15Melati terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata wanita itu mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya mengumpulkan kesadarannya."Bu Melati sudah bangun?" Seorang gadis berbaju pink mendekat. Melati memasang wajah kusut di depan Wina."Dimana aku?" Melati mengedarkan pandangannya ke sekeliling, yang didominasi oleh warna putih dengan aroma khas obat-obatan."Rumah sakit?" Wina mengangguk pelan. "Siapa yang membawaku ke tempat ini?" Kembali Melati bertanya heran. Dia memijat kepalanya yang terasa berat. Matanya juga bahkan terasa sembab."Tentu saja Pak Edwin. Bu Erna dan aku mana kuat menggendong Bu Melati, Tuan besar juga apalagi. Sedangkan satpam pasti tak akan berani." Wina menjelaskan dengan detail dan cerocosannya yang khas. Melati mengangkat tangannya agar gadis ceria itu berhenti bicara karena hanya membuat kepalanya semakin pusing."Cukup, aku sudah tahu." Melati mengusap wajahnya.
16"Baiklah, jika ibu baik-baik saja, sebagai gantinya, ibu harus pulang bareng Jovan saja nanti." Ernawati mengangguk lagi, paham akan kekhawatiran anaknya. Memang semenjak kecelakaan yang menewaskan suaminya, wanita itu sedikit trauma untuk naik kendaraan apalagi bepergian jauh, makanya saat Edwin menjemputnya dari desa, Ernawati tak mau duduk jauh dari anaknya sendiri.Masih ada sisa kotak makan yang belum tersentuh di tote bag. Wanita itu meraihnya dan mengajak Edwin duduk di sofa."Makanlah, kamu pasti lapar habis kerja seharian." Edwin tersenyum simpul, meski sebenarnya tidak terlalu lapar, mengingat makan malam masih lama, lagipula tadi dia menikmati banyak makanan saat meeting di hotel."Ed, kamu capek nggak saat ini?" Edwin menoleh saat mulutnya hampir saja terbuka dan memasukkan sepotong ayam ke mulutnya. Meski tak terlalu lapar, tapi masakan ibunya selalu membuatnya berselera makan."Nggak kok, Bu, aku tidak terlalu sibuk hari
17Dada Edwin bergerak naik turun saat mendengar perkataan wanita yang berbaring di ranjang tersebut. Dia tak menyangka kalau Melati seegois itu. Bahkan rasanya dia ingin mendecih dan melayangkan tangan pada mulutnya yang lancang berucap tanpa berpikir lebih dahulu."Kau tahu Melati, bahkan saudaraku ada yang menikah sudah hampir dua puluh tahun lamanya, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan meski segala upaya sudah dilakukannya. Dan kau, seenaknya saja bicara. Sudah tahu berbuat zina itu dosanya sangat besar, dan kau ingin aku membiarkan kau ma*i beserta anakmu. Sungguh picik sekali pikiranmu. Setidaknya setelah kau melakukan dosa, kau bisa mengambil hikmah dan menyadari kesalahanmu dan bertaubat, bukannya terus menerus bersikap egois seperti ini!""Aku tak butuh ceramah darimu! Simpan saja semua itu untukmu sendiri. Lagipula tahu apa kau tentang hidupku hingga berani sekali menghakimiku, hah!?" Melati mendelik padanya. Tatapan keduanya menajam seaka
18Edwin mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian mulai menuturkan bagaimana pernikahan itu terjadi. Sahabatnya mengangguk mencoba mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya."Ya aku tahu, disaat seperti itu kamu pasti tidak berdaya. Tapi, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Maksudku, apakah kau mengenal gadis itu sebelumnya? Meskipun menurutku tidak, karena aku hafal tidak ada wanita yang mau dekat-dekat denganmu." Jonathan tertawa lagi. Niatnya ingin melucu, tapi Edwin tak menghiraukannya sama sekali."Kamu benar, Jo. Aku tidak mengenal wanita itu, hanya saja aku pernah melihatnya satu kali waktu aku berkunjung ke rumah ibu tahun lalu. Ya, aku hanya melihatnya sekilas, melihat keceriaan diwajah wanita itu. Tepatnya mungkin itu alasan ayahnya menarikku ke atas pelaminan dan menyuruhku untuk melakukan akad nikah dengan menikahkan aku dengan anaknya.""Well, apa kamu tidak tahu sebelumnya kalau wanita itu tengah berbadan dua?"
19Waktu beranjak menuju tengah malam. Edwin sengaja menyalakan lampu di ruangan itu agar tetap menyala. Matanya terus memerhatikan Melati yang tengah terlelap dengan deru nafas teratur. Masih teringat apa yang diucapkan oleh dokter beberapa saat yang lalu, kalau Melati merasakan kontraksi hebat dibagian bawahannya, lebih dari kram yang biasanya dialami oleh wanita itu."Jika dia terus-terusan mengalami hal itu, maka bisa dipastikan kalau dia akan keguguran mengingat janin dalam kandungan sudah berusia lima bulan, dan itu sangat membahayakan ibu maupun bayi yang ada dalam kandungannya. Makanya usahakan agar jangan sampai dia berpikiran yang membuatnya stress ataupun berpikiran yang berat dan berlebihan. Biarkan pasien merasakan ketenangan dan jauhkan dia dari hal-hal yang dapat memicu amarahnya." Edwin mengangguk dengan kepala berat, mendengar penjelasan dokter tadi yang telah selesai memeriksa Melati, kemudian masuk ke dalam ruangan itu, dimana wanita itu sudah t
20"Apa kau sengaja ingin memerasku?" Lelaki itu menggebrak meja, dan menatap tajam pada seorang pria yang tampak menyunggingkan senyumnya dengan licik. Kaki pria tersebut sengaja diangkat ke atas dan bertumpu pada kaki kirinya, menandakan kalau dia sama sekali tidak takut dengan gertakan pria yang masih tampan di depannya tersebut."Ada harga ada informasi, Tuan. Lagipula apa yang aku katakan kali ini pasti akan membuatmu tak menduga sama sekali. Dan informasi yang aku bawa kali ini, adalah berita yang besar, yang anda pun pasti akan langsung syok ataupun berbunga-bunga setelah mendengarkannya.""Apa yang kau ketahui sebenarnya. Cepat katakan!""Jika anda mengira ini akan gratis, sebaiknya aku pergi saja. Tapi, akan kupastikan kalau Anda akan kehilangan sesuatu yang berharga, dibandingkan dengan harta yang selama ini anda kejar-kejar itu!""Sepenting itukah?" Lelaki yang memakai topi di depannya mengangguk mantap."Ya, tentu saja!"
21Edwin membiarkan apa yang dilakukan ibunya kepada wanita yang perutnya sudah membulat di depannya. Bahkan terlihat sekali kebahagiaan di wajah Ernawati saat Melati sudi memakai pakaian yang dirinya berikan untuk wanita itu. Sementara Melati sendiri tidak banyak bicara dan terlihat canggung, makanya Ernawati meninggalkannya bersama dengan Edwin menuju ke arah ruang makan untuk memastikan semua makanan siap saji."Ajak istrimu makan, Ed!" seru Ernawati sambil menata piring di atas meja yang membuat Edwin dan Melati menoleh ke arah kanan ruangan itu, lalu saling menatap sekilas."Apa kau sudah lapar sekarang? Ayo kita makan siang," ajak Edwin dengan muka datar."Sebenarnya aku tidak terlalu la-""Mel, tolong hargai usaha ibuku. Lagi pula dia pasti sudah menyiapkan masakan sehat untukmu dan juga bayimu," tukas Edwin sambil berjalan terlebih dahulu yang membuat Melati tidak enak hati. Dia menyadari kekeliruannya. Dia menyadari kalau dia adalah wanita yang berhutang budi kepada Edwin dan
22Suasana di bandara tampak ramai meskipun hari sudah menunjukkan tengah malam. Edwin berdiri menetap kearah kedatangan dimana adik semata wayangnya tengah berjalan menuju ke arahnya dengan sebelah tangannya menyeret sebuah koper besar dengan paper bag yang menggantung di sampingnya.Gadis itu celingukan mencari keberadaan kekasihnya yang janji akan menjemput."Kamu mencari siapa, Kirana? Kakakmu yang tampan sudah berdiri di depanmu, lho," kata Edwin dengan senyumnya yang lebar, membuat Kirana mendalik padanya. Namun sepersekian detik kemudian, mencubit pipi Edwin dengan gemas sambil memeluk lelaki itu erat sekali. Sudah hampir sepuluh hari Kirana menghabiskan waktu di luar negeri, karena keinginannya untuk melihat keindahan dibagian belahan dunia lain."Kok kakak sih yang menjemput aku. Padahal kan aku berharap pada seseorang," katanya dengan wajah kecewa, saat lelaki yang diharapkan untuk menjemputnya, tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali."Kamu menunggu orang lain? Ya, si
Bab 99Melati tertegun, entah apa yang ada dalam pikiran Edwin, namun ketika suaminya menyebut nama wanita tersebut, matanya melebar sempurna dengan tubuh seperti kaku. Melati yang mengerti raut wajah suaminya itu berubah pun, segera mengambil alih Giandra dan menyerahkannya kepada pengasuhnya."Siapa dia, Mas?" tanya Melati seakan tidak sabar ingin mengetahui siapa wanita yang di hadapannya itu. Dulu suaminya pernah berkata sakit hati saat ditinggalkan seseorang yang telah pergi, dan pikiriannya langsung mengarah ke sana."Michy, ke marilah, Nak. Ayo makan malam bersama dengan kami," ajak Candra. "Oh ya, kapan kamu kembali dari Korea?" Pria tua itu tidak mungkin melupakan siapa Michy bagi cucunya. Beberapa tahun yang lalu, Michy dan Edwin sempat berhubungan cukup lama. Michy juga adalah cinta pertama cucunya. Namun setelah tiga tahun menjalin hubungan, wanita itu memilih meninggalkan negaranya untuk tinggal di Korea sambil melanjutkan studi designnya di sana. Siapa yang menyang
Bab 98Entah berapa lamanya mereka saling memadu kasih, hingga keduanya terlelap karena kelelahan.Saat Melati terbangun dari tidurnya, dia kaget karena Giandra tidak ada di box bayi miliknya.Wanita yang panik itu pun segera menggulung rambutnya dan mengikatnya ke atas dengan asal, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti dengan pakaian yang baru.Buru-buru wanita itu keluar dari kamarnya untuk mencari putra semata wayangnya, dan saat turun ke ruang tamu, tempat itu remang-remang tanpa cahaya dan seluruh lampu nyaris dimatikan semuanya."Ya ampun dia mana Giandra berada?" ujarnya sambil menggigit ujung kukunya karena bingung. Melati pun menatap ke arah kamar Ernawati yang tertutup, kemudian disampingnya ada kamar Anita yang juga tertutup rapat. Dia sengaja didekatkan telinga ke salah satu kamar tersebut, namun hanya sunyi yang didapatnya."Melati, kenapa kamu menempelkan kupingmu di tengah malam seperti ini?" Jovan yang baru keluar dari dapur deng
Bab 97Seketika berita itu menjadi trending di beberapa acara berita di Belanda, dan sampai ke telinga Edwin melalui sebuah pemberitahuan melalui telepon."Kami hanya ingin mengabarkan kepada anda, tentang kejadian kecelakaan yang telah menewaskan saudara Teguh Yogaswara. Keadaan tubuhnya hampir tidak berbentuk karena kecelakaan hebat itu, juga karena ledakan yang membuat jasadnya tidak sempurna. Apakah kami harus menerbangkannya ke Indonesia, atau anda lebih memilih kami memakamkannya di negara ini, mengingat untuk melewati imigrasi sangat sulit dilakukan, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar!" Suara di seberang sana terus bergema membuat Edwin bingung, hingga suatu keputusan diambil oleh demi kemaslahatan bersama."Kakekku dan kami semua sudah mendengar berita itu sebelumnya dari media massa. Untuk itu, kami semua sudah kesepaka jika jasad Teguh lebih baik dikebumikan saja di Belanda, dan saya meminta pertolongan anda semua untuk mewakilinya, mengingat kami juga tidak bisa per
Bab 96Duduk di tengah-tengah keluarga Candra Wijaya membuat hati Jovan menghangat, di mana dia bisa melihat senyum di wajah Ernawati dan Candra juga kehangatan kasih sayang antara Edwin dan Melati, yang disampingnya ada Kirana yang melirik sesekali ke arahnya dan menunduk seperti malu-malu.Setelahnya mereka menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol di ruang tengah. Layar televisi tayang sejak tadi menyala sama sekali tidak membuat mereka tertarik yang ada justru obrolan dan candaan layaknya keluarga besar.Setelah merasa sedikit bosan jumpa naik ke lantai atas di mana kamarnya berada kemudian duduk di balkon sambil menikmati cahaya malam yang indah. Langit bertaburan bintang dan dia duduk di atas kursi rotan sambil memandang ke atas. Kirana masuk setelahnya dan duduk di sampingnya."Sejak kapan, Jo?" Wanita itu tanpa bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke samping di mana jawaban langsung melirik bingung ke arahnya."Apanya yang sejak kapan?" Kirana memanyunkan bibirnya."Bod*h!"
Bab 95"Jadi, apakah menurut kakak, Jovan akan menerimaku, dengan keadaanku yang seperti ini?" Kirana mendesah berat. Dia melihat keadaan kakinya yang tak sempurna. Meskipun ragu, dia ingin mempertanyakan langsung kepada kakaknya, karena hanya pria itu yang mengerti keadaannya sekarang.Edwin mengangguk, lalu sebuah senyum terbit di bibirnya. Hatinya menghangat melihat senyuman di wajah Kirana."Karena hanya dia yang kakak lihat tulus mencintai kamu, Kirana. Makanya jangan ragu untuk menerima pria itu. Bukankah lebih baik dicintai, daripada mencintai, karena ujung-ujungnya hanya akan membuatmu sakit hati." Edwin mencoba memberi pengertian.Kirana cukup tertohok mendengar pernyataan dari kakaknya barusan."Kakak nggak pernah mendengar aku dan Bian bertengkar, kan?" tanyanya Karen Edwin seperti mengerti isi hatinya. Dia mencintai Bian dan ingin memilikinya. Naas, pria itu malah sebaliknya."Tentu saja tidak. Hanya saja kakak selalu melihat dia tidak pernah tulus mencintaimu. Bukankah
Bab 94"Melati mana?" Satu kata yang ditanyakan oleh Ernawati ketika sudah sadarkan diri adalah menantunya. Erwin sendiri tidak ada di sana karena harus mengurusi kasus Gunadi di kantor polisi sementara Melati pulang ke rumah atas suruhan Jovan.Wanita itu sudah pulang ke rumah tadi jawaban yang menyuruhnya sepertinya wanita itu tengah bingung atau sedih entahlah apapun tidak tahu Bu memangnya ada apa atau mungkin ada yang kalian tutupi dariku mata Kirana memicing menatap Ernawati yang segera menggeleng wanita itu bukannya menjawab Allah menerawang memandang langit-langit kamar.Bu aku bertanya pada ibu loh kenapa ibu nggak mau menjawabnya apakah perempuan itu membuat masalah lagi di keluarga kita dan apakah ini juga yang menyebabkan Ibu tidak sadarkan diri jika memang demikian biarkan aku yang menghajar wanita itu atau kalau perlu aku akan menyeretnya ke jalanan sesegera mungkin." Kirana berkata dengan perasaan menggebu nyatanya setelah beberapa waktu berlalu bahkan setelah Edwin dan
Bab 93"Jadi, Pak Gunadi mengakui segala tuduhan dan penyebab kecelakaan yang terjadi empat tahun yang lalu di Desa Sukmajaya itu?" tanya polisi itu untuk yang kedua kalinya."Iya, Pak. Saya mengakui semuanya. Dan saya merasa bersalah, serta saya bertanggung jawab atas segala kejadian waktu itu. Dan saya mengatakan hal ini dengan sesadar-sadarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi dan tanpa ada yang saya sembunyikan," ujarnya dengan kepala tertunduk. "Baiklah kalau begitu. Itu artinya menegaskan jika apa yang sudah saudara lakukan, anda sudah mengakui barusan, benar-benar murni dari dalam hati anda sendiri, tidak ada penekanan ataupun ancaman dari yang lainnya." Gunadi mengangguk lagi. Akhirnya dia melihat salahkah kalian sudah mengakui seluruh kejahatan di selama ini. Dan pasrah menjalani hukuman apapun yang akan ditimpakan kepada. Entah itu hukuman cambuk, hukuman tembak, ataupun hukuman mati yang akan dijalankannya. Tak mengapa, asal Gunadi merasa tenang menjalani sisa hidupnya.
Bab 91Kali ini Edwin duduk dengan pandangan menunduk, merasakan sesaknya dada dan air mata yang tak kunjung berhenti dari matanya. Meskipun sebagai seorang lelaki sejati, dia sudah berusaha untuk menghalau butiran bening itu berulang kali, namun fakta dan kenyataan yang baru saja didengarnya itu, membuat jiwanya terguncang. Bahkan segala pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Benci, marah, kecewa, semuanya bercampur jadi satu rasa.Sesuatu hal yang tidak bisa dibayangkan akhirnya terbuka begitu saja, setelah beberapa tahun menunggu. Dan kenyataan itu sekaligus mengguncang batinnya, di mana Edwin merasa perang sabil dengan keadaan fakta, juga tentang masa depan kehidupannya bersama dengan wanita, yang nyatanya mertuanya sendiri adalah seorang pembunuh dari ayahnya.Tak berbeda keadaannya dengan Edwin, Berulang kali Melati memejamkan matanya dengan menghela nafas panjang, hanya demi untuk meluapkan sebak yang ada dalam dadanya. Dia bagai terhimpit gunung, mendengarkan kenyataan yang dar
Bab 91Padahal Edwin baru saja tiba di ruangan Jovan beberapa saat yang lalu. Dan dia langsung menggendong Giandra karena gemas dan merindukan bayi kecil itu, setelah seharian ditinggalkan untuk bekerja di kantornya. Tapi, kehadiran Gunadi langsung membuatnya mengernyit heran, menatap ke arah pria itu yang langsung bersimpuh di kakinya dengan matanya yang memerah."Ada apa denganmu, Ayah?" tanyanya sambil memberikan Giandra kembali pada istrinya.Melati pun ikut bingung melihat kelakuan Gunadi saat ini. Sekilas menatap ke arah Jovan yang tampak santai dan menatap ke arah pria itu, yang bersimpuh di bawah dengan dada naik turun."Sebelum aku masuk penjara demi untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanku, aku ingin memohon ampun dan meminta maaf kepadamu, Edwin, bahkan untukmu juga Melati. Karena itu ayah meminta maaf karena selama ini telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Terlebih tindakan ayah di masa lalu kepada Edwin dan keluarganya, yang membuat suamimu itu menderita. Ay