Share

5. Ujian

last update Last Updated: 2021-04-15 12:09:33

Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.

Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya.

"Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu.

"Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain. 

Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?

Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan sambil terus menatap Alena dengan penuh arti. Alena tak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut bernyanyi dalam iringan alunan biola.


Sometimes I wonder

How I'd ever make it through

Through this world without having you

I just wouldn't have a clue


'Cause sometimes it seems

Like this world's closing in on me

And there's no way of breaking free

And then I see you reach for me


Sometimes I want to give up

I want to give in, I want to quit the fight

And then I see you, baby

And everything's alright, everything's alright


When I see you smile

I can face the world

You know I can do anything

When I see you smile

I see a ray of light

I see it shining right through the rain

When I see you smile

Baby when I see you smile at me


Baby there's nothing

In this world that could ever do

What a touch of your hand can do

It's like nothing that I ever knew


And when the rain is falling

I don't feel it, 'cause you're here with me now

And one look at you baby

Is all I'll ever need, you're all I'll ever need


When I see you smile

I can face the world,

You know I can do anything

When I see you smile

I see a ray of light

I see it shining right through the rain

When I see you smile

Baby when I see you smile at me


Alena tersenyum haru, ketika Alva selesai memainkan biolanya. Ia mendekati Alva. Alva meletakkan biolanya, matanya terus memandang Alena.

"Ini lagu buat kamu... Ingatlah, aku selalu mau buat kamu tersenyum, karena senyum kamu yang mengembalikan senyumku...," ucap Alva dengan suara lembut, tatapan matanya begitu hangat.

Alena terharu mendengarnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu ingat hari ini..."

"Pasti ingat. Tanggal 17 Januari, waktu aku minta kamu jadi kekasihku... First kiss kita di sini..."

Kata-kata Alva membangkitkan kenangan yang sangat indah bagi Alena, senyuman dan tatapan mata Alva waktu itu persis seperti saat ini. Dan rasa sayangnya pada Alva makin bertambah setiap harinya.

"Lagu itu harusnya buat kamu, Alva... Waktu aku udah mulai mau menyerah, justru senyuman kamu yang buat aku jadi kuat...," kata Alena sambil tersenyum. Ia memegang kedua lengan Alva dengan lembut. 

Alva memandangnya dengan mata bersinar. Alena sudah tahu apa yang akan terjadi. Detik berikutnya, ia sudah berada dalam pelukan hangat Alva. Alena merangkulkan tangannya ke leher Alva, menarik wajah Alva dengan lembut agar mendekat. Bibir Alva mengecup lembut bagian luar bibir Alena, kemudian membuka bibir Alena, dan memberikan ciuman yang penuh kasih. Alena membelai rambut Alva yang tebal bergelombang. Alva tampaknya makin bergelora, ia memeluk Alena dengan erat, dan terus memainkan bibirnya. Alena ingat, ini ketiga kalinya mereka berciuman di atas rooftop, tapi setiap ciuman selalu memberikan kenangan indah yang berbeda baginya.

Alva perlahan melepaskan bibir Alena, lalu mencium pipi dan keningnya dengan lembut. Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Rasanya Alena ingin merayakan setiap hari seindah ini bersama Alva. 


*

Ujian akhir nasional tinggal beberapa bulan lagi. Alena dan Alva terus mempersiapkan diri. Mereka juga harus berusaha mendapatkan nilai ujian akhir yang baik, supaya lebih mudah diterima di Studienkolleg. Alena tidak lagi mengikuti kursus bahasa Jerman, ia hanya belajar otodidak bersama Alva, supaya kemampuan bahasanya semakin fasih. Mereka sering berlatih dengan contoh soal ujian masuk Studienkolleg.

Berita baik datang dari Goethe Institute, seminggu setelah ujian Bahasa Jerman. Alena dan Alva sama-sama lulus ujian dengan nilai yang baik. Alena mendapat nilai rata-rata 85 untuk keempat keterampilan bahasa yang diujikan, sedangkan Alva mendapat nilai rata-rata 96.

"Kamu hebat banget sih, Alva... Nilai kamu di atas 90 semuanya," Alena memuji, saat mereka sudah dikirimi hasil ujian resminya. Mereka sedang belajar berdua di perpustakaan sore itu, sehabis pelajaran sekolah.

"Aku nggak pantas punya kewarganegaraan Jerman, kalau nilaiku jelek," Alva setengah bercanda. 

Alena tertawa. "Selama ini, kamu punya dua kewarganegaraan?"

"Nggak, cuma satu. Dulu Opa sempat mau ngurus pindah warga negara buat aku, waktu aku udah di Indonesia. Tapi kondisi Mama masih nggak baik. Setelah Mama pulih, Mama nggak mau aku pindah warga negara, karena Mama emang mau ngajak aku balik ke Jerman. Jadi, sampai sekarang aku masih warga Jerman," Alva bercerita panjang lebar.

"Jadi selama ini, kamu urus izin tinggal terus?"

"Aku pakai visa studi. Nanti kalau udah lulus SMA, visaku nggak berlaku lagi, aku mesti urus visa tinggal sementara. Sampai kita berangkat ke Berlin," jawab Alva sambil memandang Alena.

Alena tersenyum. Mendengar Alva menyebutkan 'kita' entah kenapa terasa sangat istimewa.


*

Ujian akhir nasional yang dinanti-nanti tiba juga. Selama persiapan, Alena sering belajar sampai larut malam. Tapi beberapa hari menjelang ujian, ia sengaja beristirahat yang cukup, untuk menyegarkan pikirannya. Ia berdoa semoga ia dan Alva mendapat hasil ujian yang baik, sehingga melancarkan pendaftaran mereka ke Studienkolleg.

Ujian berlangsung selama empat hari. Setelah itu, mereka lanjut mengikuti ujian dari sekolah, untuk mata pelajaran tertentu yang tidak ada di ujian akhir nasional. Total ujiannya menjadi tujuh hari. Alena merasa jenuh, tapi ia tak mau mengeluh.

Hari Selasa ini adalah hari terakhir ujian. Semua siswa kelas XII tampak ceria setelah ujian berakhir. Seperti atlet yang merasa lega setelah menyelesaikan suatu pertandingan, atau seperti prajurit yang baru memenangkan pertempuran. 

Para siswa berkumpul ramai-ramai dan merencanakan liburan. Pihak sekolah memang tidak mengadakan acara karya wisata atau keakraban untuk kelas XII, hanya ada acara wisuda setelah hasil ujian nasional diumumkan.

"Ayolah, Len... Masa kamu nggak ikut sih?" Karin membujuk Alena. Karin ingin mengikuti acara liburan dengan teman-teman yang lainnya, rencananya mereka akan ke Bali.

"Nggak bisa, Rin... Habis ini, kami masih persiapan ujian masuk Studienkolleg, terus mau urus visa juga ke kedutaan. Aku nggak enak sama Papa Mama, kalau minta uang buat liburan. Buat biaya ke Jerman aja udah keluar banyak banget, Rin...," Alena mencoba menjelaskan pada Karin.

Karin terlihat kecewa tapi ia mengerti. "Terus, kita nggak ada acara perpisahan gitu?" kata Karin sambil memandang Alena. 

Entah mengapa Alena mendadak merasa sedih mendengar kata perpisahan. Ya, ia harus berpisah dengan Karin dan teman-temannya yang lain. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.

"Aku masih di Jogja kok, sampai nanti ada kepastian diterima di Berlin... Mungkin malah kamu yang duluan masuk kuliah," respon Alena.

"Janji ya Len, kita tetap kontak... Lewat chat atau apapun. Jangan lupa sama aku, kalau kamu udah di Jerman. Siapa tau nanti aku bisa liburan ke Jerman, aku bisa tinggal gratis di rumah kamu...," ujar Karin sambil terkikik.

"Rumah apa? Aku di sana juga tinggal di rumah orang, Rin... Tapi kalau kamu ke Jerman, aku pasti temanin jalan-jalan, aku jadi guide-nya...," Alena menanggapi sambil tersenyum.

Karin tampak tersenyum penuh arti. "Maksud aku itu...rumah kamu sama Alva. Kan kamu pasti nikah sama dia!" Karin berseru dengan penuh semangat.

Wajah Alena langsung merona mendengarnya. "Ih, apaan sih Rin? Itu kan masih lama... Kuliah aja belum...," protes Alena, tapi ia berusaha memalingkan wajahnya yang memerah.

Karin tertawa. "Ngapain lama-lama sih? Kamu aja udah rela jauh-jauh ke Berlin ikut Alva... Kalau sampai dia nggak cepat-cepat ngelamar kamu, itu namanya kebangetan...," ia masih terus berceloteh menggoda Alena.

"Karin... Nggak lucu ah..." Alena melototkan matanya yang indah. "Kita berdua masih mau nyelesaikan kuliah dulu, habis itu kerja, baru bisa mikirin yang lebih jauh... Kalau nggak kerja, terus mau hidup dari mana?"

"Alva kan orang tuanya kaya...," sambung Karin lagi. 

Ia sepertinya mulai ngawur bicaranya, asalkan bisa meledek Alena. Ia tertawa cekikikan. Alena mencubit lengannya.

"Nggak kayak gitu, Rin... Alva sendiri aja nggak mau hidup tergantung sama orang tuanya terus. Dia mau mandiri...," Alena menanggapi, mencoba meluruskan pemikiran Karin.

"Iya, iya... Canda kok..." Karin akhirnya menyerah. "Aku tau kamu bukan cewek kayak gitu. Kamu suka Alva bukan karena dia kaya... Tapi, kayaknya nikah muda itu enak ya, Len... Jadi pas anak kita udah gede, kita juga masih muda...," mendadak Karin mulai berceloteh lagi. 

Alena hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.


*

Hasil ujian akhir nasional diumumkan sebulan kemudian. Alena dan Alva sama-sama lulus dengan nilai yang memuaskan. Nilai Alena lebih tinggi daripada Alva, tapi Alena tahu, itu karena Alva dari dulu memang tidak suka menghafal teori. Alva sudah terbiasa sejak kecil dengan sistem belajar di Jerman, yang lebih mementingkan praktek dan pemahaman materi. Alva selama ini berusaha mendapatkan nilai bagus hanya untuk memudahkan syarat melanjutkan ke Studienkolleg.

Setelah mendapatkan hasil ujian akhir nasional dan ijazah kelulusan SMA, mereka mulai melengkapi semua dokumen yang disyaratkan, untuk pendaftaran ke Studienkolleg. Kebetulan pendaftaran Studienkolleg untuk Winter Semester di Jerman sudah dibuka, ujian masuknya sekitar bulan Agustus.

Alena dan Alva mendaftar ke beberapa Studienkolleg, termasuk yang swasta, bahkan yang berada di luar kota Berlin. Pilihan pertama mereka adalah Studienkolleg FU Berlin, yang merupakan Studienkolleg milik pemerintah di kota Berlin. Namun saingannya juga sangat ketat.

Alena hanya bisa terus berdoa dan berharap, mereka bisa diterima di semester yang sama. Jika tidak, salah satu dari mereka harus mengulang pendaftaran enam bulan lagi. Bagaimana jika Alena yang gagal? Artinya, ia harus berpisah dengan Alva selama enam bulan. Ah, lebih baik berpikir yang positif, Alena membatin.


*

Kegiatan sekolah sudah berakhir, mereka menjalani wisuda seminggu setelah hasil ujian akhir nasional diumumkan. Tante Clara dan Om Hanz tidak bisa pulang ke Indonesia, sehingga Opa dan Oma Alva yang mendampingi Alva saat wisuda. Alena teringat ketika wisuda, ia dan Karin berpelukan erat lama sekali. Mereka berdua menangis penuh haru. Mereka telah bersahabat selama tiga tahun di SMA dan asrama. Tapi selalu ada pertemuan dan perpisahan. Karin selamanya akan menjadi sahabat Alena, sahabat yang berbagi suka dan duka bersamanya.

Setelah tidak ada kegiatan di sekolah lagi, Alena dan Alva harus berpisah untuk sesaat, sambil menunggu berita dari Studienkolleg di Jerman. Alva pulang kembali ke rumah Opa dan Oma di Magelang, sedangkan Alena di Jogja. Tapi Alva sepertinya tidak bisa menahan kerinduannya pada Alena. Hampir setiap hari ia datang berkunjung ke rumah Alena, dengan mengendarai motornya, menempuh jarak dari Magelang ke Jogja.

"Kamu nggak capek tiap hari bolak-balik dari Magelang ke Jogja?" tanya Alena, ketika Alva untuk kesekian kalinya datang ke rumahnya, walaupun sebenarnya Alena merasa senang, karena bisa bertemu Alva setiap hari. "Aku nggak mau kamu kecapean, Alva..."

"Cuma dekat kok... Aku lewat jalan pintas, cuma empat puluh lima menit," sahut Alva dengan santai.

Alena tersenyum mendengar Alva menyebut jarak rumah mereka dekat. Di hari Senin sampai Jumat, Papa dan Mama baru pulang ke rumah sekitar jam empat sore, jadi mereka hanya berdua di rumah Alena pagi ini. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berdua di ruang tamu, menonton film dari DVD player, mendengarkan musik, atau menonton video di YouTube, semuanya dalam bahasa Jerman. Tapi hari ini, Alva mengajak Alena berkeliling ke daerah Kaliurang.

"Biar nggak bosan di rumah aja...," cetus Alva. 

Alena setuju. Mereka pun berboncengan menuju ke Utara. Alena yang lebih tahu daerah situ, ia yang menunjukkan jalan. Mereka mampir di Museum Ullen Sentalu. Museum ini berisi aneka koleksi karya seni dan budaya Jawa, juga kisah mengenai sejarah peradaban Kerajaan Mataram. Ada seorang pemandu yang menemani mereka berkeliling, dan menjelaskan segala hal yang perlu mereka ketahui tentang isi museum tersebut.

Setelah kurang lebih dua jam berada di Museum Ullen Sentalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Tlogo Putri. Alena selalu menyukai suasana pegunungan yang sejuk. Mereka berjalan-jalan menikmati pemandangan hijau nan asri, dan menghirup udara pegunungan yang segar. Alva juga membawa kameranya untuk menambah koleksi fotonya. Setelah puas berkeliling, mereka duduk-duduk di dekat air terjun Tlogo Muncar, yang berada di dalam area tersebut.

Alva tampak santai dan ceria. Alena senang karena Alva sudah menunjukkan begitu banyak perubahan, dibandingkan pertama kali ia mengenal Alva. Senyum dan canda Alva ketika mereka bersama adalah hal yang selalu dirindukannya.

"Kamu lihatin aku terus dari tadi..." Alva ternyata menyadari kalau Alena sering menatapnya.

Alena tertawa kecil. "Nggak apa-apa kan, kalau aku lihatin kamu. Salah sendiri kamu cakep...," Alena sengaja menggodanya.

"Harusnya aku yang ngomong begitu," respon Alva sambil memandang Alena dengan lembut.

Alena tersipu. Alva mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Alena.

"Di Berlin nanti, mungkin ada waktunya kita nggak bisa selalu bersama, nggak kayak kita di sekolah. Entah karena kita sibuk sama kuliah kita masing-masing, atau karena kita tinggal terpisah...," Alva mendadak berbicara dengan wajah serius. "Tapi kapan pun kamu butuh aku, bilang aja... Hidup di Berlin mungkin jauh lebih keras, orang-orangnya juga nggak seramah di Jogja. Kamu harus lebih kuat... Aku juga mau kamu tahu, hanya karena kita nggak bersama secara fisik, bukan berarti aku nggak mikirin kamu. Kamu selalu yang paling penting buat aku..."

"Alva..." Alena tidak bisa menyembunyikan rasa harunya mendengar kata-kata Alva. "Aku tahu kok... Aku harus belajar jadi lebih mandiri. Kamu nggak usah kuatir..."

"Aku mau kita saling jaga kepercayaan juga. Kamu pasti bakal ketemu banyak teman baru, dari berbagai negara. Yah.., kamu tahu sendiri, cowok-cowok di luar sana jauh lebih agresif. Lihat aja bule yang gangguin kamu di kolam renang, waktu di Bandung... Aku sebenarnya nggak tenang, karena kamu pasti banyak penggemar...," Alva berkata sambil tersenyum jenaka. 

"Tapi aku percaya sama kamu. Kita saling jaga kesetiaan. Kamu juga harus percaya sama aku, karena aku nggak akan pernah nyakiti kamu...," Alva mengakhiri sambil menatap Alena dengan penuh arti.

Alena sesaat kehilangan kata-kata. Alva memang selalu berpikiran dewasa dan bijak. Dan itu membuat Alena semakin menyayanginya.

"Iya, Alva... Aku percaya sama kamu... Kamu juga pasti banyak penggemar," balas Alena sambil tertawa. "Makanya kita saling setia dan saling percaya. Aku nggak peduli sama yang lainnya, di hati aku cuma ada satu Alva..." Alena menggenggam liontin pemberian Alva dengan tangan satunya lagi.

Alva tersenyum memandangnya, matanya bersinar. Genggaman tangannya semakin erat.

"Dan kunci hatiku cuma kamu yang pegang...," ucap Alva. Mereka saling berpandangan dan tersenyum bahagia.

Related chapters

  • Truly in Love 2   6. Berlin

    Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu b

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   7. Keluarga

    Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   8. Pondok Kayu

    Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   9. Studienkolleg

    Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   10. Universitat der Kunste

    Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   11. Pertemuan

    Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva

    Last Updated : 2021-04-15
  • Truly in Love 2   12. Drama Musikal

    Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m

    Last Updated : 2021-04-27
  • Truly in Love 2   13. Casting

    Hari berikutnya adalah hari casting untuk drama musikal. Casting baru dimulai jam sebelas siang, setelah semua jadwal kuliah berakhir, karena casting akan memakan waktu cukup panjang. Ada sekitar lima puluh tiga orang mahasiswa dari dua jurusan, Teater dan Akting.Casting diadakan di ruangan kelas yang lebih kecil, yang biasanya disebut ruang latihan, karena ruangan ini memang digunakan untuk latihan akting oleh para mahasiswa dari angkatan yang lebih senior. Ada lebih dari sepuluh ruang latihan di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. Semua ruang didesain sama, dengan dipasangi cermin memanjang di ketiga sisinya. Gunanya supaya para pemain bisa melihat gerakan dan akting mereka sendiri. Di luar ruang latihan, ada ruang ganti pakaian untuk pria dan wanita, serta ruang yang berisi loker untuk menyimpan barang-barang.Alena dan teman-temannya menanti giliran dipanggil di lorong panjang, di luar ruang latihan. Alena sudah pernah menjalani seleksi untuk drama

    Last Updated : 2021-04-28

Latest chapter

  • Truly in Love 2   69. Finale (21+)

    Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik

  • Truly in Love 2   68. Menjemput Impian

    Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan

  • Truly in Love 2   67. Carry You Through

    Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b

  • Truly in Love 2   66. Everyday I Love You

    Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m

  • Truly in Love 2   65. Berdamai Dengan Masa Lalu

    Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert

  • Truly in Love 2   64. Moment of Truth

    Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.

  • Truly in Love 2   63. Pulih

    Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya

  • Truly in Love 2   62. Komplotan

    Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya

  • Truly in Love 2   61. Penculikan

    Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu

DMCA.com Protection Status