Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.
Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu belajar mandiri, mencari dan mempelajari materi, bahkan sebelum materi disampaikan di kelas. Alva, yang sudah mengetahui sistem belajar ini, selalu membimbing dan mengingatkan Alena. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan, jika ada waktu. Tapi Alva juga mempunyai kesibukan tambahan. Sesuai rencananya, ia mengambil kursus fotografi untuk memperdalam keahliannya. Niatnya benar-benar kuat untuk bisa mandiri. Walaupun jadwal kursusnya fleksibel, dan lebih banyak secara online, tapi waktunya bersama Alena jadi terbatas. Selesai kelas Studienkolleg, Alva langsung melanjutkan kursus sampai sore. Setelah jam enam sore, barulah Alva punya waktu luang. Mungkin itulah sebabnya dari awal, Alva sudah mengatakan kepada Alena, bahwa mereka mungkin tidak selalu bisa bersama di Berlin. Tapi Alena tidak keberatan, ia selalu mendukung Alva. Mereka juga selalu menjaga komunikasi lewat telepon. Alena tinggal di rumah Tante Jenna, sejak awal ia tiba di Berlin. Tante Jenna sangat ramah dan baik padanya, dan mereka dengan cepat menjadi akrab. Tante Jenna berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, berkacamata, dan rambutnya dipotong pendek. Menurut Alena, ia sangat cantik dan cerdas. Ia pandai membuat roti dan kue yang enak. Kedai roti kecil yang dibukanya di depan rumah memang hanya sederhana, tapi tidak pernah sepi pelanggan. Alena belajar banyak dari Tante Jenna, membuat kue dan roti, termasuk melayani pembeli di kedainya.Sore itu, Alena baru pulang dari Studienkolleg. Ia selalu naik bus untuk pulang dan pergi. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit naik bus dari rumah Tante Jenna ke Studienkolleg. Jadwal bus sangat tepat waktu, dan mudah untuk diikuti, bahkan bagi Alena yang masih asing di Berlin.Sedangkan Alva biasanya naik sepeda untuk pulang pergi, kecuali jika ia sedang diantar oleh Om Hanz dengan mobilnya. Jarak dari rumah Alva ke Studienkolleg hanya sekitar lima belas menit jika naik sepeda.
Tante Jenna sedang duduk di konter kedai rotinya, sepertinya ia sedang membaca buku. Kacamatanya bertengger di atas hidungnya. Ia mengangkat wajahnya, ketika Alena melangkah masuk. Kedai sedang sepi saat ini."Guten Tag, Tante Jenna...," sapa Alena dengan riang, tentu saja dalam bahasa Jerman.Tante Jenna tersenyum. "Kamu baru pulang, Alena?""Aku ke perpustakaan dulu, Tante, pinjam beberapa buku buat pelajaran minggu depan," jawab Alena, sambil melepaskan mantel warna coklat khaki pemberian Alva yang dipakainya. Saat ini sudah akhir bulan November, suhu udara mulai dingin di Berlin, dan kadang-kadang bisa mencapai di bawah sepuluh derajat Celsius. "Ini kan Jumat, besok weekend. Jangan belajar terus. Pergilah jalan-jalan sama Alva...," Tante Jenna seperti mengomel, tapi Alena tahu maksudnya. Alena tertawa. "Iya, Tante... Tapi aku juga harus belajar, supaya bisa lulus FSP..." FSP, atau Feststellungsprüfung, adalah ujian akhir Studienkolleg, yang menentukan apakah mereka bisa masuk ke universitas yang mereka pilih."Itu kan masih lama, masih tahun depan. Kamu dan Alva pasti lulus. Nikmati aja waktu libur kalian...," celoteh Tante Jenna, sambil menggamit tangan Alena untuk duduk di kursi di sampingnya. Alena tersenyum, itu berarti ada yang mau Tante Jenna bicarakan dengannya."Kamu udah tiga bulan di sini, gimana rasanya? Tante harap kamu betah...," tanya Tante Jenna, sambil membelai rambut Alena dengan lembut, seperti dengan anaknya sendiri."Betah dong, Tante... Tante Jenna baik banget sama aku, aku merasa kayak di rumah sendiri. Studienkolleg juga asyik, biarpun awal-awal rasanya berat, karena belum terbiasa sama sistemnya. Tapi makin ke sini, aku makin enjoy kok...," jawab Alena dengan ceria. "Gimana dengan orang tua Alva? Maksud Tante, Tante Clara sama Onkel Hanz?" Tante Jenna bertanya, sambil memandang Alena dari atas kacamata bacanya.Alena teringat waktu dijemput di bandara, saat Alena dan Alva tiba di Berlin untuk pertama kalinya. Tante Clara dan Om Hanz yang menjemput. Tante Clara, yang sempat tidak ramah waktu pertama kali bertemu Alena di Magelang, seperti berubah 180 derajat. Ia memeluk Alena dengan hangat, menanyakan kabar Papa dan Mama, dan terus mengajak mengobrol sepanjang perjalanan ke rumah mereka. Di rumah Om Hanz, Alena juga disambut dengan hidangan yang sudah disiapkan, bahkan Alena ditawari untuk menginap. Tapi Alena merasa tidak pantas jika menginap serumah dengan Alva, jadi ia langsung diantar ke rumah Tante Jenna di hari yang sama. Om Hanz juga sama ramahnya.Dan selama libur akhir pekan, Alena sudah berkali-kali diajak Alva untuk berkunjung ke rumahnya. Biasanya, mereka semua akan pergi ke tempat wisata yang masih baru bagi Alena, atau sekedar berkumpul di rumah, bermain dengan Alma. Alma sudah berusia dua tahun dan sangat lincah. Ia sudah akrab dengan Alena, memanggilnya dengan sebutan Schwester, atau kakak perempuan dalam bahasa Jerman.
"Tante Clara sama Onkel Hanz juga baik banget sama aku, Tante... Aku udah sering main ke rumah mereka," jawab Alena."Baguslah kalau gitu. Tante senang. Alva udah kembali kayak dulu lagi, dia udah bahagia sekarang...," respon Tante Jenna sambil tersenyum. Ia menarik nafas panjang. "Kamu tahu nggak? Tante hampir berencana untuk adopsi Alva, waktu Papanya meninggal."Alena agak terkejut, mungkin karena ia belum pernah mendengarnya dari siapapun. Ia diam, menunggu Tante Jenna melanjutkan ceritanya."Clara waktu itu kelihatan rapuh banget, Tante takut dia nggak sanggup membesarkan Alva. Tante sampai memohon sama dia, supaya jangan bawa Alva kembali ke Indonesia. Tante udah sayang sama Alva, seperti anak Tante sendiri. Tapi dia tetap keras kepala. Tante cuma takut, kalau mereka kembali ke Indonesia, semua hubungan kami bisa putus...," Tante Jenna mulai bercerita, matanya menerawang seperti sedang mengenang sesuatu."Tante sempat ribut sama dia gara-gara itu. Ketakutan Tante terbukti memang... Clara depresi setelah balik ke Indonesia, dan Tante kesulitan hubungi mereka bertahun-tahun. Sampai akhirnya, Hanz bawa Clara pulang lagi setelah sekian tahun, tanpa Alva. Tante ribut lagi sama Clara, gara-gara dia nikah lagi sama Hanz, dan yang paling buruknya, mereka nggak bawa Alva balik ke Berlin... Yah...hubungan kami memang bisa dibilang nggak mulus. Kalau bukan karena Alva udah balik lagi, mungkin sampai sekarang pun, Tante masih nggak akur sama Clara. Makanya Tante nggak mau ke rumah mereka, kalau nggak ada hal yang penting...," Tante Jenna bercerita panjang lebar. "Tante cuma cerita ini sama kamu, jangan kasih tahu Alva ya..." Ia memegang tangan Alena. "Tante dekat sama Alva sejak dia masih bayi, tapi sama Clara, kita memang kurang akur. Bahkan Tante sempat menyalahkan Clara atas kematian Josef, Papa Alva..."Alena tersentak mendengarnya, tapi ia berusaha menyembunyikannya. Belum pernah ada yang menceritakan kepadanya penyebab wafatnya Papanya Alva. Tante Jenna mungkin melihat kebingungan di mata Alena. Ia melanjutkan ceritanya. "Josef meninggal karena kecelakaan mobil. Hari itu, hari pentas Alva di sekolah. Dia dari dulu jago bermain biola, persis kayak Josef. Tapi Josef memang sering sibuk, apalagi dia jadi dosen di Universitat der Kunste. Dia sering nggak bisa datang kalau Alva pentas di sekolah. Yah... Tante sebenarnya bisa mengerti kesibukan dia, tapi Clara memaksanya harus datang hari itu. Tante ada di situ, menonton pentas, dan Clara terus-menerus telepon Josef. Mereka seperti bertengkar di telepon. Clara bilang Josef harus datang, dia selalu nggak punya waktu buat Alva, Alva bisa kecewa sama Papanya, dan seterusnya... Pokoknya Clara marah-marah. Akhirnya Josef mengalah, dia bilang dia segera datang. Tapi...itulah terakhir kali kami mendengar suaranya..." Tante Jenna terisak. Alena merangkul bahu Tante Jenna untuk menenangkan. Alena merasa matanya juga sudah mulai berkaca-kaca. "Tante menyalahkan Clara, karena dia yang paksa Josef datang. Josef mungkin menyetir terburu-buru gara-gara dia. Clara juga menyalahkan dirinya sendiri. Itu yang buat dia jadi depresi... Tapi...semuanya udah takdir Tuhan... Nggak ada yang bisa mengubah masa lalu...," Tante Jenna terbata-bata. Ia menarik nafas panjang, berupaya menenangkan dirinya sendiri."Jangan salah paham ya, Alena... Tante udah nggak menyalahkan Clara lagi, Tante udah lupakan semua kejadian yang dulu... Yang penting, Alva udah pulang, dan sekarang dia bahagia... Tante bisa lihat itu..."Tante Jenna menatap Alena. Mendadak, raut wajahnya yang tadinya sedih berubah, ia tersenyum. "Dia sangat memuja kamu, itu yang dia bilang ke Tante..."
Alena merasa hatinya begitu hangat mendengar kata-kata Tante Jenna. Wajahnya merona. Tante Jenna balas merangkul bahu Alena. "Dan Tante bisa mengerti kenapa... Tante pun gampang banget akrab sama kamu, sayang sama kamu... Kamu gadis yang baik. Alva udah memilih yang terbaik menurut Tante."Wajah Alena semakin memerah. "Tante Jenna...," bisiknya pelan sambil menunduk malu.Tante Jenna tertawa, mereka saling berangkulan.Mereka masih terus mengobrol dengan akrab, sampai suara lonceng di atas pintu kedai berbunyi. Ada yang datang. Alena melongok melewati konter tempat mereka duduk. Dua orang pemuda Jerman masuk, mereka seperti melihat-lihat juga ke arah konter. Alena sudah melihat mereka datang beberapa kali, mereka biasanya memesan roti dan kopi, lalu nongkrong lama di kedai yang tidak terlalu luas itu. Sepertinya mereka mahasiswa. Alena sebenarnya agak enggan melayani mereka, karena mereka menunjukkan tanda-tanda ingin menarik perhatiannya. Ia bukan tipe cewek yang mudah besar kepala, tapi ia bisa merasakan kalau ada yang tertarik padanya.Tante Jenna juga melihat mereka, lalu ia berbisik pada Alena. "Sejak kamu di sini, mereka hampir tiap hari ke sini lho... Tante untung kalau gitu..." Tante Jenna tertawa tertahan, ia bercanda tentu saja. "Kamu ganti baju dulu aja di atas, biar Tante yang ladeni mereka."Alena mengangguk, lalu ia naik lewat tangga di belakang konter kaca itu. Rumah Tante Jenna terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk kedai roti dan dapurnya, sedangkan lantai dua adalah tempat mereka tinggal. Walaupun mungil, rumah itu sangat nyaman. Tante Jenna punya jiwa seni yang tinggi, sehingga rumahnya tertata dengan apik. Di lantai dua ada dua buah kamar tidur, sebuah dapur kecil, kamar mandi, dan ruang duduk. Ruang duduk itu biasanya hanya untuk mereka berdua atau jika ada keluarga yang datang, selebihnya Tante Jenna lebih sering menjamu tamunya di kedai.Alena mengganti kemejanya dengan sweater wol putih berkerah turtle neck, hadiah dari Alva. Ia sudah menyiapkan banyak pakaian hangat yang lain sejak sampai di Berlin, tapi hadiah Alva tetap jadi pakaian favoritnya. Ia melirik arlojinya, sudah hampir jam empat. Alva mungkin datang sebentar lagi. Sudah kebiasaan Alva selama ini untuk datang ke rumah Tante Jenna di hari Jumat sore. Kursus fotografinya biasanya selesai lebih awal di hari Jumat. Alena memakai topi beret wol berwarna merah untuk menghangatkan kepalanya, lalu ia turun ke kedai roti.Kedua pemuda tadi masih di kedai, mereka sedang duduk menikmati roti dan kopi hangat. Ada satu orang pembeli lain, seorang wanita, sedang memilih roti. Tante Jenna sedang mengobrol dengan wanita itu. Begitu Alena sudah berada di depan konter, salah satu pemuda itu langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Alena, bahwa mereka mau menambah pesanan. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin, ia tidak mungkin mengabaikan pembeli. Alena memakai celemek warna merah bata yang merupakan seragam di kedai itu, lalu membawa teko kopi, berjalan menghampiri mereka."Guten Tag, kann ich ihnen helfen?" sapanya dengan ramah dalam bahasa Jerman, yang artinya: Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?Kedua pemuda itu memandang Alena sambil tersenyum. "Aku mau tambah kopi," balas pemuda yang satunya, yang lebih tinggi dan berbadan besar.Alena mengangguk, dan menuangkan kopi ke dalam mug yang setengah penuh.
"Nama kamu Alena kan?" tanya pemuda yang satu lagi. Ia berbadan kurus, wajahnya pucat kemerahan. Mereka memang sudah pernah menanyakan nama Alena sebelumnya."Iya…," jawab Alena. "Ada lagi yang mau ditambah?" tanyanya dengan sopan."Alena, kamu kuliah?" sambung pemuda yang pertama tadi. Seingat Alena, ia pernah menyebutkan namanya, jika tidak salah Egon."Aku baru masuk Studienkolleg...," jawab Alena."Oh…dari mana asalmu?" tanya Egon lagi."Indonesia.""Oh, wow... Jauh banget. Tapi kata Tante Jenna, kamu keponakannya."Alena tersenyum mendengarnya, Tante Jenna memang selalu mengakui Alena sebagai keponakannya ke semua orang. "Tante Jenna anggap aku sebagai keponakannya."Kedua pemuda itu saling berpandangan."Kamu masih baru di Berlin. Gimana, kamu betah di sini?" giliran pemuda kedua yang bertanya. Namanya tertulis di topi bobble-nya, Hendrich, jika itu memang namanya."Betah… Di sini nyaman banget," sahut Alena lagi. Ia merasa selama kedua pemuda itu bertanya dengan sopan, ia akan meladeni. Tapi ia juga mulai mencari alasan untuk kembali ke konter."Bahasa Jerman kamu udah fasih, bagus...," puji Egon. Ia tersenyum menatap Alena. "Kalau kamu butuh teman buat keliling kota Berlin, silakan bilang aja. Kami bisa temanin."Alena tersenyum. "Terima kasih, tapi aku udah ada yang temanin..."Tepat pada saat itu, lonceng di atas pintu kedai berbunyi lagi. Alena menoleh. Alva melangkah masuk. Ia berhenti sejenak, memandang Alena dan kedua pemuda itu. Lalu ia tersenyum, dan memilih duduk di kursi di dekat pintu. Mungkin dia tidak mau mengganggu Alena yang sedang melayani pelanggan.Alena membalas senyuman Alva. Lalu ia menoleh pada kedua pemuda itu. "Maaf, permisi ya..."Alena meninggalkan mereka, dan berjalan menghampiri Alva. Alva tampak gagah dengan mantel berwarna biru tua dan sweater abu-abu. Padahal mereka bertemu tiap hari di Studienkolleg, tapi kenapa Alena sudah merindukannya? Alva terus menatapnya."Ada yang bisa saya bantu, Herr Hoffman?" Alena sengaja menggoda Alva. Herr artinya Tuan, dan Hoffman adalah nama belakang sekaligus nama keluarga Alva. Mata Alva bersinar. "Tolong bilang sama Tante Jenna, aku mau culik asistennya untuk kencan malam ini...," gurau Alva dengan suara lembut. Alena tertawa riang. Ia senang mendengar Alva akan mengajaknya kencan."Sebentar ya, Herr Hoffman. Kamu mau minum dulu nggak? Biar hangat. Aku ambilkan coklat ya..."Alena kembali ke konter, dan menuangkan coklat hangat ke dalam segelas mug. Ia sudah tahu kesukaan Alva di saat cuaca dingin, ia tidak suka kopi, apalagi minuman beralkohol. Alena kembali lagi ke meja Alva. Kedua pemuda tadi sepertinya memperhatikan Alena berjalan mondar-mandir."Ini, minum dulu...," ujar Alena, sambil meletakkan mug di depan Alva. Alva memegang mug itu dengan kedua tangannya. Tapi matanya memandang ke depan."Ada pelanggan kamu yang cemberut lho, kalau kamu layanin aku...," goda Alva sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia meneguk coklatnya. Alena tersenyum, ia tahu maksud Alva."Biar aja... Aku punya tamu istimewa yang lebih penting," jawab Alena.Pada saat itu, wanita yang tadi membeli roti berjalan keluar kedai, ia sudah selesai dengan pesanannya. Tante Jenna langsung menghampiri Alva, tangannya terbuka lebar untuk memeluknya. Alva berdiri sambil tersenyum."Hallo ponakanku sayang..."Mereka berpelukan dengan akrab. Tante Jenna lebih pendek, ia setinggi telinga Alva."Tante…apa kabar?""Baik, Alva. Lebih baik lagi karena kamu datang," kata Tante Jenna sambil tersenyum lebar. Ia kini beralih merangkul Alena."Kalian pasti mau jalan-jalan kan? Pergilah, biar Tante yang jaga."Alena dan Alva berpandangan sambil tersenyum. Alena berjalan ke konter untuk menyimpan celemek dan mengambil mantelnya. Lalu kembali lagi ke samping Tante Jenna."Makasih ya Tante... Kami pergi dulu," Alena berpamitan sambil memeluk Tante Jenna."Hati-hati, Sayang..."Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira
Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus."Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri."Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan. Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat
Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan.Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva
Di kampus, Alena berusaha tidak mempedulikan gangguan kecil seperti Luis dan Paula. Luis hanya mengajar di kelas Seni Akting sekali lagi, selanjutnya diteruskan oleh dosen yang seharusnya, Professor Moretti.Alena dan Jill juga sudah sepakat, setiap kali kelas Seni Akting, mereka akan menunggu agak jauh di luar kelas, sampai Paula masuk lebih dulu. Kemudian sesaat sebelum dosen masuk, barulah mereka berdua masuk ke ruangan kelas, sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula. Rencana mereka berhasil sejauh ini. Alena dan Jill tertawa berdua, mereka merasa seperti partner in crime dalam hal menjauhi Paula.Hari ini, kelas Seni Akting mengadakan kunjungan ke International Acting Academy, sebuah akademi yang mengkhususkan diri melatih akting para mahasiswanya, untuk mempersiapkan mereka menjadi aktor atau aktris. Kelas mereka akan mengikuti kuliah langsung dari para pengajar di akademi itu. Pihak kampus telah menyediakan dua buah bus besar untuk kelas m
Hari berikutnya adalah hari casting untuk drama musikal. Casting baru dimulai jam sebelas siang, setelah semua jadwal kuliah berakhir, karena casting akan memakan waktu cukup panjang. Ada sekitar lima puluh tiga orang mahasiswa dari dua jurusan, Teater dan Akting.Casting diadakan di ruangan kelas yang lebih kecil, yang biasanya disebut ruang latihan, karena ruangan ini memang digunakan untuk latihan akting oleh para mahasiswa dari angkatan yang lebih senior. Ada lebih dari sepuluh ruang latihan di gedung Fakultas Seni Pertunjukan. Semua ruang didesain sama, dengan dipasangi cermin memanjang di ketiga sisinya. Gunanya supaya para pemain bisa melihat gerakan dan akting mereka sendiri. Di luar ruang latihan, ada ruang ganti pakaian untuk pria dan wanita, serta ruang yang berisi loker untuk menyimpan barang-barang.Alena dan teman-temannya menanti giliran dipanggil di lorong panjang, di luar ruang latihan. Alena sudah pernah menjalani seleksi untuk drama
Setelah berganti pakaian, Alena berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Alva mengirim chat, bahwa ia menunggu di bangku taman, dekat pintu masuk fakultasnya. Alena melihat Alva sedang duduk sendiri, sambil mendengarkan sesuatu dari ponselnya, headset terpasang di telinganya. Ia tampak serius.Mendadak, Alena merasa sangat merindukan Alva. Kejadian hari ini membuat pikirannya agak kacau. Rasanya ada yang harus dikatakannya secara terus terang pada Alva.Alva langsung berdiri menyambut Alena begitu melihatnya."Pasti udah lama banget ya kamu nunggunya...," sapa Alena, saat mereka sudah berdiri berhadapan.Alva merangkul pinggang Alena dan mengecup keningnya. "Nggak apa-apa, Sayang... Gimana casting-nya?" tanya Alva dengan suara lembut."Hasilnya baru diumumkan besok...," Alena menjawab singkat. "Kita cari tempat buat ngobrol yuk..."Alva memandangnya. Sepertinya Alva sudah mengerti, bahwa ada hal serius yan
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu