Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dari tidurnya, tepatnya saat mendengar suara adzan subuh berkumandang dari mesjid terdekat.
Dia segera membersihkan dirinya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamar itu, lalu keluar setelahnya dan mencari sajadah, yang tidak dia temukan meskipun sudah melihat ke berbagai arah. Bahkan melirik ke tempat tidur yang ada Melati di sana, dan masih terlelap.Edwin ingin segera pergi dari tempat itu, yang terasa sangat memuakkan baginya. Tempat yang membuatnya seakan menjadi seorang tawanan karena tak bisa melakukan apa-apa, demi keselamatan sang ibu yang menjadi taruhannya.Edwin membuka pintu kamar untuk memastikan. Entah kenapa dia yakin kalau penjaga di rumah itu sudah pergi. Bukankah tak mungkin mereka akan berdiam diri di sana semalam. Konyol. Meskipun ternyata dugaannya salah. Kedua lelaki yang semalam mengancamnya itu masih tampak segar berdiri sambil memainkan ponsel, saat Edwin menatapnya dengan tatapan geram."Hari masih terlalu pagi untukmu pergi dari sini." Salah satu dari dua orang lelaki itu memindai penampilan Edwin yang tampak santai dengan kaos polo yang dikenakannya saat ini, kemudian menarik sudut bibirnya. Entah karena apa Edwin pun tidak mengerti, namun dari raut wajahnya seakan-akan mereka tengah meledek dirinya dan itu membuatnya tidak senang.Di perusahaan miliknya, ratusan orang karyawan bahkan membungkuk hormat saat dirinya lewat tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Tapi di rumah ini, seakan semuanya tidak berarti. Hanya karena menikahi seorang Melati, dirinya bagai seorang tahanan yang terjebak dalam satu ruangan dimana ada wanita asing bersamanya.Dan jika wanita itu masih suci, mungkin Edwin akan menerima meski terpaksa karena dirinya telah mengucapkan ijab kabul, yang artinya wanitanya sudah resmi dan halal menjadi istrinya. Tapi kini, kenyataannya jauh berbanding terbalik. Dimana dia dipaksa menikahi wanita yang bahkan dia tak tahu kalau ada seorang janin tengah tumbuh dalam kandungannya."Pagi-pagi sekali kamu sudah bangun!" Edwin menoleh ke samping di mana Gunadi berdiri di sana masih dengan pakaian tidurnya. Lelaki berbadan tinggi dengan kumis tebal itu tampak tengah memelintir kumisnya dan menatapnya dengan tatapan yang aneh dan sulit diartikan."Bukankah tugasku sudah selesai, setelah kalian mengurungku semalaman di sini? Maka biarkan aku pergi sekarang," balasnya dingin. Makin lama uratnya makin menegang menatap Gunadi.Lagipula Edwin tak mungkin begitu saja melupakan kelakuan lelaki itu padanya kemarin. Bahkan Gunadi sempat menonjok perutnya kala dia melawan."Tanpa membawa Melati?" Lelaki itu melirik ke pintu kamar yang terbuka di mana anaknya masih terlelap di balik selimut yang sisi sampingnya tampak rapi. Gunadi menduga kalau Edwin tidak tidur satu ranjang dengan putrinya tadi malam.Wajah Gunadi yang semula datar, berubah sinis seolah ingin membalas Edwin saat itu juga."Bawa Melati jika kamu memaksa untuk pergi!""Atas dasar apa aku harus membawa anakmu?" Edwin balik bertanya. Jika dia harus berduel dengan lelaki yang dia duga sebagai jawara kampung itu, maka dia tak akan gentar walaupun harus bertaruh nyawa. Hanya saja bukan saat ini waktunya, di mana sang ibu pasti akan berada dalam bahaya. Raut wajah Gunadi berubah dingin. Entah kenapa itu seperti penolakan halus, di mana anaknya tidak diterima oleh lelaki berbadan gagah di depannya."Bukankah dia sudah menjadi istrimu?!" sentak Gunadi dengan tatapan nyalang."Istri, katamu. Istri macam apa yang kamu nikahkan denganku? Kau jelas lebih tahu kalau wanita itu tengah berbadan dua dan tentu saja secara agama pernikahan kami tidak sah. Kenapa kau bersikeras menyuruhku membawanya, dimana aku tidak seharusnya bertanggung jawab."Gunadi mengangkat kepalanya tinggi. Lelaki itu tak menyangka kalau Edwin berani bicara keras padanya.Sejenak kemudian dia mengambil nafas panjang dan melunak."Aku tidak mau tahu apapun. Kalian sudah aku nikahkan kemarin, jadi seperti apapun keadaan Melati saat ini, sekarang dia adalah tanggung jawabmu!" Gunadi bersiap pergi saat Edwin yang kalap bersuara lantang di telinganya."Bagaimana kau bisa memperlakukan aku seperti ini dan meminta pertanggungjawaban padaku, yang notabene tidak ada hubungan apapun dengan kalian. Bahkan aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kehamilan gadis angkuh itu!!""Kau!!" Rahang Gunadi mengeras."Apa kau sudah lupa kalau nyawa dan keselamatan ibumu ada di tangan anak buahku!!" sentak Gunadi dengan perkataan sama kerasnya, membuat Edwin tampak geram saat mata keduanya saling menatap tajam."Hanya seorang wanita lemah yang kau jadikan tawanan untuk membuatku bertahan di tempat ini. Begitu maksudmu? Lelaki picik!""Persetan dengan apapun yang kau katakan itu, aku tidak peduli. Jika kau ingin keluar dari sini, maka bawa Melati bersamamu, maka akan kupastikan ibumu juga akan aman di sana."Edwin mengusap dadanya karena dia sadar kalau emosi tak akan mengubah apapun saat ini.Dia meyakini hatinya. Dia dan sang ibu akan aman jika menuruti apa yang Gunadi perintahkan. Setelah keluar dari rumah itu, tak akan peduli lagi pada Melati- si wanita tak tahu diri dan tak tahu malu.Pandangannya kembali memindai, menatap ke arah lelaki itu yang siap-siap membuka ponselnya namun Edwin segera mengangkat tangannya."Ok, aku turuti.""Setidaknya bangunkan istrimu dan ajak dia sarapan, setelah itu kalau baru boleh pergi dari rumahku."Edwin berbalik karena kesal. Dua kali sudah dia membanting pintu kamar yang tak bersalah itu hanya demi melampiaskan kekesalannya.Percuma saja bicara dengan Gunadi, yang bisanya hanya menjadi seorang penggeretak dan hanya memanfaatkan kelemahan ibunya, hingga bisa menahannya lebih lama di tempat itu."Katakan pada ibumu atau siapapun keluargamu, kalau kami akan datang ke rumahmu minggu depan. Ingatlah, setelah kau menjadi bagian dari keluarga kami, kamu dilarang menyakiti Melati apapun yang terjadi! Ingat itu baik-baik!!" Gunadi berseru dari balik dinding dengan tatapan tajam. Dua orang yang sejak tadi memperhatikan, tidak berani bicara apapun karena tahu perangi bos mereka.Edwin menarik pegangan pintu dan membukanya cepat. Dia menatap tajam pada Gunadi yang langsung terbalik menatapnya dengan penuh kekesalan."Tak ada lagi kata penolakan, atau-!" Telunjuk Gunadi tepat di depan wajah Edwin sekarang. Mengisyaratkan dengan gerakan menebas lehernya. Dan saat ini Edwin seperti seorang pengecut, dia tidak berdaya di depan Gunadi dan anak buahnya, yang membawa peralatan tajam tengah tersenyum sinis, dan sulit diartikan olehnya."Sudah kubilang kan, kalau kamu tidak semudah itu pergi dari sini." Melati menarik sudut bibirnya, dengan berbalik ke arah Edwin yang tangannya kini menyangga kepalanya, sementara tangan yang lain mengelus perutnya yang membuncit."Kapan kau mengatakan hal itu padaku, hm?""Semalam. Dan ya, mungkin kamu sudah lupa," kata Melati lagi dengan santainya."Tak ada pembicaraan yang berarti tadi malam, jadi jangan mimpi!" hardik Edwin.Walau bagaimanapun dia membutuhkan pelampiasan sekarang. Dan kebetulan Melati seolah menantang dirinya saat ini.4Erwin kembali duduk di sofa sambil memikirkan banyak hal. Dia yakin mertua lelakinya itu tak sepenuhnya menerima dirinya, buktinya sampai berani mengancam segala.Edwin berpikir, mungkin saja lelaki itu sengaja menahannya karena ada sesuatu hal yang dia takutkan, hanya saja saat ini Edwin tidak tahu hal apa itu. Dan dia pastikan akan mencari tahu jawabannya nanti. Jika pun dirinya memaksa pergi dan melawan mereka, tentu saja itu akan beresiko besar. Lalu dia bisa apa jika sang ibu menjadi taruhannya. Edwin juga terlanjur berada di rumah itu meskipun ternyata dia menemukan banyak kejutan dan hal-hal yang janggal dari keluarga itu."Bersiaplah karena kita akan segera pergi dari sini." Edwin bersuara pada akhirnya. Merasa tidak punya pilihan lain. Dia berdiri sambil membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon, membiarkan Melati yang langsung menoleh, dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan."Kau berubah pikiran," tebak Melati. Edwin mengacuhkannya begitu saja, membiarkan wanita i
5Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela. Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka
6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka