keluar dari gedung auditorium setengah jam kemudian. Lima belas menit lagi jam enam, Alva akan menjemputnya. Tangannya memegang bingkisan yang dikirim Alva, ternyata isinya adalah coklat Ritter Sport kesukaan Alena, di dalam kotak berbentuk hati. Alena tersenyum sendiri mengingat cara Alva menebus ketidakhadirannya di pentas drama tadi.Di luar cukup dingin, angin berhembus kencang. Alena sudah memakai pakaian hangat lengkap. Ia duduk di kursi taman depan fakultasnya, sambil mendekap bingkisan dari Alva. Suasana sudah mulai sepi. Langit sore di awal bulan Februari ini gelap dan memberi kesan sendu."Alena...," suara yang dikenalnya menyapa dari belakang.Alena menoleh. Luis berjalan menghampiri. Ia memakai mantel musim dingin berwarna biru navy, dan membawa tas jinjing di tangan kanannya."Lagi apa kamu di sini?" tanya Luis, dahinya berkerut."Luis... Aku lagi nunggu dijemput," jawab Alena. Ia mulai gugup,
Seminggu kemudian, nilai akhir semua mata kuliah Alena diumumkan. Alena mendapat A plus untuk mata kuliah Seni Akting, yang membuktikan kalau perannya dalam drama musikal diakui bagus oleh sang dosen. Ia juga mulai terkenal di kampusnya, gara-gara perannya sebagai Odette dan Odille itu. Beberapa klub teater independen, yang dibentuk oleh para seniornya di kampus, menawari dia untuk bergabung dengan mereka. Dia juga mendapat tawaran casting dari sebuah agen periklanan lokal, untuk menjadi model iklan mereka. Sepertinya pentas drama kemarin juga dihadiri para pencari bakat lokal. Tapi Alena masih menimbang-nimbang tawaran tersebut."Casting iklan?" tanya Alva, alisnya terangkat.Sore itu, Alena baru saja bercerita tentang tawaran yang diterimanya. Hari ini mereka pulang lebih awal dari kampus, sehingga Alva mengajak Alena berjalan-jalan di sekitar Sungai Spree. Mereka berdua sedang duduk di salah satu kafe, yang banyak terdapat di sepanjang tepi sungai
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu