4
Erwin kembali duduk di sofa sambil memikirkan banyak hal. Dia yakin mertua lelakinya itu tak sepenuhnya menerima dirinya, buktinya sampai berani mengancam segala.Edwin berpikir, mungkin saja lelaki itu sengaja menahannya karena ada sesuatu hal yang dia takutkan, hanya saja saat ini Edwin tidak tahu hal apa itu. Dan dia pastikan akan mencari tahu jawabannya nanti. Jika pun dirinya memaksa pergi dan melawan mereka, tentu saja itu akan beresiko besar. Lalu dia bisa apa jika sang ibu menjadi taruhannya. Edwin juga terlanjur berada di rumah itu meskipun ternyata dia menemukan banyak kejutan dan hal-hal yang janggal dari keluarga itu."Bersiaplah karena kita akan segera pergi dari sini." Edwin bersuara pada akhirnya. Merasa tidak punya pilihan lain. Dia berdiri sambil membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon, membiarkan Melati yang langsung menoleh, dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan."Kau berubah pikiran," tebak Melati. Edwin mengacuhkannya begitu saja, membiarkan wanita itu dengan pemikirannya sendiri.Bukan tanpa maksud dia melakukan hal seperti itu, hanya saja dia menyayangkan jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada ibunya. Apalagi setelah kepergian ayahnya tiga tahun yang lalu dalam perjalanan menuju ke desa itu, hanya sang ibu yang yang dirinya punya kini, meski tentu saja ada kakek dan kerabatnya yang lain. Dan Edwin hanya tak ingin terjadi sesuatu pada ibunya. Lagi pula Edwin sudah mengucapkan ijab kabul meskipun sebenarnya itu tidak sah, namun dia janji akan mencari tahu lebih lanjut kehidupan Melati dan keluarganya. Selain bisa mencari titik terang, dia juga tak tidak mau dirugikan oleh Melati dan keluarganya. Jika wanita itu tahu kalau dirinya bukan orang sembarangan dan meninggalkan Melati begitu saja, Edwin sedikit takut kalau Melati dan ayahnya bisa saja berulah. Hanya dengan menyebarkan video pernikahan mereka saja, Edwin bukan hanya bisa kehilangan proyek ratusan juta sampai milyaran, dia juga akan kehilangan rasa hormat dari sesama pebisnis kalangan atas, hingga usaha yang dirintis oleh keluarganya terdahulu bisa saja hancur. Maka setelah itu terjadi, yang diuntungkan tentu saja Melati dan ayahnya yang keras itu.Lagipula Edwin harus mencari tahu siapa pemilik benih yang kini tumbuh di rahim wanita yang mempunyai nama seperti bunga putih kecil yang harum, namun ternyata telah ternoda itu. Melati."Heh, ternyata hanya segitu saja nyalimu," sindirnya sambil merapikan tempat tidur yang tak terlalu berantakan. Sedangkan Edwin berdiri memperhatikannya."Jangan sok tahu jika kamu tidak tahu apa-apa. Semua itu bukan hanya karena ibuku. Setidaknya ada alasan lain yang memang tak seharusnya kamu ketahui. Lagipula awalnya aku memang tulus padamu. Kupikir kamu wanita suci yang di kirimkan Tuhan untukku. Tapi ternyata apa yang ku dapat? Zonk!"Melati yang melipat selimut langsung menghentikan aksinya dan terdiam. Mata Lelaki itu menyipit sekilas, saat tak sengaja melihat wajah Melati yang sembab, seperti habis menangis semalaman."Apapun katamu," jawab Melati singkat sambil berlalu meninggalkan selimut yang teronggok begitu saja di bawah tempat tidur, dalam tatapan serius Edwin. Sebelum akhirnya pergi menuju ke kamar mandi dan membanting pintunya kasar hingga menimbulkan suara keras.Edwin menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang erat besi pembatas di depannya yang tingginya hanya sebatas perutnya. Rahangnya mengeras dengan wajah yang terasa kaku. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada yang berani mengusik ataupun bertingkat kurang ajar padanya. Melati sia*an!Jika perempuan lain, pasti dengan mudahnya akan terpesona dan luluh dengan pesona Edwin. Maka lain halnya dengan Melati, satu-satunya wanita yang tidak peduli padanya. Bahkan wanita itu tak segan-segan berkata ketus tanpa mau menghargainya sedikitpun."Seharusnya dia berterima kasih padaku, karena tidak membuatnya malu di hari pernikahannya kemarin. Meskipunaku yakin akan ada banyak kejutan yang ku dapati setelah keluar dari rumah ini," batin Edwin bermonolog. Diusapnya wajahnya yang terasa kaku. Dari kemarin hingga pagi ini, hidupnya dipenuhi dengan masalah yang datang tiba-tiba hingga membuat emosinya sulit untuk dikontrol."Aku sudah siap," ujar Melati sambil mendekat ke arah Edwin. Lelaki itu masih dalam lamunannya ketika dia berbalik dan melihat penampilan Melati yang terlalu seksi."Ya ampun, dasar wanita murahan! Tak bisakah kau berpakaian dengan baik? Cepat ganti bajumu dengan yang lebih tertutup. Atau kalau tidak, sebaiknya kau bujuk ayahmu agar tak memaksaku untuk membawamu!" Edwin berpaling cepat, merasa matanya ternoda karena ulah wanita itu."Kau! Arghh … dasar pria sial*n!" Melati menghentak-hentakkan kakinya karena kesal lalu membuka lemari baju dengan asal dan menarik gaun panjang dengan kasar hingga baju yang lainnya ikut jatuh.*****"Gimana, Mel, apakah suamimu jadi mengajakmu pergi pagi ini?" Wanita berdaster pendek dengan rambut sebahu itu mencium pipi anaknya lembut. Edwin yang berdiri di belakangnya memperhatikan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Wanita itu adalah ibunya Melati yang kemarin berpenampilan tampak cantik dengan sanggul yang menghiasi kepalanya."Tentu saja, Ma, Edwin sekarang sudah menjadi suamiku dan kemanapun dia pergi, dia harus membawaku, bukan?Lagi pula kami sudah merencanakan banyak hal kedepannya," tukas Melati cepat, sedikit melirik pada Edwin yang menatap dingin."Kamu memang pintar, Melati, tak heran banyak lelaki yang menyukaimu, bahkan sampai menanam saham di perutmu," gurau wanita itu yang langsung membuat wajah Melati merah padam.Edwin yang mendengar pembicaraan itu langsung melengos meninggalkan mereka menuju ruang tamu dan duduk di sana, sambil memperhatikan banyak pesan yang masuk ke ponselnya sambil mendial nomor seseorang.'Benar-benar keluarga yang aneh,' gumamnya tanpa sadar. Lalu setelah panggilan tersambung, dia pun segera berbicara kepada seseorang di seberang sana"Cari tahu keluarga Melati dan Gunadi yang ada di desa tempat ibuku tinggal. Satu hal lagi, cepat jemput aku sekarang juga!" titahnya sambil menutup sambungan tanpa mau mendengar sepatah kata pun balasan dari sana. Edwin lalu mengirimkan lokasi tempatnya sekarang lewat smartphone miliknya.****"Kalian akan pergi sekarang juga? Mama pasti akan merindukanmu, Melati."Melati mengangguk."Ya, makin cepat makin baik, bukan.""Kamu benar, Mel. Setidaknya kamu sedikit aman jika tak berada di tempat ini.""Tak ada tempat yang benar-benar aman untukku di dunia ini," sangkal Melati sambil menatap Edwin sekilas.Dan rasanya melati tidak sabar untuk pergi dari tempat yang selama ini mengekang hidupnya bak seorang tahanan, yang membiarkan dirinya berkeliaran, namun dengan leher terjerat tali panjang, yang seolah harus pulang jika pemiliknya memerintah"Kau benar, bagi sebagian orang hidup itu seperti neraka." Wanita itu mengecup pipi kiri dan kanan anaknya, membiarkan Edwin yang berdiri menunggu di halaman rumah, yang memperhatikan orang-orang Gunadi yang baru saja tiba.Sedan berwarna hitam berhenti di halaman. Melati berdiri di tempatnya dan sedikit memuji kala seorang lelaki mempersilahkan Edwin masuk, dengan gerakan hormat. Dia menduga jika Edwin mungkin saja seorang manajer sebuah perusahaan atau karyawan biasa, dia tak peduli sedikitpun."Kamu hanya akan berdiri di sana? Atau mungkin berubah pikiran dan berat meninggalkan ibumu?""Kau pria yang tidak sabaran," cela Melati. Edwin menatapnya dingin saat Melati duduk di sampingnya."Dan kau adalah wanita yang tidak tahu malu," desis Edwin tanpa beban. Melati membuang muka, merasa geram dengan mulut tajam lelaki itu. Bahkan entah sudah berapa kali, dia mendengar kata itu sejak semalam.Sementara Gunadi menatap kepergiannya dari kaca di lantai dua dengan tatapan tajam.Keduanya terlibat perang dingin, hingga akhirnya sampai di tempat Ernawati yang sudah menunggu di halaman.Edwin segera turun, tanpa Melati di sampingnya. Sebelumnya dia memperingatkan wanita itu agar tidak usah sok akrab dengan wanita pelindungnya. Bahkan Melati mendesis sinis kala sikap Edwin pada ibunya berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan pada dirinya.'Dasar pria aneh!'5Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela. Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka
6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep