Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.
Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.
Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang tuanya di bandara Jogja. Alena tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Ia memeluk Mama lama sekali. Mama terus membelai rambutnya untuk menenangkannya, walaupun Mama sendiri juga menangis. Papa juga memeluknya dan membisikkan nasihat di telinganya. Nasihat supaya ia menjaga diri, tekun belajar, dan tentu saja, tidak pernah melupakan Tuhan. Sekarang ia menelepon keluarganya sekitar dua atau tiga kali seminggu, selain karena ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di Berlin, juga karena lebih disibukkan dengan belajar.Seperti hari ini, setelah selesai pelajaran di kelas, Alena dan beberapa temannya belajar di perpustakaan untuk materi yang baru. Mereka harus selalu mempersiapkan diri sebelumnya, kemandirian dan disiplin memang sangat ditonjolkan dalam sistem pendidikan di Jerman."Aku sebenarnya bosan belajar terus kayak gini. Padahal ini lagi musim semi, kan enak banget kalau bisa jalan-jalan. Aku pingin ke klub malam...," celoteh Paula, seorang siswi dari Brazil. Ia memiliki wajah eksotis dan tubuh seksi, khas gadis Brazil. Kebetulan ia juga berniat untuk mendaftar ke Universitat der Kunste jurusan Teater, sama seperti Alena. Mungkin karena kesamaan tujuan itu yang membuat Paula sering mengikuti Alena ke mana-mana. Alena sebenarnya tak bermaksud untuk membeda-bedakan teman, tapi ia hanya merasa sifat Paula sangat berbeda dengannya. Mungkin karena budaya di negara asalnya, Paula sangat bebas dalam berpakaian maupun berbicara. Ia berani memakai pakaian terbuka, secara terang-terangan merayu teman cowok yang sekelas, atau cowok lain yang ditemuinya di mana pun, dan jelas bahwa ia tidak asing dengan kehidupan malam, seperti diskotik atau klub malam.Ia pernah merayu Alva, sebelum akhirnya ia tahu Alva bersama Alena. Tapi Alena menghargai bahwa Paula punya rasa setia kawan yang tinggi, ia tak pernah mengganggu Alva lagi sejak saat itu.
Alena sebenarnya juga bingung kenapa Paula senang bersamanya. Apakah Paula tidak merasa kalau mereka kurang cocok? Paula begitu cuek, blak-blakan, dan tak terlalu peduli sopan santun. Alena seringkali tidak menanggapi, jika temannya itu berkomentar yang kurang pantas. Tapi tetap saja Paula mau berada di dekatnya."Nanti weekend, kamu bisa sepuasnya jalan-jalan. Sekarang kan masih jadwal sekolah," Akiko yang menanggapi. Ia siswi dari Jepang yang berniat mengambil jurusan hukum. Akiko orangnya memang serius dan disiplin, mungkin karena itu, ia agak kesal mendengar kata-kata Paula."Ah, ini baru hari Selasa, kelamaan.. Kalau belajar terus, kepalaku pusing. Lagian, aku nggak ngajak kamu kok...," omel Paula sambil menatap sinis pada Akiko. Akiko hanya mendengus kesal."Aku belum pernah ke Zoologischer Garten. Katanya itu kebun binatang terbesar di Eropa ya?" Erlin mencoba menyarankan. Erlin adalah salah satu siswi dari Indonesia, asalnya dari Jakarta."Atau Grunewald Forest, kita bisa piknik di hutan," sambung Frans. Frans juga siswa dari Indonesia, tepatnya Surabaya. Frans sering bersama-sama Alena dan Alva, waktu Alva masih di Studienkolleg, ia sepertinya senang berteman dengan Alva. Sekarang setelah Alva lulus, Frans jadi sering berteman dengan Alena, tapi Alva sudah tahu dan ia tidak keberatan. Lagipula Frans teman yang baik, dan tidak punya maksud lain pada Alena. Frans bertubuh kurus dan berkacamata. "Buat apa nonton binatang, apalagi piknik? Payah... Emangnya di negara kalian nggak ada?" keluh Paula, ia memang sangat frontal dalam bicara. "Kalian harus coba ke klub KitKat... Di situ keren banget!" ia menyebutkan nama salah satu klub malam di Berlin.Alena belum pernah mendengarnya, ya tentu saja dia juga tak tertarik untuk pergi ke situ. Tidak ada yang menanggapi Paula, mungkin mereka semua juga sama tidak tahunya dengan Alena. Paula sepertinya kesal, karena tidak ada yang merespon, ia memang sebenarnya kurang cocok dengan kelompok ini. Teman-teman Alena kebanyakan serius belajar dan masih polos."Eh, Alena... Kamu bisa ajak Alva ke KitKat juga kalau mau, kalau dia takut kamu macam-macam," Paula beralih bicara dengan Alena saja. Itu yang sering dilakukannya, jika teman-teman lain sudah mendiamkannya. "Kalian bisa nari telanjang berdua!" Paula tertawa dengan suara keras.Alena baru mau menyuruhnya memelankan suara, tapi hampir semua orang di sekitar situ sudah menoleh dan memasang wajah marah."Ssshh….," suara desisan terdengar dari berbagai arah. Mereka memang sedang berada di perpustakaan yang diwajibkan menjaga ketenangan.Paula langsung terlihat cemberut. Tapi ia berpura-pura cuek."Nggak bisa, Paula. Aku nggak suka ke klub," Alena akhirnya menjawab dengan suara pelan. "Kamu udah pacaran, tapi kok masih polos banget sih? Jangan-jangan, kamu juga belum pernah ciuman sama Alva?" Paula sudah mau tertawa lagi, tapi Akiko langsung menegur dengan wajah marah."Sssttt….," desis Akiko sambil melotot. Paula juga melototkan matanya, tapi akhirnya ia memilih diam saja. Alena merasa lega, Paula sudah tidak berceloteh yang macam-macam.Tiba-tiba, Paula berdiri dan berjalan keluar dari perpustakaan, mungkin ia mencari teman lain yang lebih sependapat dengannya. Alena dan teman-temannya hanya saling berpandangan sambil mengangkat bahu. Mereka meneruskan belajar, kali ini tanpa ada gangguan lagi.
Malamnya, Alva menelepon Alena. Ia tidak bisa bertemu dengan Alena hari ini, jadwal kuliah dan kursusnya padat. Jarak dari Universitat der Kunste ke Studienkolleg juga tidak dekat, harus ditempuh dengan naik kereta. Tapi Alena sudah mengerti dan sering mengatakan kepada Alva, bahwa mereka memang tak harus bertemu setiap hari, yang penting tetap menjaga komunikasi. Akhir pekan atau hari liburlah yang menjadi waktu mereka bersama.
"Gimana kuliah hari ini?" Alena memulai bertanya."Tadi ada dosen yang tahu, kalau aku anak Papa. Dia manggil aku habis ngajar, terus dia ngajak aku join proyeknya dia. Belum tahu sih proyek apa, tapi aku bilang asal waktunya sesuai, aku mau ikut...," cerita Alva."Waw… Bagus dong, kamu udah ditawarin proyek dosen. Kayaknya kamu terkenal ya di kampus...," Alena menanggapi sambil tertawa."Kalau terkenal untuk yang baik nggak apa-apa kan...," sahut Alva dengan santai."Ya malah bagus banget, Alva... Kalau kursus kamu gimana?" tanya Alena lagi. "Lagi banyak tugas praktek aja. Makanya aku sering keliling naik sepeda, cari objek yang cocok.""Oh…yang penting nggak ganggu kuliah kamu kan...""Nggak kok, masih santai. Kursusnya tinggal enam bulan lagi, habis itu aku dapat sertifikat, terus bisa mulai kerja freelance," jawab Alva.Alena tersenyum dan mengiyakan. Alva benar-benar ingin cepat bekerja dan mandiri. Sepertinya itu juga sudah menjadi kebiasaan sebagian besar pemuda di Eropa, mereka cenderung sudah mandiri pada usia kuliah."Kalau kamu gimana hari ini?" giliran Alva yang bertanya."Tahu nggak, hari ini ada kejadian lucu. Masa Paula mau ngajak teman-teman ke klub malam? Kamu bisa kebayang kan, wajah Akiko waktu dengar itu..." Alena tertawa mengingat kejadian tadi siang di perpustakaan."Kamu masih sering sama Paula? Kalau aku lihat, kamu nggak nyaman kalau dekat dia...," Alva menanggapi. Alva memang sudah sangat memahami Alena, ia selalu punya penilaian yang tepat. "Aku sih yakin kamu nggak bakal terpengaruh sama dia, tapi hati-hati aja... Kadang kita nggak tahu alasan orang berteman sama kita. Biarpun udah jelas nggak cocok, tapi dia kayaknya tetap ngikutin kamu terus," Alva mengingatkan."Iya…tapi ya mau gimana? Aku nggak mungkin ngomong ke dia, kalau aku nggak nyaman berteman sama dia kan... Biasanya, aku nggak terlalu nanggapin juga, kalau dia udah mulai ngawur. Mungkin dia cuma nggak punya teman lain. Teman-teman lain juga kurang suka sama sikapnya," Alena bercerita panjang lebar. "Kata Erlin, dia kasar dan bawa pengaruh buruk...""Kamu emang selalu baik sama semua orang, kadang terlalu baik...," ucap Alva, suaranya terdengar lembut. "Itu yang buat aku makin sayang kamu..."Alena tertawa kecil, hatinya terasa hangat. "Aku jadi kangen kamu...," katanya dengan nada manja."Aku juga kangen, Sayang... Besok Sabtu kita bisa ketemu," jawab Alva."Iya, Alva..."Mereka masih terus mengobrol selama setengah jam, lalu mereka saling mengucapkan selamat istirahat, dan Alena pun menutup teleponnya.*
Lima bulan kemudian, ujian FSP sudah di depan mata. Bagi Alena yang mengambil G-Kurs untuk masuk ke jurusan teater, ada tiga mata ujian yang harus diikutinya, yaitu Bahasa Jerman, Sejarah, dan mata ujian pilihan Geografi. Alena dan teman-temannya sudah tekun belajar dan mempersiapkan diri dengan baik.
Hari ini hari Jumat, hari terakhir ujian. Alena pulang lebih awal, jam sebelas siang dia sudah tiba di rumah Tante Jenna. Tante Jenna sedang duduk sendiri di kedainya sambil minum kopi. Sekarang sudah memasuki bulan Agustus, di Berlin sedang musim panas. Di tengah hari yang panas seperti ini, jarang ada pembeli yang datang sampai menjelang sore. "Wah, kamu pulang lebih cepat...," sambut Tante Jenna. "Gimana ujiannya?" "Lancar, Tante. Doakan ya, semoga aku lulus...," jawab Alena. "Pasti dong... Akhirnya, udah selesai juga ya Studienkolleg. Setelah ini, kamu mulai kuliah," kata Tante Jenna dengan nada riang.Alena tersenyum. "Iya, Tante... Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan aku di Indonesia, mereka udah kuliah semester dua, bentar lagi naik semester tiga.""Nggak apa-apa...," komentar Tante Jenna sambil membelai rambut panjang Alena. "Kamu anak pintar, pasti kamu juga bisa cepat lulus kuliah dalam tiga tahun. Kalau jurusan musik sama teater, biasanya bisa lebih cepat.""Iya, semoga ya, Tante...""Alva mau datang hari ini?" "Katanya nggak bisa, Tante. Dia juga lagi ujian semester hari ini, sampai sore. Besok baru kami ketemu," jawab Alena."Oh...," ujar Tante Jenna. "Kalau gitu, kamu mau ikut Tante nggak? Kita pergi ke satu tempat yuk...""Ke mana, Tante?" tanya Alena penasaran. Tante Jenna jarang mengajaknya pergi, ia lebih sering menghabiskan waktu di kedai, setahu Alena."Nanti kamu lihat." Tante Jenna tersenyum penuh rahasia.*
Mereka tiba di depan sebuah bangunan bertingkat dua berwarna putih. Tulisan di depan bangunan dalam bahasa Jerman, jika diartikan adalah Klinik Glück, Pusat Rehabilitasi Kanker Untuk Anak. Alena memandang Tante Jenna dengan penuh tanda tanya, seolah meminta penjelasan. Tante Jenna tersenyum, lalu mulai bercerita.
Klinik itu adalah sebuah klinik non-profit, yang merawat anak-anak penderita kanker stadium awal dan penyintas kanker, mereka yang berhasil melawan kanker, tapi masih tetap membutuhkan terapi dan rehabilitasi. Karena sifatnya non-profit, klinik itu banyak mengandalkan bantuan dari para donatur, bahkan banyak staff klinik yang bekerja sukarela. Mungkin itulah sebabnya, klinik seringkali kekurangan tenaga staff, kerja sukarela sepertinya kurang menarik di zaman sekarang. Para pengurus klinik berjuang untuk bertahan dalam kondisi sulit. Tante Jenna berupaya memberikan apa yang bisa dilakukannya, ia menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk menghibur anak-anak. Siang itu, Tante Jenna membawakan kue kering buatannya, yang telah ia bungkus per anak. Ada sekitar tiga puluh anak yang dirawat saat ini. Mereka sepertinya sudah sangat mengenal Tante Jenna, ia disambut dengan gembira, begitu pula oleh para staff klinik. Alena memandang anak-anak itu. Mereka sebagian besar kehilangan rambut di kepala mereka akibat efek kemoterapi. Tapi keceriaan dan semangat hidup terlihat di wajah-wajah polos mereka. Alena merasa terharu dan kagum dengan tindakan Tante Jenna. Selama ini, ia diam-diam membantu, tanpa pernah menggembar-gemborkan bantuannya. Tante Jenna membacakan cerita untuk anak-anak. Alena awalnya merasa bingung apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, ia memilih untuk mengajak mereka menyanyi beberapa lagu anak-anak berbahasa Jerman yang ia tahu. Ternyata sering menonton video musik berbahasa Jerman di internet membawa keuntungan tersendiri bagi Alena. Anak-anak itu merespon dengan gembira, mereka dengan cepat menyukai Alena. Alena dan Tante Jenna terus menghibur mereka dengan cerita dan nyanyian. Anak-anak ikut bertepuk tangan dan bernyanyi bersama, wajah mereka terlihat begitu bersemangat. Pengalaman yang benar-benar baru bagi Alena.*
Sabtu pagi, Alva mengajak Alena berjalan-jalan di pusat kota Berlin. Mereka naik kereta bawah tanah, yang populer dengan sebutan U-Bahn, dari stasiun terdekat dari rumah Tante Jenna, menuju kawasan Alexanderplatz.
Alexanderplatz berupa lapangan dan taman yang luas di tengah kota Berlin. Mereka berdua berjalan kaki dengan santai. Alva asyik memotret dengan kameranya.
Tidak jauh dari situ, terdapat Berliner Dom atau Gereja Katedral Berlin. Gereja berarsitektur indah itu sangat megah di mata Alena. Mereka berdua masuk ke dalam gereja untuk melihat-lihat. Suasana cukup ramai, banyak pengunjung lain. Musim panas memang waktu berkunjung yang sangat populer bagi para turis untuk menikmati kota Berlin.Setelah itu, mereka berjalan bergandengan tangan menyusuri pinggir Sungai Spree. Cuaca hari ini begitu nyaman, tak terlalu panas. Dan hati Alena juga sangat bersemangat hari ini."Kamu juga suka lihat sungai?" tanya Alva tiba-tiba. Mungkin dia melihat wajah Alena yang ceria.Alena tersenyum. "Aku suka objek wisata yang ada airnya... Nggak tahu, suka aja, kayaknya tenang gitu kalau lihat aliran air..."Alva tersenyum mendengarnya. Ah, senyuman itu... Alena bisa puas hanya memandangi senyuman Alva sepanjang hari.Mereka berhenti di tepi sungai yang tidak terlalu ramai, mengamati aliran sungai yang tenang. Alena tak bisa menahan diri, ia harus menceritakan tentang pengalamannya kemarin di Klinik Glück. Alva mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian."Aku kagum sama Tante Jenna...," Alena mengakhiri ceritanya. Matanya berbinar menatap permukaan air sungai yang jernih. Alva memandangnya."Tante Jenna memang baik banget... Aku selama ini malah nggak tahu, kalau dia sering bantu klinik itu," respon Alva. Ia seperti sedang berpikir. "Kamu bilang, klinik itu kekurangan staff?"
"Iya..., kata Tante Jenna, para staff sebagian besar sukarela, mungkin karena itu jumlahnya terbatas.""Aku pernah baca di berita, itu emang jadi masalah di sebagian rumah sakit atau klinik di Berlin. Sebenarnya penyebabnya karena distribusi tenaga kesehatan yang nggak merata, mereka lebih banyak yang bekerja di luar Berlin. Onkel Hanz juga pernah cerita soal ini. Pemerintah harusnya kasih perhatian lebih untuk masalah ini," Alva menjelaskan panjang lebar. Alena memandang Alva sambil tersenyum. Alva memang selalu berpikir dewasa, dan punya penilaian yang kritis terhadap suatu masalah."Kalau kamu mau, kita bisa ke sana, biar kamu bisa lihat sendiri. Anak-anak itu semangat lho, mereka juga senang banget kalau ada yang hibur mereka...," Alena menawarkan dengan riang.Wajah Alva tampak cerah, ia mengangguk setuju.Sore sekitar jam tiga, Alena, Alva, dan Tante Jenna tiba di Klinik Glück. Alena mengatakan kepada Tante Jenna, bahwa Alva juga ingin ikut ke klinik, dan Tante Jenna menyambut dengan gembira. Tante Jenna dan Alena terlebih dulu membuat puding dan kue kering untuk anak-anak, kemudian mereka pun berangkat bersama-sama dengan bus. Alva membawa biolanya.
Kedatangan mereka disambut dengan sukacita oleh anak-anak dan staff klinik. Apalagi ketika Alva memainkan biolanya untuk mengiringi Alena bernyanyi, anak-anak semuanya ikut menyanyi dengan semangat. Suasana menjadi akrab dan ceria. Setelah puas menyanyi, anak-anak itu minta dibacakan cerita oleh Alena dan Tante Jenna. Saat mereka sedang bercerita, Alena melihat Alva meninggalkan ruangan rekreasi itu bersama seorang staff klinik, mereka tampak mengobrol dengan serius. Alena melanjutkan ceritanya, tapi ia penasaran apa yang sedang dilakukan Alva.Mereka menghabiskan waktu sekitar tiga jam di Klinik Glück, kemudian pulang kembali ke rumah Tante Jenna. Tante Jenna bersikeras, Alva harus ikut makan malam dulu di rumah. Mereka bertiga duduk di ruang duduk, yang merangkap ruang makan, di lantai dua rumah Tante Jenna. Tante Jenna hanya memasak ayam bakar madu, tapi mereka semua makan dengan lahap.Setelah selesai makan dan mengobrol sebentar, Alva berpamitan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alena yang mengantarnya sampai ke pintu depan."Hati-hati ya, udah malam...," pesan Alena. Alva menuntun sepedanya. Ia tersenyum."Nggak usah kuatir. Kalau di Berlin, nggak ada istilah udah malam, kotanya hidup 24 jam. Di jalan tetap rame kok...""Iya sih... Tapi aman kan?""Aman…""Oya, tadi waktu kami lagi baca cerita, aku lihat kamu ngobrol sama staff klinik. Terus, kamu jalan keluar. Ke mana?" tanya Alena ingin tahu. "Aku cuma tanya-tanya, apa yang bisa dibantu. Tadi staff itu kenalin aku sama salah satu pengurus yayasan, aku pikir, mungkin Onkel Hanz tahu cara bantu mereka," jawab Alva.Alena tersenyum. Alva selalu bertindak cepat dengan perbuatan nyata, bukan kata-kata. "Semoga ya...," kata Alena penuh harap.Alva mendekat, merangkul pinggang Alena, dan mengecup keningnya dengan lembut. Itu sudah menjadi kebiasaan, setiap kali mereka bertemu atau berpisah. Alena memegang pipi Alva, memberikan belaian lembut dan senyum manisnya. Alva membalas senyumannya. Kemudian Alva naik ke sepedanya, dan mengayuhnya berlalu.Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m
Hari berikutnya adalah hari casting untuk drama musikal. Casting baru dimulai jam sebelas siang, setelah semua jadwal kuliah berakhir, karena casting akan memakan waktu cukup panjang. Ada sekitar lima puluh tiga orang mahasiswa dari dua jurusan, Teater dan Akting.Casting diadakan di ruangan kelas yang lebih kecil, yang biasanya disebut ruang latihan, karena ruangan ini memang digunakan untuk latihan akting oleh para mahasiswa dari angkatan yang lebih senior. Ada lebih dari sepuluh ruang latihan di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. Semua ruang didesain sama, dengan dipasangi cermin memanjang di ketiga sisinya. Gunanya supaya para pemain bisa melihat gerakan dan akting mereka sendiri. Di luar ruang latihan, ada ruang ganti pakaian untuk pria dan wanita, serta ruang yang berisi loker untuk menyimpan barang-barang.Alena dan teman-temannya menanti giliran dipanggil di lorong panjang, di luar ruang latihan. Alena sudah pernah menjalani seleksi untuk drama
Setelah berganti pakaian, Alena berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Alva mengirim chat, bahwa ia menunggu di bangku taman, dekat pintu masuk fakultasnya. Alena melihat Alva sedang duduk sendiri, sambil mendengarkan sesuatu dari ponselnya, headset terpasang di telinganya. Ia tampak serius.Mendadak, Alena merasa sangat merindukan Alva. Kejadian hari ini membuat pikirannya agak kacau. Rasanya ada yang harus dikatakannya secara terus terang pada Alva.Alva langsung berdiri menyambut Alena begitu melihatnya."Pasti udah lama banget ya kamu nunggunya...," sapa Alena, saat mereka sudah berdiri berhadapan.Alva merangkul pinggang Alena dan mengecup keningnya. "Nggak apa-apa, Sayang... Gimana casting-nya?" tanya Alva dengan suara lembut."Hasilnya baru diumumkan besok...," Alena menjawab singkat. "Kita cari tempat buat ngobrol yuk..."Alva memandangnya. Sepertinya Alva sudah mengerti, bahwa ada hal serius yan
Hari Rabu, hasil casting diumumkan oleh Professor Moretti di kelas. Ternyata kelas mereka akan dipisah menjadi dua kelompok, sesuai jurusan. Jurusan Teater dengan pemain mereka masing-masing, begitu pula dengan Jurusan Akting. Mungkin ini karena standard penilaian yang digunakan berbeda antara kedua jurusan.Dari Jurusan Akting, pemeran utama yang terpilih adalah Paula sebagai Putri Odette, dan Henry sebagai Pangeran Siegfried. Sedangkan dari Jurusan Teater, Alena yang akan menjadi Putri Odette, didampingi oleh Matteo sebagai sang pangeran.Matteo adalah seorang pemuda dari Italia. Alena sudah mengenalnya karena mereka sekelas, dan menurut Alena, dia cowok yang baik dan ramah. Matteo langsung menghampiri Alena begitu kelas usai. Ia berkata, ia senang karena akan berpasangan dengan Alena. Mereka semua akan memulai latihan di siang hari, setelah kuliah berakhir."Aku masih nggak percaya Paula bisa jadi Odette... Pasti itu gara-gara dia ngerayu Herr
Mereka berangkat hari Rabu pagi dengan pesawat. Penerbangan ke Nice memakan waktu dua jam lebih. Sampai di bandara, mereka lanjut menaiki trem, sejenis kereta listrik yang berjalan di jalur rel di atas jalan raya. Suasana di kota Nice cukup ramai.Nice adalah kota di pinggir Pantai Mediterania, sudah pasti pemandangannya sangat indah. Tante Jenna memang benar, cuaca di Nice tidak sedingin di Berlin saat musim dingin. Matahari masih bersinar dengan hangatnya. Rasanya seperti musim gugur di Berlin. Alena tak perlu memakai mantel musim dingin, cukup sweater dan syal untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.Alma sudah berusia tiga tahun sekarang, ia makin lincah, dan rasa ingin tahunya sangat besar. Ia duduk dekat Alena dan Alva, terus-menerus berceloteh sepanjang jalan, bertanya dan berkomentar tentang apa pun yang dilihatnya. Alva dengan sabar meladeninya.Mereka tiba di depan sebuah rumah bergaya Italia. Dahulu, Nice memang termasuk daerah Ita
Esok paginya, Tante Clara dan Om Hanz pergi berziarah ke makam ayahnya Om Hanz. Mereka berangkat jam enam pagi, dan meminta tolong Alena untuk menjaga Alma. Alma tadinya masih terlelap di tempat tidur. Tapi mungkin karena mendengar suara mobil di halaman depan, ia pun terbangun dan mulai rewel.Alena mengajaknya ke dapur, membuatkan sereal untuknya. Alma cuma makan beberapa sendok, lalu berlari ke pintu kamar Alva, dan memanggil-manggil kakak tirinya itu."Alma, ayo sini... Kak Alva masih tidur, jangan diganggu...," panggil Alena dengan suara pelan.Ia menaruh mangkok sereal di meja makan, bermaksud untuk menggandeng Alma kembali ke meja makan. Ternyata pintu kamar Alva tak tertutup rapat, Alma langsung mendorong pintu, dan berlari masuk ke dalam kamar itu. Alena mengejar dari belakang. Ia terpaksa melangkah masuk ke kamar Alva juga."Alma... Kak Alva masih..." Alena terdiam, tidak meneruskan kalimatnya.Alva ternyata sudah ban
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu