Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.
Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel. "Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian juga pasti jenuh kan, belajar terus?" usul Om Andre sambil terkekeh.Alena dan Alva menyambut usulnya dengan gembira. Mereka berdua memang belum pernah ke Bandung. Om Andre sudah menyewa mobil dengan bantuan temannya. Jadi mereka bebas pergi ke mana saja dengan mobil itu.Om Andre sepertinya sudah sangat hafal jalanan di Bandung. Ia membawa mereka makan mie kocok. Kemudian berkeliling kota, melewati pusat keramaian, seperti di Jalan Dago dan Cihampelas. Lanjut terus ke arah Lembang, tapi tidak sampai jauh ke atas. Kemudian malamnya, mereka menikmati nasi kalong untuk santap malam. Sepanjang jalan, Alva tidak pernah absen menjepretkan kameranya. Alena tahu, Alva pasti berniat menjual foto hasil karyanya lagi.Malamnya, mereka kembali ke hotel sekitar jam tujuh. Om Andre mengantar mereka sampai di depan kamar. "Sekarang kalian istirahat. Besok Alena jam berapa ujiannya?" tanya Om Andre. "Jam delapan sampai jam dua belas, Om. Habis itu, lanjut lagi jam dua sampai jam tiga," jawab Alena."Oke... Alva mau ikut, atau mau tinggal di hotel?" sambung Om Andre, tapi sepertinya ia hanya mencandai Alva."Ikut dong, Om...," sahut Alva sambil memandang Alena. Om Andre tertawa. "Ya udah... Kalian masuk ke kamar masing-masing. Awas ya...jangan nakal...," ujarnya dengan nada bergurau. "Om mau ke lobby dulu, mau ketemu teman Om." Lalu ia berjalan meninggalkan mereka. Alva menatap Alena. "Gimana perasaan kamu hari ini?""Seru tadi jalan-jalannya...," jawab Alena sambil tersenyum. "Bandung asyik ya, kapan-kapan pingin liburan ke sini lagi.""Besok selesai ujian, kita bisa jalan lagi. Ya udah, sekarang kamu istirahat aja. Besok yang tenang ujiannya, jangan lupa berdoa... Kamu pasti bisa," Alva memberi semangat."Makasih ya…" Alena tersenyum. "Kamu mau ngapain habis ini? Belajar lagi?" katanya setengah bercanda."Aku mau lihat-lihat foto. Kecuali.... kalau kamu mau minta aku temanin di kamar....," kata Alva dengan mata bersinar, ia sengaja menggoda Alena.Wajah Alena langsung memerah. Matanya membelalak. "Ih, apaan sih Alva? Kamu usil banget sekarang..."Alva sengaja berjalan mendekat, ada senyum di wajahnya. Alena buru-buru menghindar, membuka pintu kamarnya, lalu menutup sebagian pintu, hanya menyisakan celah untuk mengintip. Alva berdiri di depan pintu kamar, ia masih tersenyum. Sepertinya perasaan hatinya sedang gembira saat ini."Kamu takut sama aku sekarang?" goda Alva lagi."Alva, kamu usil banget ah... Nanti aku laporin Om Andre lho...," Alena mengomel dari balik pintu. Jantungnya berdebar-debar karena gurauan Alva, biarpun sebenarnya ia yakin, Alva tidak mungkin berbuat tidak sopan."Maaf, Sayang... Aku cuma bercanda...," ucap Alva dengan suara lembut. Alena merasa wajahnya makin merona karena panggilan Sayang itu. Ia membuka pintu kamarnya sedikit lebih lebar. Alva memandangnya dari balik pintu. "Istirahat ya... Gute Nacht, mein Schatz..." Tatapan mata Alva selembut suaranya.Alena tersenyum manis. "Gute Nacht, mein Schatz..."Alva ikut tersenyum. Lalu ia berjalan ke arah kamarnya di sebelah kamar Alena. Alena menutup pintu kamarnya. Ia tersenyum sendiri. Alva selalu bisa membuat hatinya bergetar hanya dengan kata-kata sederhana.
*
Esok paginya, setelah sarapan di hotel, mereka langsung berangkat ke Goethe Institute. Sudah banyak peserta lainnya yang berkumpul di lokasi. Tepat jam delapan, Alena masuk ke ruangan ujian. Om Andre dan Alva akan menunggu di sekitar Goethe Institute.
Alena mengerjakan ujian dengan semangat. Ia sudah mencanangkan target nilainya di semua keterampilan harus di atas 80. Lagipula dia merasa percaya diri, karena sudah banyak belajar dan latihan bersama Alva.Sekitar jam dua belas, Alena keluar dari ruang ujian. Masih ada satu ujian Sprechen atau Speaking lagi setelah ini. Ia mencari Alva dan Om Andre. Mereka sedang menunggu di dekat tempat parkir. Alva membawa kameranya, sepertinya sedang asyik membidik beberapa objek. Ia langsung menoleh, begitu Alena berjalan mendekat."Gimana ujiannya?" tanya Alva, wajahnya terlihat cerah. Alena tersenyum. "Lancar kok, yah...setidaknya aku rasa lancar... Semoga aja hasilnya bagus.""Pasti bagus," komentar Alva, ia menatap dengan lembut. "Ayo kita makan siang dulu."Alena mengangguk. Mereka memanggil Om Andre yang sedang sibuk menelepon, lalu masuk ke dalam mobil. Om Andre membawa mereka makan siang tidak jauh dari situ. Sekitar jam satu, mereka sudah tiba kembali di Goethe Institute. Masih ada waktu satu jam sebelum ujian Sprechen dimulai.Alva menemani Alena berjalan-jalan di sekitar gedung itu. Alena melihat ada beberapa gadis berwajah bule, mungkin sedang mengikuti ujian juga di situ, atau mungkin mereka hanya berkunjung ke perpustakaan. Mereka duduk bergerombol di area taman, dan terus melirik ke arah Alva, saat Alena dan Alva melewati mereka. Mereka juga berbisik-bisik dan tertawa. Alena mulai merasa tidak nyaman, tapi Alva tidak memperhatikan mereka. Ia hanya asyik mencari objek untuk kameranya. "Kamu nggak belajar lagi hari ini?" tanya Alena."Nggak... Mau refreshing aja," jawab Alva dengan santai."Kayaknya kamu santai banget. Emang nggak ada yang susah ya buat kamu...," respon Alena sambil tertawa, sengaja mencandai Alva.Alva memandangnya. "Sejak ada kamu, semuanya jadi terasa gampang kok...," Alva balas menggoda Alena."Apaan sih?" Alena pura-pura kesal. Ia mencubit lengan Alva. Alva langsung menggandeng tangan Alena dengan santai, lalu terus berjalan. Giliran Alena yang merona pipinya."Tadi ada cewek-cewek bule lho, cantik-cantik... Kamu nggak lihat mereka lagi perhatiin kamu?" Alena sengaja menguji reaksi Alva."Oya?" Alva menaikkan alisnya. "Aku cuma lihat satu cewek cantik di sampingku.""Ih, gombal lagi...," Alena menanggapi dengan nada kesal."Tapi sayang, dia kayaknya nggak sadar kalau dia cantik banget, sampai-sampai nggak tahu kalau banyak cowok yang noleh dua kali buat lihatin dia...," sambung Alva sambil terus menatap Alena.Wajah Alena tambah merah. "Alva...," protesnya.Alva tersenyum. "Aku suka lihat wajah kamu kalau lagi merah gitu."Alena memegang pipinya. "Emang kelihatan?" tanyanya dengan polos. Dia mengira Alva tidak akan memperhatikan. Alva masih tersenyum-senyum. Demi melihat senyum Alva, Alena merasa semangatnya bertambah. Alva sepertinya sedang gembira dua hari ini. Dia sering bergurau dan tersenyum."Kamu kayaknya lagi gembira ya... Karena kita bisa ke Bandung?" tanya Alena ingin tahu."Karena kita makin dekat ke tujuan kita. Habis ini, fokus ujian akhir, sama kirim lamaran ke Studienkolleg," sahut Alva, kali ini ia kelihatan serius. "Pasti kamu udah nggak sabar pingin balik ke Berlin ya...," ujar Alena sambil tersenyum."Aku nggak sabar pingin ke Berlin sama kamu...," jawab Alva dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap dengan lembut. Alena tersenyum lagi. Ia teringat pernah mengatakan pada Alva, bahwa impiannya adalah ingin pergi ke Berlin bersama Alva. Dan Alva tidak pernah lupa apa yang dia katakan.Ujian terakhir hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Alena merasa dia tampil lumayan baik di ujian Speaking tadi, sekarang tinggal menunggu hasilnya seminggu lagi. Alena menghampiri mobil Om Andre, yang diparkir di bawah pohon yang teduh. Om Andre dan Alva sudah menunggu di dalam.
"Gimana, Alena?" tanya Om Andre, begitu Alena masuk ke dalam mobil."Lancar, Om...," jawab Alena sambil tersenyum. Alva juga memandangnya dengan wajah cerah."Bagus kalau gitu. Kita keliling sebentar aja ya, habis itu balik ke hotel. Papa Mama kamu bisa ngomel nanti, kalau tahu Om ngajak kalian jalan-jalan terus...," gurau Om Andre sambil tertawa dengan suara keras."Nggak kok, Om. Kan sekalian refreshing...," Alena menyanggah."Besok aja, habis Alva selesai ujian, kita ke Lembang," Om Andre mengusulkan.Mereka berdua menyambut usul itu dengan semangat. Kemudian mobil melaju meninggalkan area parkir Goethe Institute.Mereka kembali ke hotel sekitar jam empat sore. Alva mengajak Alena untuk berenang di kolam renang hotel di lantai dasar. Om Andre lagi-lagi mendapat kunjungan dari temannya di lobby, sehingga Alena dan Alva hanya berdua saja. Alena tidak memakai pakaian renang, ia memakai T-shirt yang agak panjang dan celana legging tiga perempat untuk berenang. Ia menggelung rambutnya ke atas supaya tidak berantakan. Alva juga memakai T-shirt dan celana pendek. Di kolam renang yang besar itu, hanya terdapat beberapa pengunjung lain, ada yang sedang berenang, ada juga yang duduk bersantai di pinggir kolam.
Alva sepertinya sangat suka berenang. Ia sudah dua kali berenang bolak-balik, dari ujung kolam yang satu ke ujung lain. Pantas saja tubuh Alva juga terbentuk dengan bagus, pikir Alena. Alena tiba-tiba merasa wajahnya jadi hangat. Kenapa dia jadi memperhatikan tubuh Alva? Untuk mengalihkan pandangannya, ia berenang ke arah yang berlawanan dengan Alva.Tiba-tiba, ia merasa seperti ada yang mendekatinya. Ia menoleh, di kirinya ada seorang pria bule, berumur kurang lebih tiga puluh tahunan. Dan di kanannya, ada seorang pria Indonesia, sepertinya usianya lebih tua daripada bule itu."Hallo, boleh kenalan?" sapa pria yang lebih tua itu sambil tersenyum. Kedua pria dewasa itu seperti sedang berenang mengelilinginya. Alena gugup, ia berada di tengah kolam, dan Alva masih jauh jaraknya dari dia."What's your name, beauty?" pria bule itu malah lebih frontal lagi dalam bertanya. Ia menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih. "I'm sorry. I'm with my boyfriend...," Alena refleks menjawab. Ia mencoba berenang kembali ke pinggir, tapi mereka berdua terus berputar mengelilinginya."Wow… Relax, sweetheart... Let's have some fun...," sambung si bule lagi, sambil tertawa dengan kurang ajarnya. Pria yang satu lagi juga tertawa.Alena mulai ketakutan, jantungnya berdebar-debar. Kenapa sih mereka ini? Kenapa mengganggu seorang gadis remaja seperti dia, di tempat umum? Lagipula Alena merasa tak ada yang salah dengan penampilannya, ia tidak berpakaian terbuka."I have to go...," kata Alena dengan suara tegas, lalu mencoba berenang menjauh lagi.Si bule berenang menghadang di depan Alena. Jaraknya semakin dekat. Ia masih menyeringai, tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah. Alena menoleh ke belakang. Alva sudah berada di belakang Alena, ia melingkarkan tangannya dengan protektif di pinggang Alena. Wajahnya tampak menatap marah, Alena belum pernah melihat wajah Alva seperti itu. Tapi terus terang, Alena merasa sangat lega. Ia memeluk bahu Alva, dan mendekatkan tubuhnya ke Alva.Kedua pria itu mulai berenang menjauh, mereka masih menoleh satu kali sambil mengucapkan sesuatu, sepertinya omelan. Tapi Alena tidak peduli lagi, ia hanya memandang Alva. Alva masih memasang wajah marahnya, sampai kedua orang itu cukup jauh.
"Hei… Alva...," panggil Alena dengan suara lembut. Alena memegang wajah Alva dengan kedua tangannya sambil tersenyum. "Mereka udah pergi kok...," ia mencoba menenangkan Alva.Alva beralih memandang Alena, tatapannya berubah."Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Alva, suaranya terdengar tegas."Nggak apa-apa..." Alena menggeleng. "Kan ada kamu...," jawab Alena sambil tersenyum.Alva masih menatap, matanya mendadak mulai berbinar. Alena baru sadar kalau wajah dan tubuh mereka sangat dekat, Alva masih memeluk pinggangnya, dan Alena masih memeluk bahu Alva. Wajah Alena mulai jadi hangat lagi, ia secara refleks menarik tangannya dengan cepat.Alva sekilas tersenyum, tapi ia juga perlahan melepaskan pelukannya, dan beralih menggandeng tangan Alena, untuk berenang ke pinggir kolam. Alena merasa wajahnya pasti terlihat memerah, tapi ia sangat tahu sifat Alva. Alva selalu menghargainya, dan itu yang membedakan Alva dengan kedua pria yang mengganggunya tadi.
Mereka naik dan duduk di pinggir kolam. Alena memainkan kakinya di dalam air kolam. Ia melihat kedua pria tadi masih berada di ujung kolam yang berjauhan dari mereka, ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Alva mungkin menyadarinya."Ayo kita naik aja...," ajaknya, sambil menggenggam tangan Alena."Ayo…" Alena merasa aman bersama Alva.Setelah membilas diri, mereka berganti pakaian, lalu berjalan ke arah lobby. Om Andre terlihat di salah satu sudut, masih duduk mengobrol dengan dua orang teman prianya. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Alva mengajak Alena melihat-lihat, di samping hotel itu, ada sebuah toko yang menjual aneka pernak-pernik untuk oleh-oleh."Tadi dua orang cowok itu siapa sih? Kok mereka berani banget gangguin tamu hotel yang lagi berenang? Ini kan tempat umum. Lagi ada orang lain aja, mereka berani kayak gitu. Gimana kalau nggak ada orang lain?" Alena mengomel tentang kejadian di kolam tadi. Ia masih kesal, dan mencurahkan isi hatinya pada Alva.Alva memandang Alena. "Emang ada orang-orang kayak gitu di dunia nyata. Kamu mungkin belum pernah ngalamin aja, karena selama ini, kamu tahunya cuma seputar asrama dan rumah. Jadi kamu cuma tahu yang baik-baik aja...," respon Alva dengan nada santai."Maksud kamu, aku kurang gaul gitu?" Alena memprotes, tapi senyumnya mengembang.Alva juga tersenyum. "Maksud aku, kamu jangan jauh-jauh dari aku, biar aku bisa jaga kamu..." Ia lagi-lagi menggoda Alena dan memasang wajah jenakanya. Alena pura-pura memasang wajah cemberut.Tidak lama kemudian, Om Andre menelepon Alena, dan meminta mereka ke lobby. Om Andre sudah menyelesaikan urusan bisnis dengan temannya, dan sekarang mengajak mereka makan malam di luar. Mereka berkeliling kota, menikmati masakan Sunda sebagai makan malam. Sekitar jam setengah delapan, mereka kembali ke hotel dan beristirahat.*
Besok paginya, giliran Alva yang mengikuti ujian level C1. Alva sebenarnya hanya ikut kursus sampai level B2, selebihnya ia belajar otodidak, tapi ia tetap bersikeras mau mengikuti ujian level C1. Alena tidak meragukan kemampuan Alva. Lagipula, ia sudah menguasai dasar bahasa Jerman sejak kecil.Untuk mengisi waktu, Alena menunggu di perpustakaan Goethe Institute. Ia tertarik dengan aneka koleksi buku di situ. Sedangkan Om Andre lebih memilih berada di mobil, ia sepertinya selalu sibuk menerima telepon dari rekan bisnisnya. Alena meminjam sebuah novel berbahasa Jerman. Ia pun asyik membaca, sampai waktu menunjukkan jam sebelas lebih. Alva mungkin sebentar lagi selesai, sebaiknya ia kembali ke mobil.Ternyata dugaannya benar. Alva terlihat berjalan ke arah mobil. Alena menyusul dari belakang. Alva menoleh."Kamu dari mana, Sayang?" tanya Alva."Aku tadi ke perpustakaan. Bukunya banyak, asyik banget deh... Gimana ujiannya?" Alena balik bertanya."Lancar...," jawab Alva dengan santai.Alena tersenyum, memang sepertinya tidak ada yang sulit bagi Alva. Om Andre sudah menunggu di dalam mobil. Mereka mencari makan siang, lalu kembali lagi ke Goethe Institute untuk ujian terakhir Alva. Cuma lima belas menit mengikuti ujian, Alva sudah kembali lagi ke mobil. Wajahnya terlihat cerah, sehingga Alena merasa tak perlu bertanya lagi. "Oke, siap jalan-jalan ke Lembang?" Om Andre menawarkan. Alena dan Alva langsung mengiyakan dengan gembira. Om Andre memang asyik sekali kalau diajak berwisata. Ia sepertinya tahu banyak jalan pintas, sehingga mereka tak perlu terjebak macet. Tapi karena sudah agak sore, mereka hanya mampir ke satu tempat. Om Andre sengaja mengajak mereka ke galeri seni Imah Seniman, untuk melihat-lihat karya seni. Alva tidak lupa memotret objek-objek yang menarik dengan kameranya. Sedangkan Alena tertarik dengan aneka kerajinan tangan khas Jawa Barat yang dipajang. Setelah puas berkeliling dan berfoto, mereka mencari oleh-oleh. Alena membeli tahu susu Lembang yang sudah menjadi pesanan Mama. Sebelum pulang, mereka makan malam di daerah Lembang, lalu kembali lagi ke hotel.Besoknya, mereka kembali ke Jogja, dengan pesawat jam sepuluh dari Bandung. Papa dan Mama sudah menunggu mereka di bandara. Mereka semua makan siang, dan beristirahat di rumah Alena. Alena dan Alva akan diantar kembali ke asrama sorenya. Sedangkan Om Andre masih menginap semalam di rumah Alena. Alena merasa agak kecewa, karena perjalanan sudah berakhir, mereka harus kembali ke sekolah, bersiap-siap dengan perjuangan berikutnya lagi.Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya."Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu."Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain.Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan
Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu b
Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira
Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu