Libur kenaikan kelas telah berakhir. Kembali ke sekolah berarti kembali ke kesibukan, dan kerja keras dimulai. Alena sangat gembira ketika dia dan Alva bisa tetap sekelas, mereka masuk ke kelas XII C sekarang. Sedangkan Karin dan Lucky berdua masuk ke kelas XII A.
Lucu juga pengaturannya bisa begitu pas, Alena membatin dalam hati. Dia dan Alva tidak lagi duduk bersebelahan, tapi yang penting mereka tetap sekelas.Karin agak memprotes setelah hari pertama masuk sekolah lagi, mereka sedang mengobrol berdua di kamar malam harinya."Ah, nggak seru... Aku nggak bisa pinjam PR kamu lagi, nggak bisa belajar bareng...," keluh Karin."Ya tetap bisa belajar bareng, Rin… Lagian, kamu harusnya senang, karena sekelas sama Lucky," Alena menanggapi."Iya, sih... Kamu juga sama Alva, nggak bisa dipisahin deh...," Karin terkikik. "Kayaknya, guru-guru nggak mau pasangan Alvalena yang paling populer di sekolah ini terpisah." Ia tertawa keras.Alena tersipu. "Apaan sih?" Karin mengambil coklat oleh-oleh dari Alva yang dibagikan Alena untuknya, dan menggigitnya. "Enak banget coklat ini... Betewe, kalau besok kamu udah di Jerman, jangan lupa sama aku ya. Kirimin aku coklat ini aja, aku udah senang banget kok...," canda Karin.Alena tertawa. "Kalau kamu udah putusin belum, mau kuliah di mana?" tanya Alena.Karin seperti berpikir sesaat. "Mama pingin aku coba ke UGM, tapi aku nggak yakin bisa masuk. Saingannya banyak. Makanya, aku juga pingin coba daftar ke Sanata Dharma, sama Atma Jaya.""Jurusannya apa? Kamu bilang masih mikir-mikir antara psikologi, atau sastra Inggris.""Iya, aku emang masih bingung nih... Ah, lihat nanti aja deh, mana yang keterima..." Karin mulai mengambil posisi berbaring di dipannya. "Andai aku juga bisa ke Jerman kayak kamu...," gumamnya sambil menguap dan memejamkan mata. Setelah itu, ia terdiam.Alena tersenyum sendiri. Andai saja Karin tahu, perjuangan dan kerja keras seperti apa yang harus dia dan Alva lalui. Bagian terberatnya bagi Alena, adalah terpisah jauh dengan Papa dan Mama.Kursus Bahasa Jerman juga sudah dimulai lagi. Alena sekarang mengambil kursus intensif tiga kali seminggu, hari Senin, Rabu, dan Jumat. Ia sudah berada di level A2, dan masih harus menyelesaikan dua level lagi, sebelum mengikuti ujian di Goethe Institute. Alva sudah menyelesaikan level B1, dan sekarang melanjutkan ke level B2. Untuk masuk ke Studienkolleg, mereka berusaha untuk mendapatkan sertifikat B2, supaya kemungkinan diterima menjadi lebih besar.
"Tapi kamu bukannya udah nggak ada masalah bahasa di Jerman? Buktinya, kamu bisa ngobrol sama Om Hanz, Tante Jenna, dan orang lain di Jerman dengan lancar...," tanya Alena pada Alva, waktu mereka sedang belajar Bahasa Jerman bersama di perpustakaan."Itu bahasa sehari-hari. Kalau bahasa akademik kan lebih kompleks. Kalau bisa, aku mau coba ujian level C1," jawab Alva. "Tapi kalau kamu, ikut ujian level B2 dulu nggak apa-apa, yang penting bisa masuk ke Studienkolleg. Nanti kalau udah di Jerman, pasti kemampuan bahasa kamu berkembang lagi, karena terbiasa sehari-hari."Alena mengangguk-angguk. Kesehariannya sekarang lebih banyak diisi dengan belajar, terutama belajar bahasa Jerman untuk persiapan ujian masuk Studienkolleg. Karena Alena dan Alva sama-sama mengambil jurusan di bidang seni, jadi ujian masuk Studienkolleg yang akan mereka ikuti hanya ujian Bahasa Jerman. Alena hanya mengambil satu subjek ekstrakurikuler di sekolah, supaya bisa mengatur waktu. Tentu saja, ia tetap memilih ekstrakurikuler teater. Dalam hati, ia sebenarnya rindu ingin bermain siter di ekstrakurikuler gamelan lagi.Alva sepertinya tahu, kalau Alena bosan dengan segala kesibukan dan persiapan mereka. Hari Jumat sore, setelah selesai kursus bahasa Jerman, dia mengajak Alena untuk bermain biola di tempat rahasia mereka, di atas rooftop gedung sekolah lama. Rasanya sudah lama sejak terakhir mereka menginjakkan kaki di tempat ini.Alena membawa biola tua milik Opanya, sedangkan Alva dengan biola milik Papanya. Alena baru menguasai dasar bermain biola, ia hanya bisa bermain beberapa melodi yang bertempo lambat. Tapi Alva tidak pernah bosan mengajarinya.
"Kayaknya aku emang nggak berbakat deh, nggak kayak kamu...," kata Alena sambil tertawa, waktu mereka berlatih berdua di atas rooftop. Ia berkali-kali membuat nada sumbang, dan mengulang permainannya."Jangan menyerah... Aku tahu kamu capek, tapi aku janji, aku pasti temanin kamu terus...," respon Alva sambil memandang Alena dengan lembut. Alena merasa kata-kata Alva tidak hanya ditujukan ke permainan biolanya, tapi ke semua proses yang sedang mereka jalani sekarang. Ia meletakkan biolanya perlahan-lahan, dan menatap Alva. Sesaat ia ragu-ragu. "Alva... Aku terus terang takut... Aku takut kalau kita nggak bisa bersama. Gimana kalau kamu keterima di Studienkolleg, tapi aku nggak? Artinya, aku mesti nunggu enam bulan lagi buat ngulang...," Alena mencurahkan ketakutannya selama ini.Sesaat, mereka berdua terdiam. Alva meletakkan biolanya juga, dan mendekati Alena. Matanya masih menatap dengan lembut."Kalau belum dicoba, kenapa harus takut? Kamu selama ini selalu rajin dan pantang menyerah, kamu juga pandai... Nggak mungkin nggak lulus," Alva berkata dengan suara lirih. "Aku… aku juga nggak tahu, kenapa kepikiran kayak gitu terus. Aku cuma takut, kalau nggak bisa sama-sama kamu..." Alena menundukkan kepalanya."Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Alva, alisnya berkerut. Alena pernah menceritakan mimpi buruknya beberapa bulan yang lalu, mimpi bahwa ia ditinggal Alva ke Jerman, dan Alva tidak kembali lagi padanya. Alena menggeleng. "Nggak..."Alva mengulurkan tangannya dan menggenggam kedua tangan Alena. "Kalau gitu, kenapa mesti takut? Aku pasti selalu sama kamu, aku udah janji kan?"Alena mengangkat kepalanya, dan balas menatap Alva. Alva terlihat begitu tulus padanya. "Kalau kamu capek belajar, bilang aja. Kita bisa istirahat dulu, terus mulai lagi pelan-pelan. Kalau kamu mau berubah pikiran juga nggak apa-apa... Kita bisa kuliah di Jogja aja. Yang pasti, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku nggak akan pernah menyerah untuk bersama kamu...," ucap Alva dengan suara tegas.Alena tertegun, ia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Alva... Bukan gitu... Aku nggak berubah pikiran kok, aku nggak mau menyerah..." Ia menggenggam tangan Alva lebih erat lagi. "Maaf, aku...aku nggak tahu, kenapa berpikir negatif kayak gitu. Aku cuma takut kehilangan kamu...," ujar Alena dengan suara lirih.Alva masih tetap menatap. Perlahan, ia mendekat dan merengkuh Alena dalam pelukannya. Pelukan Alva selalu begitu hangat. Jantung Alena berdebar-debar. Alva membelai rambut Alena dengan penuh kasih sayang."Kamu cuma lagi capek aja... Makanya kamu jadi mikir yang macam-macam. Besok weekend, kita bisa istirahat. Kalau kamu mau, kita bisa jalan-jalan, biar pikiran kita fresh lagi...," hibur Alva. Suaranya begitu dekat di telinga Alena. Alena merasakan kehangatan di hatinya."Iya..., kayaknya ini gara-gara bosan dan capek... Tapi, kamu kayaknya nggak pernah merasa capek ya...," respon Alena sambil tersenyum.
Alva melonggarkan pelukannya, tangannya berpindah merangkul pinggang Alena. Mereka saling berpandangan."Aku pernah bilang kan, aku punya rahasia buat nambah semangat, tiap kali aku merasa capek..."Tatapan mata Alva begitu mesra, Alena merasa terbuai."Kamu rahasianya...," Alva setengah berbisik di dekat telinga Alena.Wajah Alena merona. Jantungnya berdetak makin kencang. Mata Alva berbinar. Alena tahu, itu artinya perasaan Alva sedang bergelora. Alva membelai pipi kanan Alena dengan tangan kirinya, dan mendekatkan wajahnya. Alena melingkarkan tangannya ke leher Alva. Bibir mereka saling bersentuhan. Alva mencium bibir Alena dengan lembut, dengan penuh gelora. Alva merengkuh Alena makin erat dalam pelukannya. Alena menyerah, ia tidak bisa menolak perasaan sayangnya pada Alva. Pelukan dan ciuman mereka begitu hangat, mungkin juga karena mereka telah saling memendam rindu sekian lama.Alena merasa ia seperti akan melayang saking bahagianya. Alva mencium bibir Alena sekali lagi, begitu hangat dan lembut. Kemudian ia melepaskan bibir Alena, dan beralih mencium pipi Alena, terus turun, mengecup dan membelai leher Alena di dekat telinga. Alena bisa merasakan hembusan nafas Alva di telinganya, jantungnya berdetak tidak karuan. Alva masih terus menciumi leher Alena, menikmati kulit yang halus dan sensitif itu. Mendadak ia mengangkat wajahnya, lalu menatap Alena. Alena bisa melihat gairah di mata Alva, tapi ia selalu menahan dirinya. Alva membelai pipi Alena lagi, lalu merangkul Alena dengan lembut ke dalam dekapannya. Mereka saling berpelukan, mencoba menenangkan detak jantung dan nafas mereka masing-masing yang saling berpacu. Alena menyandarkan kepalanya di dada Alva. Ia tahu, Alva tak bermaksud untuk bersikap tidak sopan, mereka hanya terbuai oleh hasrat sesaat."Aku sayang kamu, Alena...," ucap Alva dengan suara lirih. Ia membelai lembut rambut Alena."Aku juga sayang kamu, Alva..."Sepertinya romantisme mereka di atas rooftop memang sangat manjur. Alena merasa jauh lebih bersemangat lagi. Ia teringat kata-kata Alva, bahwa Alva tidak akan pernah menyerah untuk bisa bersama dirinya. Kalau begitu, Alena juga tidak boleh membiarkan dirinya kalah dengan rasa takut atau rasa lelahnya. Ia harus berjuang pula untuk bisa bersama Alva. Ia giat mencari contoh soal ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute dan ujian masuk Studienkolleg melalui internet, lalu membahas dan mengerjakannya bersama Alva. Ia juga belajar bahasa Jerman melalui video-video tutorial di internet. Alva selalu menjadi rujukannya jika mengalami kesulitan. Alva juga sering mengajaknya berlatih bicara bahasa Jerman.
Di sekolah, siswa kelas XII makin sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional. Mereka sering mendapat latihan soal dan tugas. Alena, Alva, Karin, dan Lucky belajar bersama di perpustakaan, setidaknya seminggu sekali untuk menyelesaikan tugas. Sebulan sekali, sekolah juga mengadakan try out untuk membiasakan para siswa dalam menghadapi ujian akhir.Alena tidak pernah mengeluh lagi, walaupun ia merasa jenuh. Biasanya ia akan mengajak Alva berjalan-jalan, dan Alva sudah tahu maksudnya. Alva akan memboncengnya berkeliling melihat-lihat suasana kota Bantul, kadang bisa lebih jauh jika waktunya memungkinkan. Malioboro masih menjadi tempat favorit mereka.Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel."Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian
Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya."Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu."Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain.Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan
Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu b
Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira
Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu