10
Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep
13"Tenanglah, Mbak, wanita itu pasti akan baik-baik saja." Anita berusaha untuk menenangkan Ernawati yang gemetar. "Ta-tapi, Melati …!" Wanita itu panik melihat keadaan Melati yang menyedihkan. Sudah bukan rahasia lagi, jika Ernawati mudah sekali syok saat ada kejadian tak terduga yang dialaminya.Semua itu terjadi setelah dia menyaksikan sendiri, bagaimana keluarganya mengalami kecelakaan sewaktu hendak berlibur ke desa suaminya, hingga menyebabkan suaminya kehilangan nyawanya dan anak kedua anaknya mengalami kecelakaan hebat. Sejak saat itu, wanita itu seakan-akan trauma jika ada kejadian yang tak terduga.Anita terus menatap kepergian mobil yang perlahan menjauh, kemudian menghilang di belokan. Benar apa yang digosipkan oleh asisten rumah tangganya tadi pagi, bahwa istri keponakannya ternyata memang tengah hamil besar. Bahkan ketika Edwin membopongnya ke dalam mobil, tampak jelas perut wanita itu yang membesar, meskipun Anita ragu jika Edwin lah ayah dari jabang bayi tersebut. M
14"Anda sudah siap mendengarnya?" Lelaki dengan setelan formal duduk di depan Edwin, saat tatapan lelaki itu tampak serius. Edwin mengangguk cepat."Namanya Melati Anastasia, usia dua puluh lima tahun. Wanita itu lulus kuliah dua tahun lalu dan sempat bekerja di salah satu perusahaan di kota ini, hingga akhirnya suatu hari dia diminta resign oleh ayahnya dan kembali ke desanya entah karena alasan apa.Menurut sumber terpercaya, keuangan keluarga Melati memburuk dan ayahnya hampir bangkrut karena suatu hal yang saat ini masih kami selidiki. Entah karena alasan itu atau bukan, kami belum mengetahuinya, hanya saja menurut keterangan beberapa warga, suatu malam Melati dibawa paksa ke dalam mobil oleh orang-orang suruhan ayahnya dan dibawa pergi ke suatu tempat. Saat kembali dua hari kemudian, wanita itu dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya."Edwin dan Jovan saling berpandangan sambil menghela nafas berat."Anda ingin mendengar cerita selanjutnya?" Lelaki berkumis ti
15Melati terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata wanita itu mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya mengumpulkan kesadarannya."Bu Melati sudah bangun?" Seorang gadis berbaju pink mendekat. Melati memasang wajah kusut di depan Wina."Dimana aku?" Melati mengedarkan pandangannya ke sekeliling, yang didominasi oleh warna putih dengan aroma khas obat-obatan."Rumah sakit?" Wina mengangguk pelan. "Siapa yang membawaku ke tempat ini?" Kembali Melati bertanya heran. Dia memijat kepalanya yang terasa berat. Matanya juga bahkan terasa sembab."Tentu saja Pak Edwin. Bu Erna dan aku mana kuat menggendong Bu Melati, Tuan besar juga apalagi. Sedangkan satpam pasti tak akan berani." Wina menjelaskan dengan detail dan cerocosannya yang khas. Melati mengangkat tangannya agar gadis ceria itu berhenti bicara karena hanya membuat kepalanya semakin pusing."Cukup, aku sudah tahu." Melati mengusap wajahnya.
16"Baiklah, jika ibu baik-baik saja, sebagai gantinya, ibu harus pulang bareng Jovan saja nanti." Ernawati mengangguk lagi, paham akan kekhawatiran anaknya. Memang semenjak kecelakaan yang menewaskan suaminya, wanita itu sedikit trauma untuk naik kendaraan apalagi bepergian jauh, makanya saat Edwin menjemputnya dari desa, Ernawati tak mau duduk jauh dari anaknya sendiri.Masih ada sisa kotak makan yang belum tersentuh di tote bag. Wanita itu meraihnya dan mengajak Edwin duduk di sofa."Makanlah, kamu pasti lapar habis kerja seharian." Edwin tersenyum simpul, meski sebenarnya tidak terlalu lapar, mengingat makan malam masih lama, lagipula tadi dia menikmati banyak makanan saat meeting di hotel."Ed, kamu capek nggak saat ini?" Edwin menoleh saat mulutnya hampir saja terbuka dan memasukkan sepotong ayam ke mulutnya. Meski tak terlalu lapar, tapi masakan ibunya selalu membuatnya berselera makan."Nggak kok, Bu, aku tidak terlalu sibuk hari
17Dada Edwin bergerak naik turun saat mendengar perkataan wanita yang berbaring di ranjang tersebut. Dia tak menyangka kalau Melati seegois itu. Bahkan rasanya dia ingin mendecih dan melayangkan tangan pada mulutnya yang lancang berucap tanpa berpikir lebih dahulu."Kau tahu Melati, bahkan saudaraku ada yang menikah sudah hampir dua puluh tahun lamanya, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan meski segala upaya sudah dilakukannya. Dan kau, seenaknya saja bicara. Sudah tahu berbuat zina itu dosanya sangat besar, dan kau ingin aku membiarkan kau ma*i beserta anakmu. Sungguh picik sekali pikiranmu. Setidaknya setelah kau melakukan dosa, kau bisa mengambil hikmah dan menyadari kesalahanmu dan bertaubat, bukannya terus menerus bersikap egois seperti ini!""Aku tak butuh ceramah darimu! Simpan saja semua itu untukmu sendiri. Lagipula tahu apa kau tentang hidupku hingga berani sekali menghakimiku, hah!?" Melati mendelik padanya. Tatapan keduanya menajam seaka
18Edwin mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian mulai menuturkan bagaimana pernikahan itu terjadi. Sahabatnya mengangguk mencoba mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya."Ya aku tahu, disaat seperti itu kamu pasti tidak berdaya. Tapi, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Maksudku, apakah kau mengenal gadis itu sebelumnya? Meskipun menurutku tidak, karena aku hafal tidak ada wanita yang mau dekat-dekat denganmu." Jonathan tertawa lagi. Niatnya ingin melucu, tapi Edwin tak menghiraukannya sama sekali."Kamu benar, Jo. Aku tidak mengenal wanita itu, hanya saja aku pernah melihatnya satu kali waktu aku berkunjung ke rumah ibu tahun lalu. Ya, aku hanya melihatnya sekilas, melihat keceriaan diwajah wanita itu. Tepatnya mungkin itu alasan ayahnya menarikku ke atas pelaminan dan menyuruhku untuk melakukan akad nikah dengan menikahkan aku dengan anaknya.""Well, apa kamu tidak tahu sebelumnya kalau wanita itu tengah berbadan dua?"