"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan.
Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit kasar. Hingga Melati yang tengah berada di dalam langsung terkejut. Dia sempat mengira jika pelayan itu yang membuka pintunya."Begitukah caramu masuk ke kamar?""Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun, hingga untuk makan saja orang-orang harus melayanimu. Bahkan kau sama sekali tak menghargai usaha mereka," bentaknya mengabaikan ucapan Melati, saat wanita itu tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur."Siapa yang menyuruh? Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot untuk melakukan hal itu. Lagipula bukan hanya aku saja yang tak punya sopan santun, caramu membuka pintu, menunjukkan sifat aslimu," jawabnya ketus, tanpa mau mengalihkan pandangannya dari layar di depannya.Edwin yang kesal langsung mendekat ke arah ranjang."Melati, dengar, sudah untung aku membawamu ke dalam rumah ini atas ancaman dari ayahmu. Tidak bisakah kamu mematuhi aturan di rumah ini, atau setidaknya jangan membuat orang lain kesusahan atas ulahmu," desisnya dengan suara berat. Melati hanya mendelik. Sesungguhnya dia sangat lapar. Hanya saja perkataan Ernawati dan pelayan tadi mempengaruhi moodnya saat ini."Pergilah, karena aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini," kata Melati lagi."Kau mengusirku pergi dari dalam kamarku sendiri?" sindir Edwin yang mampu membuat Melati terduduk cepat."Jadi, maksudmu aku yang harus keluar dari kamar ini?" Keduanya saling menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya Edwin membuang muka karena merasa jijik. Apalagi gaun tidur yang digunakan wanita itu hanya berupa tank top.Melati mendecih."Jika itu perlu." Edwin menatap ke sudut ruangan dimana beberapa bungkus coklat bertebaran di lantai. Dia mendengkus kesal, kamarnya yang selalu rapi dan wangi, kini terlihat jorok. Tapi dia menduga, dibalik sifat keras kepala Melati, wanita pasti sangat kelaparan. Hanya saja terlalu gengsi.Lelaki itu membuka pintu kembali dan membawakan makanan untuknya."Makanlah," ujarnya sambil meletakkan baki di samping tempat tidur Melati. Wanita itu hanya menoleh sekilas kemudian membalikkan badannya ke arah lain."Aku tidak lapar dan aku tidak perlu dikasihani," ucapnya penuh penekanan. Edwin menarik sudut bibirnya, seperti mengejek."Kalau kau tidak lapar, tidak mungkin ada bungkus makanan berserakan di kamarku. Lagipula, itu bukan hanya untukmu tapi juga demi kebaikan anak dalam perutmu. Aku hanya tak ingin disebut sebagai lelaki yang tak peka pada urusan perutmu, hingga akhirnya, kamu mengadukan semuanya pada ayahmu yang kasar itu," tutur Edwin lagi sambil bersiap keluar dari ruangan itu menuju ke dalam kamar mandi, setelah mengambil satu setel baju ganti. Melati langsung melirik ke samping, saat menghirup aroma makanan yang masuk ke dalam hidungnya. Sejujurnya dia membenarkan ucapan Edwin barusan, dan dia juga memang sangat lapar, namun rasa kesal akibat ucapan Ernawati tadi, membuatnya tak berselera untuk makan.Lagipula terlalu memalukan baginya jika harus makan masakan gadis yang tadi membicarakan dirinya di belakangnya.Beberapa saat kemudian, Edwin yang baru saja keluar dari kamar mandi tersenyum tipis ketika melihat Melati langsung mengambil sepotong ayam goreng dan memakannya seperti orang yang kelaparan, dan wanita itu masih duduk di atas tempat tidurnya tanpa memikirkan jika nanti kasurnya akan berubah menjadi kotor atau bau amis."Apakah sudah jadi kebiasaanmu makan di tempat tidur?" sindirnya lagi sambil bersiap membuka pintu dan menutupnya dengan cepat, sebelum Melati sempat menjawab ucapannya. Wanita itu langsung memutar matanya malas.'Dasar si mulut besar.'Edwin langsung turun menuju ruang makan, dimana orang-orang sedang menikmati makan malamnya."Hey, kenapa istrimu tidak kamu ajak untuk makan bersama? Kamu tahu kan tujuanku ke sini, ingin berkenalan dengannya," protes Jovan sambil menatap kearah Edwin yang menarik kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Tak lama kemudian, Wina mengambilkan piring untuknya dan menyiapkan nasi serta lauk yang akan dimakan oleh lelaki itu."Sepertinya dia ingin makan di dalam kamarnya," sahut Edwin tanpa mengalihkan pandangan. Dia mengambil sepotong ayam dan memasukkannya ke mulut.Jovan yang heran tak tahan untuk bertanya. "Kenapa?"Edwin menoleh tak suka."Kamu mau menemani dia?""Eh, bukan begitu maksudku." Jovan menggaruk kepalanya yang tak gatal."Kalau begitu diamlah, jangan banyak bertanya," balas Edwin lagi pada lelaki bermulut besar itu."Dari siang Melati tidak mau makan," kata Ernawati membuka suara. Wanita merasa tak enak hati. Edwin hanya menanggapinya dengan senyum tipis."Sudahlah, biarkan saja dia, Bu," balas Edwin lagi karena tak mau membicarakan wanita itu, yang tiap kali bertemu yang ada hanya membuat dirinya semakin bertambah kesal."Iya, tapi kan-""Ngomong-ngomong ayam goreng ini rasanya sangat enak sekali. Pasti ini buatan ibu," potong Edwin lagi membuat Ernawati langsung tersenyum ke arahnya."Iya, ibu dan Wina tadi yang memasaknya di dapur. Sayang sekali Melati tidak mau mencicipinya," tukas Ernawati lagi, merasa bersalah kepada Melati, yang karena ucapan dirinyalah hingga wanita itu enggan keluar dari dalam kamar. Padahal sebagai sebagai wanita yang sudah resmi menjadi menantunya, dia ingin lebih mengenal Melati dan bertanya banyak hal pada gadis itu. Tapi sepertinya rencananya harus sedikit tertunda, mengingat sikap wanita itu yang tidak mudah untuk dirinya dekati. Ditambah lagi setelah ucapannya siang tadi, bisa dipastikan kalau Melati akan semakin tidak suka pada dirinya.*****Edwin berjalan ke arah balkon dan memegang besinya, memandang kelap-kelip bintang yang bertaburan di langit malam ini. Yang tampak cerah tanpa terhalangi awan kelabu.Beberapa saat yang lalu, Candra dan juga ibunya sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Kini tinggallah dirinya bersama dengan Jovan yang mengobrol santai ditemani dengan segelas cappuccino hangat dan beberapa camilan di depannya."Apa kau tidak ingin segera tidur? Ini sudah hampir jam sepuluh malam, lagipula ada seorang wanita yang menunggumu di dalam kamar." Jovan sengaja berkata demikian demi menggoda atasan sekaligus temannya itu, yang sepertinya masih betah berlama-lama di tempat itu.Padahal dirinya pun sudah merasakan ngantuk yang sangat hebat. Nyatanya, secangkir cappucino buatan Wina tidak mampu membuat matanya terjaga lebih lama. Hanya tinggal menemukan bantal dan selimut, sudah bisa dipastikan kalau Jovan akan langsung berlabuh ke alam mimpi.Edwin mendecih sebal.'Wanita dalam kamar?' Terlalu absurd jika harus di jelaskan."Jika kamu mau, kamu bisa menggantikan aku untuk menemani dia." Jovan melotot dan tak sengaja melayangkan tinjunya ke bahu lelaki itu hingga meringis."Bercandamu tidak lucu, Kawan," tukasnya cepat yang mampu membuat Edwin menarik sudut bibirnya ke samping."Siapa yang bilang bercanda?" balas Edwin lagi seperti cicitan. Dalam pikirannya, wanita seperti Melati pasti dengan sukarela menerima siapa saja lelaki yang ingin menghabiskan malam dengannya dan hal itu membuatnya bergidik ngeri. Meringis membayangkan wanita itu yang bergonta-ganti pasangan tiap waktu. Sesuatu hal yang tak pernah terbayangkan olehnya, dan sialnya kenapa harus wanita seperti itu yang menjadi istrinya saat ini.Seseorang membuka pintu kamar Edwin dan langsung keluar ruangan, ketika Jovan menatap ke arahnya sambil melongo."W-wow …!" Matanya membulat sempurna melihat penampilan Melati yang terekpose sempurna di depan matanya.8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep
13"Tenanglah, Mbak, wanita itu pasti akan baik-baik saja." Anita berusaha untuk menenangkan Ernawati yang gemetar. "Ta-tapi, Melati …!" Wanita itu panik melihat keadaan Melati yang menyedihkan. Sudah bukan rahasia lagi, jika Ernawati mudah sekali syok saat ada kejadian tak terduga yang dialaminya.Semua itu terjadi setelah dia menyaksikan sendiri, bagaimana keluarganya mengalami kecelakaan sewaktu hendak berlibur ke desa suaminya, hingga menyebabkan suaminya kehilangan nyawanya dan anak kedua anaknya mengalami kecelakaan hebat. Sejak saat itu, wanita itu seakan-akan trauma jika ada kejadian yang tak terduga.Anita terus menatap kepergian mobil yang perlahan menjauh, kemudian menghilang di belokan. Benar apa yang digosipkan oleh asisten rumah tangganya tadi pagi, bahwa istri keponakannya ternyata memang tengah hamil besar. Bahkan ketika Edwin membopongnya ke dalam mobil, tampak jelas perut wanita itu yang membesar, meskipun Anita ragu jika Edwin lah ayah dari jabang bayi tersebut. M
14"Anda sudah siap mendengarnya?" Lelaki dengan setelan formal duduk di depan Edwin, saat tatapan lelaki itu tampak serius. Edwin mengangguk cepat."Namanya Melati Anastasia, usia dua puluh lima tahun. Wanita itu lulus kuliah dua tahun lalu dan sempat bekerja di salah satu perusahaan di kota ini, hingga akhirnya suatu hari dia diminta resign oleh ayahnya dan kembali ke desanya entah karena alasan apa.Menurut sumber terpercaya, keuangan keluarga Melati memburuk dan ayahnya hampir bangkrut karena suatu hal yang saat ini masih kami selidiki. Entah karena alasan itu atau bukan, kami belum mengetahuinya, hanya saja menurut keterangan beberapa warga, suatu malam Melati dibawa paksa ke dalam mobil oleh orang-orang suruhan ayahnya dan dibawa pergi ke suatu tempat. Saat kembali dua hari kemudian, wanita itu dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya."Edwin dan Jovan saling berpandangan sambil menghela nafas berat."Anda ingin mendengar cerita selanjutnya?" Lelaki berkumis ti
15Melati terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata wanita itu mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya mengumpulkan kesadarannya."Bu Melati sudah bangun?" Seorang gadis berbaju pink mendekat. Melati memasang wajah kusut di depan Wina."Dimana aku?" Melati mengedarkan pandangannya ke sekeliling, yang didominasi oleh warna putih dengan aroma khas obat-obatan."Rumah sakit?" Wina mengangguk pelan. "Siapa yang membawaku ke tempat ini?" Kembali Melati bertanya heran. Dia memijat kepalanya yang terasa berat. Matanya juga bahkan terasa sembab."Tentu saja Pak Edwin. Bu Erna dan aku mana kuat menggendong Bu Melati, Tuan besar juga apalagi. Sedangkan satpam pasti tak akan berani." Wina menjelaskan dengan detail dan cerocosannya yang khas. Melati mengangkat tangannya agar gadis ceria itu berhenti bicara karena hanya membuat kepalanya semakin pusing."Cukup, aku sudah tahu." Melati mengusap wajahnya.