Alena berjalan menyusuri pinggir pantai Parangtritis, pasir putihnya terasa lembut di kaki. Debur ombak yang menghempas bibir pantai membentuk harmoni suara yang menenangkan. Sudah seminggu berlalu sejak ia mengantar Alva ke bandara hari itu. Dan selama tujuh hari itu juga, Alena seperti tersiksa oleh rasa rindu yang mengacau-balaukan hatinya.
Apa sih sebenarnya rindu itu? Dan kenapa bisa membuat seseorang jadi tak berdaya dengan perasaannya seperti ini? Tapi Alena tak bisa membohongi dirinya sendiri, ataupun memaksa dirinya untuk melupakan Alva bahkan sedetik saja. Wajah Alva, senyumnya, tatapan bola mata coklatnya, suaranya... Semuanya seperti membayang-bayangi Alena, ke mana pun ia pergi.Alena baru sadar ada yang mendekati dari belakang. Ia menoleh. "Kamu ngelamun aja...""Kak Evan..."Ya, kakak lelaki satu-satunya itu sedang pulang ke Jogja. Kakaknya sudah dua tahun kuliah di Australia, tepatnya di kota Sydney. Alena dan Kak Evan terpaut usia tiga tahun. Tapi mereka selalu sangat dekat. Ketika Kak Evan akhirnya memutuskan untuk kuliah di Sydney, Alena merasa ia seperti kehilangan sahabat terbaiknya. Namun bersekolah di SMA Scientia, dan tinggal di asrama, telah memberinya teman dan pengalaman baru, yang membantunya menjadi lebih mandiri dan kuat, untuk tidak selalu tergantung pada orang lain.Sampai Alena bertemu Alva di tahun keduanya di SMA. Dan sekarang, Alva seperti menggoyahkan kemandiriannya selama ini. Ia merasa tak sanggup berpisah dengan Alva.
"Kamu mikirin apa sih? Dari tadi diam aja...," kata Kak Evan, membuyarkan lamunannya."Nggak kok, Kak..." Alena hanya tersenyum."Nanti juga ketemu kok, cuma seminggu lagi..." Kak Evan seperti membaca kegelisahannya.Alena tersipu malu."Sayang Kakak nggak bisa ketemu Alva, cuma lihat foto sama videonya aja...," sambung Kak Evan sambil memandang Alena. "Dia keren, jago main biola. Kalau dengar cerita Papa Mama, dia juga sopan, anak yang baik...""Alva emang baik, Kak...," respon Alena, seolah ingin membela.Kak Evan tertawa. "Iya, iya..."Mereka berdua terus berjalan menyusuri pinggir pantai, menikmati sore yang hangat itu."Kayaknya, kamu berubah sejak dekat sama Alva...," lanjut Kak Evan."Berubah gimana, Kak?""Yaah... Kamu jadi lebih dewasa, lebih semangat... Itu perubahan yang bagus sih, menurut Kakak. Artinya, kamu bahagia. Dia bisa kasih pengaruh yang baik..."Alena memandang Kak Evan. Apakah membuatnya rindu setengah mati juga termasuk pengaruh yang baik? Kalau iya, kenapa rasanya sangat menyiksa saat jauh dari Alva?"Lena kangen Alva, Kak... Kangen banget...," curhat Alena dengan suara lirih.Kak Evan tertawa lagi. "Justru dengan begitu, kamu jadi tahu, kalau kamu benar-benar sayang sama dia.""Bukan cuma sayang, tapi juga nggak bisa jauh... Apa emang begini rasanya?" Alena seperti bertanya pada dirinya sendiri."Jadi itu yang buat kamu putuskan mau kuliah ke Jerman kan? Biar bisa sama Alva terus?"Alena terdiam mendengar pertanyaan Kak Evan. Ia teringat janjinya pada Tante Clara. Tapi sebenarnya, semua itu memang dia lakukan, supaya dia dan Alva bisa selalu bersama.Alena mengangguk. "Apa Lena salah, Kak? Ninggalin Papa Mama demi Alva?" ia menanyakan hal yang sering menjadi dilema dalam pikirannya.Kak Evan tersenyum memandangnya. "Itu yang dilakukan orang kalau udah dewasa kan? Kadang, kita harus ninggalin orang yang kita sayangi, demi ngejar impian kita... Kakak juga gitu," kata Kak Evan, sambil merangkul bahu Alena. "Tapi, kita cuma ninggalin Papa Mama secara fisik. Kita masih selalu sayang sama mereka, dan selalu bisa ketemu lagi..."Alena tersenyum. Kak Evan selalu jadi tempat curhat favoritnya, selain Mama tentunya."Kak Evan juga berubah, jadi lebih bijak...," goda Alena. "Jangan-jangan, Kakak juga udah dekat sama seseorang ya?" Alena menyenggol Kak Evan untuk menggodanya.Kak Evan terkekeh. "Belum, Lena... Kalau udah ada, kamu pasti tahu.""Kenapa, Kak? Belum ketemu yang cocok?" "Yaah, mungkin bisa dibilang begitu... Kakak masih fokus kuliah."Alena memandang Kak Evan. Kakaknya yang tampan, pintar, bijak, dewasa, dan penyayang. Sepertinya, secara tidak sadar, dia juga memilih sosok yang menyerupai kakaknya sebagai kekasihnya.Sejak hari pertama berada di Berlin, Alva tak pernah absen memberi kabar pada Alena, entah itu menelepon, video call, atau sekedar mengirim chat. Alva menceritakan segala kegiatannya di kota kelahirannya itu. Untuk pertama kalinya, ia bisa berziarah lagi ke makam Papanya, setelah meninggalkan Berlin enam tahun yang lalu.
Untuk pertama kalinya juga, ia berkunjung ke rumah Om Hanz, yang sekarang telah menjadi ayah tirinya. Artinya, rumah itu juga telah menjadi rumah baru baginya. Tante Clara dan Om Hanz menyambutnya dengan gembira dan penuh haru.Alma, adik tiri Alva, juga sudah berusia satu tahun. Alena melihatnya lewat foto yang dikirim Alva, juga waktu mereka sedang video call. Gadis cilik itu sangat cantik dan menggemaskan. Melihat Alva menggendong Alma dengan penuh kasih sayang menimbulkan rasa hangat di hati Alena, dan menunjukkan sisi lain dari Alva, yang membuat wajah Alena merona tiap kali memikirkannya. Alva bisa menjadi sosok seorang kakak, sekaligus ayah yang baik.Ah, kenapa dia berpikir sejauh itu? Mereka baru saja naik ke kelas XII. Masih panjang perjalanan yang harus mereka lalui. Lebih baik, Alena menjalaninya selangkah demi selangkah bersama Alva, dan mensyukuri setiap kenangan indah yang telah mereka miliki bersama sampai saat ini.
Malam itu, sekitar jam sembilan, Alva menelepon lagi. Beda waktu antara Berlin dengan Jogja sekitar lima jam, di Berlin masih jam empat sore.
"Gimana liburan kamu hari ini?" tanya Alva."Hari ini, aku sama Kak Evan ke Parangtritis. Kalau kamu?""Om Hanz tadi ngajak aku survey Studienkolleg lagi, sama beberapa universitas."Sepertinya jadwal Alva di Berlin sangat padat. Ini sudah ketiga kalinya dia melakukan survey ke Studienkolleg dan universitas di Berlin, untuk mencari tempat kuliah yang cocok bagi mereka berdua."Terus, kamu udah ketemu yang cocok?" tanya Alena ingin tahu."Ada beberapa... Tapi aku mau putuskan bareng kamu," jawab Alva.Alena tersenyum. "Aku percaya kok sama pilihan kamu...""Tapi kamu tetap harus lihat juga, nanti aku bawain brosur sama fotonya." Alva sepertinya tetap mau menunggu sampai mereka berdiskusi dulu, baru memutuskan pilihan."Ya udah... Kalau gitu, kamu cepat pulang dong...," timpal Alena sambil tertawa menggoda Alva.Sejenak, Alva diam tidak menjawab."Aku kangen banget sama kamu...," tiba-tiba Alva berkata dengan suara lembut, mencurahkan isi hatinya yang sama dengan Alena.Hati Alena terasa hangat mendengarnya. Ia tersenyum. "Aku juga kangen... Kepikiran kamu terus..." Secara refleks, Alena menggenggam liontin bentuk hati pemberian Alva, yang selalu dikenakannya di lehernya. Itu sudah jadi kebiasaannya tiap kali ia merindukan Alva."Maaf ya, aku bikin kamu kangen...," Alva balik menggoda. Alena tertawa, ia menggigit bibir bawahnya. Mendengar Alva bercanda seperti itu membuatnya gemas, ia bisa membayangkan wajah dan cara Alva menatapnya, jika sedang ingin menggodanya."Buat temanin kamu malam ini, aku kirimin lagu ya...," sambung Alva.Wajah Alena merona, Alva pasti memainkan lagu yang romantis untuknya. "Lagu apa?" "Kamu pasti suka." Alva sengaja membuatnya penasaran."Kamu itu... Ya udah, besok telepon lagi ya...""Pasti. Gute Nacht, mein Schatz..."Alena tersipu lagi. Alva mengucapkan "selamat malam sayangku" dalam bahasa Jerman."Gute Nacht, mein Schatz..." balas Alena dengan suara manja.Beberapa detik kemudian, file musik dari Alva masuk di ponsel Alena. Alena langsung mengunduh dan memainkannya. Lagu yang dikenal Alena, walaupun sudah lama ia tak mendengarnya lagi. Somewhere Somehow, dari grup musik Wet Wet Wet. Alva memainkan biolanya dengan sangat indah. Alena masih ingat setiap liriknya:
If you're there and you care
And you listen very careful, darlingYou'll hear my prayerAnd if you hear, loud and clearYou will get a million kisses from meSomewhere, somehowAnd if the night's a lonely time for youJust listen to the words I gave to youLet the song of ours play one more timeSomewhere, somehowI'll be thereWent out walking in the morning
Standing in the pouring rainLet it run over meStayed up way late last nightTrying to put all things rightLet the tears roll over meAnd if the night's a lonely time for youJust listen to the words I gave to youLet the song of ours play one more timeSomewhere somehowI'll be thereIf you're there, and you care
You will get a million kisses from meSomewhere, somehowAnd if you feel like I feelLove cuts the deepest part of meSomewhere, somehowAnd if the night's a lonely time for youJust listen to the words I gave to youLet the song of ours play one more timeSomewhere, somehowI'll be thereAlena tersenyum bahagia. Alva bermaksud mengobati rasa kangennya dengan lagu ini. Tapi makin ia mendengarkan alunan biola Alva, ia justru makin merindukan sosok Alva. Alena memutar musik itu berulang-ulang, sampai akhirnya tertidur lelap.
*
Hari Minggu, Kak Evan sudah kembali ke Sydney. Alena merasa bertambah kesepian, walaupun di rumah ada Papa dan Mama yang menemaninya.
Alena teringat kata-kata Kak Evan di bandara, sebelum masuk ke pintu keberangkatan."Hargai setiap kebersamaan kamu dengan Alva... Memang butuh perjuangan, supaya bisa bersama orang yang kita sayangi," Kak Evan memberikan nasihat untuk Alena, sambil membelai rambutnya.Alena terharu. Entah kapan dia bisa bertemu kakaknya lagi. Tahun depan, mereka mungkin akan terpisah jarak semakin jauh, antara Berlin dan Sydney.Hari Kamis menjadi hari yang paling dinanti-nanti Alena, karena Alva akan pulang kembali padanya. Alva sudah berangkat dari Berlin sejak Rabu pagi, dan akan tiba di Jogja hari Kamis, sekitar jam tiga sore. Penerbangan dari Berlin ke Jogja memang memakan waktu lumayan panjang, lebih dari 24 jam. Alena terus-menerus menghubungi Alva saat dia sedang transit, untuk menanyakan kabarnya. Rasanya Alena sudah tak sabar ingin segera berangkat menjemput Alva."Kamu takut aku hilang ya?" Alva menggodanya, ketika Alena menelepon lagi.Pesawat Alva sedang transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Setelah itu, pesawat akan langsung membawa Alva ke Jakarta, dan terakhir ke Jogja. Saat ini, sudah hampir tengah malam di Jogja.Alena tertawa. "Aku takut kamu lupa pulang...""Coba kamu pejamkan mata dan tidur... Besok, aku pasti udah sampai di Jogja," sambung Alva lagi."Aku nggak bisa tidur... Kamu lagi apa?""Ini lagi jalan-jalan d
Libur kenaikan kelas telah berakhir. Kembali ke sekolah berarti kembali ke kesibukan, dan kerja keras dimulai. Alena sangat gembira ketika dia dan Alva bisa tetap sekelas, mereka masuk ke kelas XII C sekarang. Sedangkan Karin dan Lucky berdua masuk ke kelas XII A.Lucu juga pengaturannya bisa begitu pas, Alena membatin dalam hati. Dia dan Alva tidak lagi duduk bersebelahan, tapi yang penting mereka tetap sekelas.Karin agak memprotes setelah hari pertama masuk sekolah lagi, mereka sedang mengobrol berdua di kamar malam harinya."Ah, nggak seru... Aku nggak bisa pinjam PR kamu lagi, nggak bisa belajar bareng...," keluh Karin."Ya tetap bisa belajar bareng, Rin… Lagian, kamu harusnya senang, karena sekelas sama Lucky," Alena menanggapi."Iya, sih... Kamu juga sama Alva, nggak bisa dipisahin deh...," Karin terkikik. "Kayaknya, guru-guru nggak mau pasangan Alvalena yang paling populer di sekolah ini terpisah."
Enam bulan kemudian, setelah melalui ujian sekolah semester pertama, tiba saatnya bagi Alena dan Alva untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute. Mereka memilih mengikuti ujian di Goethe Institute di Bandung. Kebetulan Om Andre mau mengantar dan menemani mereka selama di Bandung. Om Andre memang memiliki jadwal kerja yang jauh lebih fleksibel daripada Papa dan Mama. Ia langsung menawarkan diri, begitu tahu rencana Alena dan Alva.Mereka bertiga berangkat dengan pesawat pada hari Minggu pagi. Ujian level B2 akan diadakan pada hari Senin untuk Alena, dan ujian level C1 untuk Alva pada hari Selasa. Jadi, mereka sudah meminta izin khusus dari sekolah selama tiga hari.Sampai di Bandung, mereka menginap di hotel, yang tidak terlalu jauh dari lokasi Goethe Institute. Om Andre sudah sering ke Bandung, ia langsung mengajak mereka untuk jalan-jalan mencari makan, begitu sampai di hotel."Ayo, mumpung masih siang, kita jalan-jalan dulu. Kalian
Hari Kamis, satu hari setelah mereka pulang dari Bandung, bertepatan dengan satu tahun sejak Alva meminta Alena menjadi kekasihnya. Alena tidak yakin, apakah Alva ingat atau tidak, tapi ia tetap ingin menghabiskan waktu hari ini hanya bersama Alva.Selesai pelajaran sekolah, ia mengajak Alva bertemu di rooftop. Setelah mandi dan makan siang, mereka berdua naik ke rooftop. Alva membawa biolanya."Kamu mau latihan buat komunitas musik klasik?" tanya Alena, begitu mereka sudah berada di tempat rahasia mereka berdua itu."Aku mau kamu dengerin satu lagu ini," jawab Alva, sambil memegang biolanya pada posisi siap bermain.Alena merasa jantungnya berdebar-debar, apakah Alva ingat?Alva mulai memainkan biolanya. Sebuah lagu oldies yang juga menjadi favorit Alena. When I See You Smile, dari grup musik Bad English. Lagu yang bermakna sangat indah. Tidak seperti biasanya, Alva memainkan lagu tidak dengan mata setengah terpejam, melainkan
Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua.Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu b
Alena dan Alva berjalan bergandengan tangan, menuju taman umum dekat rumah Tante Jenna. Ini adalah salah satu tempat favorit mereka berdua. Taman ini sangat luas, ada danau buatan yang cukup besar di tengahnya, dengan jembatan kayu melengkung di atasnya, menghubungkan kedua sisi danau. Bangku-bangku dari batu tersebar di seluruh taman.Alena ingat waktu ia pertama kali datang ke taman ini, pepohonan rindang berdaun kekuningan memberi keceriaan bagi yang ingin menikmati suasana taman. Tapi saat ini sudah akhir musim gugur, bahkan cuacanya cenderung masuk ke musim dingin. Pohon-pohon sudah meranggas semuanya, menyisakan ranting-ranting kering, memberikan kesan sunyi dan sendu."Kalau musim dingin, gimana ya kondisi di sini? Salju semua?" tanya Alena ingin tahu. Ia belum pernah merasakan musim dingin di Berlin."Biasanya hujan dulu. Setelah hujan makin sering, baru turun salju. Setidaknya itu yang aku ingat. Tapi sekarang, cuaca mulai susah diperkira
Hari Minggu pagi, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Tante Jenna dengan menaiki sepedanya. Sepeda memang alat transportasi yang sangat umum di Berlin. Selain ramah lingkungan, jalur sepeda juga dibuat khusus, sehingga bersepeda sangatlah aman dan nyaman di kota ini.Alva mengajak Alena untuk berziarah ke makam Papanya. Alena meminjam sepeda Tante Jenna, lalu mereka berdua bersepeda dengan santai menyusuri jalan. Mereka masing-masing menyandang ransel, berisi perlengkapan pakaian hangat. Seperti kata Alva, cuaca menjelang musim dingin seperti sekarang ini tak bisa diprediksi, lebih baik berjaga-jaga. Pagi ini suhunya tidak terlalu dingin, sehingga mereka tidak memakai mantel, hanya jaket yang agak tebal.Hampir sebulan sekali, Alva mengajak Alena berziarah ke makam Papanya, ini sudah ketiga kalinya bagi Alena. Pemakaman itu terletak di perbatasan kota, sekitar tiga puluh menit naik sepeda. Jalan yang tidak ramai dan cuaca yang sejuk membuat perjalana
Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara.Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang t
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu