Bab 99Melati tertegun, entah apa yang ada dalam pikiran Edwin, namun ketika suaminya menyebut nama wanita tersebut, matanya melebar sempurna dengan tubuh seperti kaku. Melati yang mengerti raut wajah suaminya itu berubah pun, segera mengambil alih Giandra dan menyerahkannya kepada pengasuhnya."Siapa dia, Mas?" tanya Melati seakan tidak sabar ingin mengetahui siapa wanita yang di hadapannya itu. Dulu suaminya pernah berkata sakit hati saat ditinggalkan seseorang yang telah pergi, dan pikiriannya langsung mengarah ke sana."Michy, ke marilah, Nak. Ayo makan malam bersama dengan kami," ajak Candra. "Oh ya, kapan kamu kembali dari Korea?" Pria tua itu tidak mungkin melupakan siapa Michy bagi cucunya. Beberapa tahun yang lalu, Michy dan Edwin sempat berhubungan cukup lama. Michy juga adalah cinta pertama cucunya. Namun setelah tiga tahun menjalin hubungan, wanita itu memilih meninggalkan negaranya untuk tinggal di Korea sambil melanjutkan studi designnya di sana. Siapa yang menyang
Bab 1Edwin hanya bisa diam dan menurut saat empat laki-laki itu menyeretnya. Edwin merasa tubuhnya lemas tak bertenaga pun dia merasa jika tubuhya seolah melayang. Kakinya serasa tidak berpijak pada tanah."Tolong berhenti," ujar Edwin lirih, tetapi tak dihiraukan oleh empat orang lelaki itu. "Diam dan jangan banyak bicara!" bentak salah seorang dari mereka. Edwin yang mendengarnya terdiam. Ya, untuk saat ini dirinya lebih baik diam daripada tubuhnya dihajar habis-habisan oleh mereka. Dalam hati, Edwin berdecak. Tak tahukah mereka jika saat ini dirinya sangat lelah? Dia baru saja pulang dari perjalanan jauh, malah dibawa entah ke mana.Edwin mengerutkan keningnya bingung, kala empat pria tadi membawanya menuju sebuah rumah yang dibagian depannya tampak mewah sekaligus ramai, seperti tengah ada sebuah pesta. Edwin ditarik paksa hingga sampai di atas pelaminan. Di sana, seorang gadis duduk dengan wajah ditekuk. Dia masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga saat tak senga
Bab 2Edwin menghela nafas panjang karena memang tadi siang dia tak berdaya. Pantas saja tenaganya kalah jauh jika dibandingkan dengan empat orang itu, hingga untuk mengelak pun tak bisa. Suasana di dalam kamar terasa canggung dan sedikit awkward bagi Edwin, tapi Melati terlihat begitu santai.Melati sendiri asyik memainkan ponsel miliknya. Lalu Edwin pun melakukan hal yang sama. Mengambil benda miliknya dan memberi kabar pada keluarganya di kota tentang keadaanya.Dua anak manusia berbeda jenis kelamin yang baru saja resmi menjadi sepasang suami-istri itu tidak memiliki niatan sedikitpun untuk memulai pembicaraan. Edwin pun tidak terlalu menganggap pusing hal itu. Dia lebih nyaman meski hanya ada keheningan seperti ini, karena dirinya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka keramaian. Sementara itu, Melati yang merasa sedikit kegerahan pun bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang setelah sekilas memperhatikan Edwin yang seperti orang sibuk.Melati menyingka
Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dari tidurnya, tepatnya saat mendengar suara adzan subuh berkumandang dari mesjid terdekat. Dia segera membersihkan dirinya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamar itu, lalu keluar setelahnya dan mencari sajadah, yang tidak dia temukan meskipun sudah melihat ke berbagai arah. Bahkan melirik ke tempat tidur yang ada Melati di sana, dan masih terlelap. Edwin ingin segera pergi dari tempat itu, yang terasa sangat memuakkan baginya. Tempat yang membuatnya seakan menjadi seorang tawanan karena tak bisa melakukan apa-apa, demi keselamatan sang ibu yang menjadi taruhannya.Edwin membuka pintu kamar untuk memastikan. Entah kenapa dia yakin kalau penjaga di rumah itu sudah pergi. Bukankah tak mungkin mereka akan berdiam diri di sana semalam. Konyol. Meskipun ternyata dugaannya salah. Kedua lelaki yang semalam mengancamnya itu masih tampak segar berdiri sambil memainkan ponsel, saat Edwin menatapnya dengan tatapan geram."Hari masih terlalu pagi untukm
4Erwin kembali duduk di sofa sambil memikirkan banyak hal. Dia yakin mertua lelakinya itu tak sepenuhnya menerima dirinya, buktinya sampai berani mengancam segala.Edwin berpikir, mungkin saja lelaki itu sengaja menahannya karena ada sesuatu hal yang dia takutkan, hanya saja saat ini Edwin tidak tahu hal apa itu. Dan dia pastikan akan mencari tahu jawabannya nanti. Jika pun dirinya memaksa pergi dan melawan mereka, tentu saja itu akan beresiko besar. Lalu dia bisa apa jika sang ibu menjadi taruhannya. Edwin juga terlanjur berada di rumah itu meskipun ternyata dia menemukan banyak kejutan dan hal-hal yang janggal dari keluarga itu."Bersiaplah karena kita akan segera pergi dari sini." Edwin bersuara pada akhirnya. Merasa tidak punya pilihan lain. Dia berdiri sambil membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon, membiarkan Melati yang langsung menoleh, dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan."Kau berubah pikiran," tebak Melati. Edwin mengacuhkannya begitu saja, membiarkan wanita i
5Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela. Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka
6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit