Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.
Alena awalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.
Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan. "Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil mGereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Alena berjalan menyusuri pinggir pantai Parangtritis, pasir putihnya terasa lembut di kaki. Debur ombak yang menghempas bibir pantai membentuk harmoni suara yang menenangkan. Sudah seminggu berlalu sejak ia mengantar Alva ke bandara hari itu. Dan selama tujuh hari itu juga, Alena seperti tersiksa oleh rasa rindu yang mengacau-balaukan hatinya.Apa sih sebenarnya rindu itu? Dan kenapa bisa membuat seseorang jadi tak berdaya dengan perasaannya seperti ini? Tapi Alena tak bisa membohongi dirinya sendiri, ataupun memaksa dirinya untuk melupakan Alva bahkan sedetik saja. Wajah Alva, senyumnya, tatapan bola mata coklatnya, suaranya... Semuanya seperti membayang-bayangi Alena, ke mana pun ia pergi.Alena baru sadar ada yang mendekati dari belakang. Ia menoleh."Kamu ngelamun aja...""Kak Evan..."Ya, kakak lelaki satu-satunya itu sedang pulang ke Jogja. Kakaknya sudah dua tahun kuliah di Australia, tepatnya di kota Sydn
Hari Kamis menjadi hari yang paling dinanti-nanti Alena, karena Alva akan pulang kembali padanya. Alva sudah berangkat dari Berlin sejak Rabu pagi, dan akan tiba di Jogja hari Kamis, sekitar jam tiga sore. Penerbangan dari Berlin ke Jogja memang memakan waktu lumayan panjang, lebih dari 24 jam. Alena terus-menerus menghubungi Alva saat dia sedang transit, untuk menanyakan kabarnya. Rasanya Alena sudah tak sabar ingin segera berangkat menjemput Alva."Kamu takut aku hilang ya?" Alva menggodanya, ketika Alena menelepon lagi.Pesawat Alva sedang transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Setelah itu, pesawat akan langsung membawa Alva ke Jakarta, dan terakhir ke Jogja. Saat ini, sudah hampir tengah malam di Jogja.Alena tertawa. "Aku takut kamu lupa pulang...""Coba kamu pejamkan mata dan tidur... Besok, aku pasti udah sampai di Jogja," sambung Alva lagi."Aku nggak bisa tidur... Kamu lagi apa?""Ini lagi jalan-jalan d
Libur kenaikan kelas telah berakhir. Kembali ke sekolah berarti kembali ke kesibukan, dan kerja keras dimulai. Alena sangat gembira ketika dia dan Alva bisa tetap sekelas, mereka masuk ke kelas XII C sekarang. Sedangkan Karin dan Lucky berdua masuk ke kelas XII A.Lucu juga pengaturannya bisa begitu pas, Alena membatin dalam hati. Dia dan Alva tidak lagi duduk bersebelahan, tapi yang penting mereka tetap sekelas.Karin agak memprotes setelah hari pertama masuk sekolah lagi, mereka sedang mengobrol berdua di kamar malam harinya."Ah, nggak seru... Aku nggak bisa pinjam PR kamu lagi, nggak bisa belajar bareng...," keluh Karin."Ya tetap bisa belajar bareng, Rin… Lagian, kamu harusnya senang, karena sekelas sama Lucky," Alena menanggapi."Iya, sih... Kamu juga sama Alva, nggak bisa dipisahin deh...," Karin terkikik. "Kayaknya, guru-guru nggak mau pasangan Alvalena yang paling populer di sekolah ini terpisah."
Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel."Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian
Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya."Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu."Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain.Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu